Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 168]
| |
17
| |
[pagina 169]
| |
tetap tegar melawan kekuatan pasukan Arab ketika Angkatan Perang Turki kalah dalam Perang Dunia I. ‘Pembunuhan mulia’ dapat mengurangi beban bersalah pada kesadaran si pembunuh. Grossman: ‘Kebanyakan pembunuhan dalam peperangan modern merupakan akibat serangan mendadak sehingga pihak musuh tidak berada dalam posisi hendak mengancam jiwa si pembunuh... Pembunuhan semacam itu sama sekali tidak dapat dianggap sebagai kekejaman.’
Profesor Grossman menekankan bahwa sampai peristiwa Vietnam, pembunuhan jarang terjadi di dalam peperangan. Peperangan dengan membunuh seperti itu dianggap perbuatan yang tidak terhormat. Tetapi, Vietnam mengubah segalanya. Yang membuat peperangan di Asia Tenggara ini sangat mengerikan ialah sifatnya yang berupa perang gerilya. ‘Para prajurit sering dihadapkan pada situasi dengan garis batas yang kabur di antara pejuang dan non-pejuang.’ Ia melanjutkan: ‘Salah satu manfaat kekejian yang paling jelas dan paling mencolok mata ialah bahwa tindakan tersebut membuat orang sangat takut. Horor dan kekejaman yang diperlihatkan para pembunuh dan penyiksa itu menyebabkan orang melarikan diri, bersembunyi, dan tidak lagi kuat mempertahankan dirinya, dan sering para korbannya tidak dapat berbuat apa-apa.’
Grossman: ‘Sementara Amerika Serikat dengan sia-sia membom bagian Utara, Vietnam Utara secara berhasil guna telah mematikan infrastruktur di Selatan, satu per satu di tempat tidur dan rumah mereka masing-masing. Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, kematian dari jarak dua puluh ribu kaki anehnya tidak ditujukan pada orang-orang tertentu, dan tidak berdaya secara psikologi. Tetapi pembunuhan jarak dekat dan terarah pada orang | |
[pagina 170]
| |
tertentu, menanamkan rasa benci yang sangat mendalam terhadap musuh yang menjadi korbannya, dan kematian seperti ini dapat sangat efektif melumpuhkan semangat musuh dan akhirnya kemenangan dapat dicapai.’ (hlm. 208).
Setelah membaca pengamatan tersebut tiga dasa warsa sejak tanggal 7 Oktober 1966, ketika Presiden Soekarno meminta saya menemaninya ke dokter gigi di salah satu bangunan samping Istana Merdeka di Jakarta, saya menyadari betapa ia sangat membenci perang yang saat itu terjadi di Vietnam. Bung Karno tahu dari pengalamannya sendiri berjuang dengan cara gerilya melawan angkatan perang penjajah Belanda (1946-1949), betapa kekejaman yang tidak berperasaan terjadi ketika orang saling membunuh dalam peristiwa penyerbuan. Kami berdua berjalan menyeberangi taman di istana pada hari itu, dan rombongan pengiringnya berjalan di belakang kami. ‘Sudahkah Anda membaca “War against Trees” karangan Wilfred Burchett?’ tanyanya. Saya jawab bahwa saya belum membacanya, tetapi saya ceriterakan pengalaman saya sendiri kepadanya ketika mendampingi pasukan AS dalam helikopter angkatan bersenjata pada saat berpatroli di Delta Mekong pada tahun 1964. Bung Karno menekankan bahwa pasukan AS di Vietnam dan pasukan Inggris di Malaysia harus dienyahkan dari Asia Tenggara dan biarkan mereka memikirkan urusan mereka sendiri. Tiba-tiba ia berhenti dan berkata: ‘coba kepalkan tangan Anda. Kepalan tangan Anda ialah Vietnam tempat Amerika berperang saat ini. Di sini Cina (dan ia menunjuk tangan kirinya). Dan ini Indonesia (tangan kanannya).’ Dan, sambil menutup kepalan saya dengan kedua belah tangannya ia berkata dengan menggeretakkan giginya, ‘Bersama-sama kita akan meremukkannya (orang Amerika) di Vietnam.’ Karena saya telah | |
[pagina 171]
| |
mengenalnya sejak tahun 1956, saya sangat menyadari makna yang sesungguhnya dari kata-kata tersebut. Ia tidak berkeinginan hendak mengirimkan pasukannya ke Hanoi, Cina juga tidak. Yang dimaksudkannya ialah bahwa ia sangat membenci perang kolonial yang dilakukan Washington di daerah yang sangat dekat dengan Indonesia. Tetapi Tim Rahasia bersama dengan mata-mata CIA yang pikirannya terobsesi dengan komunisme menyimpulkan bahwa Bung Karno telah menjadi komunis dan siap bergabung dengan Cina merah untuk menyerang Angkatan Perang AS di daerah yang dulu disebut Indo-China itu. Oleh sebab itu, ditetapkanlah di Washington, bahwa Soekarno pun harus disingkirkan. Namanya ditambahkan pada daftar orang yang harus dibunuh, kudeta, persekongkolan, persekongkolan tandingan, dan tindakan terselubung ilegal lainnya yang dilakukan Washington di setiap penjuru dunia.
