| |
| |
| |
9
Keprihatinan Dewi
Pada tanggal 11 Maret 1966, Bung Karno menerbitkan surat perintah (Super Semar) kepada Panglima Angkatan Bersenjata, Soeharto, untuk mengembalikan ketertiban, menjaga stabilitas Pemerintah dan jalannya Revolusi dan menjamin keselamatan dirinya sendiri. Keesokan harinya, tanggal 12 Maret 1966, Soeharto menerbitkan Surat Perintah buatannya sendiri, ditandatangani atas nama Bung Karno, di satu sisi ia menyatakan kecintaannya yang besar bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk dirinya sendiri, karena Soekarno telah menegaskan kembali bangun dasar negara, seperti Pancasila, anti-kapitalisme, anti-imperialisme, dan menyatakan lagi bahwa Indonesia mengikuti paham sosialisme. Secara khusus Soeharto menekankan bahwa Revolusi tidak akan membelok ke kanan ‘seperti yang dikatakan mata-mata kecoak dan kutu busuk selama ini’. Angkatan Bersenjata Indonesia juga tidak akan membiarkan Revolusi diseret ke ekstrem kiri.
Oleh sebab itu, pada saat yang sama ia juga menerbitkan Surat Keputusan Nomor Satu, tanggal 12 Maret 1966. Dengan Surat Keputusan itu ia membubarkan PKI karena keterlibatan kelompok ini dalam Gerakan 30 September 1965 (Gestapu). Dengan keputusan ini, ia dengan sengaja menghancurkan karya
| |
| |
luhur Bung Karno yang didasarkan kepada usaha menyeimbangkan berbagai kekuatan dalam masyarakat Indonesia atas dasar konsep Pancasila. Surat Keputusan itu juga mengesahkan, (coba bayangkan, ia membuatnya atas nama Bung Karno!) pembunuhan besar-besaran para pejuang, pencinta Soekarno, dan kaum komunis, yang dilakukan atas perintah Soeharto. Mungkin kita tidak pernah tahu, berapa banyaknya orang tidak berdosa yang mati oleh tangan berdarahnya Soeharto, yang akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai banjir darah paling mengerikan.
Washington dan Tim Rahasia berpaling muka seperti yang selalu mereka lakukan bila pembunuhan masal terhadap orang-orang yang diduga beraliran kiri, karena keangkaramurkaan dan kegilaan mereka. Hak Asasi Manusia a la AS berarti, bagi semua orang di bumi ini, kecuali kaum beraliran kiri dan kaum pengikut Marx dan Lenin. Belakangan mereka menambah daftar ini dengan yang disebut ‘Rogue States’. U Thant, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa berkebangsaan Burma, yang pernah memberitahu saya bahwa tingkah laku Washington di dunia ini mengingatkannya akan kaum Kristen saat Perang Salib. Soeharto dan komplotannya sudah mata-gelap. Mereka merasa tugas mereka adalah melenyapkan kaum komunis dari bumi Indonesia untuk selama-lamanya.
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto menyempurnakan makarnya di tahun 1965 itu terhadap Soekarno, dengan menerbitkan surat perintah penahanan terhadap 14 menteri dan pejabat tinggi presiden, di antaranya terdapat dr. Soebandrio dan Chairul Saleh. Saya tidak berniat akan menganalisis langkah demi langkah tingkah laku licik dan bermuka dua dari orang
| |
| |
yang mengkhianati Bung Karno ini. Suatu hari nanti, generasi baru rakyat Indonesia akan mengenal Psiko-Sejarah dan akan menyusun kembali catatan yang benar mengenai masa kelam dalam sejarah Indonesia ini, ketika bangsa ini diserahkan ke tangan bajingan, penjahat, dan pembunuh, yang mengatur irama kebijakannya menurut tuntutan Washington dan perkumpulan negara-negara kaya di Barat. Sebenarnya, Soeharto-lah yang memungkinkan rezim militer fasisnya membiarkan imperialisme dan kolonialisme terus berkembang dengan sukacita, dengan memanfaatkan kekayaan dan tenaga murah Indonesia bagi keuntungan si kaya di atas penderitaan rakyatnya.
