| |
| |
| |
3
1958: Bukti Pertama Campur Tangan CIA
Profesor George McTurnan Kahin memperoleh penghargaan internasional dengan menerbitkan buku ‘Nationalism and Revolution in Indonesia’ (Cornell University) pada tahun 1952. Bukunya menjadi bacaan utama mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, ketika pada tahun 1995 ia menerbitkan buku ‘Subversion as Foreign Policy’ dengan sub judul, ‘The Secret Eisenhower Dulles Debacle in Indonesia’ (University of Washington Press), yang ditulisnya bersama Audrey R. Kahin, ia mendapat penghargaan lagi karena mengungkap informasi yang dapat dipercaya dan menyumbangkan catatan sejarah yang berarti untuk menempatkan sejarah Indonesia di abad ke-20 dalam segi pandang yang sebenarnya.
Saya akui bahwa saya terkejut ketika membaca buku Kahin terbitan tahun 1995 itu. Saya telah menjadi penduduk New York City dari tahun 1958 sampai 1992. Selama 12 tahun saya telah membuat berita dari markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Saya ada di Havana saat Fidel Castro baru berkuasa. Saya ada di Leopoldville ketika Patrice Lumumba menjadi Perdana Menteri Kongo yang pertama. Pada tahun 1962, saya berdiri di pantai Teluk Babi (Bay of Pigs), tempat Castro memukul mundur serangan CIA setahun sebelumnya. Sebuah batu
| |
| |
yang cantik yang saya ambil dari pantai pasir di Kuba terpajang di atas meja tulis saya di tahun 2001 ini sebagai perlambang dan kenangan akan Undang-Undang Perkara Pidana Amerika Serikat terhadap Fidel Castro sejak ia berkuasa di tahun 1959.
Mungkin perlu saya tekankan di sini, bahwa selama hidup saya, saya tidak pernah menjadi anggota partai politik mana pun, apalagi Partai Komunis.
Saya bertanya-tanya sejauh apakah masyarakat Indonesia betul-betul menyadari, setelah hidup di bawah penyensoran militer selama berpuluh tahun? Sejauh apa, misalnya, John F. Kennedy dan saudaranya Robert dapat berbuat sangat jahat dalam hubungan internasional. Puluhan buku telah diterbitkan, yang mencatat perilaku mereka yang tersembunyi, misalnya dalam menghadapi Fidel Castro. Belum lagi tanggung jawab mereka atas terbunuhnya boneka Vietnam mereka, Presiden Ngo Dinh Diem dan saudaranya Ngo Dinh Nu.
Profesor Kahin menggambarkan dengan cermat, berdasarkan catatan dan dokumen yang relevan, bagaimana pemerintahan Eisenhower tidak hanya melibatkan CIA, tetapi juga memasok peralatan militer AS yang modern dalam jumlah besar kepada kaum pemberontak yang hendak menggulingkan Bung Karno dengan bantuan Armada ketujuh (US Seventh Fleet) dan Angkatan Udara Amerika Serikat. Agaknya kapal selam AS, yang terlihat di pantai Sumatra, diturunkan untuk membantu para pengkhianat Indonesia merencanakan makar atau kudeta (coup d'etat) menentang pemerintahan Soekarno yang sah.
| |
| |
John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri pemerintahan Eisenhower bahkan lebih konyol dibanding Dick Cheney dan Donald Rumsfeld berdua di pemerintahan George Bush II yang sekarang. Ia berkata kepada Dubes Hugh S. Cummings pada saat dubes ini berangkat ke Jakarta pada tahun 1953, bahwa ia dan Eisenhower berkehendak membuat bangsa-bangsa di Asia Tenggara pecah ‘menjadi unit-unit rasial dan geografi’ meskipun ada ancaman tetap dari Peking untuk melindas daerah itu, seperti yang dilakukan Jepang terhadap Pearl Harbor. Dalam tahun 2001 ini orang Indonesia seharusnya menyadari tindakan amatiran Amerika yang tidak tahu malu itu dalam permasalahan di Asia. ‘The Ugly American’ itu benar-benar ada, setengah abad setelah Eugene Burdick menerbitkan bukunya yang terkenal itu. Bila kita menerjemahkannya ke dalam bahasa khusus yang dipakai imperialis Amerika tahun 2001, maka bunyinya: ‘Di Kepulauan Indonesia itu seharusnya Ayatollah-Ayatollah tidak boleh muncul. Biarkan Indonesia modern hancur berantakan. Dengan demikian negara itu akan menjadi unit-unit kecil yang memudahkan kita, Amerika Serikat, menempatkan pangkalan-pangkalan kita.’
