Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 230]
| |
23
| |
[pagina 231]
| |
Sejak lawatan kenegaraannya pada tahun 1956 ke Moskow dan Peking - harap diingat bahwa lawatan pertamanya keluar negeri ialah ke Washington, Roma, dan Bonn - di Barat sudah terdengar cerita omong kosong bahwa Soekarno telah menjadi komunis. Indonesia dan Soekarno akan menjadi korban yang kesekian dari obsesi negara-negara Barat, terutama AS, yang menyangkut komunisme. Baik pemerintahan yang tampak (nyata) maupun yang tak-tampak (bayangan) di Washington mulai terganggu pikirannya oleh kemungkinan bangkitnya gerakan mendunia yang dipimpin kaum komunis, gerakan kaum miskin di mana-mana menentang kapitalisme dan imperialisme kaum Yankee. Di mata mereka, Soekarno dianggap sebagai pengacau yang dapat menggerakkan negara-negara Asia dan Afrika menentang AS dan Wall Street. Ia hanya mempunyai dua pilihan. ‘Itu terjadi ketika mereka mulai mencap pria yang amat mencintai Allah ini sebagai Komunis,’ demikian dikatakannya dalam autobiografinya mengenai penyakit anti-komunis negara Barat ini (hlm. 278).
Dalam bab 2 buku ‘The Smiling General’, Soeharto mengatakan kepada Roeder tentang Brigjen Sugandhi yang telah mengingatkan Bung Karno bahwa tak lama lagi akan terjadi kup (coup) komunis. Saya mengenal Gandhi sejak tanggal 12 Juni 1956 di Roma, ketika itu ia menjadi aide-de-campGa naar voetnoot1. yang pertama sampai setelah kup CIA tahun 1965. Dari tahun ke tahun saya melihatnya makin berubah, dari ajudan yang berbakti menjadi bajingan yang bertingkah tidak sopan di depan Presiden Soekarno. Ada satu | |
[pagina 232]
| |
peristiwa yang terjadi di suite Soekarno di Waldorf Towers pada saat berlangsungnya konferensi tingkat tinggi dunia di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1960. Presiden Soekarno dan saya sedang menonton film ceritera cinta buatan Hollywood. Gandhi masuk ke ruangan itu dan melaporkan bahwa mobil dan pengawal polisi telah siap menunggu karena Bung Karno mempunyai janji dengan Perdana Menteri Jawaharlal Nehm dari India. Presiden sedang menunggu pasangan di layar perak itu berpelukan dan mengunci cinta abadi mereka dengan ciuman di bibir. Gandhi menjadi tidak sabar dan untuk yang kedua kalinya ia meminta atasannya untuk berdiri dan segera berangkat. Sambil matanya tetap pada film tersebut, Presiden bertanya kepada ajudannya, ‘jam berapa sekarang?’ Saya terkejut mendengar jawaban Gandhi: ‘Anda mempunyai arloji sendiri bukan?’ Sebelumnya saya tidak pernah menyaksikan kekurangajaran seperti itu, dan saya sama sekali tidak pernah menyangka Gandhi mampu berbuat demikian. Saya melihat kepada Presiden. Ia tampaknya tidak menyadari hal itu. Setelah pasangan di film itu berciuman, Bung Karno berdiri dan mereka pergi menjumpai Nehru. Sugandhi adalah pria yang menarik, tetapi selama sepuluh tahun saya mengenalnya, ia tidak pernah mengesankan bahwa ia pandai. Tidaklah mengherankan apabila Soeharto telah menyebut namanya di halaman 15 bukunya, untuk memperkuat monolog anti-Soekarnonya.
