| |
| |
| |
11
Penjahat Perang Nomor Satu
Setelah LBJ bersedia mengikuti keinginan Dinas Rahasia AS dan sepakat untuk berperang habis-habisan di Vietnam, maka - di mata Tim Rahasia - menjadi hal yang amat penting bagi Washington, apabila pasukan Amerika yang berperang di rawa-rawa di Delta Mekong, aman dari Angkatan Bersenjata Indonesia yang perkasa di belakangnya yang dipimpin oleh Soekarno, yang seperti Sihanouk, sangat tidak menyetujui kehadiran militer AS di Asia Tenggara. Raison d'etre (alasan atau penghalalan adanya sesuatu) dalam pikiran bangsa Amerika untuk melaksanakan kup anti-Soekarno, terlihat jelas.
Richard Nixon mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 1968, bersaing dengan Lyndon Johnson. Saya bepergian ke New Hampshire dengan pesawatnya Nixon ketika ia berkampanye atas dasar hendak mengakhiri perang Vietnam dengan cepat. Tentu saja, ia juga berbohong, tetapi rakyat Amerika percaya kepadanya dan memilih ia untuk masuk ke Gedung Putih. Di bandara di Keene, sambil menunggu mobil yang menjemput kami, pada tanggal 6 Maret 1968 itu saya membahas masalah Asia Tenggara dengannya. Ketika kami membicarakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di antara tahun 1945 dan 1949, Richard Nixon dengan datar berkata,
| |
| |
‘Seharusnya kami mengirim armada laut AS untuk membantu Belanda mengalahkan Soekarno.’ (lihat, ‘Den Vaderland Getrouwe’, Bruna, Utrecht, 1973, hlm. 356-357). Saya menangkap sesuatu yang aneh mengenai sifatnya yang asli dan meneruskan pandangannya yang menggelikan itu ke ‘Majalah Life’, yang segera memuat hal ini sebagai tajuk berita, mengecamnya untuk ucapannya yang tidak santun itu, dan memperingatkan calon presiden ini agar lebih berhati-hati apabila ia sampai masuk ke Gedung Putih.
Yang menjadi tangan kanan Nixon ialah Henry Kissinger, mantan pembantu urusan luar negerinya Nelson Rockefeller. Perlu waktu lebih dari tiga puluh tahun sebelum ‘Harpers’, majalah terkemuka di AS, memuat laporan dua-bagian sepanjang 145 halaman dalam nomor terbitan Januari dan Februari 2001 mengenai pria ini, penerima Hadiah Nobel untuk upayanya merundingkan perdamaian di Vietnam, mengungkap bahwa Henry adalah penjahat perang nomor satu. Laporan itu ditulis sebagai hasil penyelidikan Christopher Hitchens, wartawan di Washington. Saya membaca ceritera ini di Coral Gables, Florida. Terus terang, meskipun saya telah hidup sebagai wartawan selama hampir setengah abad, saat itu saya masih merasa sangat terkejut, karena baru menyadari peranan Kissinger yang sebenarnya setelah membaca hasil penyelidikan terakhir ini.
Tentu saja, selama bertahun-tahun ini saya membaca buku kenang-kenangan setebal 1.500 halaman yang ditulis Kissinger, ‘White House Years’, saya juga membaca kajian Marvin dan Bernard Kalb mengenai kebijakannya. Psiko-sejarahwan Bruce Mazlish dari MIT menerbitkan kajiannya (‘In Search of Nixon’,
| |
| |
Basic Books, New York, 1974) mengenai ‘pikiran’ pria ini. Mazlish dan ahli psikiatri David Abrahamsen menerbitkan kajian psiko-sejarah seperti itu juga, mengenai pikiran Richard Nixon. Tidak satu pun di antara buku-buku tersebut yang menelanjangi Kissinger seperti yang ditulis Hitchens, yang akhirnya berani menggambarkan pria ini seperti yang sebenarnya, seorang penjahat perang dari jenis yang paling buruk. Keterbukaan yang baru ini sebagian disebabkan oleh dikeluarkannya beberapa dokumen otentik oleh Pemerintah AS, dan sebagian lagi oleh pemikiran yang lebih mendalam mengenai berbagai peristiwa masa lalu oleh generasi baru Amerika, di antaranya, para wartawan. Jatuhnya Soeharto di tahun 1998 merupakan peristiwa yang sangat baru, sehingga rezimnya yang kejam itu dapat diamati secara murni dan tidak menyimpang. Kebenaran mengenai yang terjadi di antara tahun 1965 hingga 1998 pasti akan terungkap dalam dasawarsa mendatang.
