| |
| |
| |
13
Ali Bhutto
Saya ring bertanya kepada diri saya sendiri, apa yang sekiranya akan ditulis Bung Karno, apabila ia menuliskan pikirannya di atas kertas, sementara ia dipenjarakan oleh Soeharto di ‘Wisma Yaso’. Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto adalah teman baik Presiden Indonesia ini dan keluarganya. Di bulan Agustus tahun 1977, Henry Kissinger bertemu dengan Bhutto di Lahore dan langsung mengancamnya dengan kata-kata, ‘Kami akan menjadikan Anda contoh yang mengerikan!’ Dan demikianlah yang dilakukan oleh Gedung Putih, CIA, dan Dinas Rahasia AS, seperti yang telah mereka lakukan terhadap Bung Karno. Satu-satunya warga Pakistan yang pernah memenangkan dua kali pemilihan umum dengan suara mutlak ini ditahan, disekap di sel terpidana mati, dan akhirnya digantung pada pukul 02.00 dini hari tanggal 4 April 1979.
Dalam pembicaraan saya dengan Presiden Soekarno pada tahun 1966, nama Ali Bhutto muncul beberapa kali. Di bulan Oktober 1966, Bung Karno mengatakan kepada saya ‘CIA sedang sibuk memancing di air keruh di delapan negara. Presiden Nasser sudah mengingatkan saya. Ia mengirim utusan pribadinya menghadap saya, seorang jenderal yang diperintah agar hanya berbicara dengan saya. Mereka menemukan bukti
| |
| |
dokumen di Mesir. Berbagai dokumen juga ditemukan di Siria, karena itu Dubes Siria datang menghadap sehari sesudah tamu saya dari Mesir itu, membawa pesan yang mirip. Anda harus menyelidiki masalah ini lebih dalam Wim,’ demikian katanya. (‘Den Vaderland Getrouwe’, Bruna, Utrecht, 1973).
Bung Karno melanjutkan kata-katanya, ‘Anda tentunya tahu tentang apa yang dilakukan CIA di sini selama bertahun-tahun. Presiden Kennedy minta maaf kepada saya akan hal itu, ketika saya berada di Gedung Putih untuk kunjungan kenegaraan saya di tahun 1961. Saya mempercayai JFK. Sebenarnya, ia adalah Presiden AS yang pertama yang saya percayai.’ Permohonan maaf Kennedy ini belakangan dibenarkan dalam berbagai buku kenang-kenangan (memoires) yang dibuat para pembantu Gedung Putih. Bung Karno sangat tertarik untuk mengetahui lebih banyak mengenai peristiwa Dallas yang sedang saya tangani pada saat itu. Pada tahun 1991, penelitian saya itu membawa saya menerima undangan dari Oliver Stone untuk muncul dalam filmnya ‘JFK’ sebagai bangsawan George de Mohrenschildt, sahabat Lee Harvey Oswald pada saat pembunuhan Kennedy. Setelah itu George menjadi teman dekat saya pribadi di antara tahun 1966 dan 1977, tahun ia meninggal dan dianggap karena bunuh diri di Florida. (Baca: ‘Reportage over de Kennedy Moordenaars’, Bruna, Utrecht, 1967).
