| |
| |
| |
20
Kwame Nkrumah
Ghana merdeka pada tanggal 6 Maret 1957, dua belas tahun setelah Indonesia. Kwame Nkrumah (1909-1972) adalah Perdana Menteri pertama negara Ghana merdeka. Boleh dikatakan segera sesudahnya, ia bergabung dengan jajaran gerakan non-blok. Ia hadir di Konferensi Bandung yang kedua pada tahun 1961 di Beograd. Di Washington, mereka memandang perkumpulan Bung Karno dengan Nehru, Nasser, Norodom Sihanouk, Modibo Keita, Nkrumah, Sekoue Toure, dan banyak pemimpin lainnya, sebagai sekelompok kaum netral yang bermain mata dengan Moskow dan Peking. Pemikiran politik Amerika tentang masalah internasional masih tetap menakutkan, dan ini menunjukkan betapa sederhana dan naifnya jalan pikiran mereka. Atau negara-negara Asia Afrika berdiri di pihak AS, atau bila mereka tidak berpihak, mereka tidak dapat dipercaya atau perlu segera diberi pelajaran, artinya, pemimpin mereka harus digulingkan atau ditembak mati. Begitu saja.
Oleh sebab itu, ketika Nkrumah sedang dalam perjalanan ke Hanoi dan Peking, Jenderal J.A. Ankrah memberitahu rakyat Ghana tanggal 26 Februari 1966, bahwa undang-undang negara itu telah dinyatakan tidak berlaku untuk sementara, bahwa Dewan Kemerdekaan Nasional telah dibentuk dan Partai Rakyat Konvensi telah dibubarkan. Di London, orang Ghana bernama
| |
| |
Daniel Amihia memberitahu televisi BBC, bahwa ialah yang merencanakan kup (coup) tersebut. Ia juga membual dengan sombong, bahwa ia telah dilatih oleh CIA.
Presiden Nkrumah bersama dengan 22 anggota partai yang resmi di Peking, berbahas mengenai tindakan yang akan dilakukan. Nkrumah ingin hendak pulang segera, seperti diungkapnya kemudian dalam ‘Dark Days in Ghana’ (International Publishers, New York, 1968). Setelah singgah di Moskow, pada tanggal 2 Maret 1966 Presiden ini mendarat di Conakry, Guinea, negara yang bertetangga dengan Ghana. Keesokan harinya, Presiden Sekoue Toure mengumumkan pada kesempatan pertemuan besar di stadion olahraga, bahwa ia telah menunjuk Nkrumah sebagai Kepala Negara Guinea. ‘Orang Ghana yang berkhianat,’ demikian katanya kepada rakyatnya, ‘telah salah menilai Nkrumah sebagai orang Ghana. Ia adalah orang yang universal, ia milik dunia.’
Nkrumah: ‘Ini adalah salah satu tugas CIA dan organisasi lainnya yang sejenis, untuk mengenali orang yang berpotensi menjadi boneka dan pengkhianat di tengah-tengah kita, yang mendorong, membesarkan hati mereka dengan menyuap dan menjanjikan kekuasaan politik, untuk menghancurkan pemerintahan yang sah menurut undang-undang negeri mereka. Kedutaan AS, Inggris, dan Jerman Barat di Ghana terlibat dalam penggulingan pemerintahan saya.’ Ketika saya membaca memoar-nya ini, saya seolah-olah mendengar Bung Karno berbicara pada tahun 1966 kepada saya, ketika ia menuduh keterlibatan Kedutaan AS dan Dubes Marshall Green, Kedutaan Australia serta Belanda, dalam kup militer yang dilakukan Soeharto. Presiden Soekarno tampak yakin akan beroleh bukti, misalnya, bahwa Australia dan Belanda diam-diam memberi
| |
| |
dukungan dana kepada organisasi mahasiswa yang berunjuk rasa dengan dorongan Angkatan Darat untuk menentang kepala negara yang sah.