Daftar pembunuhan yang disusun oleh William Blum, saya mengutipnya mulai dari halaman 17, hanya berkaitan dengan pembunuhan yang dapat diketahui oleh penulisnya. Ia selanjutnya menyebut dua percobaan pembunuhan terhadap Presiden Jose Figueres dari Kosta Rika dan terhadap Francois ‘Papa Doc’ Duvalier dari Haiti. Kemudian muncul nama Jenderal Rafael Trujilli dari Republik Dominika, diikuti penyerangan terhadap pemimpin oposisi Francisco Caamano, juga di Santo Domingo. Di pertengahan tahun 1950-an bahkan ada percobaan pembunuhan terhadap Charles de Gaule. Ia selamat dari limousine-nya yang penuh lubang bekas tembakan peluru. Che Guevara diburu agen-agen AS dan terbantai seperti binatang di Bolivia pada tahun 1967. Mengenai dirinya ini, ada baiknya kita menyebut beberapa bahan yang bukan lagi rahasia, yang | |
[pagina 172]
| |
dikeluarkan baru-baru ini dari ‘The Kennedys and Cuba’ (Ivan R. Dee Publisher, Chicago, 1999). Profesor Mark White dari Universitas London mengkaji dokumen yang hanya tersedia sebagian dan menemukan memo yang ditulis pembantu Kennedy Richard Goodwin dan dikirim ke Gedung Putih, mengenai percakapan pribadinya dengan Che di Puente del Este, Uruguay, tanggal 17 Agustus 1961. Hal ini terjadi empat bulan sebelum pembunuh upahan CIA menyerbu pantai di Teluk Babi.
‘Ia memiliki rasa humor yang baik,’ demikian tulis Goodwin kepada JFK. ‘... dan ada banyak kelakar yang dipertukarkan selama pertemuan itu. Ia tampak agak canggung ketika kami mulai berbicara, tetapi tak lama kemudian suasananya berubah santai dan kami mengobrol dengan bebas. Meskipun tak dapat diragukan lagi bahwa ia mengesankan kesetiaannya yang mendalam terhadap komunisme, namun pembicaraannya bebas dari propaganda dan bualan. Ia berbicara dengan tenang, dan langsung ke sasaran, dengan menampilkan sikap yang tegas dan objektif... Kesan saya ialah bahwa ia telah memikirkan setiap ucapannya dengan sangat hati-hati - semua kata-katanya tersusun dengan amat baik.’ (hlm. 65-67).
Guevara telah berpuluh tahun digambarkan di media Barat sebagai komunis gila yang tak ketolongan, dan romands. Saya bertemu dengannya pada tahun 1960 bersama dengan beberapa pemimpin Kuba lainnya di Kedutaan Aljazair di Havana. Saya mengamatinya dari dekat malam itu. Ia memberikan kesan yang sama baiknya seperti yang dilaporkan Goodwin setahun kemudian kepada JFK. Tetapi, Tim Rahasia tentu saja lebih mempercayai omongan banyak orang, yang menganggap semua orang Kuba di sekitar Castro sebagai orang yang berhaluan kiri, revolusioner yang | |
[pagina 173]
| |
romantis yang sedang merencanakan hal yang tidak baik. Tetapi ceritera sebenarnya tentang Che berbeda, sama seperti ceritera tentang Bung Karno yang pada dasarnya berbeda dengan apa yang dikatakan atau ditulis orang tentang dirinya.
