Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 219]
| |
22
| |
[pagina 220]
| |
lingkungan terdekat Perdana Menteri Indira Gandhi. Woodward melapor bahwa Indira sangat marah, tetapi ia bersepakat dengan Washington akan mendiamkan masalah ini. Saya bertemu dan mewawancarai Indira Gandhi sebanyak tiga kali, sebelum ia juga dibunuh. Ketika saya berbicara dengannya berdua saja, ia dengan yakin menyinggung masalah keterlibatan CIA di India, yang ia anggap sangat tidak layak dan tidak berdasar.
Casey sangat mendukung Presiden Hissen Habre dari Chad, bekas daerah jajahan Prancis di sebelah selatan Libya. ‘Habre naik ke kursi kekuasaan dengan bantuan paramiliter CIA sebagai bagian dari salah satu penemuan awal Pemerintahan Reagan mengenai hidung Qaddaffi yang keparat.’ Demikian menurut Woodward. Presiden Sudan Nimeri dengan cara yang sama dijadikan sekutu untuk memojokkan Qaddaffi lebih jauh lagi. Pada saat yang bersamaan, wakil kepala pengawal pribadi Presiden Liberia Samuel Doe, Letnan Kolonel Moses Flanzamaton, adalah agen CIA. Letnan Kolonel ini mengupayakan serangan tembakan terhadap jeep yang dikendarai Doe. Tetapi presiden ini selamat tanpa cedera apa pun. Flanzamaton ditangkap, ia mengakui dukungan CIA untuk percobaan kup, dan ia dihukum mati (hlm. 310-311).
Woodward mengetahui bahwa Casey pada hari ketiga ia menjadi Direktur CIA, telah menerima sebuah laporan SECRET SNIE (Special National Intelligence Estimate) sepanjang dua belas halaman mengenai Libya, yang menjadikan Qaddaffi salah satu sasaran peringkat atas oleh Casey. Kesimpulannya: Qaddaffi menjadi masalah yang semakin penting bagi AS dan pihak Barat. Laporan itu menyatakan bahwa gerakan oposisi terhadap Qaddaffi tidak diorganisasikan dengan baik, dan tindakan tersembunyi untuk menggulingkan pemimpin Libya ini akan | |
[pagina 221]
| |
menghadapi masalah sulit. US menjual senjata ke Libya sampai sejumlah satu miliar dolar dalam setahun. Laporan ini merujuk ke pendudukan militer atas negara tetangga Chad, dan mengatakan bahwa Qaddaffi menggunakan ‘intrik politik, kegiatan berdiplomasi, penteroran, dan pembunuhan.’ Air di panci perebus sudah mendidih. Tetapi, orang Amerika di tempat yang tinggi tampaknya sering lebih suka membungkam kemampuan mereka untuk menggunakan otaknya secara objektif.
CIA memanfaatkan jasa ahli psikologi dan psikiatri. Menurut Woodward, mereka mengembangkan semacam pesawat mata-mata gaya Freud. Oleh sebab itu, Qaddaffi dibayangkan sedang duduk di sofanya CIA. Menurut kesimpulan orang-orang CIA, putra penggembala yang hidupnya berpindah-pindah ini, telah mengalami situasi yang terjadi pada masa remajanya, ‘ia menyerap sifat-sifat orang BedouinGa naar voetnoot1., seperti idealisme yang naif, kefanatikan beragama, kesombongan dan kebanggaan akan diri yang tinggi, keteguhan hati, ketidaksukaan pada yang berbau asing (xenophobia), dan kepekaan terhadap hal yang kecil-kecil.’ Ia mendapat perlakuan yang tidak adil sebagai bangsa Arab pengembara pada usia mudanya, dan karena ia merasa sangat dihina oleh kaum elit yang mapan, ia menjadi pemberontak terhadap yang berwenang dan mulai mendukung pemberontakan di seluruh dunia. Alasannya sesederhana itu saja. Woodward berkomentar bahwa dokter jiwanya CIA terduduk di kursi psiko-analisis mereka ketika mereka menjelaskan bahwa Qaddaffi ‘dalam upayanya mempertahankan dirinya secara | |
[pagina 222]
| |
psikologi, Qaddaffi mengembangkan dalam dirinya perasaan bahwa dirinya sangat penting, bahkan sangat agung dan mulia. Visinya mengenai Libya ialah untuk mengembalikan kemurnian dan kesederhanaan yang menurut ia ada pada sejarah bangsa Arab masa lalu.’ (hlm. 95).
