Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 179]
| |
18
| |
[pagina 180]
| |
Houghton Mifflin di Boston, menerbitkan bagian pertama laporannya setebal 256 halaman mengenai perang rahasia lainnya yang kotor, yang lebih dikenal masyarakat umum di dunia sebagai Cold War (Perang Dingin).
W. Averell Harriman, dubes jutawan di masa perang untuk Moskow, menyerahkan tugasnya di tahun 1946 kepada George Kennan, orang keduanya yang tiba di US pada tahun 1944. Washington minta pendapat dubes yang baru ini. Kennan mengirim jawabannya sebanyak 8.000 kata yang belakangan dikenal sebagai Telegram Panjang no. 511. Isi telegram inilah yang menetapkan nada hubungan AS - US selama setengah abad lamanya. Kennan berbicara tentang ‘pandangan Soviet yang terkena gangguan syaraf mengenai masalah-masalah di dunia’ dan ‘rasa tidak aman orang Rusia yang adati dan naluriah’. Tulisan ini diterbitkan dalam ‘Foreign Affairs’ terbitan tahun 1947, ditandatangani Harriman sebagai ‘Mr. X’. Ia menyarankan: ‘Unsur utama dalam setiap kebijakan Amerika Serikat terhadap Uni Soviet haruslah bersifat jangka panjang, sabar tetapi tegas dan mencakup kewaspadaan akan kecenderungan Rusia untuk berekspansi.’ Pernyataan yang sungguh luar biasa, mengingat saat tersebut AS sendiri sedang mengembangkan konsep untuk menjadikan seluruh dunia ini sebagai tempat mutlak bagi kepentingan keamanan nasional (AS). Wartawan pengulas berita Walter Lippmann menjawab Telegram Panjangnya Harriman dengan tulisan bersambung sebanyak 14 artikel dan di dalam tulisannya itu ia menyebut konsep Kennan sebagai ‘keganjilan bersiasat yang mengerikan’.
Pada tanggal 18 Juni 1948, Presiden Harry Truman dan Dewan Keamanan Nasional secara resmi dan rahasia mengikat Pemerintah AS ke suatu program yang belum pernah terjadi | |
[pagina 181]
| |
sebelumnya, yaitu program intelijen tandingan untuk melawan komunisme, ‘bergerak lebih dari propaganda dan perang ekonomi dengan memberikan wewenang untuk langsung bertindak sebagai upaya pencegahan, termasuk tindak sabotase, anti-sabotase, penghancuran dan pengungsian, tindak subversi melawan negara yang bermusuhan. Termasuk juga bantuan untuk gerakan perlawanan bawah tanah, gerilya dan kelompok pembebasan pengungsi,’ demikian menurut Peter Grose. Ia menambahkan, ‘Dan semua kegiatan Amerika Serikat itu harus dilakukan di bawah tipu muslihat dan kelicikan seperti itu, demikian arahan Pemerintah Truman, sehingga Pemerintah AS dapat mempunyai alasan yang masuk akal untuk menolak bertanggung jawab.’ Seperti yang ditekankan Grose, Perang Dingin itu sebenarnya telah dimulai, dan masyarakat umum di Amerika - apalagi masyarakat luas di dunia - tidak tahu bahwa Washington dan sejumlah kantor perwakilan intelijen rahasianya, pada kenyataannya sudah memulai perang gerilya secara rahasia menentang Kremlin.
