Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 95]
| |
10
| |
[pagina 96]
| |
kejam dari Barat, yaitu Amerika Serikat, untuk menyusup, merongrong, merusak akhlak, menjajah, dan menguasai bangsa yang bebas, netral, dan cinta damai ini.’ Baris-baris kalimat tersebut seharusnya sudah ditulis untuk buku tentang kup yang dilakukan Soeharto, tetapi, tentu saja kata-kata itu di sini ditujukan bagi Lon Nol dan para pendukungnya di CIA. Dalam kaitan ini, barangkali saya perlu menulis tentang Rachmawati yang memberitahu para wartawan, bahwa menjelang kematiannya, ayahnya telah menyamakan Lon Nol dengan Soeharto, yang menunjukkan betapa arifnya Bung Karno akan kenyataan yang terjadi di Indonesia sampai saat terakhir kehidupannya.
Pada tanggal 30 April 1970, Richard Nixon dan penasihat terdekatnya, Henry Kissinger, memutuskan akan menarik Laos dan Kamboja ke dalam kancah peperangan yang sedang berlangsung di Vietnam. Alasan resminya adalah, untuk menghentikan Hanoi menggunakan kedua wilayah itu untuk melanjutkan perang komunis melawan rezim bonekadi Saigon. Sihanouk menghalangi jalan bagi campur tangan militer yang sepihak dan tidak sah oleh Washington di Kerajaan Laos dan Kamboja. Kebijakan Luar Negeri AS telah membuat keputusan sejak tahun-tahun pertama berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, bahwa prinsip-prinsip peraturan internasional yang tertera di dalam Piagam PBB berlaku untuk semua orang kecuali Washington, apalagi CIA. Kepala Negara Kamboja ini menentang tindakan AS di Asia Tenggara, sama seperti yang dilakukan Bung Karno sebelumnya. Oleh sebab itu, Amerika Serikat menggulingkan pangeran yang bandel ini, seperti yang mereka lakukan pada tahun 1965 terhadap sahabatnya, Bung Karno. | |
[pagina 97]
| |
Pangeran Sihanouk menulis tentang peperangan di antara bangsa-bangsa di Asia Tenggara dengan mesin militer Amerika: ‘Yang terjadi lebih buruk dari yang dilakukan Hitler... Apa bedanya membakar dan membunuh orang dengan gas di dalam oven, dengan melakukannya terhadap semua bangsa-bangsa secara terbuka, seperti yang dilakukan Amerika Serikat di bawah Presiden Nixon saat ini. Setiap orang tahu akan kejadian yang mengerikan di Auschwitz dan di kamp-kamp pembantaian lainnya. Tetapi Nixon sedang mulai dan meneruskan perang untuk membasmi semua penduduk Indo-Cina... Di Kamboja, hal itu terjadi di depan mata kami sendiri, sebagai bagian kebijakan AS yang direncanakan... untuk menghancurkan generasi sekarang dan masa depan Kamboja dengan merusak lingkungan hidup kami. Sekali suatu bangsa mati, manusia pun mati.’ Tim Rahasia ini dengan pasukan terornya, yaitu CIA, mulai membasmi satu generasi bangsa di Kamboja pada tahun 1970, sama seperti yang mereka lakukan lima tahun sebelumnya dengan bantuan Soeharto di Indonesia.
Pemimpin Kamboja ini berbicara tentang ‘serangan AS yang biadab’ di negerinya. Ia menulis bahwa ia sering memikirkan bahaya mengancam yang datang dari Washington. ‘Satu-satunya hal yang tidak saya waspadai,’ demikian ditulis pangeran ini, ‘adalah bahwa Amerika Serikat akan terlibat langsung dalam upaya menghancurkan negara kami... Kami dihukum, dihina, dan disiapkan untuk dipenggal karena kami mempertahankan kehormatan kami. Kami menolak menjadi boneka Amerika, atau bergabung dalam peperangan melawan kaum komunis. Kami menolak hadiah bermiliar dolar untuk peran seperti itu. Itulah kesalahan kami di mata pemerintah AS berturut-berturut.’ | |
[pagina 98]
| |
Bila Bung Karno tidak dipenjara oleh Soeharto dan begundalnya, ia pasti menulis bacaan yang sama, ‘Perang Saya Menentang CIA’. Pangeran Sihanouk menyajikan penjelasan rinci, cara AS merekayasa pengkhianatan Lon Nol dalam bab ‘Organized Treachery’. Ia tahu mengenai arahan CIA untuk kup di Pnom Penh yang terbit sebulan sebelum peristiwa itu terjadi. ‘Saya pasti terbunuh apabila saya kebetulan ada di negara saya,’ demikian pangeran ini menulis sebagai kilas balik. ‘Untuk menutupi kekalahan perang Amerika di Vietnam Selatan, panglima Amerika, terutama William Westmoreland dan Creighton Abrams berpendapat bahwa satu-satunya hal yang dapat mencegah kemenangan mutlak pasukan Vietkong ialah dengan menghancurkan tempat perlindungan di Kamboja yang selama ini dipakai pasukan tersebut.’