Libya ialah negara seluas 1.759.540 kilometer persegi, dan 95% daerahnya terdiri atas lautan pasir dan dataran berbatu yang gersang, dengan hanya dua daerah perbukitan yang kecil. Negara ini sangat panas dan kering. Curah hujan di daerah padang pasir dan sub-padang pasir ini sangat kecil. Pada tahun 1973 tercatat 2.257.037 penduduk di Libya. Bangsa Turki menguasai negara ini pada abad ke-16 - ketika itu Cornelis de Houtman tiba di pantai Pulau Sumatra dengan empat kapalnya pada tanggal 5 Juni 1596, dan kemudian melanjutkan pelayarannya sampai ke Banten di barat laut Pulau Jawa - dan pada tahun 1835 Turki menyatakan daerah ini sebagai provinsi negara Turki. Pada tahun 1911 bangsa Italia menduduki Tripoli dan berdasar Kesepakatan Ouchy di Danau Jenewa, Libya secara resmi menjadi bagian Italia. Ketika Jerman dan Italia dikalahkan di Afrika Utara pada Perang Dunia II, Libya ditempatkan di bawah pemerintahan militer Inggris - Prancis. Setelah campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 24 Desember 1951, negara ini diakui merdeka dan berdaulat secara internasional dan Raja Mohammed Idris el Senussi didudukkan sebagai kepala negara. Pada tahun 1953 ditandatangani perjanjian militer dan keuangan dengan London, yang diikuti perjanjian sejenis pada tahun 1954 dengan Washington, yang membolehkan pangkalan militer dan pasukan AS bertahan di Libya. Pihak Prancis menandatangani perjanjian pada tahun 1955 yang menyebabkan mereka menarik pasukan militernya dari negara ini. Pada | |
[pagina 223]
| |
tanggal 1 September 1969, Kolonel Qaddaffi menggulingkan sang Raja dan dewan komando revolusi mengambil alih kekuasaan. Permainan AS dan Inggris terus berlangsung. Oleh karena itu, Washington dan London merasa berhak menjalankan tipu muslihat dan tindakan terselubung yang biasa mereka lakukan itu, untuk menentang Qaddaffi, termasuk upaya segera membunuh pria ini.
Peristiwa Libya dapat diperbandingkan dengan Malaysia pada awal tahun enam puluhan. Pemerintahan Inggris berawal di tahun 1786 dengan didudukinya Pulau Penang. Singapura dan jazirah Malaya menyusul, sampai ke Brunei. Pada tahun 1957 Malaysia merdeka. Tengku Abdul Rachman menjadi Perdana Menteri Federasi Malaya yang pertama. Tetapi, seperti yang ditekankan Bung Karno di dalam autobiografinya di tahun 1965, ‘Rachman bersedia memberi Inggris Raya hak untuk mempertahankan pangkalan militernya dan membolehkan pemerintah memanfaatkan pangkalan itu apabila dianggap perlu... untuk menjaga perdamaian di Asia Tenggara.’ (hlm. 302 buku edisi Bobs-Merrill). Bung Karno memandang kemerdekaan Malaysia dengan kehadiran militer Inggris yang terus berlanjut ini - yang pada praktiknya berarti bahwa pesawat pembom Amerika B-52 juga akan mendarat di situ - sebagai imperialisme yang menyamar. Konfrontasi yang teijadi sesudah itu di antara Jakarta dan Kuala Lumpur, yang akan saya bahas kemudian, pada dasarnya benar ditinjau dari segi sejarah dan politik, dan amat benar apabila ditinjau dari suasana yang disebabkan oleh pengaruh Indonesia yang sah dan dominan di daerah ini. Tentu saja Bung Karno dan Muammar Qaddaffi merupakan sekutu wajar di bawah payung prinsip-prinsip Bandung, karena mereka berjuang menentang NEKOLIM, istilah yang diciptakan oleh Jenderal A. Yani sebagai kependekan dari Neo-Kolonialisme dan Imperialisme. | |