Tanggal 8 Maret 1967, MPRS bersidang untuk menentukan kedudukan Bung Karno. Tanggal 13 Maret 1967, Soeharto menuntaskan kup militernya yang berlarut-larut ini untuk merampas semua kekuasaan Bung Karno, yang pada saat itu jelas dibiarkan menjalani nasibnya sendiri. Di dalam kedua bukunya, ‘The Smiling General’ (1969) dan ‘Autobiografi Soeharto’ pengkhianat ini tanpa rasa malu menyajikan wawasannya yang memuakkan ke dalam otaknya yang tidak berbudaya, dan agak bodoh itu. Tulisannya menyajikan banyak bahan bagi psiko-sejarahwan. Sikap Bung Karno dalam menanggapi ketidakpatuhan Soeharto adalah sebagai orang yang terhormat. Ia menolak merendahkan dirinya setingkat dengan para jenderal yang menusuknya dari belakang. Ia bersikukuh menolak tawaran yang bersifat memeras, seperti yang ditawarkan Kolonel Sutikno pada Soekarno di hadapan saya. Ia menolak menjadi antek pembunuhan masal yang menghilangkan nyawa rakyat Indonesia yang sungguh tidak berdosa. Untuk alasan inilah, seperti yang telah saya ceriterakan
| |
| |
di depan tentang editorial di dalam surat kabar ‘Jakarta Post’ pada peringatan ulang tahun ke-100 Bung Karno tanggal 6 Juni 2001, bahwa tajuk itu ditulis oleh orang sinting yang tidak tahu apa-apa. Tiga puluh lima tahun kemudian, koran terkemuka di ibukota mencoba menjual sampah dan dusta yang sama bagi pembacanya, kebohongan yang telah dijejalkan rezim Soeharto ke otak masyarakat Indonesia di mana saja sejak tahun 1965. Bilakah, andai terjadi, rakyat Indonesia akan bangun dari mimpi mengerikan persekongkolan Soeharto-CIA?
Setelah tanggal 13 Maret 1967, berita tentang Bung Karno berangsur-angsur menghilang dari halaman surat khabar. Ia digusur keluar dari bungalonya dekat Istana Bogor dengan pemberitahuan hanya satu jam sebelumnya, dan kembali ke rumahnya di Batutulis. Iklim di tempat ini merusak kesehatannya. Ia menulis surat yang sopan kepada orang yang memenjarakannya, Soeharto, memohon agar ia diizinkan kembali ke Jakarta, yang udaranya lebih hangat. Dengan demikian ia sampai ke rumah Dewi, ‘Wisma Yaso’, disebut menurut nama saudara laki-laki Dewi yang bunuh diri di Jepang. Di tempat inilah ia menjalani tahun-tahun terakhirnya, yang boleh dikatakan benar-benar membuatnya terkucilkan. Pria ini, yang berjuang selama bertahun-tahun untuk memerdekakan rakyatnya - dan dipenjara selama selusin tahun oleh penjajah Belanda - menjadi tahanan bangsanya sendiri pada akhir hidupnya. Sejak itu saya sering bertanya-tanya, mengapa tidak ada pemberontakan menentang orang jahat seperti Soeharto? Mengapa tidak ada sejuta orang yang berbaris ke Slipi dan membebaskan pahlawan mereka? Satu alasan utama kemungkinan besar adalah karena sejak tahun 1965, terutama
| |
| |
setelah pembunuhan masal yang dilakukan tentara Soeharto secara membabi buta, seluruh rakyat Indonesia mengalami kejutan yang menakutkan. Rezim militer menuduh PIG dan kaum komunis membantai enam jenderal, seorang letnan, dan putri Jenderal Nasution. Presiden tidak membuat pernyataan di depan umum yang mengutuk PKI. Banyak rakyat Indonesia saat itu menganggap bahwa barangkali Bung Karno memang mendukung Gerakan 30 September itu, seperti yang dikatakan Soeharto. Komplotan yang merancang makar itu memerlukan dusta yang sengaja diciptakan ini di atas penderitaan Soekarno, untuk membenarkan pembunuhan yang tidak pandang bulu terhadap pengikut setia Soekarno dan kaum komunis. Makar tahun 1965 itu sesuai benar dengan pemikiran perang-salib anti-komunisnya Tim Rahasia dan CIA, ‘seperti tumbu bertemu tutup’.