Analisis yang cermat tidak saja dapat menunjukkan tindakan Soeharto yang memutarbalikkan fakta dan berbohong tentang Bung Karno, tetapi nada yang dipakainya untuk menyajikan argumentasinya juga dapat dipakai untuk memperkirakan jenis manusia seperti apa yang menjadi lawan Bung Karno ini. Bukunya yang pertama ini mengungkapkan rasa bencinya yang mendalam | |
[pagina 233]
| |
terhadap panglima besarnya. Mengenai masalah penting penolakan Soeharto terhadap penunjukan Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai penjabat sementara Kepala Angkatan Bersenjata oleh Soekarno, sampai ada kejelasan mengenai apa yang terjadi pada Jenderal Yani, Soeharto mengatakan dengan nada menantang bahwa ia menanggapi pesan itu ‘tanpa perasaan apa-apa’ dan dengan senyumnya yang khas saja, oleh sebab itu bukunya yang pertama itu diberinya judul ‘The Smiling General’. Tetapi, pejabat yang bersenyum ini telah berlaku tidak patuh pada saat terjadi krisis dalam republik ini, dan tampaknya ia terlalu tolol selama hidupnya untuk dapat memahami bahwa seluruh dunia menyebut tindakan yang dilakukannya pada tanggal 1 Oktober 1965 itu sebagai pengkhianatan besar.
Dalam ‘Notes from the Underground’, Fyodor Dostoyevsky menulis. ‘Setiap orang memiliki kenang-kenangan yang tidak akan diceriterakannya kepada semua orang, kecuali sahabatnya. Ia memikirkan hal-hal lain dalam benaknya dan ia tidak akan mengungkapnya, tidak juga kepada sahabatnya, dan hal tersebut tetap menjadi rahasia yang disimpannya sendiri. Tetapi ada hal lain yang orang takut menceriterakannya, bahkan kepada dirinya sendiri, dan setiap orang yang baik memiliki sejumlah hal tersebut yang tersimpan dalam pikirannya.’ Soeharto, yang tidak pernah membaca sebaris pun buku psikologinya Freud, hanya menggunakan ‘penekanan’ dan tetap membohongi dirinya sendiri betapa hebatnya ia, sambil menghapus tindakan pengkhianatannya merebut kursi kepresidenan dari Bung Karno, dari pikiran sadarnya.
Rasa bersalah, cemas, dan malu yang tidak tertahankan, dalam hal Soeharto, telah dapat ditekan, dipendam dalam-dalam, dan dihilangkannya agar ia terus dapat menghadapi dunia luar. | |
[pagina 234]
| |
“Tekanan” mengurangi nyeri pikiran, seperti halnya dengan sepupu dekatnya, “bantahan”, yaitu tidak mengakui kesalahannya.’ Dramawan Henrik Ibsen menyebut rahasia yang terkubur sangat dalam di dalam jiwa manusia itu sejenis rahasia dalam diri yang digambarkannya sebagai ‘dusta yang hidup yang mendudukkan mitos pribadi menggantikan tempat kebenaran yang kurang mengenakkan.’ (baca: ‘Vital Lies, Simple Truths: the Psychology of Self-Deception’, Daniel Goleman, Simon & Schuster, New York, 1985). Sejak tahun 1965 Soeharto hidup dengan dusta hidup yang amat penting mengenai pengkhianatannya terhadap panglima besarnya dan terhadap Indonesia, dan selanjutnya ia berperan dalam permainan NEKOLIM untuk memperkaya dirinya, istrinya, keluarganya, dan konco-konconya, sekali lagi, dengan mengorbankan rakyat.
Agar dapat memantapkan kekuasaan yang dicurinya, mula-mula ia harus melenyapkan semua yang menentang kekuasaannya. Untuk tugas ini, ia menunjuk Kolonel Sarwo Edhie. Sejak awal kudetanya, Soeharto menggunakan Sarwo Edhie sebagai algojonya yang utama. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Edhie dan pasukan para-komandonya sampai di daerah pinggiran kota dekat Halim, tempat Soekarno berada, untuk mengancam presiden ini agar pergi. Dalam buku yang ditulisnya pada tahun 1969 ini Soeharto mengelak merinci peristiwa perburuan dan pembunuhan berdarah besarbesaran yang dilakukannya terhadap kaum komunis dan pengikut setia Bung Karno untuk menguatkan kekuasaan yang dicurinya itu. Radovan Karadzic dan Ratko Mladic yang dituduh sebagai penjahat perang Serbia adalah penjahat perang kecil dibandingkan dengan penjahat pelaku pembantaian masal yang terjadi setelah tanggal 1 Oktober 1965 di Indonesia di bawah tanggung jawab dan atas | |
[pagina 235]
| |
perintah langsung dari Soeharto. Hanya Pol Pot yang berhasil melebihi Jenderal Indonesia ini dalam jumlah pemenggalan kepala dan penyembelihan orang yang tidak bersalah untuk menghemat peluru angkatan perang yang mahal harganya itu.