[pagina 224]
| |
Sudah tentu para analis CIA barangkali telah menulis tentang tampang Soekarno, dengan gambaran bahwa pemimpin Indonesia ini menderita karena merasa dirinya besar, juga merasa dirinya rendah. Ia sebenarnya telah diperingati oleh Dubes AS Howard Jones. ‘Masyarakat akan menyebutmu ekspansionis,’ Saya tahu, bahwa bagi Bung Karno, yang adalah seorang pejuang kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya, sangatlah tidak masuk akal bila seorang pemimpin yang menghargai dirinya sendiri, yang memimpin negara Asia yang baru merdeka, akan membiarkan pendudukan militer terus berlangsung menjalankan pengaruhnya dengan menempatkan perangkat keras militernya di bumi Asia. Peperangan militer AS di Vietnam sedang berlangsung. Mengapa orang Asia yang dapat berpikir tentang hal yang benar harus ikut bermain di saat selarut ini dengan permainan kartu militer Anglo-Amerika, sementara bangsa Vietnam diteror dan dibom sampai tak sadar? Qaddaffi memendam perasaan yang sama terhadap kemerdekaan yang sebagian didukung oleh pangkalan udara NEKOLIM di tanah negaranya. Bahkan Fidel Castro pun menikmati sisa NEKOLIM di daerahnya, karena pada tahun 1993, menjelang berakhirnya kekuasaan militer AS atas Kuba, Teluk Guantanamo disewakan kepada Washington. Bahkan sampai hari ini, Angkatan Laut AS masih ditempatkan di bumi Kuba. Sifat imperialis mati perlahan-lahan.
Bob Woodward menceriterakan bagaimana Gedung Putih dan CIA pada tahun 1985 menganggap Qaddaffi sebagai ‘penteror’ yang paling berbahaya di dunia. Laporan sangat rahasia lainnya pada saat itu, setebal 23 halaman, menyangka pemimpin Libya ini menyediakan uang, mempersenjatai pangkalan operasi militer, bantuan perjalanan atau pelatihan bagi sekitar 30 orang dari | |
[pagina 225]
| |
kelompok pemberontak, yang radikal atau menteror. ‘CIA membuat peta lipat yang penuh warna yang menggambarkan sangkaan CIA mengenai ke mana saja tangan guritanya Qaddaffi akan menjelajah: ke Guatemala, El Salvador, Kolumbia, Chili, Republik Dominika, Spanyol, Turki, Irak, Libanon, Pakistan, Bangladesh, Thailand, Filipina, Niger, Chad, Sudan, Namibia, dan delapan negara Afrika lainnya (hlm. 409). Orang gila seperti Bill Casey, seperti juga semua Direktur CIA lainnya sebelum dan sesudah ia, terus-menerus meningkatkan ceritera khayal Baron Karl Friedrich von Munchhausen (1720-1797), serdadu dan tukang cerita bangsa Jerman yang terkenal akan ceriteranya yang tidak masuk akal. Di sini ada sebuah negara gurun pasir di Afrika Utara dengan sekitar 4 juta penduduk, yang diduga menandingi CIA yang mahakuasa dengan mempersiapkan berbagai tindakan terselubung di setiap penjuru dunia. Pada kenyataannya, Qaddaffi adalah seorang anak lelaki yang nakal dan sombong, yang berani menentang London dan Washington, dan oleh sebab itu pria ini harus membayar harga CIA yang umum dan menjadi bulan-bulanan penteroran oleh negara adikuasa.’