Nkrumah mencatat bahwa Dubes Amerika Franklin Williams telah menyediakan 13 juta dolar dalam bentuk uang tunai bagi pemberontak di Accra untuk membantu mereka membiayai pengeluaran awal untuk pelaksanaan kup tersebut. Saya kutip pernyataan Presiden Ghana ini: ‘Kegiatan CIA tidak lagi mengherankan kami. Kami telah mengalami banyak contoh tindakan kotor organisasi ini di tahun-tahun belakangan ini. Bulan Mei yang lalu (1966) kegiatan subversif yang dilakukan Kolonel Rozmer, Atase Militer Kedutaan AS di Somalia, telah diungkap,’ demikian Nkrumah menulis. Orang Pentagon ini telah mendekati para pejabat Somalia dan membawa senjata gelap masuk ke negeri ini untuk mempersiapkan kup. Pada masa itu Somalia memiliki hubungan yang baik dengan US. Pada tahun 1965, Taylor Odell, atase pada Kedutaan AS di Kairo, diusir setelah ia tertangkap basah menerima dokumen rahasia dari Mustafa Amin, seorang agen CIA bangsa Mesir.
Nkrumah: ‘Di Sudan Selatan, yang disebut Front Pembebasan Azana itu didirikan dengan dukungan dan dana dari CIA. Tujuannya ialah hendak meiepaskan Sudan Selatan dari bagian lain negara itu dan memproklamirkan kemerdekaan negara Azana.’ Sejak jatuhnya boneka CIA Soeharto, Indonesia mengalami banyak kekacauan, termasuk pembantaian penduduk dengan alasan agama. Kita hanya dapat berharap bahwa orang Indonesia yang bertanggung jawab menelaah semua peristiwa berdarah itu, bersedia mengkaji tingkah laku dan tindakan AS dan CIA di tempat-tempat lain di mana saja, seperti di benua Afrika.
| |
| |
Juga di sini, orang Amerika dengan angkara anti-komunis telah mengail di air keruh dan dengan sengaja mengobarkan emosi, pemberontakan, dan pembunuhan di antara rakyat yang tidak bersalah, yang biasanya hidup berdampingan dengan damai. Sangat masuk akal bahwa orang-orang CIA yang gila atau yang sangat terganggu pikirannya di dalam ‘pemerintahan bayangan’ di Washington berharap dan menganggap hal ini mungkin terjadi, bahwa dengan boneka pro-CIA mereka di Jakarta (paling tidak sementara ini), mereka mungkin menyangka bahwa di masa depan Indonesia akan menjadi sekutu kaum fundamentalis Islam dalam liganya Osama bin Laden. Oleh sebab itu, mereka boleh beralasan, ‘marilah kita hancurkan negara Islam terbesar di dunia ini. Kepulauan Indonesia yang dipecah belah menjadi banyak bagian kecil-kecil akan lebih mudah diobok-obok ketimbang negara kesatuan yang diciptakan Soekarno dan Hatta pada tahun 1945.’
Nkrumah: ‘Di antara tahun 1961 dan 1964, agen-agen CIA telah membunuh sejumlah politisi dan tokoh-tokoh penting di Burundi, yang terakhir ialah Perdana Menteri negara itu, Pierre Ngendandumwe, yang dibunuh oleh Gonzalve Muyenzi, agen CIA yang bekerja sebagai akuntan di Kedutaan AS.’ Diketahui bahwa Muyenzi menerima bayaran 3 juta frank Prancis dari CIA. Mantan Presiden Ghana ini mendaftarkan berbagai kegiatan militer di Afrika dalam kurun Desember 1962 sampai Maret 1967.