Di bagian dunia tempat saya tinggal, Jenderal Dwight D. Eisenhower dianggap pahlawan yang memimpin penyerbuan Normandia pada tanggal 6 Juni 1944. Di negara-negara Barat, orang sangat mudah melupakan fakta bahwa bukan Eisenhower (atau Montgomery) yang memukul Hitler dengan telak pada Perang Dunia II, tetapi Stalin. Orang Soviet mengalahkan kaum Nazi di Stalingrad, yang merupakan akhir dari Third Reich yang sebenarnya, yang membawa pasukan Rusia pertama kali masuk ke Berlin. Hitler bunuh diri pada saat orang Soviet tiba.
| |
| |
Meskipun selama bertahun-tahun saya mencatat perilaku jahat bangsa Amerika dalam masalah internasional, dan saya tinggal di New York, tetapi saya sangat terkejut ketika pada tahun 1995 saya memperoleh bukti berdasarkan dokumen yang diungkap Profesor Kahin, dengan Undang-Undang Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act) di tangannya, bahwa orang yang kelihatannya santun seperti Eisenhower itu, tidak saja mampu berulah seperti bajingan, tetapi ia juga berpura-pura bersahabat dengan Soekarno, ketika Presiden Indonesia itu mengunjunginya dalam lawatan resmi ke Gedung Putih pada tahun 1956. Pada lawatan kenegaraannya yang pertama ke luar negeri sejak ia menjadi kepala negara pada tahun 1945, Bung Karno sengaja memilih pergi ke Washington dahulu. Baru sesudah itu ia berkunjung ke Moskow dan Peking. Namun demikian, pada saat ia berpidato di depan Kongres (Congress, Badan Legislatif Nasional AS) ia mengingatkan hadirin bahwa Indonesia bukan untuk diperjualbelikan. Joe Borkin ikut memeriksa bahasa Inggris yang dipakai dalam pidato Soekarno. Pemimpin bangsa Indonesia itu menunjukkan kemerdekaannya dalam permasalahan dunia di hadapan Kongres, pembuat undang-undang Amerika Serikat. Tiada badai dolar atau hujan batu dapat menghalangi Indonesia menapaki jalannya sendiri di antara bangsa-bangsa di dunia.
Tentu saja, setahun kemudian, di Bandung, Bung Karno meluncurkan gerakan non-blok (non-aligned), yang antara lain bertujuan hendak berperan sebagai penengah - berdasarkan konsep Jawa tentang musyawarah dan mufakat - di antara dua kekuatan raksasa yang selalu hendak saling mencekik. Nehru, Nasser, Chou En-Lai, Norodom Sihanouk dan sejumlah wakil
| |
| |
negara Asia-Afrika berkumpul di kota pegunungan di Pulau Jawa untuk bergabung dengan gerakan yang diprakarsai Bung Karno dan menyatukan negara-negara berkembang itu sebagai Kekuatan Ketiga dalam permasalahan internasional. Presiden Soekarno mengundang Eisenhower berkunjung ke Jakarta. Presiden Amerika Serikat ini mengacuhkan undangan tersebut. Ia sudah berkomplot akan menggeser Bung Karno. Presiden Kliment S. Voroshilov dari USSR menyambut undangan Bung Karno dan ia tiba pada tahun 1957. Saya berkesempatan ikut dalam kunjungan kenegaraan itu selama tujuh hari, bepergian dengan kedua presiden itu ke seluruh pelosok Indonesia. Saya menulis tentang hal ini di dalam berbagai buku. Dengan segera media Amerika Serikat mulai menggambarkan Bung Karno sebagai simpatisan komunis. Aneh bukan? Eisenhower-lah yang pertama kali dikunjungi dan pertama kali diundang. Voroshilov diundang kemudian dan datang pertama kali, sedangkan Eisenhower tidak pernah datang. Ia sedang berkomplot hendak menggulingkan Bung Karno, sementara propaganda Amerika Serikat memberitahu dunia bahwa kaum komunis Indonesia sedang berencana hendak merebut kekuasaan di Jakarta.