Ia menjelaskan mengapa ia menolak menyerah kepada keinginan Washington untuk membiarkan pasukan perang AS masuk untuk memerangi pasukan Vietnam Utara. ‘Hal itu akan berarti penyerahan kenetralan kami. Kedua, bersama dengan sebagian besar rakyat Kamboja, saya bersimpati dengan perlawanan bangsa Vietnam menentang agresi AS.’ Soekarno sangat boleh jadi akan menulis kalimat seperti itu juga. Ia, seperti halnya Sihanouk, tidak saja bersimpati dengan perjuangan rakyat Vietnam melawan kekuasaan militer terbesar di dunia ini, ia juga sangat yakin bahwa Washington akan kalah dalam peperangan ini. Lebih dari satu kali dalam pertemuan kami ia memberitahu saya akan hal itu, seperti yang saya gambarkan dengan rinci dalam ‘Den Vaderland Getrouwe’ (Bruna, Utrecht, 1973). Catatan harian saya mengenai pembicaraan saya dengan Bung Karno akan saya tulis lebih banyak dalam Jilid X buku ‘Memoirs’ saya yang akan terbit tidak lama lagi. | |
[pagina 99]
| |
Pangeran Sihanouk juga menulis alinea tentang hal yang tak menyenangkan lainnya, yang mengingatkan saya akan pembicaraan saya dengan Soekarno di tahun 1966. ‘Memang saya tidak ingin Kamboja menjadi komunis. Di bawah pengaruh Lon Nol - seperti yang baru saya sadari setelah terlambat - ia ingin agar saya memusatkan perhatian saya pada musuh di sebelah kiri untuk menutupi persekongkolannya dengan pihak ekstrem kanan.’ Sihanouk mempertimbangkan akan terbang langsung dari Moskow ke Pnom Penh segera setelah kup Lon Nol-CIA itu. ‘Tetapi pemerintahan Lon Nol sangat ketat dan kejam,’ lanjut pangeran ini. Ia mengancam akan menyita pesawat yang man membawa kepala negara yang sah ini kembali ke Kamboja dan menahan orang asing yang menjadi awak pesawat tersebut. Ketakutan yang paling besar bagi para kolabolator itu adalah, apabila Sihanouk kembali, Angkatan Bersenjata akan segera mendukungnya, dan bukan Lon Nol. Pangeran Sihanouk menyebutLon Nol ‘pemimpin khianat’ dan menulis bahwa ‘CIA-lah yang merekayasa peristiwa ini.’ (hlm. 56).
Sama seperti halnya Soekarno di Indonesia, Sihanouk teringat akan peran yang mencurigakan John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri dalam Pemerintahan Eisenhower. Pada tahun 1953 ia pernah bertemu dan berbicara selama satu jam dengannya di Washington. Dulles adalah penjahat yang sama, yang mcrasa Amerika Serikat berhak menggulingkan Bung Karno di tahun 1958 dengan cara makar setelah penyakit mental melanda di AS, mengenai bahaya komunis di mana-mana. Baik Bung Karno maupun Sihanouk tidak berkeinginan membiarkan kaum kiri di Indonesia atau di Kamboja berkuasa di negara mereka masing-masing. Tetapi, Dulles berteriak kepada Sihanouk ‘Basmilah kaum komunis di | |
[pagina 100]
| |
daerah Anda!’ Menurut pangeran ini, Dulles terobsesi dengan idee fixeGa naar voetnoot1. untuk menghancurkan kaum komunis Vietnam, dan Kamboja diharuskan membantu Dulles dalam perang menentang komunis yang dikobarkannya ke seluruh dunia. Untuk mengelakkan persengketaan saat itu, Sihanouk menulis tentang apa yang diingatnya; ‘Saya ingin memberitahu ia agar jangan terlalu mengkhawatirkan masalah-masalah kami.’ (hlm. 154).