Senegal: 17 Desember 1962, percobaan yang gagal untuk menggulingkan Presiden Senghor. |
Togo: 13 Januari 1963, pembunuhan Presiden Olympio. |
| |
| |
Kongo-Brazaville: 12-15 Agustus 1963, Presiden Youlou dipaksa turun. |
Dahomey: 19-28 Oktober 1963, Presiden Hubert Manga digulingkan. |
Niamey: Desember 1963, pemberontakan militer dapat diatasi Presiden Hamani Diori. |
Tanzania, Uganda, Kenya: 20, 23, dan 24 Januari 1964, pemberontakan militer dapat diatasi dengan bantuan pasukan Inggris. |
Gabon: 18 Februari 1964, Presiden Leon M'ba digulingkan. |
Aljazair: 18 Juni 1965, Presiden Ben Bella digulingkan. |
Kongo-Leopoldville: 25 November 1966, Jenderal Mobuto menjadi presiden. |
Dahomey: 22 Desember 1965, Jenderal Soglo berkuasa. |
Republik Afrika Tengah: 1 Januari 1965, Presiden Davic Dacko dipaksa meletakkan jabatannya. |
Volta Hulu: 4 Januari 1965, Presiden Yameogo digulingkan. |
Nigeria: 15 Januari 1966, Perdana Menteri Federal Balewa dan dua orang perdana menteri regional tewas terbunuh. Jenderal Ironsi merebut kekuasaan. |
Ghana: 24 Februari 1966, perampasan kekuasaan oleh perwira angkatan darat dan kepolisian. |
Nigeria: 29 Juli 1966, Jenderal Ironsi terbunuh. Jenderal Gowon merebut kekuasaan. |
| |
| |
Burundi: 29 November 1966, Raja Ntare V digulingkan. |
Togo: 13 Januari 1967, Presiden Grunitzky dipaksa berhenti. |
Sierra Leone: 24 Maret 1967, Angkatan Darat merebut kekuasaan. |
Tanpa menyatakan secara tidak langsung perihal keterlibatan CIA dalam berbagai peristiwa di atas, Presiden Nkrumah menegaskan bahwa menjelang tahun 1968, ketika ia menulis bukunya ini, sepuluh dari 38 negara merdeka di Afrika membangun rezim militer sebagai akibat dari kup. Ia menekankan bahwa CIA terlibat sangat dalam di dalam kup tahun 1964 di Tanzania, di antaranya dengan membayar banyak uang untuk jasa sejumlah politisi Tanzania. ‘Contoh-contoh lain dari kegiatan CIA dan tindakan dinas intelijen asing lainnya di Afrika dapat saya berikan. Semua itu memberikan bahan untuk menulis buku secara tersendiri,’ demikian Nkrumah menulis. ‘Ketika saya menulis karangan ini di Conakry, saya baru saja mendengar bahwa lima pakar CIA telah tiba di Liberia hendak mencari tahu bagaimana saya masih dapat berkomunikasi dengan pendukung saya di dalam Ghana.’
‘Dean Rusk, Menteri Luar Negeri AS, dalam sebuah pertemuan yang dihadiri 150 pebisnis terkemuka AS di bulan Juni 1966,’ demikian ceriteranya, ‘meramalkan bahwa kejatuhan Presiden Ben Bella, Presiden Soekarno, dan diri saya sendiri akan diikuti oleh penggulingan lebih banyak pemimpin dunia yang ‘berhaluan kiri’. Ia mulai menyebut mereka, tetapi berubah pikiran, dan ia mengakhiri ramalannya dengan senyumnya yang mengandung teka-teki.’ (hlm. 50-51).
| |
| |
Pada tahun 1961 di Beograd saya menyaksikan kehadiran yang boleh dikatakan semua pemimpin negara-negara non-blok dari tahun 1950-an dan 1960-an, berkumpul untuk memetakan peran penengah Asia Afrika di antara negara-negara adikuasa, di antaranya Ben Bella, Soekarno, dan Nkrumah. Baru sekaranglah, empat puluh tahun kemudian, tuduhan mengenai campur tangan pihak asing dan CIA dalam urusan dalam negeri di banyak negara di Dunia Ketiga terbukti kebenarannya, karena dari berbagai kajian ilmiah, berbagai fakta mengenai apa yang sebenarnya terjadi atas dasar dokumen yang diungkap, mulai muncul ke permukaan.