Grose: ‘Rencana gerakan rahasia Kennan untuk mengimbangi kekuatan ini dengan cepat berkembang di lingkungan Pemerintah AS, menumbuk dan memantul secara liar di luar kendali pengarangnya sendiri.’ Perang rahasia yang mendunia untuk menggulung komunisme ini benar-benar dimulai. Winston Churchill sudah menciptakan istilah Tirai Besi pada tahun 1946 ketika ia berpidato di sebuah perguruan tinggi di Fulton, Missouri, yang dihadiri Harry Truman. Selama tahun 1950-an AS berkembang kuat menjadi negara adikuasa yang terlibat penuh dalam perang sangat rahasia melawan Kremlin. Pada saat yang sama, kedua negara adikuasa ini membuat arsenal atau gudang senjata nuklir raksasa, andaikata diperlukan. | |
[pagina 182]
| |
Menghadapi latar belakang seperti itulah pada awal tahun 1950-an Bung Karno mulai memikirkan peranan apakah, bila ada, yang dapat dimainkan negara-negara Asia Afrika untuk mencegah kedua pihak yang bertentangan di kedua sisi pemisah antara Barat dan Timur itu, agar tidak saling menerkam dan mencabik leher masing-masing. Bung Karno merancang blok ketiga, yang mewakili Dunia Ketiga, yang segera dikenal sebagai ‘negara-negara non-blok,’ dan ia berniat akan memainkan peranan klasik orang Jawa, yaitu ‘musyawarah-mufakat’ di antara Moskow dan Washington. Ia berkunjung ke Yugoslavia dan Kuba untuk mengikutsertakan Tito dan Castro di dalam gagasan yang diluncurkannya di tahun 1955 di Bandung. Pada tahun 1961, konferensi negara-negara non-blok yang kedua diselenggarakan di Beograd. Karena kegilaan yang berlangsung di antara Moskow dan Washington, maka di Yugoslavia itulah diputuskan untuk mengirim Jawaharlal Nehm (India) dan Kwame Nkrumah (Ghana) ke Khrushchev, dan Modibo Keita (Mali) dan Bung Karno ke JFK untuk memohon dengan sangat agar kedua negara adikuasa itu berhenti beradu kekuatan senjata dan mulai berbicara dengan serius.
Empat puluh tahun kemudian, berangsur-angsur menjadi jelaslah apa yang direncanakan Washington terhadap US sejak menang di Perang Dunia II. Masih diragukan apakah para pemimpin negara-negara non-blok itu sudah memiliki gambaran, bahkan samar-samar, mengenai hal yang mereka rencanakan pada tahun-tahun itu, sehingga mereka mengulang melakukan tugas mereka yang baik itu untuk mengurangi ketegangan di antara Barat dan Timur. Bung Karno mengunjungi Dwight D. Eisenhower di tahun 1956 ketika ia pertama kali melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri sebagai Presiden | |
[pagina 183]
| |
Indonesia. Presiden Amerika ini dikenal di dunia tidak saja sebagai militer kelas wahid, tetapi juga sebagai pria yang santun. Tetapi, dua tahun setelah kunjungan persahabatan Bung Karno ke Gedung Putih, jenderal ini menyetujui rencana kup CIA terhadap Soekarno.
Setelah pesawat pembom CIA dan pilotnya ditembak jatuh di Ambon, Bung Karno memperingatkan Washington agar tidak bermain dengan api. Eisenhower menjawab dalam sebuah konferensi pers, ‘Kebijakan kami adalah untuk selalu menjaga kenetralan dan bersikap patut yaitu untuk tidak memihak apabila hal tersebut bukan menyangkut kepentingan kami.’ Pria santun yang jenderal ini jelas-jelas berbohong. Pada tahun 1981, Stephen Ambrose, Direktur Eisenhower Center di Universitas New-Orleans, menulis: ‘Masalahnya dengan penjelasan Ike yang tanpa dipikir dahulu itu ialah bahwa yang dikatakannya itu dusta. Orang Amerika yang menerbangkan pesawat pembom dengan misi melawan pemberontak (di atas Indonesia) bukanlah petualang (seperti yang dikatakan Ike) yang bertindak atas kemauan sendiri, tetapi agen CIA yang bertindak atas perintah Pemerintah Eisenhower.’ (‘Ike's Spies’, University Press of Mississippi, Jackson, 1981, h. 250).