Bab XVI buku Sihanouk berjudul, ‘Saya menuduh’. Ia menulis sebagai berikut: ‘Dengan bantuan pakar perang psikologi dari Indonesia yang merekayasa penyebarluasan ceritera fitnah tentang Presiden Soekarno almarhum, Lon Nol dan Sirik Matak menyusun propaganda menentang kerajaan.’ (hlm. 216). Misalnya, para penghkianat itu memberitahu dunia bahwa ibunda Sihanouk, Ratu Sisowath Kossomak-lah yang mendukung kup tersebut. Sebenarnya, Ratu mengatakan kepada Lon Nol, ‘Saya tidak mau berurusan dengan Anda!’ Di Kamboja, berbagai slogan muncul di mana-mana, semuanya menuduh bahwa kerajaan selalu menipu rakyat. Di Jakarta, Soeharto dan komplotannya menggunakan siasat yang sama, yang dipinjam dari agen CIA yang menghubungi mereka. Untuk memicu dan mengobarkan perasaan anti-Soekarno setelah peristiwa Gestapu-Gestok di tahun 1965, sejumlah ‘Front’ atau ‘Kesatuan Aksi’ tumbuh menjamur dan mengemuka, seperti KABI, Kesatuan Aksi Buruh Indonesia, KAGI, Kesatuan Aksi Guru Indonesia, KAMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, KAPPI, Kesatuan Aksi Pelajar dan Pemuda Indonesia, KASI, Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia, dan KAWI, Kesatuan Aksi Wanita | |
[pagina 101]
| |
Indonesia. Soeharto merangkum semuanya itu dengan rapi di bukunya yang terkenal (busuk), ‘The Smiling General’.
Di tahun 1966, saya juga berbicara panjang lebar dengan Mohammad Hatta di mang kerjanya di tempat kediamannya. Bung Hatta adalah sekutu Bung Karno yang pertama, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Ia juga sangat muak dengan tingkah laku berbagai Kesatuan Aksi tersebut, yang terutama didirikan untuk memfitnah Soekarno dan menggambarkan mantan presiden ini, dua puluh tahun kemudian, sebagai pengkhianat. ‘Apa yang agaknya hilang dari bangsa kami,’ demikian katanya sambil menghela napas, ‘ialah perasaan “malu” kami yang secara tradisi, yang mengajari kami sejak zaman dahulu agar tidak bertingkah laku seperti ini dan selalu menghormati orang yang lebih tua.’ Saya juga mengunjungi sahabat lama saya, Mr. Sartono, pembicara utama di parlemen, dan telah pensiun di tahun 1966. Ia juga telah dikunjungi sekelompok mahasiswa KAMI yang bertingkah laku amat kasar dan kurang ajar di rumahnya di Jalan Diponegoro. Bung Karno sendiri tidak dapat meneruskan pembicaraannya di istana dengan sekelompok pemuda yang menjadi anggota kesatuan aksi yang menyebut diri mereka anti-komunis itu. Kiranya tidak mungkin lagi orang berbicara baik-baik dengan kelompok pemuda yang sudah digiring menjadi histeris itu.
Saya menemui mereka sendiri dan membuat film, antara lain tentang Cosmas Batubara, yang ternyata seorang pemuda bebal berotak kosong dan pemarah. Tentu saja, di bawah kepemimpinan Soeharto yang lemah, ia diberi hadiah karena tingkah lakunya yang anti-Bung Karno selama tahun 1965-1966 itu dan menjadi Menteri Tenaga Kerja dalam kabinet pembangunan Soeharto yang kelima, seperti yang disebut jenderal ini dengan bangga di dalam | |
[pagina 102]
| |
autobiografinya yang terbit tahun 1989. Pada saat itu, di tahun 1966, meskipun saya telah tinggal di New York sejak tahun 1958, dan mencermati berbagai kegiatan Tim Rahasia di dalam dan di luar AS sejak makar di Padang tahun 1958, saya juga masih meremehkan jarak jangkau kegiatan CIA yang mereka lakukan, misalnya, selama makar tahun 1965 di Jakarta.