Baru-baru ini ada data yang muncul mengenai manusia seperti apa sebenarnya Dwight Eisenhower itu. Kebanyakan orang di Barat cenderung mengingat ia sebagai orang militer nomor satu dan sebagai pribadi yang menarik. Stephen Ambrose, Direktur Eisenhower Center di Universitas Orleans, menulis di tahun 1981 ‘Ike 's Spies’ (University of Mississippi Press). Eisenhower ternyata pembohong profesional juga. Ketika pesawat pembom CIA ditembak jatuh saat terbang di atas Ambon dan pilot CIA-nya ditahan pihak Indonesia, Eisenhower dimintai komentarnya pada suatu konferensi pers. Jawabnya: ‘Kebijakan kami ialah agar dengan hati-hati menjaga kenetralan dan tingkah laku yang baik selamanya dan tidak memihak, bila hal itu bukan urusan kami.’ Jenderal yang terhormat ini memang pembohong yang tidak tahu malu.
Ambrose menulis: ‘Masalahnya dengan penjelasan Ike yang tidak dipikirkan dahulu itu adalah bahwa yang dikatakannya itu dusta. Misi pemboman oleh pesawat Amerika terhadap kaum pemberontak (orang Indonesia) bukanlah petualangan militer (seperti yang dikatakan Ike), tetapi agen CIA yang bertindak atas arahan Pemerintahan Eisenhower.’ (hlm. 250). Nah, inilah, seorang direktur di Eisenhower
| |
| |
Center dengan gamblang membenarkan, atas dasar penelitiannya terhadap berkas-berkas yang ada, bahwa Washington menjalankan kebijakan untuk selalu campur tangan secara ilegal dan sering secara jahat, dalam urusan dalam negeri negara-negara lain, yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ambrose juga memberikan alasan mengapa Eisenhower dan Dulles bersaudara ingin melenyapkan Bung Karno. Hendaklah diingat, bahwa pada tahun 1956 Presiden Soekarno, dalam lawatan kenegaraannya yang pertama sebagai kepala negara, telah berkunjung ke Eisenhower. Richard Nixon menjemputnya di bandara dan ia mempersamakan Bung Karno dengan George Washington. Dua tahun kemudian, tuan-rumahnya yang orang Amerika itu mengirim CIA untuk menggulingkannya. Mengapa? Karena, setelah Washington menolak mengirim senjata ke Jakarta, Indonesia telah berpaling ke Moskow. Hal ini tentu saja merupakan dosa berat di mata orang Amerika. Patrice Lumumba mengalami nasib yang sama. Ia mula-mula datang ke Washington, ia tidak diterima dengan baik, dan kemudian ia berpaling ke Khrushchev memohon bantuan. Ia juga harus dilenyapkan. Orang Amerika, dengan ketaatan mereka beragama sepanjang sejarah terhadap hak asasi manusia, ikut terlibat dalam pembantaian Lumumba jadi berkeping-keping, di tahun yang sama ketika ia belum setahun menjadi Perdana Menteri Kongo pertama teipilih lewat pemilihan yang bebas.
Peneliti Ambrose menemukan banyak dokumen mengenai apakah Eisenhower tahu sebelumnya ihwal kegiatan CIA di seluruh dunia. Tidak dapat dipungkiri lagi fakta mengenai Dulles yang memerintahkan pembunuhan terhadap Lumumba. Apakah Ike tahu akan hal ini? Tentu saja teman-teman jenderal ini dengan berapi- | |
| |
api menyangkal bahwa presiden ini menyetujui semua pembunuhan di luar negeri itu. Tetapi, ketika Komite Gereja Senator Frank menyelidiki masalah ini, yang disahkan tanggal 2 Februari 1972, ‘Dulles percaya bahwa pembunuhan boleh digunakan sebagai cara untuk mematuhi tekanan dari Presiden untuk melenyapkan Lumumba dari panggung politik.’ (hlm. 295).
Penemuan menarik lainnya oleh peneliti ini ialah ketika Menteri Luar Negeri Chou En-lai menghadiri Konferensi Bandung di tahun 1955, CIA mematangkan rencana akan membunuh orang Cina ini saat ia berada di Indonesia. Makanannya, misalnya semangkuk nasi, akan dibubuhi sejenis racun yang bekerja lambat, sehingga Chou akan meninggal hanya dua hari setelah ia kembali ke Peking. Komite Gereja Senat menemukan bahwa rencana CIA untuk membunuh ini telah diveto oleh Allen Dulles.
|
|