Dalam buku kenang-kenangannya yang kedua, ‘Soeharto, My Thoughts, Words, and Deeds’ (PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1989) kami menangkap secercah cahaya tambahan mengenai pribadi yang licik ini, yang memerintah Indonesia selama 32 tahun dengan persetujuan diam-diam sepenuhnya dari Pemerintah AS, baik yang tampak (nyata) maupun yang tak-tampak (bayangan). Rezim fasisnya Soeharto mengingatkan saya akan hari-hari ketika Belanda diduduki oleh Nazi Jerman (1940-1945), ketika Hitler menunjuk seorang kacungnya di Den Haag, pengkhianat yang menjadi bonekanya, A. Seyss-Inquart. Ia dihukum gantung setelah diadili di Neuremberg bersama dengan sekelompok penjahat perang Jerman lainnya.
Ceritera yang diberikan Soeharto, misalnya mengenai pertemuannya dengan Bung Karno di Istana Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965, menggambarkan misteri yang meliputi peristiwa Gestapu-Gestok. Presiden Soekarno meyakinkan Soeharto, bahwa Panglima Angkatan Udara, Omar Dani, tidak ada kaitan apa-apa dengan Gestapu, sementara Soeharto memberitahu presiden bahwa Angkatan Darat pun tangannya bersih dan tidak bersalah. Oleh sebab itu, mengapa dapat terjadi kup apabila tidak ada orang yang merencanakannya? Soeharto dan antek-anteknya dengan kuat menyarankan, istilah yang lebih tepat ialah memerintahkan Bung Karno agar pergi ke istana tempat peristirahatan di Bogor, yang akhirnya dilakukan presiden ini setelah didorong Pak Johannes Leimena dan Dewi Soekarno. | |
[pagina 236]
| |
Dewi bergegas naik jeep pergi ke pangkalan udara Halim dengan menyamar demi keselamatannya sendiri dan berbicara selama satu jam berdua saja dengan presiden ini.
Di Bogor selanjutnya diadakan pertemuan dengan Soeharto. Panglima Besar Angkatan Bersenjata ini meyakinkan jenderalnya bahwa Angkatan Udara dan Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar Dani tidak ada kaitannya dengan peristiwa kup ini, seperti yang tidak saja diduga tetapi tampaknya sangat diyakini oleh Soeharto. Pak Omar Dani, yang dipenjara selama 29 tahun oleh kaum fasis, akhirnya menulis bukunya sendiri, yang menceriterakan kejadian yang sebenarnya, yang menunjukkan betapa Soeharto telah berbohong mengenai segala sesuatu sejak hari pertama. Pimpinan Angkatan Darat telah meyakinkan Presiden agar tidak melibatkan diri. Dengan demikian, hanya tinggal Soeharto dan gerombolannya saja menjadi perwira pada saat itu, yang tahu akan hal yang terjadi dan siapa yang bersalah, dan tentu saja siapa lagi kalau bukan PKI.