Hitchens menggambarkan cara Henry masuk ke lingkungan kekuasaan di Washington pada tahun 1968 sebagai ‘dari seorang sarjana yang biasa-biasa saja dan oportunis menjadi tokoh yang berkuasa di dunia internasional... ke kehidupan yang menjilat dan bermuka dua.’ Hitchens merinci dalam laporannya tahun 2001 itu mengenai keterlibatan Kissinger yang besar dalam penyerangan dan pemboman Kamboja dan Laos yang netral. Sihanouk sudah menulis tentang kejahatan ini di tahun 1973. ‘Karena terobsesi oleh kebandelan orang Vietnam, Kissinger pernah mencoba menggunakan senjata termonuklir untuk menghancurkan jalur kereta api yang menghubungkan Vietnam Utara ke Cina, dan di saat lain, mempertimbangkan pemboman tanggul-tanggul yang berfungsi
| |
| |
menahan sistem irigasi di Vietnam Utara sehingga tidak membanjiri daerah itu. Ia membatalkan rencana tersebut, sehingga tidak ada kesalahannya dalam hal ini. Tetapi, seperti ditulis oleh Shawcross dalam ‘Sideshow’ di tahun 1979, yang didasari bukti dokumen, ‘tidak lama setelah Nixon dan Kissinger berkuasa di tahun 1969, mereka menyiapkan program pemboman atas Vietnam dan dijalankan secara rahasia. Serangan udara dilakukan dengan pesawat pembom B-52. Hanya dalam kurun di antara Maret 1969 dan Mei 1970 saja, tidak kurang dari 3.630 pesawat dengan misi seperti itu telah diterbangkan secara rahasia di atas daerah perbatasan Kamboja, ini menurut catatan Washington sendiri. Akibatnya, diperkirakan ada 350.000 korban jiwa di Laos dan 600.000 di Kamboja. Sihanouk menentang pembantaian itu, seperti halnya dengan Soekarno. Oleh sebab itu, Tim Rahasia dengan seenaknya menyingkirkan kedua pemimpin Asia yang terkemuka ini, yang menjadi anggota negara non-blok Asia-Afrika, dengan berbagai cara jahat yang dilakukan berdasarkan Kebijakan Luar Negeri AS sejak tahun 1945.
Jenderal Alexander Haig, yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam pemerintahan George Bush I dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal NATO, bersama wakilnya Kolonel Ray Sitton, menggelar pemboman rahasia di Kamboja ini. Kissinger mengawasi sendiri gerakan ini, dan kaki-tangannya mengolok-oloknya dengan mengatakan, ‘Si Henry sedang bermain seperti Bismarck lagi’. Beberapa pembantu sipil Kissinger, seperti Anthony Lake dan Roger Morris, bahkan mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai protes atas apa yang mereka anggap pembunuhan masal AS terhadap rakyat
| |
| |
Asia, sekarang bahkan di luar Vietnam juga. Menurut dokumen AS, kadang-kadang Kissinger bertanya, apakah pilot-pilot tersebut benar-benar tahu daerah yang mereka jatuhi bom. Tanpa mempedulikan nasib rakyat di daerah Asia tersebut, Kissinger hanya berkepentingan memberitahu para pilot itu di daerah tempat orang-orang CIA sedang beroperasi.