Ambrose memberikan alasan mengapa Eisenhower dan Dulles ingin melenyapkan Bung Karno. Indonesia untuk pertama kalinya telah berpaling ke US untuk membeli senjata. Hal ini tidak dapat diterima Washington. Negara-negara Asia Afrika hendaknya bertindak sesuai dengan keinginan Tim Rahasia atau akan ada sanksinya. Pemerintah Eisenhower bereaksi sama terhadap Patrice Lumumba di Kongo. Ia juga ditolak dengan kasar di Washington dalam urusan penjualan senjata. Oleh sebab itu, ia berpaling ke Nikita Khrushchev, memohon bantuan militer. | |
[pagina 184]
| |
Ambrose menulis, bahwa tidak ada keraguan apa pun lagi, bahwa Allen Dulles memerintahkan untuk menghabisi Lumumba. Selama beberapa waktu orang banyak membicarakan apakah Eisenhower juga tahu akan hal ini. Teman-temannya menyangkal bahwa ia tahu. Tetapi, Church Committee (Senator Frank) yang menyelidiki masalah tersebut menyimpulkan pada tanggal 2 Februari 1976, ‘Dulles percaya bahwa pembunuhan merupakan cara yang dibolehkan untuk menuruti perintah dengan tekanan dari Presiden untuk melenyapkan Lumumba dari panggung politik.’ (hlm. 295).
Yang menarik adalah bahwa Ambrose juga menyebut secara berbisik atas dasar penelitian terhadap kumpulan dokumen Eisenhower, bahwa ada rencana CIA hendak membunuh Perdana Menteri Chou En-lai dari Cina ketika ia menghadiri Konferensi Bandung yang diselenggarakan Bung Karno di tahun 1955. Pembunuhan itu akan dilakukan dengan membubuhkan racun pada mangkuk nasi Chou En-lai dan ia akan meninggal hanya dalam waktu dua hari setelah ia kembali ke Peking. Menurut Komite Church, rencana itu di-veto atas perintah pribadi Allen Dulles (hlm. 297).
Perasaan tidak senang boleh dikatakan segera timbul di antara sekutu Perang Dunia II setelah Hitler dikalahkan. Pada tanggal 23 April 1945, sebelas hari setelah Harry Truman menjadi presiden, Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov berkunjung ke Gedung Putih. Menurut Peter Grose, mantan penjual pakaian pria dari Missouri ini bertingkah laku seperti politisi dari negara bagian Missouri.’ Molotov, diplomat berpengalaman sejak dahulu, berkunjung untuk kedua kalinya selama hidupnya ke AS, juga dalam kaitan dengan pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia berpidato di depan tamu Soviet ini dan | |
[pagina 185]
| |
mengakhirinya dengan pembicaraan sebagai berikut: ‘Itulah semuanya, tuan Molotov. Saya akan sangat senang apabila Anda mau menyampaikan pandangan saya kepada Tuan Stalin.’ Molotov, diplomat yang sudah berpengalaman itu, sangat terkejut.
Perang rahasia menentang US ini memanas pada tanggal 24-25 Juni 1950, ketika Korea Utara menyerbu ke selatan, ‘Operasi Roll Back berubah menjadi gawat dan memicu peperangan.’ Mantan dubes untuk Moskow, Jenderal Walter Bedell Smith dipanggil pulang dari tugasnya oleh Truman. Ia jadi menghina kaum komunis di US. Tidak lama kemudian Frank Lindsay, salah seorang veteran Bill Donovan si Liar, dikirim ke Yugoslavia untuk menempelkan dirinya kepada kekuatan partisannya Tito. ‘Pada saat yang sama sebuah gerakan rahasia Anglo-Amerika yang lebih besar mulai membuka. Targetnya ialah Albania,’ demikian ditulis Grose (hlm. 154). OSS sudah bergerak di Albania selama Perang Dunia II ketika kaum komunis merebut kekuasaan pada tahun 1944 dengan mundurnya Italia dan Jerman. Sementara itu, Dinas Rahasia Inggris merasa Albania dapat dijadikan tempat percobaan untuk mengatur pemberontakan di dalam blok Soviet. Rencana ini berkembang menjadi gerakan rahasia Anglo-Amerika di musim semi tahun 1949. Operasi Roll Back yang bersifat rahasia di Albania merupakan uji pertama tindak sabotase terhadap blok Soviet setelah Perang Dunia II, ‘sebuah ujian untuk hal lain-lain yang lebih besar,’ demikian ditulis Grose.