Bung Karno selanjutnya mengingat kembali saat ia berkunjung ke Kairo pada tahun 1965, ketika di ruang besar hotel tempat ia menginap, ia didekati seorang gadis Amerika, Pat Price, yang berkata bahwa ia akan datang ke Indonesia dan menyusun penelitian tentang negara presiden ini. ‘Kebetulan, saat itu saya ditemani Menteri Urusan Luar Negeri Pakistan,
| |
| |
Ali Bhutto, yang mendengar permintaan ini dan kemudian berkata kepada saya, ‘Berhati-hatilah, Bung Karno!’ Tetapi gadis itu mengatakan bahwa ia hendak menulis buku dan minta bantuan saya. Oleh sebab itu, saya mengatur agar ia dapat datang ke Indonesia. Saya pun menyambutnya di Istana Merdeka. Saya memberinya seorang pembantu wanita untuk menemaninya ke mana-mana. Kemudian ia mulai bekerja. Beberapa bulan kemudian saya mendapat laporan dari dinas rahasia kami. Nona Price, gadis yang manis dan agak genit itu ternyata agen CIA. Ia dibuntuti dengan hati-hati oleh anggota dinas rahasia kami sendiri. Ini tipuan CIA yang lain. Ke mana-mana ia memanfaatkan nama saya, dan surat pengantar dari saya, dan menyalahgunakan bantuan saya dan keramahan kami sebagai tuan rumah, karena sebenarnya ia adalah mata-mata yang tidak sopan dan tidak beradab.’ Saya tanyakan kepadanya, apa yang meyakinkan Dinas Rahasia Indonesia itu bahwa gadis ini bekerja secara khusus untuk CIA. ‘Ia mengatur pertemuan dengan agen AS lainnya di tengah malam. Ia sering menemui para anggota kedutaan AS di sini pada saat-saat yang tidak biasa dan di tempat-tempat yang tidak biasa pula. Apa yang terutama menarik perhatian kami adalah beberapa kali pertemuan terselubungnya dengan Atase Militer AS. Ia bahkan berhasil masuk ke lingkungan tertinggi lembaga kemiliteran kami.’
Ali Bhutto ditahan pada tanggal 5 Juli 1977, dan pada hari itu juga, Jenderal Zia-ul Haq yang melakukan kup menyatakan Undang-Undang Perang bagi Pakistan. Selama lima setengah tahun Bhutto memimpin di Pakistan sebagai Presiden dan Perdana Menteri, sebagai Kepala Pemerintahan Federal, sebagai Menteri Pertahanan, dan sebagai Panglima Tertinggi
| |
| |
Angkatan Bersenjata. Dalam semalam ia dijungkirbalikkan oleh Zia-ul Haq, Soeharto-nya di Pakistan, menjadi ‘ancaman iblis bagi keamanan di Pakistan’. Sebenarnya, Ali Bhutto mengetahui mengenai siasat busuk Washington ini dengan jelas, sejelas yang diketahui Bung Karno, Norodom Sihanouk, dan terakhir dan tak kalah pentingnya, Indira Gandhi. Saya mengunjungi wanita India yang menakjubkan ini beberapa kali sejak tahun 1974, dan ia juga berulang-ulang berceritera tentang berbagai intrik dan ‘permainan’ CIA yang keji di India, Asia Tenggara, dan terutama mengenai tindakan AS di negeri yang dahulu bernama Indo China (baca: ‘On Growth’, Willem Oltmans, Putnam & Sons, New York, 1975).
Di dalam buku yang ditulis Ali Bhutto di penjara, ‘From My Death Cell’ (Orient Paperbacks, New Delhi, 1980), mantan pemimpin ini merinci persekongkolan yang menimbulkan kudeta (coup d'etat) di tahun 1977 itu, ketika ia ditahan oleh para jenderal yang menggulingkannya. Ia sadar sepenuhnya akan persekongkolan internasional ini, yang berupaya menggoyahkan Pakistan. Tanggal 28 April 1977, ia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk memberitahukan hal ini kepada National Assemblee (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Bhutto menggunakan ungkapan ‘anjing-anjing pemburu itu menginginkan darah saya’, di dalam pidatonya di Pariemen. Keesokan harinya, tanggal 29 April, ada pesan dari Menteri Luar Negeri AS, Cyrus Vance, yang menyarankan ‘quiet talks’, undangan untuk membicarakan masalah itu dengan tenang, dari hati-ke-hati. (hlm. 64). Bhutto menunjukkan undangan ini keesokan harinya kepada umum di Rawalpindi. Akibatnya, pejabat Kedutaan AS yang mengurusi hal ini mengatakan, bahwa akan sukar
| |
| |
mengadakan pembicaraan dari hati-ke-hati apabila pertemuan yang disarankan itu telah diberitakan kepada umum sebelumnya.