Kahin mencatat bahwa Eisenhower, Dulles dan saudaranya, Allen Dulles Direktur CIA, merasa khawatir pada tahun 1957 itu bahwa Indonesia, juga karena kunjungan Voroshilov tersebut, benar-benar akan jadi merah, jadi komunis. Saya ada di sana. Semuanya itu jelas tidak benar, tetapi Gedung Putin yakin akan hal itu. Oleh sebab itu, roda untuk wahana kup CIA mulai digerakkan, seperti diungkap Kahin dengan amat cermat atas dasar dokumen, dan disiarkan lewat Undang-Undang Kebebasan Informasi. Tentu saja masih banyak nama dan
| |
| |
informasi yang ditutupi. Hanya Tuhan yang tahu apalagi yang tersembunyi dalam berkas Pemerintah Amerika Serikat mengenai tindakan pidana dan ilegal yang dilakukannya di seluruh pelosok dunia?
Hugh S. Cummings secara pribadi tidak menyukai Bung Karno, demikian ditulis Profesor Kahin. Ketika ia kembali ke Washington, ia menjadi pejabat penghubung antara Departemen Luar Negeri dan CIA dan tetap berhubungan akrab dengan Dulles bersaudara. Saya berjumpa dengan Cummings pada sebuah resepsi di Istana Merdeka. Saya juga berbicara dengan penggantinya, John Allison. Sementara Cummings merencanakan kup CIA di Padang, Allison tidak menyadari apa yang sedang dilakukan pemerintahnya untuk menggeser kepala negara yang menerima penyerahan surat-surat kepercayaannya sebagai duta besar di Jakarta dengan upacara di istana. Dulles dan Cummings membiarkan dubesnya ini tidak tahu apa-apa mengenai niat mereka yang jahat dan licik terhadap Soekarno dan Indonesia.
Mungkin perlu saya tambahkan di sini, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1957, saya ikut dengan Bung Karno, naik kapal perang dalam perjalanan ke Maluku, Ternate dan Tidore. Di salah satu tempat kami mendarat ada seorang Amerika yang bergabung dengan kami dan memperkenalkan dirinya sebagai Profesor Guy Pauker. Saat itu saya memasuki tahun ke-4 bekerja sebagai wartawan dan saya tidak tahu, bahwa sebenarnya ia seorang pengamat masalah Asia dari kelompok pemikirnya (think-tank) CIA, yaitu Rand Corporation di California, telah ikut naik kapal. Lima tahun setelah pendudukan Nazi di Negeri Belanda, dan sempat mengamati tindakan Gestapo secara langsung, rasanya tidaklah mungkin bila cara yang sama
| |
| |
diterapkan pula oleh kelompok orang yang sama, yang telah memerdekakan negeri kita. Pauker kelihatannya ramah. Ia memang banyak bertanya, tetapi tidak seujung rambut pun saya menyadari bahwa saya sedang di-‘interogasi’ oleh agen CIA. Mengapa para pembantu Soekarno membiarkan pria ini naik ke kapal? Suatu hari, Pauker minta saya memperkenalkannya kepada presiden. Saya menyuruhnya agar siap pada pukul 06.00 pagi. Seperti biasanya, Bung Karno sudah bangun dan duduk-duduk di beranda rumah pejabat daerah yang dikunjunginya. Saya perkenalkan orang Amerika itu. Soekarno bertanya, ‘Apakah Anda berkerabat dengan Menteri Luar Negeri Rumania?’ Yang dimaksudnya ialah Anna Pauker, yang pada tahun empat puluhan menjadi ‘bos’ komunis yang sebenarnya di negerinya. (lihat ‘A Long Row of Candles’, C.L. Sulzberger, MacMillan, New York, 1969). Jawabnya, ia bukan kerabat menteri itu.
Bertahun-tahun kemudian, baru saya sadar telah memperkenalkan antek CIA nomor wahid itu kepada sahabat saya. Pada tahun 1970 saya berjumpa lagi dengan Pauker di rumah Robert Komer di California. Robert Komer ialah pria yang boleh dianggap penjahat perang nomor satu di masa itu, karena ialah yang memulai program perdamaian Amerika Serikat di Vietnam. Ingatkah Anda akan program perdamaian yang dipimpin Jenderal van Heutsz di Aceh? Rekan-rekannya memberinya julukan ‘Blow-torch Bob’, ‘si penyolder’, karena cara-cara zalim yang dipakainya untuk menghancurkan perlawanan Vietkong terhadap pendudukan Amerika Serikat. Pada masa itu, Profesor Richard Falk dari Universitas Princeton menyebut Komer sebagai penjahat perang kelas satu. Saat itu saya sedang mewawancarai anggota tim Presiden Kennedy di
| |
| |
Gedung Putih untuk membuktikan bahwa Joseph Luns bohong ketika ia berbicara tentang peranan Kennedy dalam menyelesaikan sengketa Irian Barat secara damai. Saya terpaksa melibatkan Komer karena ia yang menangani masalah Irian Barat ini untuk JFK. Tentu saja pada kesempatan itu saya ungkapkan bahwa pada tahun 1957, saya tidak menyadari bahwa Profesor Pauker - yang diundang Komer untuk hadir dalam pembuatan film mengenai wawancara itu - terlibat dengan kelompok pemikir CIA, tetapi pekerjaan Pauker yang sebenarnya menjadi jelas bagi saya pada perjumpaan dengannya di rumah Komer itu.