Bung Karno berulang kali mengangkat masalah KAMI dalam percakapan dengan saya di tahun 1966. Semua orang tahu, bahwa para mahasiswa itu dinaikkan di atas truk Angkatan Bersenjata, yang membawa mereka bolak-balik ke beberapa titik tempat berunjuk rasa. Keterlibatan ABRI dengan semua kesatuan aksi itu bukan lagi rahasia bagi umum. Rumor yang muncul ialah bahwa Kedutaan Australia telah membantu mendanai beberapa organisasi yang daftarnya dibuatkan oleh Soeharto. Tak seorang pun di tahun 1966 - kecuali Presiden Soekarno - berbicara langsung dengan saya mengenai keterlibatan CIA di belakang berbagai peristiwa di Jakarta. Hal ini sama seperti yang dirasakan Pangeran Sihanouk dan disampaikannya di dalam bukunya yang terbit tahun 1973, membahas makar yang menggulingkan dirinya di Pnom Penh, lima tahun setelah kup-nya Soeharto terhadap Bung Karno. Pada umumnya, rakyat Indonesia tidak menyadari akan apa yang mampu dilakukan oleh CIA. Bahkan di tahun 2001, dari berbagai pembicaraan saya dengan orang-orang di Indonesia, saya dapati bahwa mereka sungguh tidak tahu akan praktek Mafia yang dilakukan ‘Perusahaan Pembunuhan’ di Washington itu di seluruh dunia.
Ratu Kossomak disingkirkan dari istana kerajaan, dan menurut putranya, hal itu adalah akibat kegilaan anti-monarki yang dipicu dan disemangati oleh para begundalnya Lon Nol. Ia | |
[pagina 103]
| |
mengundurkan diri ke sebuah rumah kecil yang sekelilingnya dijaga oleh polisi militernya Lon Nol. Ia menjadi buangan dan terkucil di negerinya sendiri, yang sepenuhnya dikendalikan oleh pengkhianat Lon Nol yang melakukan kup CIA, sama seperti Bung Karno, yang dipisahkan dari rakyat dan pengikutnya di rumah Ibu Dewi di Slipi. Dalam banyak hal, skenario CIA di Kamboja berjalan sejajar dengan kup di Jakarta tahun 1965. Tetapi, Sihanouk bebas dan selanjutnya tinggal di Peking. Dari tempat ini ia dapat mengumpulkan informasi dan menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di negerinya. Ia dapat menerbitkan buku yang menceritakan kembali peristiwa yang terjadi di Pnom Penh tahun 1970. Bung Karno telah dibungkam secara efektif untuk selama-lamanya. Para jenderal yang mengkhianatinya dan bersekongkol dengan Tim Rahasia di Washington, mempunyai kedudukan yang amat baik untuk mengotak-atik dan menguasai opini masyarakat di Indonesia untuk menentangnya selama lebih dari satu generasi pemuda.
Ketika saya datang untuk mengamati pemilihan umum yang pertama sejak jatuhnya Soeharto, sangatlah jelas bahwa propaganda anti-bapak bangsa ini, yang berlangsung selama 32 tahun oleh rezim militer fasis, sudah terlihat melemah. Putri sulungnya, Megawati Soekarnoputri meraih 36% suara dan partainya berhasil mendapat kursi yang paling banyak di parlemen yang baru dipilih. Akhirnya, setapak demi setapak Bung Karno dikembalikan ke tempatnya yang benar, tempat yang memang haknya di dalam sejarah Indonesia, yang sekarang masih diisi dusta dan fitnah yang ditempelkan para pengkhianatnya dengan sengaja terhadap dirinya.
Namun, penjahat yang sebenarnya di balik kup tahun 1965 itu harus dicari di Washington. Dari situlah kejatuhan Presiden Soekarno ini direkayasa. Merekalah yang menjadi antek dan mata- | |
[pagina 104]
| |
mata Tim Rahasia, yang paling bertanggung jawab atas bencana yang menimpa Indonesia di tahun 1965, yang menyebabkan ratusan ribu rakyat yang tidak berdosa dibantai habis oleh para jenderal yang gila kekuasaan. Ketika para diplomat dan politisi Amerika berpose sebagai pahlawan pembela hak asasi manusia di seluruh dunia, mereka rupanya telah lupa, bahwa pada saat berlangsungnya perang-salib Amerika melawan Marxisme dan Leninisme, Dinas Rahasia AS dan Angkatan Bersenjata AS adalah pembunuh yang paling kejam terhadap masa rakyat yang tidak berdaya di mana-mana. Seperti halnya dengan yang terjadi di Kamboja dan di Indonesia, mereka menutupi kejahatannya melalui para kolaborator setempat, sejenis Lon Nol dan Soeharto. |
|