Pada tanggal 30 April 1985, Reagan menandatangani National Security Directive (NSDD) No. 168, sebuah perintah RAHASIA berjumlah enam halaman. Qaddaffi dimata-matai setiap hari, karena Gedung Putih memandang ia sebagai monster, makhluk ganjil yang menakutkan, yang mampu membakar dunia ini. Libya membeli pesawat MIG-p29s dan tank T-32 dari US dan sedang bernegosiasi dengan Yunani untuk kontrak pembelian senjata seharga 500 juta dolar. ‘Flower’ adalah nama sandi utama yang dipakai untuk tindakan tersembunyi terhadap Libya. ‘Tulip’ adalah sandi untuk upaya penggulingan Qaddaffi. ‘Rose’, sandi untuk | |
[pagina 226]
| |
serangan militer yang sudah disiapkan terlebih dahulu terhadap Libya. Woodward menyusun ulang peristiwa yang terjadi di Gedung Putih yang berakhir dengan pemboman Libya pada tahun 1986. ‘Bill Casey (CIA) dan George Shultz (Menteri Luar Negeri) bertekad akan mengakhiri apa yang sudah mereka sulut di Libya. CIA menyebarkan mata-matanya ke seluruh sudut dari tujuh tempat kediaman yang dipakai Qaddaffi yang utama, mungkin dengan harapan bahwa hal ini akan bocor ke kolonel itu, untuk mengingatkannya bahwa ia dimata-matai.’ (hlm. 471).
Casey mendengar bahwa Qaddaffi telah berlaku aneh ketika menemui para pejabat Yaman. Mungkin ia sudah berada di ambang kerusakan syarafnya. Casey merasa bahwa ia sudah dapat mengendalikan Qaddaffi. Pesawat tempur AS diterbangkan dekat pantai di Libya. ‘Hinakan dia, permalukan dia,’ kata Casey. Woodward: ‘Saat itu musim semi. Tak banyak yang harus dilakukan. Qaddaffi dapat menjadi objek kemenangan Reagan.’ Meskipun tidak terjadi krisis, sekelompok perencana berkumpul di situation room Gedung Putih pada tanggal 7 Agustus 1986. Departemen Luar Negeri telah menyiapkan memo 7 halaman berterakan TOP SECRET/VECTOR (amat rahasia). Setelah saya membaca berbagai usulan dan pilihan yang dibahas hari itu di Gedung Putih oleh orang-orang yang dianggap waras, bulu kuduk saya berdiri, merinding karena dongkol dan marah. Hal ini karena saya, sebagai orang Belanda, tahu bahwa negara saya adalah sekutu dekat para penjahat AS yang sedang merencanakan serangan teror adikuasa terhadap Libya.
Tidak lama kemudian ada pertemuan rahasia yang dihadiri oleh Presiden Reagan. Karena pesawat pembom AS yang menyerang Tripoli harus terbang melewati Prancis, ada yang | |
[pagina 227]
| |
mengusulkan agar mereka tidak perlu meminta izin Presiden Francois Mitterand yang sosialis ini, tetapi lebih baik menghubungi militer Prancis dengan diam-diam. Pada tanggal 14 Agustus 1986, Reagan, Shultz, Casey dan lain-lain mengadakan pertemuan di Gedung Putih. Woodward menulis bahwa CIA dan Departemen Luar Negeri telah siap. Roda sudah berputar. Selama pembicaraan mengenai upaya memenggal kepala Qaddaffi itu berlangsung, Reagan berkata, ‘Mengapa tidak kita undang saja Qaddaffi ke San Francisco, ia sangat suka pamer’, jelas-jelas merujuk ke San Francisco sebagai kota tempat berfoya-foya yang nomor satu di Amerika. Menteri Luar Negeri George Shultz menambahkan: ‘Mengapa tidak kita tulari ia (Qaddaffi) dengan AIDS?’ (hlm. 474). Barangkali akan lebih baik apabila para psiko-sejarahwan tidak pernah menulis tentang tampang beberapa orang itu, yang memimpin Amerika di abad ke-20, beberapa orang di antara mereka betul-betul perlu diperiksa kepalanya.