Karena semakin banyak dokumen bermunculan dan semakin banyak pula sarjana yang terjun ke dalam penelitian mengenai apa yang terjadi di dunia gaib yang penuh dengan dusta, | |
[pagina 186]
| |
tindak subversi, tipu muslihat kotor, dan perang rahasia, Richard Schultz, Direktur International Security Studies Program dan profesor di Fletcher School of Law and Diplomacy muncul dengan ‘The Secret War Against Hanoi’ (Harper Collins, New York, 1999). Tentu saja Operasi Roll Back ini juga telah mencapai puncak kegiatannya di negara tirai bambu, tempat yang diduga Tim Rahasia bahwa kaum komunisnya akan bergerak masuk ke Asia Tenggara dan hal itu harus dicegah sekuat tenaga. Sejak minggu pertama JFK masuk ke Gedung Putih ia sudah memerintahkan CIA untuk memulai gerakan rahasia menentang Hanoi.
‘Kami ini ditentang di seluruh dunia oleh persekongkolan monolitik dan kejam yang terutama menggantungkan diri pada cara terselubung untuk meluaskan lingkup pengaruhnya - dengan menyusup ketimbang menyerbu, dengan tindak subversi ketimbang pemilihan, dengan intimidasi ketimbang pemilihan bebas, dengan bergerilya di malam hari ketimbang berperang di siang hari,’ demikian kata JFK pada tanggal 28 Januari 1961 (Schultz, hlm. 75). Pandangan ini menggambarkan pemikiran yang ada di Gedung Putih semasa JFK. Orang Amerika melihat diri mereka sendiri saat itu - atau melihat diri mereka sendiri masih demikian sampai sekarang - hanya dari satu sisi: Washington. Mereka menganggap diri mereka orang Samaria yang baik, yang tahu apa yang terbaik bagi dunia, sehingga, apabila mereka menggunakan tipu muslihat kotor, mendorong pembunuhan masal oleh rezim fasis, menjaga agar rezim tersebut tetap berkuasa selama berpuluh-puluh tahun dengan triliunan dolar, membunuh pemimpin negara asing yang terkenal dan disukai orang, tetapi Tim Rahasia tidak menyukainya, masyarakat di luar negeri hendaknya menghargai dan berterima kasih atas ‘jasa’ yang ditawarkan AS tanpa memungut bayaran. Washington memutuskan | |
[pagina 187]
| |
bahwa Indonesia lebih baik diberi pengalaman dengan pembantaian berdarah besar-besaran, membunuh sebanyak-banyaknya orang Indonesia yang berhaluan kiri atau yang mendukung Bung Karno, siapa lagi. Washington memutuskan memilih rezim fasisnya Soeharto untuk bermain bola dengan the World Bank dan International Monetary Fund, dan membuat Soeharto, keluarga dan konco-konconya menjadi makin kaya dan makin kaya saja.