Meskipun demikian, Bhutto mengutus menteri luar negerinya ke Paris dengan membawa laporan setebal 50 halaman berisi tuduhan bahwa dinas mata-mata asing mencoba menggoyahkan Pakistan, dan menyuruhnya menyampaikan pesan ini dalam pembicaraan dari hati-ke-hati dengan Menteri Luar Negeri itu secara pribadi. Cyrus Vance mengusulkan agar mengabaikan laporan 50 halaman itu dan sebaliknya mengajak lawannya berbicara untuk memperbaharui hubungan di antara kedua negara ini. Pada saat yang sama, kamar tidur di hotel yang ditempati Menteri Luar Negeri Pakistan ini dirampok, tetapi dokumen 50 halaman itu tetap tersimpan aman di dalam lemari besi di Kedutaan Pakistan. Tidak ada barang apa pun yang hilang dari kamar hotel, meskipun ada ‘perampokan’ itu. Belakangan, dokumen yang memuat campur tangan CIA di Pakistan itu disampaikan pada Konperensi Menteri Luar Negeri Negara-Negara Islam di Tripoli.
Ali Bhutto menyampaikan pembelaannya sendiri. Ia menulis di dalam bukunya mengenai apa yang dikatakannya kepada para hakim yang mengadilinya, ‘sudah lebih dari setahun saya disekap di sel tempat terpidana mati, berukuran 7 × 10 kaki (± 2 × 3 m), dan bahkan di ruangan ini saya merasa agak pening. Saya tidak ingin mengatakannya di sini, perlakuan yang saya terima. Saya tidak ingin menunjukkan parut-pamt di tubuh saya atau hal lain seperti itu... Saya disebut sebagai tiran, sebagai diktator, sebagai Hitler... percayalah, saya telah diperlakukan sangat buruk... Selama sembilan puluh hari saya tidak melihat sinar matahari atau cahaya.’ (dari Bab 2).
| |
| |
Ia ingat, saat ia masih berkuasa, ia merundingkan kembalinya 90.000 tahanan perang dari India. ‘Namun, sekarang saya diperlakukan sebagai penjahat. Saya bukan penjahat, tetapi saya diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan sesama tertuduh. Saya dapat mendengar (di dalam sel saya), alunan suara musik. Saya mendengar gelak tawa (dari tahanan lainnya) di dalam sel bagi terpidana mati ini, dan saya tidak dapat keluar dari sini. Pada tanggal 15 Oktober, ketika dua orang tahanan melarikan diri, saya dikunci di dalam sel. Apa kaitan saya dengan pelarian mereka itu? Saya tidak dapat dan saya tidak akan melarikan diri dari negeri saya. Saya disarankan untuk pergi. Mustafa Khan memberitahu saya, ‘mereka menginginkan darah Anda’. Seorang wartawan asing yang tidak dapat saya sebutkan namanya, pada tanggal 13 September menarik saya ke tepi dan berkata: ‘Tuan Bhutto, saya tidak dapat memberitahu Anda mengenai apa yang akan terjadi pada Anda. Sebaiknya Anda tinggalkan negeri ini.’
Bhutto: ‘Saya tidak ingin dikasihani. Saya ingin keadilan. Pembelaan saya ini bukan karena saya ingin tetap hidup, tidak dalam pengertian fisik, karena setiap orang akan mati. Sangat banyak serangan yang telah saya alami. Saya diserang di Sangkar, saya luput secara ajaib di Sadiqabad. Kemudian di wilayah suku perbatasan, sebuah bom meledak sesaat sebelum saya seharusnya berpidato. Paling sedikit ada empat atau lima percobaan membunuh saya di Baluchistan, sekali oleh seorang Langah, yang melemparkan granat ke arah saya. Khan dari Kalat, salah seorang sahabat saya yang terdekat, memberitahu saya agar tidak pergi, karena saya akan dibunuh. Saya katakan kepadanya bahwa saya harus menunaikan tugas kemasyarakatan
| |
| |
saya, untuk rakyat, dan berpidato di depan umum. Bukan hidup seperti hidup lahiriah yang saya bela. Saya menginginkan keadilan.’