Tentu saja penyerangan atas Libya pada tanggal 14 April 1986 itu, di bawah nama sandi ‘Prairie Fire’, ketika sebuah armada dengan 45 kapal angkatan laut dan 200 pesawat tempur muncul di Teluk Sidra, diliput secara rinci dalam buku yang ditulis Woodward ini. Pada pukul 2 malam, 30 pesawat pembom Angkatan Udara menyerang Tripoli dan Benghazi. Delapan di antara pesawat itu membawa 2.000 ton bom yang dikendalikan laser untuk menyerang Splendid Gate, barak milik Qaddaffi. Qaddaffi selamat tanpa cedera, dua orang puteranya terluka, dan seorang bayi perempuan berusia 15 bulan, yang diceriterakan sebagai anak angkat Qaddaffi, mati terbunuh. Reagan muncul di televisi dan berkata, ‘Hari ini, kami telah melakukan apa yang seharusnya kami lakukan, bila perlu, kami akan melakukannya lagi.’ (hlm. 446). Itu | |
[pagina 228]
| |
adalah beberapa halaman dari buku Woodward yang berceritera tentang perang rahasia CIA melawan Libya. Ia menggambarkan seluruh daerah jelajah perang CIA di mana-mana.
Kesimpulan yang tidak didapat dalam laporannya Woodward ini, dan oleh sebab itu ketidakadaannya sangat mencurigakan, ialah fakta bahwa seluruh pejabat Gedung Putih semasa pemerintahan Reagan patut diajukan di tahun 2001 ini ke Pengadilan Kejahatan Perang Internasional di Den Haag. Hak asasi manusia tentu saja jarang disebut-sebut di Washington pada tahun 1980-an itu. Semua hal boleh dilakukan dalam perang yang direncanakan itu, yang sudah dimulai sejak tahun 1945. Tidak ada lagi yang peduli, apakah Washington telah melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bukan hal yang aneh apabila Undang-Undang Internasional dan semua Perjanjian Kesepakatan digeser menepi demi kepentingan kemenangan AS atas komunisme. Sekarang, dengan menjadi satu-satunya negara adikuasa di dunia, tiba-tiba saja Washington menempatkan diri sebagai satu-satunya pembela hak asasi manusia dan menuntut setiap orang mematuhi peraturannya dengan ketat. Para pelanggarnya harus diajukan ke hadapan Peradilan di Den Haag dengan segera, dan tanpa kecuali. Kecuali Amerika dan sekutunya bangsa Inggris tentunya. Apakah mereka masih terus membomi Irak, menangkal Kuba dan menjalankan perang rahasia di Kolumbia, bukan urusan siapa pun. Dan apabila kaum penteror meledakkan gedung Kedutaan AS, di sana atau di sini, dunia harus memikirkan dengan sungguh-sungguh akan kemungkinan munculnya armada perang AS di daerah pantai yang diduga digunakan sebagai tempat persembunyian kelompok penteror itu. Tentu saja dalam keadaan seperti itu AS berwenang menembakkan beberapa peluru kendalinya ke sini dan ke sana, | |
[pagina 229]
| |
karena, siapa lagi yang akan melawan kelompok penteror itu? Pengadilan Kejahatan Perang di Den Haag?
William Blum menceriterakan pengamatannya tentang hal ini, ‘Hal yang tidak pernah terucap oleh para pemimpin dan begawan kita yang pandai ialah bahwa kaum penteror itu - apa pun anggapan orang tentang mereka, mungkin mereka juga manusia yang berakal budi; artinya, mereka juga mempunyai pemikiran sendiri dengan pembenaran yang waras akan semua perbuatan mereka. Kebanyakan penteror adalah orang yang amat prihatin akan apa yang mereka pandang sebagai masalah sosial, politik dan agama dalam peradilan dan kemunafikan, dan alasan segera untuk perbuatan teror mereka sering merupakan tindakan balasan terhadap perbuatan Amerika Serikat.’ (‘Rogue Stute’, hlm. 30). |
|