Ketika berbagai artikel yang lebih banyak mengungkap fakta dan kebenaran mengenai kejahatan perang di Laos dan Kamboja mulai muncul di ‘The New York Times’. Kissinger marah. Ia menelpon J. Edgar Hoover dari FBI. Ia menganggap kebocoran itu sangat merusak. Hoover menulis memorandum, yang baru-baru ini muncul ke permukaan, bahwa betapapun juga, Henry ingin tahu siapa yang telah memungkinkan terungkapnya kejahatan AS ini. Ia membentuk regu penyelidik yang sekarang menjadi dongeng itu, terhadap kelompok wartawan di Washington yang dapat dicurigai telah secara gegabah menyingkap rencana-rencananya yang amat rahasia itu.
Subkomite Senat AS untuk pengungsi memperkirakan, bahwa di antara tahun 1968 dan 1972, lebih dari tiga juta penduduk sipil Asia telah terbunuh oleh perang yang mungkin dapat dihentikan oleh JFK, dan yang dijalankan sepenuh tenaga oleh LBJ dan Nixon. Dalam kurun yang sama, Washington menjatuhkan 4.500.000 ton bahan peledak di atas daerah yang dulu disebut Indo-Cina. Pentagon memperkirakan bahwa peledak yang digunakan dalam Perang Dunia II berjumlah 2.044.000 ton. Nixon dan Kissinger memulai program CIA untuk melawan gerilya di Vietnam Selatan yang disebut ‘Program Phoenix’. Selama dua setengah tahun yang pertama usaha mereka untuk mengalahkan Ho Chi Minh, menurut
| |
| |
Washington, gerakan ini telah menghilangkan nyawa 35.708 penduduk sipil Vietnam, belum terhitung korban lainnya.
Hitchens membuktikan dengan laporannya yang sepenuhnya berdasar dokumen, bahwa Presiden Eisenhower, Kennedy, Johnson, dan Nixon, menurut standar tahun 2001, dapat dituntut oleh Pengadilan Kejahatan Perang Internasional (The International War Crimes Tribunal) di Den Haag.
Dalam Bab 8 Hitchens khusus membahas penyerbuan ke Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975 oleh Soeharto. Pada hari itu, Presiden Gerald Ford dan Henry Kissinger meninggalkan Jakarta setelah mengadakan kunjungan resmi. Para pengamat menduga bahwa bangsa Amerika itu telah memberikan lampu hijau untuk meneruskan gerakan menguasai sisa daerah jajahan Portugis di Kepulauan Indonesia ini. Seperti hal-hal lain yang telah dilakukan Soeharto, peristiwa pendudukan Timor Timur sangatlah kejam dan mengerikan, dengan penyembelihan, pemerkosaan, dan pembunuhan masal. Beberapa wartawan Australia ditembak mati, karena mereka menyaksikan kekejian pasukan Soeharto. Rakyat Indonesia cukup sadar akan apa yang terjadi di sana sejak itu. Apa yang barangkali kurang diketahui ialah peran yang juga dimainkan Henry Kissinger di sana, permainannya yang sudah dikenal curang.
Dua puluh tahun kemudian, pada tanggal 11 Agustus 1995, Henry menyajikan bukunya yang baru ‘Diplomacy’ di Hotel Park Central di Manhattan. Ceritera tentang Timor tidak dimuat di dalam sajiannya itu. Oleh sebab itu, ia terkejut, saat mendengar pertanyaan pertama yang diajukan hadirin, yang datang dari Constancio Pinto, mantan anggota gerakan perlawanan Timor, yang ditangkap, disiksa, dan berhasil
| |
| |
melarikan diri ke AS. Christopher Hitchens menulis tentang pertanyaan Pinto mengenai sekitar 200.000 warga Timor Timur yang dibunuh Soeharto dan bertanya kepada Kissinger, apa yang dilakukan pria itu di sana. Jelas ia berimprovisasi, mengarang ceriteranya sendiri bahwa Timor tidak pernah muncul dalam pembicaraan di antara Soeharto dan Ford. Baru di bandara sajalah, ketika ia dan Ford bersiap hendak terbang ke Hawaii, mereka diberitahu, ini dikatakannya dua dasawarsa kemudian, bahwa Soeharto akan menduduki Timor Timur. Ceriteranya itu amat tidak benar, dan, barangkali rekan-rekan di Indonesia dapat mengangkat masalah ini untuk dibincangkan, misalnya dengan mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas.