Mantan Presiden Pakistan ini melanjutkan, ‘Ini betul-betul sebuah dusta yang sengaja dibuat. Masalahnya bukanlah bahwa saya harus menyusun pembelaan untuk membuktikan saya tidak bersalah, tetapi pihak penuntutlah yang harus membuktikan perkara ini tanpa keragu-raguan. Saya ingin ketidakbersalahan saya diluruskan. Bukan bagi pribadi seorang Zulfikar Ali Bhutto, saya menginginkan hal ini ditegakkan dengan pertimbangan yang lebih tinggi, karena telah terjadi ketidakadilan yang luar biasa.’
Saya membaca ceritera mengejutkan ini, yang membawanya ke tiang gantungan pada tahun 1980, ketika saya berkunjung ke Bombay, India. Drama Bhutto berjalan sejajar dengan apa yang dialami sahabat saya Bung Karno, satu dasawarsa sebelumnya sebagai tahanan Jenderal Soeharto. Perkara itu mirip dengan yang dimainkan oleh perwira Angkatan Bersenjata Indonesia itu. Tetapi, Soekarno pada saat itu kelihatannya jauh lebih menyadari akan peranan dinas rahasia AS yang ingin menyingkirkannya, karena kedudukannya yang tidak memihak (non-aligned) di dalam permasalahan dunia. Washington, dan terutama Eisenhower dan Dulles takut akan pemimpin Asia ini, yang pada tahun 1955 membangun jaringan dunia di antara negara-negara Asia-Afrika, yang menganut kebijakan berpolitik bebas dan tidak memihak di antara AS dan US. John Foster Dulles berbicara dengan nada yang menghina mengenai negara-negara yang bersatu di Bandung. Ia berpendapat bahwa ‘kenetralan’ merupakan pengkhianatan di dalam Perang Dingin antara kebebasan dan komunisme.
| |
| |
Sejak semula Pakistan, bersama dengan Turki, telah menjadi anggota SEATO (South East Asia Treaty Organization), aliansi atau persekutuan militer AS yang merentang sampai ke Australia dan Selandia Baru untuk mengungkung Uni Soviet dan Cina agar tidak merambah lebih jauh. Ali Bhutto, yang mempelajari hukum dan mendapat gelar dengan sebutan suma cum laude di Amerika Serikat, dan kemudian melanjutkan pendidikannya di Oxford, namun pikirannya bersimpati ke Bandung. Oleh sebab itu, oleh Tim Rahasia di Washington ia dianggap pembelot yang mengkhianati pengajaran yang sudah diterimanya di universitas Barat. Ia adalah pemimpin Pakistan yang pertama yang terang-terangan menantang kebijakan AS, misalnya, ketika ia berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal ini tidak lazim dan tidak dapat diterima oleh Gedung Putih dan CIA, yang sudah biasa menghadapi pemimpin-pemimpin Pakistan yang seperti boneka untuk menjalankan kebijakan AS. Mereka berkesimpulan telah terlalu lama membiarkan Bhutto. Ia harus disingkirkan.
Pada saat Soekarno memberitahu putrinya Rachmawati di ranjang kematiannya, bahwa kup Lon Nol di Pnom Penh terhadap Sihanouk memiliki semua ciri dari kup CIA yang dilakukan Soeharto terhadap dirinya. Naskah Ali Bhutto yang ditulis di dalam selnya yang khusus untuk terpidana mati, sama sekali tidak menyebut CIA. Bung Karno memberitahu saya di tahun 1966, bahwa pria yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Pakistan, dalam pembicaraan mereka di Kairo bahkan lebih menyadari kemungkinan, bahwa Pat Price sebenarnya agen CIA. Oleh sebab itu, mungkin saja bahwa naskah yang ditulis Bhutto ketika ia menjadi tahanan para
| |
| |
jenderalnya sendiri, telah dibersihkan dari setiap rujukan kepada keterlibatan CIA dalam peristiwa yang mengirimnya ke tiang gantungan.