Berka mengenai Soekarno makin mengkhawatirkan selama kurun tahun 1967 dan 1970, yaitu tahun kematiannya. Keluarganya semakin jarang diizinkan menengoknya. Barangkali hanya Ibu Hartini yang boleh dikatakan dapat menjenguknya secara teratur. Ia sering menyurati saya selama itu, menceriterakan penderitaan suaminya. Surat-surat itu saya simpan di dalam buku harian saya yang sekarang aman terkunci di Royal. Library di Den Haag. Dari waktu ke waktu saya mendengar ihwal tindakan keji yang dilakukan orang-orangnya Soeharto terhadap Bung Karno. Jenderal Alamsyah, misalnya, mula-mula merampok mobil-mobil yang masih tertinggal di Wisma Yaso. Kemudian ia kembali untuk merampas satu-satunya pesawat televisi Bung Karno, sehingga mantan presiden ini benar-benar terputus hubungannya dengan dunia luar. Saya pernah menanyai jenderal ini, setelah ia ditunjuk Soeharto
| |
| |
sebagai dubes untuk Belanda, mengenai tindakan kriminal atas nama Orde Baru itu terhadap orang yang telah memerdekakan negerinya. Setidak-tidaknya ia tampak malu ketika saya langsung menyerangnya dengan mengungkapkan perbuatan pengecut yang ia lakukan terhadap orang tua yang tidak berdaya ini.
Pada awal tahun 1970 saya merasa benar-benar khawatir mengenai keadaan sahabat saya ini di penjaranya di Slipi, sehingga saya memutuskan pergi menemui Dewi Soekarno, yang tinggal bersama putrinya yang berusia tiga tahun di Paris. Pada tanggal 24 Maret kami bertemu di apartemennya di Avenue Montaigne 12, untuk pertama kalinya. Ia tetap berhubungan dengan anak-anak Soekarno yang lain dan tahu dengan rinci akan berbagai tindakan penganiayaan yang luar biasa kejinya terhadap Bung Karno. Ibu Sugijo, misalnya, yang bekerja untuk Dewi di Wisma Yaso, diusir oleh pengikut Soeharto. Rumah itu penuh dipasangi mikropon oleh Gestaponya Soeharto. Apabila anak-anaknya datang berkunjung, mantan presiden itu mengacungkan telunjuknya menunjuk ke langit-langit rumah sebagai isyarat agar mereka berhati-hati dalam berbicara, karena ‘Abang Besar’ Soeharto sedang mendengarkan.
Rachmawati Soekarnoputri menulis artikel yang terbit di majaiah Belanda ‘Vrij Nederland’ tanggal 19 Juni 1971. Artikel itu menjelaskan bahwa ketika mantan presiden itu sedang disidik oleh orang-orangnya Soeharto, tidak seorang pun boleh mengunjunginya selama enam bulan. ‘Selama penyidikan tersebut, mereka memperlakukan ia seperti ia sendiri adalah orang komunis,’ demikian ditulis Rachmawati. Setelah Ibu Sugijo disuruh pergi, tulis Rachmawati, Wisma Yaso tidak pernah lagi
| |
| |
dibersihkan, kamar mandinya kotor dan rumah itu mulai diserbu tikus dan aneka jenis serangga yang tidak diinginkan. Bila ada lampu yang mati, mereka tidak pernah menggantinya dengan yang baru. Beberapa ruangan di rumah itu dijadikan gudang. Sementara kondisi Bung Karno makin melemah, ia melihat semua yang terjadi pada dirinya. Dokter yang merawatnya menyarankan agar ia berjalan-jalan ke luar rumah atau kebun. Tetapi Polisi Militer yang berjaga di sana melarangnya, meskipun hanya berjalan-jalan saja. Mantan presiden itu menulis surat lagi kepada Soeharto, memohon agar ia diizinkan berjalan-jalan di sekitar daerah tersebut. Ia tidak pernah beroleh jawaban. Rachmawati menyatakan di dalam artikelnya, bahwa apabila ia mengunjungi ayahnya, dan mereka bercakap-cakap berdua, mata-mata Soeharto selalu ikut hadir dan mendengarkan, meskipun sudah ada sistem mikropon yang canggih itu.