Pertanyaan berikutnya diajukan oleh Allan Nairn, wartawan AS yang menyatakan bahwa ia luput dari pembantaian pasukan Soeharto pada tanggal 12 November 1991, membenarkan bahwa ketika ia mewawancarai Presiden Ford, presiden ini mengakui bahwa masalah Timor Timor muncul dalam pembicaraan di Jakarta dengan Soeharto. Nairn juga menunjukkan catatan resmi dari Departemen Luar Negeri AS mengenai pembicaraan di antara Ford dan Soeharto, dan sekali lagi terbukti bahwa serangan terhadap Timor Timur memang dibahas, meskipun Henry menyangkalnya.
Nairn mengatakannya secara blak-blakan kepada Kissinger. Ia ingin memastikan saat itu juga, apakah Ford dan Kissinger menyetujui penyerangan terhadap Timor Timur itu. Setelah bertukar bicara mengenai beberapa hal yang menimbulkan sengketa, akhirnya Kissinger ambruk dan berkata, ‘Bila Soeharto mengangkat masalah ini, dan bila Ford mengatakan sesuatu yang bersifat mendorongnya, hal itu
| |
| |
bukanlah masalah kebijakan luar negeri yang penting.’ Hitchens menggambarkan pikiran Kissinger yang mencla-mencle (mudah berubah) itu dengan sempurna, dan caranya meloloskan diri dengan cerdik mengenai kebohongannya yang mencolok, seperti diungkap oleh dokumen yang dikeluarkan Pemerintah AS Ford sendiri tentu saja seorang penipu yang profesional. Pada tahun 1963-1964 ia turut mengambil bagian dalam Komisi Warren yang terkenal tidak baik itu, yang terpaksa harus membuat ceritera tentang siapa yang membunuh JFK. Keputusan yang disepakati ialah menyatakan Lee Harvey Oswald sebagai orang yang bersalah. Belakangan, film Zapruder mengenai pembunuhan itu menunjukkan bahwa peluru telah ditembakkan dari dua sisi Presiden Amerika tersebut, tetapi Ford tetap pada ceriteranya bahkan sampai hari ini, bahwa Oswald sendirilah yang telah menembak John F. Kennedy.
Hitchens lebih lanjut menulis bahwa serangan ke Timor Timur diawali pada saat Ford dan Kissinger meninggalkan Jakarta. C. Philip Liechty, pejabat pelaksana kegiatan CIA di Indonesia menyatakan di atas rekaman, bahwa Soeharto telah mendapat lampu hijau. Masalah itu dibahas di Amerika Serikat, dan tanpa dukungan berat militer AS ke Indonesia, serangan tersebut tak mungkin dapat terjadi. Pengarang ini juga melampirkan dalam laporannya, salinan memorandum rahasia mengenai pembicaraan bertanggal 18 Desember 1975, di antara Departemen Luar Negeri AS dengan Kissinger dan dihadiri tujuh orang pejabat tinggi yang membantunya. Yang muncul adalah, Kissinger sangat marah bahwa pernyataannya yang tidak sesuai dengan kebenaran, telah bocor. ‘Anda semua tahu pandangan mengenai hal ini,’ demikian teriaknya. ‘Masalah ini akan
| |
| |
berdampak menghancurkan bagi Indonesia. Di sini ada sesuatu yang sangat masochist, senang karena menderita. Tidak seorang pun menyatakan keberatannya atas pernyataan bahwa hal itu adalah serangan (oleh bangsa Indonesia).’ Seseorang mengatakan bahwa dalam hal ini, Soeharto telah melanggar kesepakatan dengan Washington. Kissinger: ‘Ketika bangsa Israel masuk ke Libanon, kapan kita pernah memprotesnya?’ Pejabat itu tetap berpendapat bahwa hal itu adalah masalah lain dan merupakan pembelaan diri bagi Israel. Kissinger: ‘Dan tidak dapatkah kita menafsirkan suatu pemerintahan komunis di tengah-tengah rakyat Indonesia sebagai pembelaan diri?’ (‘The Trial of Henry Kissinger’, Christopher Hitchens, Verso Publishers, New York, 2001, h. 102).