Operasi Roll Back, tentu saja, juga dipraktikkan dengan cara yang sama di Asia Tenggara. Profesor Schultz menulis, ‘Dengan sendirinya, untuk melakukan tindak subversi di Hanoi, JFK minta bantuan CIA.’ Di bawah rezim Nixon-Kissinger di Gedung Putih, CIA dan kegiatan berdarahnya diperiksa dengan cermat. Masyarakat umum di tahun 2001 ini sekarang tahu, misalnya bahwa Henry pasti terlibat dalam pembunuhan Presiden Salvador Allende pada peristiwa kup tahun 1973 oleh Jenderal Augusto Pinochet. Tentu saja, pemerintahan Bush Muda di Gedung Putih pada tahun 2001 ini terus berceloteh mengenai keinginan mereka untuk membawa para penjahat perang itu ke pengadilan. Menteri Luar Negeri, Jenderal Colin Powell menjawab pertanyaan dalam dialog interaktif di CNN mengenai penahanan Slobodan Milosevic di Belgrado, bersama Perdana Menteri Ariel Sharon dari Israel yang sedang berkunjung, yang duduk di sebelahnya. Seluruh dunia sekarang tahu, bahwa apabila standar atau perlakuan yang sama diterapkan pada Kissinger, Sharon, dan Milosevic, mereka bertiga sekarang ini pasti sedang bermain kartu bersama di mang tunggu di penjara Scheveningen, yaitu tempat menahan tertuduh dalam Pengadilan Internasional yang mengadili Penjahat Perang di Den Haag. Powell tampaknya lupa akan fakta, bahwa sementara ia sedang membicarakan Milosevic, ia melakukannya di depan seorang | |
[pagina 188]
| |
penjahat perang Israel, yaitu Sharon, yang dituduh orang Israel sendiri bertanggung jawab atas pembantaian para pengungsi Palestina di kamp pengungsian mereka sendiri.
Profesor Shultz melaporkan dalam bukunya yang terbit tahun 1999, tentang cara JFK dan LBJ mempekerjakan mata-mata, penyabot, dan prajurit rahasia untuk terus mengganggu Ho Chi-minh di Hanoi, dan semua kegiatan itu tidak dapat disebut ‘rogue operation’ (operasi bajingan), yaitu istilah yang dipakai Noam Chomsky, Willian Blum, dan penulis lainnya. ‘Kennedy ada di belakang layar semua peristiwa itu,’ demikian ditulis Shultz. ‘Pengalamannya dengan CIA bukan seperti penjahat besar yang bertindak liar, tetapi lebih seperti kerbau dungu yang menolak hal yang sebenarnya ingin dilakukannya. Ia menuntut suatu tindakan dilakukan, tetapi hanya apabila tindakan itu dilakukan di bawah pengawasan Gedung Putih.’ (hlm. 336). Setelah JFK tidak lagi dapat berharap banyak dari CIA untuk mengusik Hanoi, ia memerintahkan Pentagon untuk mengambil alih dan meningkatkan perang rahasia melawan Vietnam Utara.
Pendapat saya berbeda dengan Profesor Shultz. Meskipun JFK terlibat dengan CIA dan kemudian dengan Pentagon dalam kegiatan pembunuhan yang ilegal, yang melanggar semua prinsip dasar bertingkah laku yang dapat diterima oleh negara-negara yang beradab, kita tidak dapat menyebut Pemerintah Kennedy sebagai ‘pemerintahan bajingan’. Kennedy, seperti halnya Eisenhower dan Truman sebelumnya, mengelola sekelompok bajingan, dan sebagai akibatnya ia sendiri terbunuh di tangan sekelompok bajingan juga. Pemerintah Kennedy bertindak sebagai ‘pemerintahan bajingan’ yang sangat cemerlang, ‘rogue government par excellence’, sama seperti yang dilakukan semua | |
[pagina 189]
| |
pemerintahan AS sejak pembunuhan di Dallas itu, dan juga seperti yang dilakukan Bush II di tahun 2001. Seperti biasa, orang memerlukan waktu seperempat abad atau lebih lama lagi sebelum tingkah laku Mafia dari kelompok yang sekarang berkuasa di Washington ini dapat dipaparkan oleh para peneliti di Amerika sendiri atas dasar bukti dokumen. |
|