Informasi yang disampaikan Dewi pada tanggal 24 Maret 1970 mengenai kondisi Bung Karno meyakinkan saya bahwa kami harus membuat seruan yang langsung ditujukan kepada Soeharto agar segera memperbaiki kondisi lingkungan hidup mantan presiden ini untuk mencegah ia dituduh bertanggung jawab atas kematian Bung Karno sebelum waktunya. Kami duduk bersama selama beberapa hari, menyusun naskahnya. Saya tidak akan pernah menuntut hak cipta atas karya tulis yang langsung ke sasaran, memukul telak dan mengharukan ini, bagi diri saya. Wanita besi dari Jepang itulah yang menyusun dokumen bersejarah itu, yang saya lampirkan juga di dalam buku ‘Bung Karno Sahabatku’ (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001)
Dewi menulis bahwa Soeharto telah melakukan tindak pidana nasional dengan perbuatan makarnya di tahun 1965, apa
| |
| |
pun usahanya untuk membenarkan tindakannya membunuh ratusan ribu anggota masyarakat yang lemah dan tidak berdaya itu. Karena Bung Karno dan Dewi ada di Wisma Yaso pada malam saat Untung mengumpulkan enam perwira tinggi dan membunuh mereka, Dewi berada dalam posisi yang unik untuk bersaksi tentang keadaan mental Soekarno pada hari-hari yang menentukan dalam sejarah Indonesia itu. Saya mengenalnya sejak tahun 1970. Ia tidak pernah ragu dalam pembelaannya mengenai peran Soekarno dalam berbagai peristiwa di tahun 1965. Sehari sesudah malam yang mencekam itu, ia minta seorang prajurit mengantarnya naik jip menemui suaminya di Pangkalan Udara Halim, di tempat itu ia berbicara sebentar dengan Bung Karno sendirian. Kesaksiannya ini sangatlah penting. Presiden juga menulis serangkaian surat untuk Dewi pada hari-hari pertama bulan Oktober 1965. Dewi mengizinkan saya menyalin dua di antara surat-surat itu, yang bertanggal 2 dan 3 Oktober, untuk buku saya yang terbit tahun 1973, ‘Den Vaderland Getrouwe’ (Bruna, Utrecht, 1973).
Surat Bung Karno tanggal 3 Oktober 1965 untuk Dewi itu bahkan menyatakan bahwa ia tidak tahu di mana Jenderal Yani berada. Ia membenarkan telah menunjuk Jenderal Pranoto sebagai pejabat sementara untuk urusan sehari-hari Angkatan Bersenjata. ‘Komando Angkatan Bersenjata ada di tangan saya sendiri,’ demikian ia meyakinkan Dewi, dua hari setelah Soeharto memutuskan hendak terang-terangan menentang Bung Karno dengan menunjuk dirinya sendiri untuk menjabat di pos yang dikepalai Jenderal Yani yang hilang itu. Bukti pengkhianatan akbar ini ada dalam bentuk tulisan. Dan, sampai sekarang, di tahun 2001 ini Soeharto masih hidup seolah-olah tidak terjadi
| |
| |
apa-apa, masih di alamat yang sama, Jalan Cendana 8, tidak dihukum, dan hidup bebas. Bekerja sama dengan Washington dan Tim Rahasia selama 32 tahun agaknya memberikan kekebalan bagi para kolaborator Yankee ini dari ancaman hukuman mati.
Pada hari alang tahun Soekarno yang ke-69, tanggal 6 Juni 1970, di dunia persuratkabaran muncul gambar Bung Karno yang tampaknya tertidur di kereta dengan putrinya Rachmawati di sisinya. Dewi segera bereaksi. Ia memberitahu Dubes Indonesia di Paris bahwa ia akan segera terbang ke Jakarta untuk menemui suaminya. Tanggal 16 Juni 1970, tanpa diduga sebelumnya Bung Karno diangkut secara agak kasar ke rumah sakit militer, di luar kemauannya. Berita ini membuat Dewi memutuskan akan berangkat saat itu juga. Ia menelpon saya pada malam tanggal 19 Juni di Amsterdam untuk menemaninya segera dengan pesawat Japan Airlines menuju Bangkok. Malam itu juga saya mengendarai mobil saya ke Paris. Kami - Dewi, Karina, dan wanita Jepang pengasuh Karina, nyonya Azuma - segera berangkat. Selama penerbangan Dewi berceritera panjang lebar mengenai kehidupannya di Indonesia dengan Bung Karno. Catalan yang saya buat amat banyak. Di Thailand sesuai rencana, kami akan ganti pesawat Japan Airlines yang lain yang terbang ke Jakarta. Tetapi, Atase Militer Indonesia di Bangkok mengeluarkan perintah yang melarang saya berganti pesawat untuk terbang ke Jakarta. Dewi berangkat sendiri, dengan putrinya dan seorang pengasuh.
Dewi datang terlambat. Ia mendapati Bung Karno dalam keadaan koma. Bung Karno meninggal tidak lama setelah kedatangannya. Ia mengingat saat-saat terakhirnya bersama
| |
| |
Bung Karno di rumah sakit pada acara santap malam pada tanggal 10 Juni 2001, ketika saya mengundang beberapa teman saya bersantap malam di Aloa Room Hotel Indonesia. Hampir 3 1 tahun telah berlalu sejak saat-saat terakhir itu di RSPAD, dan Dewi bertanya kepada kita semua, ‘Mengapa kita harus menunggu sekian lama sampai keadilan ditegakkan untuk Bapak dengan membawa para pembunuhnya ke pengadilan?’ ‘Beginilah Indonesia,’ jawab salah seorang tamu saya.
|
|