Hitchens selanjutnya menemukan bahwa pejabat pelaksana kegiatan CIA di Jakarta, C. Philip Liechty, juga membenarkan saat itu, bahwa Soeharto telah mendapat lampu hijau dari Ford dan Kissinger untuk menyerang Timor Timur, daerah jajahan Portugis. Hal ini nyaris mengingatkan kita akan peran jahat Dubes AS di Baghdad, yang mengatakan kepada Saddam Hussein bahwa Washington akan memalingkan mukanya ke arah lain apabila Irak menyerang Kuwait. Liechty menekankan bahwa tanpa dukungan pasukan bersenjata militer AS, serangan ke Dili tidak mungkin dapat terlaksana, oleh sebab itu, masalah ini pun telah dibahas secara mendalam di Washington. Wartawan Hitchens juga merujuk ke wawancara kolumnis Jack Anderson dengan mantan Presiden Ford, yang juga menekankan bahwa kepentingan nasional Amerika Serikat harus berada di pihak Indonesia, yang pada tahun 1975 itu berarti, berpihak kepada junta militer yang keji, yang
| |
| |
dipertahankan keberadaannya dengan aliran bermiliar-miliar dolar yang disediakan bagian dunia yang kaya ini.
Bab 10 buku Hitchens membahas ‘Kissinger Associates’, perusahaan konsultan yang didirikan mantan menteri luar negeri ini. Pada masa yang lalu, Kissinger menjalankan usaha yang menguntungkan, bahkan enam bulan setelah peristiwa Lapangan Tienanmen, ketika pejabat Washington menyarankan semua negara Barat agar tidak berhubungan dengan Cina. Kissinger berbisnis dengan Slobodan Milosevic, Saddam Hussein, dan tentu saja, ia masih mewakili puluhan perusahaan multi nasional, di antaranya perusahaan McMoran di Freeport, dengan usaha tambangnya yang besar di Irian Jaya. Di bulan Maret 1991, Henry menandatangani kontrak dengan Jakarta untuk lisensi selama 30 tahun usaha penggalian tambang emas dan tembaga yang amat besar di sana. Sementara itu, perusahaan AS ini menimbulkan bencana lingkungan hidup dan sosial di bekas daerah jajahan Belanda New Guinea ini. Akhirnya dikumpulkan uang sejumlah 100 juta dolar untuk mulai membersihkan kekacauan yang ditinggalkan usaha Kissinger ini. Belum lagi tentang ‘crony capitalism’-nya Soeharto, kapitalisme perkoncoan Soeharto, keluarganya, dan teman-temannya yang dilakukan atas kerja sama dengan Henry di Irian Jaya nun jauh di sana. Tak heran apabila muncul gerakan kemerdekaan di sana.
Hal yang menyentuh hati saya terutama adalah kenaifan yang ditunjukkan Presiden Abdurachman Wahid ketika ia menerima Kissinger di Istana Merdeka untuk mendengarkan konsultan dari Washington untuk Freeport ini, yang datang dengan daftar sederet keinginan AS untuk melindungi
| |
| |
kepentingan dagangnya di Irian. Begitu terkesannya Gus Dur dengan Henry, sehingga ia mengatakan kepada pers sesudahnya, bahwa ia mengundang tamunya itu untuk menjadi penasihat khusus bagi Presiden Republik Indonesia...
|
|