Sebenarnya, ketika Nikita Khrushchev menghadiri konferensi tingkat tinggi PBB di tahun 1960, saya hadir dalam pesta yang diselenggarakan oleh perwakilan tetap Rumania, Silvio Brucan, yang juga mengundang Harison Salisbury dari ‘Times’, Marguerite Higgins dari ‘Herald Tribune’, dan Mike Littlejohns dari ‘Reuters ’. Ketika kami sedang berdiri bersama Khrushchev dalam lingkaran, Salisbury bertanya kepada ketua ini, apakah ia menganggap Fidel Castro seorang komunis. Khrushchev menjawab secara langsung, ‘Bila di antara negara-negara sosialis kami memiliki lebih banyak pemimpin seperti Fidel Castro, ramalannya dapat tidak menyenangkan.’ (baca: ‘Memoires: 1959-1961, Willem Oltmans, Torenboeken, Baarn, 1988). Tampaknya bahkan bangsa Soviet pada saat itu ragu akan keseriusan para revolusioner di Havana. Namun demikian, penasihat dekat JFK ini memperoleh kesan dari tangan pertama selama pertemuan pribadi dengan pria yang menjadi pahlawan abad ke-20 bagi banyak kelompok pemuda di mana-mana saat itu. Tetapi pandangan Goodwin yang dapat dipertanggungjawabkan itu disembunyikan dari pandangan umum. Kebenaran mengenai Che tidak selaras dengan dambaan mereka yang berada di Washington, yang amat membenci revolusi sosialis di Kuba, dan tidak ingin mendengar pendapat yang objektif tentang pahlawan Revolusi Kuba ini serta membacanya di halaman depan berbagai media di dunia. Tetapi JFK dan Goodwin tahu bahwa Che bukan orang tolol. Che lenyap dari panggung Amerika Latin oleh penjagalan yang direncanakan Washington dan dilaksanakan oleh CIA. | |
[pagina 174]
| |
Bung Karno mengalami nasib yang mirip. Ia juga menjadi korban pemutarbalikkan fakta besar-besaran di media untuk mempersiapkan lahan bagi upaya 'menyingkirkannya, yang akhirnya betul-betul terjadi. Tim Rahasia menganggap pemimpin Indonesia ini menjengkelkan. Bung Karno terang-terangan menentang pengiriman 600.000 anggota pasukan Amerika ke hutan-hutan di Vietnam. Bung Karno juga tidak dapat dimanipulasi untuk mengubah jalan pikirannya. Soekarno memang harus dilenyapkan, apa pun caranya.
William Blum menulis, ‘Soekarno, seperti halnya Nasser, adalah jenis “pemimpin Dunia Ketiga yang tidak dapat dikendalikan lagi oleh Amerika Serikat”... Oleh sebab itu, CIA mulai mengucurkan uang ke Indonesia bagi penyelenggaraan pemilihan umum, merencanakan pembunuhan Soekarno, dan bergabung dengan pejabat militer yang “sehaluan” untuk mengupayakan perang total terhadap pemerintah... Soekarno mengalaminya dan selamat dari semua hal tersebut.’ (‘Rogue State’, hlm. 132). Pada akhirnya Soekarno memang tidak dapat menyelamatkan diri dari tipu muslihat kotor Tim Rahasia itu. Di sini Blum hanya memjuk ke kup CIA tahun 1958. Bila ada orang Indonesia yang sampai saat ini masih tidak yakin, bahwa peristiwa tahun 1965 itu merupakan tindak ulang yang dibuat lebih baik dari peristiwa tahun 1958, maka ini tidak masuk akal yang sehat. Bahkan pengetahuan sepintas mengenai berbagai cara yang tak henti-hentinya dilakukan dinas rahasia AS sejak Perang Dunia II untuk mengacaukan dan menimbulkan malapetaka bagi kaum nasionalis di negara berkembang, terutama mereka yang menolak ‘bermain bola’ bersama Abang BesarGa naar voetnoot2. di Washington, kiranya cukup | |
[pagina 175]
| |
untuk meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa tidak ada keraguan apa pun lagi mengenai siapa yang mendalangi persekongkolan yang dilakukan untuk menjatuhkan Bung Karno di tahun 1965 itu.
Tidak aneh bila Direktur CIA William Colby menulis dalam buku kenang-kenangannya, ‘Honourable Men: My Life in the CIA’ (Simon & Schuster, New York, 1978): ‘Kekacauan menggejolak di Thailand dan Filipina, dan CIA berhasil meredamnya dengan meluncurkan sejenis program anti huru-hara pada tingkat desa. Dan Indonesia meledak dengan upaya merampas kekuasaan oleh Partai Komunis yang terbesar di dunia di luar tirai (Uni Soviet dan Cina), yang membunuh kepemimpinan dari Angkatan Bersenjata dengan persetujuan diamdiam Soekarno dan yang kemudian dibinasakan sebagai balasannya.’ Tentu saja apa yang ditulis Colby semuanya dusta besar. Hanya seorang mantan pimpinan dari organisasi Mafia yang paling berkuasa di dunialah yang mau memberi judul ‘Honourable Men’ (orang-orang yang terhormat) untuk memoar atau buku kenang-kenangannya.