Kebetulan yang luar biasa adalah bahwa CIA dan Tim Rahasia di Washington menjadi sumber berita yang lain, yang berteriak ke seluruh dunia bahwa PKI-lah yang bersalah. Mereka berhasil meyakinkan Soeharto bahwa PKI membunuh jenderal-jenderal itu, dan jenderal pengkhianat yang satu ini segera saja mempercayai para pembual dari Amerika ini yang berperang melawan kaum komunis di seluruh dunia. Karena ketidaktahuannya akan standar skenario CIA dalam merekayasa berbagai kup militer di mana-mana, Soeharto segera menerima informasi yang disampaikan kepadanya lewat saluran CIA di markas besarnya, yang meyakinkan ia agar bertindak sebagai pahlawan besar dan memulai pembantaian masa yang terbesar di dalam sejarah Asia Tenggara terhadap kaum kiri dan kaum komunis. Sarwo Edhie dan | |
[pagina 237]
| |
gerombolannya kemudian melaksanakan pembunuhan berdarah itu. Bung Karno tentu saja menyadari hal yang terjadi saat itu, seperti yang saya ketahui ketika saya berbicara dengannya pada tahun 1966, bahwa Jenderal Yani telah dibunuh dengan sengaja untuk melumpuhkan kekuasaan langsung Bung Karno terhadap angkatan bersenjata. Oleh sebab itu, ia tidak berdaya menghentikannya atau menghadirkan orang yang berkepala lebih dingin. Soeharto dengan sekelompok pengkhianat lainnya bermata gelap dan mengamuk membabi buta, bahkan tanpa menyadari bahwa sekali lagi kerajaan iblis di Washington telah memanfaatkan mereka untuk meneruskan peperangan melawan apa pun yang terbayangkan dalam pikiran mereka yang tidak waras itu, bahwa kaum komunis sudah siap akan mengambil alih kekuasaan.
Kali ini motif CIA, bahkan juga di tahun 1958, yaitu untuk menghancurkan PKI, terlihat jauh lebih jelas dari sebelumnya. Perang di Vietnam telah menghabiskan tenaga dengan cepat dan hal ini tidak menguntungkan Amerika. Bila kaum komunis berkuasa di Jakarta maka hal ini merupakan pukulan pamungkas bagi usaha AS untuk menghentikan Hanoi bergerak ke Saigon. Angkatan perang musuh berkekuatan 450.000 orang, berada di belakang GI (serdadu Amerika) yang memperjuangkan hidup mereka di Delta Mekong, merupakan mimpi buruk bagi strategi Washington, bahkan jika PKI berhasil mengambil alih kekuasaan di Jakarta.
Siasat AS dengan tindakan terselubung diungkap dengan jelas pada tahun 1985 dalam ‘The US Intelligence Community’ oleh Jeffrey Richelson (Westview Press, Boulder, Colorado). Bab XV buku ini dengan bebas membahas tindakan paramiliter atau politik yang dilakukan Dinas Rahasia AS ‘di semua daerah utama (dan banyak daerah kecil lainnya) di dunia’ (hlm. 342-371). | |
[pagina 238]
| |
Tidak perlu diragukan lagi bahwa pada tahun 1965 itu Indonesia berada di puncak daftar tembak CIA untuk mengamankan kekuatan AS di Vietnam.
Dalam ‘Necessary Illusions’ (Southend Press, Boston, 1989), Noam Chomsky merujuk ke editorial dalam ‘New York Times’ setelah kup tahun 1965 di Jakarta, yang menyebut bahwa AS telah bertindak bijaksana dengan tinggal di belakang layar selama kekacauan itu berlangsung. Dan mengapa begitu? ‘Karena Angkatan Bersenjata Indonesia telah berhasil mengamankan bom waktu politik di negeri itu, yaitu partai politik yang berkuasa saat itu (PKI), dengan melenyapkan semua pemimpin PKI tingkat satu dan tingkat dua dengan satu atau berbagai cara lainnya.’ (hlm. 107). Orang Amerika tidak melakukan protes ketika kaum kiri atau pengikut Marx ‘dilenyapkan’, tetapi, ya ampun, betapa kecilnya dunia ini apabila ada Yankee yang terbunuh di luar negeri. Orang Israel begitu juga. Segera setelah seorang pemukim terbunuh, helikopter penembak diterbangkan sebagai balas dendam terhadap penduduk sipil Palestina, untuk menembaki dan membunuh lusinan orang yang tidak bersalah. Juga ketika ‘Times’ merujuk ke ‘satu atau berbagai cara’ pembantaian terencana sejenis yang dilakukan Hitler, Stalin, atau Mao, dibiarkan dan selanjutnya diredam secara efektif.