Putrinya Benazir Bhutto kembali berkuasa setelah memenangkan pemilihan umum, tetapi ia juga menjadi korban dari berbagai intrik luar biasa, juga sebagai akibat peristiwa yang terjadi di Afghanistan, tempat AS berhadapan dengan US dalam pertarungan di antara Angkatan Bersenjata Soviet dengan pasukan anti-Soviet, peperangan yang diatur oleh tindakan tersembunyi AS. Kharisma Bhutto, yang membawa putrinya ke kekuasaan beberapa tahun setelah ayahnya digantung, dengan cermat dipendam sebagai akibat suatu jaringan intrik-intrik seputar putrinya. Pada tahun 1999, perdana menteri terpilih lainnya, Nawaz Sharif, digulingkan atas dasar tuduhan ampuh oleh Jenderal Pervez Musharraf, yang mengembalikan kenangan akan rangkaian amat panjang kup dan kup-balasan sejak kemerdekaan Pakistan di tahun 1947. Mula-mula, para jenderal yang melakukan makar itu berniat akan menggantung Sharif seperti halnya Ali Bhutto. Tetapi, kata orang, dalam perjalanan pulangnya dari India, Presiden Bill Clinton singgah di Pakistan. Presiden Amerika ini menemui Jenderal Musharraf dan meyakinkannya agar melepaskan Sharif dan mengasingkannya di Timur Tengah, tempat Benazir Bhutto juga menantikan hari-hari yang lebih baik. Harian ‘the Economist’ (26 Mei 2001), memberitakan bahwa kedua mantan perdana menteri yang hidup di pengasingan ‘masih memiliki pengaruh atas kesetiaan sebagian terbesar pemilih di negerinya’. Tetapi Tim Rahasia tidak pernah mempedulikan demokrasi atau kebebasan memilih dalam pemilihan yang berdemokrasi, apabila menyangkut kepentingan
| |
| |
yang disebut Dinas Rahasia Amerika itu. Golongan oposisi politik di Pakistan bergabung dalam Persekutuan untuk Pemulihan Demokrasi (Alliance for the Restoration of Democracy). Tetapi, pada tanggal 20 Juni 2001, Jenderal Pervez Musharraf menyatakan dirinya sebagai Presiden Pakistan, dan tetap menjabat kepala angkatan bersenjata, dan ini jelas dengan persetujuan AS sebelumnya. Para pengamat India sudah membandingkan dia dengan ‘jenderal yang zalim dan pengikut setia Zia ul-Haq yang beragama Islam, yang memerintah Pakistan dari tahun 1977 hingga 1988.’ (‘Herald Tribune’, 21 Juni 2001).
Pada saat saya menulis ini, barangkali ada gunanya menarik garis sejajar peristiwa ini dengan yang terjadi di Indonesia. Putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri memperoleh 36 persen suara dalam pemilihan umum tahun 1999. Ia juga meraih kemenangan karena sisa-sisa kharisma Soekarno. Seperti halnya di Pakistan, percobaan untuk memulihkan demokrasi akan membawa campur tangan baru Tim Rahasia di Washington, yang kehilangan kesabarannya dengan kejatuhan dan kegagalan dari politik banyak-partai yang menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian ke wilayah lain yang dianggap ‘vital’ oleh dinas rahasia mereka. Cara Abdurachman Wahid ‘mencuri’ kemenangan politik Megawati meramalkan timbulnya masalah. Rasa kurang senang dan ketidaksepahaman terus mengalir di antara keduanya. Kita memang harus menunggu, tetapi rakyat Indonesia hendaknya menyadari bahwa besar kemungkinan Washington akan kehilangan kesabarannya dengan Mega seperti halnya dengan Benazir. Hal ini akhirnya akan mengembalikan militer ke kursi pemerintahan di Jakarta.
| |
| |
‘Newsweek’ tanggal 18 Juni 2001 telah melepaskan balon percobaan, dengan menyebut Jenderal Sutarto (54) ‘orang yang bertubuh gempal, pemimpin dari kalangan militer yang dilatih di AS dan tidak dapat diremehkan’, sebagai calon pengganti Soeharto. Seperti halnya Musharraf yang menjadi Zia ul-Haq baru di Pakistan.
|
|