Sebenarnya, tidak ada upaya merebut kekuasaan oleh PKI di tahun 1965 itu. Casey berbohong ketika ia mengatakan bahwa Bung Karno menyetujui pembantaian sejumlah pejabat tinggi militernya. Satu-satunya perampasan kekuasaan yang terjadi pada peristiwa Gestapu-Gestok ialah yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto, yang dengan perbuatan sangat khianatnya merampas kekuasaan Bung Karno, pemimpin yang paling populer yang pernah dikenal Indonesia. PKI tidak terlibat dan tidak pula bertanggung jawab atas pembunuhan enam jenderal dan seorang letnan. Soeharto dan konco persekongkolannya dari CIA menuduh PKI atas tindak pidana tersebut hanya agar ia memiliki alibi untuk memulai perburuan | |
[pagina 176]
| |
manusia secara besar-besaran, yaitu kaum komunis dan pendukung setia Soekarno. William Colby menyebarkan dusta ini untuk mengalihkan perhatian orang dari Washington dan CIA, itu saja masalahnya.
Profesor Dave Grossman berbicara panjang lebar dalam ‘On Killing’ mengenai pandangan AS tentang pembunuhan masal. ‘Hukuman mati dan pembunuhan secara besar-besaran dapat menjadi sumber pemberdayaan atau perolehan kekuasaan besar-besaran’ demikian tulisnya. ‘Hal ini seolah-olah telah terjadi persekutuan dengan iblis, dan sejumlah besar setan jahat dapat hidup dan berjaya di atas korban SS Nazi (hanya menyebut satu contoh), membuat negaranya lebih berkuasa dengan kekuatan iblis sebagai balasan atas darah yang dikorbankannya. Setiap pembunuhan dibenarkan dan disahihkan dengan darah oleh kekuasaan iblis ras unggul Nazi - dengan demikian teijadi pembentukan semu ras atau species yang kuat (mengelompokkan korban sebagai species yang rendah) atas dasar jarak moral, jarak sosial, dan jarak budaya... Prajurit yang telah membunuh harus mengatasi perasaannya sendiri yang mengatakan bahwa membunuh wanita dan anak-anak adalah tindakan binatang buas yang tidak berampun. Ia harus menolak rasa bersalah yang ada di dalam dirinya, dan ia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa dunia ini tidak gila, bahwa korbannya itu lebih rendah dari hewan, bahwa mereka adalah cacing iblis, dan bahwa apa yang diperintahkan negara serta pemimpinnya adalah hal yang benar.’ (hlm. 208-209).
Membaca laporan yang ditulis seorang ahli psikologi yang mengajar remaja Amerika yang masuk dinas militer, sering sebagai karir yang mereka pilih, adalah pengalaman yang amat menggigilkan. Terutama ketika Grossman mendorong mereka dengan mengatakan | |
[pagina 177]
| |
bahwa di Korea hanya 50% dari prajurit AS yang bersedia menembak musuh, dan sepuluh tahun kemudian, di Vietnam, 90% prajurit bergegas ingin menembak musuhnya. Angka statistik ini dipakai untuk menunjukkan ‘perbaikan’ dalam melatih pasukan pembunuh dalam jumlah sangat besar. Namun demikian, berita buruknya adalah bahwa seiring dengan meningkatnya keinginan atau keberanian menembak, jumlah penderita stres pasca-perang juga meningkat drastis. Para veteran Perang Korea, yang tidak suka bahkan membenci pembunuhan, lebih mudah menyesuaikan diri dalam masyarakat setelah mereka keluar dari angkatan perang, dibandingkan dengan veteran perang Vietnam, yang ingin segera menembaki para ‘gooks’.Ga naar voetnoot3.
Mungkin, apabila kita mempertimbangkan bahwa William Colby adalah produk adat, budaya, dan pelatihan Amerika, ia yakin benar bahwa Bung Karno telah menyetujui pembantaian enam jenderalnya yang terkemuka, termasuk Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Ahmad Yani, yang dekat hubungannya dengan presiden ini. Saya mengenal Bung Karno selama sepuluh tahun, dan saya mengenal dirinya dengan amat baik. Tidak seperti Bush junior, yang berbicara selama dua jam dengan Vladimir Putin dari Rusia dan kemudian menyimpulkan, ‘saya tatap matanya dan saya melihat orang yang dapat saya percayai.’ Saya mengkaji kehidupan Bung Karno, saya berbicara dengannya berjam-jam selama bertahun-tahun, dan saya bepergian dengannya di Indonesia dan di negeri lain-lainnya, termasuk di AS. Soekarno | |
[pagina 178]
| |
sangat manusiawi dan cerdas sehingga ia tak mungkin memerintahkan Pasukan Tjakrabirawa, yaitu pengawal istana, untuk membunuh. Bung Karno tidak mungkin menyuruh orang mengangkut keenam jenderalnya dari tempat tidur mereka, membawa mereka ke bandara militer Halim, dan membantai mereka di tempat itu. Hanya pikiran orang AS serta personil dalam organisasinya William Colby sajalah yang dapat membayangkan kegilaan seperti itu, yang berlatar memusuhi orang Jawa ini, serta mengumumkannya ke seluruh dunia: ‘Soekarnolah yang membunuh mereka!’ |
|