Chomsky dengan cermat mencela ‘Times’ atas pernyataan tersebut, dan menyalahkan editor koran yang paling berpengaruh di dunia ini karena telah seenaknya mengabaikan ‘pembantaian ratusan ribu orang Indonesia, kebanyakan adalahnya petani miskin yang tak memiliki lahan.’ Tentu saja mereka mengacuhkannya. Bangsa Barat selalu mengukur kejahatan atau pelanggaran terhadap kemanusiaan dengan standar ganda. Dinas Rahasia Amerika telah merencanakan peristiwa bergelimang darah itu sejak tahun 1945, seperti layaknya | |
[pagina 239]
| |
usaha perakitan dengan sistem ban berjalan. Tentu saja mereka mengkhususkan din dalam pembunuhan masal kaum kiri atau penteror. Bagi saya, saya masih belum dapat memahami, mengapa pemerintahan Abdurrachman Wahid yang katanya demokratis itu mencoba mengadili Soeharto, hanya atas tuduhan korupsi dan pencurian harta negara secara besar-besaran - Majaiah ‘Time’ merinci semua hal ini dalam sebuah laporan khusus di tahun 1999 - yang berjumlah miliaran dolar. Mengapa boleh dikatakan tidak seorang pun di Republik Indonesia yang sekarang diperintah secara demokratis, menyeret Soeharto ke pengadilan atas tuduhan membunuh ratusan ribu rakyat Indonesia dan barangkali setelah ini, tuduhan mencuri uang?
Slobodan Milosevic tidak pernah membunuh seorang pun di dunia dengan tangannya sendiri, tetapi ia dianggap bertanggung jawab akan hal yang misalnya dilakukan oleh Radovan Karadzic dan Ratko Mladic selama berperang dengan NATO dan teroris Albania yang menjadi sekutunya, yang diduga telah dipersenjatai CIA. Milosevic diculik dari rumahnya di Beograd oleh kelompok pemimpin Yugoslavia sekarang, yang bersedia bekerja sama dengan Washington dan CIA, seperti yang dilakukan Soeharto pada tahun 1965. Sebenarnya, para pembesar Yugoslavia saat ini telah menjual pahlawan negara mereka dengan ratusan juta dolar ke Pengadilan. Dibanding dengan jumlah orang yang terbunuh yang menjadi tanggung jawab Soeharto, Milosevic hanyalah seorang pembunuh kecil. Tetapi, Soeharto tampaknya masih tak dapat disentuh, ia bebas dan hanya dikenakan tahanan rumah. Apa sebabnya? Ia adalah dan masih menjadi orang yang dilindungi Washington, yang menjalankan pemerintahan diktator militer fasis yang sejalan dengan dambaan yang mendalam dari Tim Rahasia. Milosevic adalah diktator komunis penuh waktu yang terakhir di Balkan. Ia harus | |
[pagina 240]
| |
dienyahkan pada tahun 2001, seperti halnya dengan Soekarno, yang diharuskan pergi tahun 1965. Tetapi, bagi mereka yang dapat membaca atau berpikir, kekaisaran iblis itu terdapat di Barat, bukan di Timur.
Dalam buku kenang-kenangannya yang kedua, ‘Soeharto, My Thoughts, Words, and Deeds’ (PT Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta, 1989) kami menangkap secercah sinar tambahan mengenai watak asli pria yang licik ini, dan di atas semua itu, dari kata-kata yang diucapkannya sendiri. Saya yakin bahwa para psiko-sejarahwan di masa mendatang akan menemukan khazanah bahan juga dari memoir-nya yang kedua ini, yang edisi Belandanya setebal 392 halaman. Bagaimanapun juga, fakta sejarah pada hakikatnya adalah fakta psikologi. Kajian psiko-analitik lanjut mengenai pikiran Soeharto sajalah yang suatu hari kelak dapat menjelaskan mengapa pria ini ingin masuk dalam sejarah dengan tanda pengenal sebagai pengkhianat dan pembunuh besar, ditempelkan pada namanya. |
|