Profesor Kahin merinci dengan cermat langkah demi langkah perekayasaan makar pada tahun 1958 yang dilakukan di Washington. Dubes Allison pada dasarnya berbeda pandangan dengan CIA mengenai Soekarno, dan tokoh militer seperti Admiral Felix Stump, kepala US Pacific Forces (CINCPAC) bahkan berpikiran lebih buruk mengenai Bung Karno. Dewan Keamanan Nasional-nya Eisenhower sudah rapat sejak 14 Maret 1957. Sekretaris Menteri Luar Negeri Walter Robertson (saya bertemu dengannya bersama Marshall Green, wakilnya, sekitar waktu yang sama di Departemen Luar Negeri di Washington) menjelaskan dalam rapat tersebut bahwa kehancuran Indonesia sudah makin menjadi kenyataan. Pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo jatuh pada tanggal 17 Maret 1957. Admiral Radford, kepala operasi bidang kelautan, menyatakan bahwa armada Amerika telah siap untuk setiap keadaan darurat di Jakarta, disiapkan untuk mengimbangi kup komunis.
Kahin mengungkap secara rinci di dalam bukunya, cara Washington dan CIA beroperasi pada tahun 1958 yang amat rahasia. Ia berceritera tentang Francis Underhill, pejabat urusan
| |
| |
Indonesia di Departemen Luar Negeri AS, yang beberapa tahun kemudian tanpa sengaja menemukan bukti mengenai apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1958 itu, atau mengenai kapal selam AS yang membawa berton-ton amunisi secara rahasia ke markas besar PRRI di Padang. Dubes Allison sama sekali tidak dilibatkan dalam persekongkolan CIA bersama dengan Eisenhower di Gedung Putih ini. Ia harus pensiun setelah bertugas sebagai duta besar Amerika Serikat di Jakarta hanya selama tujuh bulan.
Rakyat Indonesia sangat tahu akan kegagalan pemberontakan PRRI dan Permesta menentang pemerintah dan Presiden Soekarno pada tahun 1958 itu. Mereka juga sering mendengar bahwa Kolonel Pieters dan anak buahnya menembak jatuh pesawat pembom CIA yang melintas di Ambon. Pilot pesawat CIA itu, Allan Pope, menyelamatkan diri dengan terjun payung. Masih merupakan teka-teki bagi saya mengapa orang Indonesia pada umumnya, sementara mereka menerima pendapat bahwa yang terjadi pada tahun 1958 adalah ulah CIA, pada saat yang sama mereka sering dengan berapi-api menentang dugaan keterlibatan CIA ini, dan berpendapat bahwa apa yang terjadi di Jakarta pada tahun 1965 adalah ceritera yang lain. Kenyataannya, peristiwa tahun 1965 merupakan ulangan yang diperhalus dari tindakan tahun 1958 untuk menggeser Bung Karno selama-lamanya.
John Foster Dulles menyadari setelah kegagalan petualangannya di Indonesia pada tahun 1958 itu, bahwa ia harus mengubah jalannya. Jenderal Yani, yang baru kembali dari pelatihan di Amerika Serikat di Fort Leavenworth, dikirim untuk memadamkan pemberontakan di Padang. Permainan para pejabat
| |
| |
Indonesia, yang mengkhianati negerinya dan berkolusi dengan AS dan CIA, sedang marak. Tiba-tiba saja Washington kembali menawarkan bantuan kepada pemerintahan militer Soekarno, yang boleh dikatakan tidak meningkatkan rasa hormat Bung Karno terhadap Washington. Dulles juga mengutus Howard Jones sebagai dubes baru di Jakarta, yang menjadi kawan terpercaya Bung Karno. Saya telah mengenal Jones selama bertahun-tahun, bahkan lama setelah ia pensiun dan menjadi ketua dewan dari Christian Science Monitor di Boston. Kami juga saling berkirim surat, surat-surat itu menjadi bagian dari buku harian saya yang panjangnya 67 m, yang sekarang tersimpan aman di Royal Library di Den Haag. Saya akan kembali ke buku Kahin untuk membahas makar yang terjadi tahun 1965 itu.
|
|