Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 11]
| |
2
| |
[pagina 12]
| |
Raya di Bonn: ‘Sangatlah disayangkan bahwa Tuhan membatasi kecerdasan manusia tanpa membatasi ketololannya.’ (‘Power and Diplomacy’, Harvard University Press, 1958). Orang Belanda yang paling bertanggung jawab atas memburuknya hubungan Indonesia-Belanda pada tahun lima puluhan adalah Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns, yang sangat tepat mewakili pengamatan Adenauer.
Pada tahun 1956 saya mewakili koran Belanda ‘De Telegraaf’ di Roma, Italia, ketika Soekarno mendarat di sana tanggal 10 Juni untuk kunjungan kenegaraannya yang pertama di daratan Eropa. Pemimpin redaksi koran saya mengirim telegram berterakan ‘penting’, melarang saya mewawancarai Kepala Negara Indonesia ini. Saya menganggap perintah ini sebagai pelanggaran nyata terhadap etika profesi saya. Saya berkewajiban memberitahu pembaca saya mengenai semua peristiwa yang terjadi di Italia, yang mungkin menarik bagi mereka. Hal ini tentu saja merupakan blunder, kesalahan besar diplomasi Belanda, bahwa presiden pertama Indonesia ini tidak berkunjung ke Den Haag dahulu, melainkan pergi ke Italia. Kebanyakan negara bekas penjajah mengundang pahlawan kemerdekaan negara yang dulu dijajahnya datang ke ibu pertiwinya yang dahulu. Nehru diundang ke istana Ratu Inggris Buckingham Palace, demikian juga Yomo Kenyatta. Ben Bella dari Aljazair diundang oleh Charles de Gaulle, sama seperti Patrice Lumumba yang mengunjungi Raja Boudouin di Brussel. Hanya bangsa Belanda-lah yang menunjukkan diri mereka sebagai pecundang yang sontoloyo, yang sakit hati karena kalah dan tidak pernah membolehkan pemenang dari daerah jajahannya di Asia Tenggara untuk menginjakkan kakinya di tanah Belanda. | |
[pagina 13]
| |
Hubungan antara Indonesia dan Negeri Belanda kembali memburuk di tahun 1956 sampai ke titik yang tak mungkin membalik. Pemerintah kedua negara tersebut bersengketa perihal kedaulatan atas Netherlands New Guinea (Irian Barat, sekarang Irian Jaya), yang merupakan bagian terakhir dari tanah jajahan yang tadinya milik Netherlands East Indies (Hindia Belanda), dan yang sengaja ditahan Belanda saat pengalihan kekuasaan ke Jakarta pada tahun 1949. Saya berpendapat bahwa percakapan saya dengan pemimpin besar itu di Roma, yang bersengketa dengan kami di Asia Tenggara, pasti akan menarik bagi pembaca saya. Oleh sebab itu, saya mendekati kantor berita Prancis, Agence France Presse dan mendapat tugas khusus untuk meliput kunjungan kenegaraan Soekarno selama tujuh hari ke Italia.
Dengan demikian, pada tahun ketiga saya bekerja sebagai wartawan, saya terang-terangan berselisih, tidak saja dengan majikan saya di ‘De Telegraaf’, tetapi juga dengan Pemerintah di Den Haag (The Hague). Pada tahun lima puluhan, wajar saja bagi pemerintah dalam demokrasi Barat untuk mencampuri pekerjaan para wartawan, terutama bila mereka cenderung menjadi terlalu bebas dan menulis ceritera yang tidak menyenangkan atau yang memaparkan dengan jelas ketololan para diplomat atau politisi dalam masalah internasional. Hal seperti itu masih terjadi saat ini, namun dalam skala yang jauh lebih kecil dan jarang. Duta Besar Belanda di Roma pada tahun 1956 mengadukan saya lewat dua surat rahasia kepada pemimpin redaksi koran saya di Amsterdam. Baru pada tahun 1991-35 tahun kemudian - saya tahu akan hal itu setelah menuntut, atas dasar Undang-Undang Belanda tentang Kebebasan Informasi, untuk melihat berkas pemerintah yang sampai sekarang masih | |
[pagina 14]
| |
menjadi rahasia negara. Ternyata, tiga departemen di Den Haag, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri dan Dinas Rahasia, selama tahun-tahun tersebut tak diragukan lagi telah melanggar hak-hak saya sebagai warga negara, juga hak-hak saya sebagai wartawan. Alasannya? Saya telah berteman dengan Soekarno, musuh Kerajaan Belanda.
Pada tanggal 12 Juni 1965, untuk pertama kalinya saya bertatap muka dengan Bung Karno di kebun Kedutaan Indonesia di Roma. Duta Besar Sutan M. Rasjid memperkenalkan saya. Barangkali saya perlu mengatakan bahwa pada mulanya saya agak gugup. Betapapun juga, pemikiran saya mengenai ia, terpengaruh masukan negatif yang saya peroleh selama bertahun-tahun di Negeri Belanda, secara tidak sadar telah merasuk dalam benak saya sehingga mempengaruhi keobyektifan saya mengenai pria yang diduga akan membenci bangsa dan penguasa negara yang pernah menjajah negerinya. Tetapi, yang sangat mengherankan saya, ia sangat ramah dan terbuka, dan mengundang saya saat itu juga untuk bergabung dengan rombongannya sebanyak empat puluh orang, naik kereta api khusus yang disediakan oleh Presiden Italia Giovanni Gronchi untuk mengikuti perjalanan selama lima hari ke Sorrento, Milano, Turino, dan bahkan ke Venesia.
Dengan demikian, pada keesokan harinya saya berjalan di antara puing-puing Pompei dengannya, membincangkan sengketa atas Irian Barat, nama yang saat itu dipakai orang Indonesia untuk Netherlands New Guinea. Presiden ini berbicara amat santai mengenai hal tersebut, dan seketika itu pula saya sadar bahwa saya telah menempatkan diri saya atas dasar segala sesuatu yang telah ditulis media Belanda selama | |
[pagina 15]
| |
bertahun-tahun, bahwa ia adalah pria yang dihinakan oleh Negeri Belanda dan orang Belanda. Semua itu ternyata tidak benar. Ia menjelaskan bahwa kita harus segera menghentikan percekcokan mengenai daerah yang dulunya dijajah Belanda itu. Bagaimanapun juga, Indonesia telah menyatakan kebebasan dan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan pada tahun 1956 pun Belanda masih nekat mempertahankan wilayah Papua. Sebelumnya, mereka tidak pernah tertarik akan wilayah ini, kecuali sebagai tempat untuk membuang tahanan politik seperti Mohammad Hatta, Sutan M. Rasjid, dan lain-lainnya. Bung Karno juga mengungkapkan keinginannya berkunjung ke Negeri Belanda dan bertemu dengan Ratu Juliana di Den Haag.
Sejujurnya, pada hari di tahun 1956 itu, saya terperangah karena perilaku wajar dan terbuka dari pria bernama Soekarno itu sangat berbeda dalam segala hal dengan yang saya bayangkan dan pikirkan tentang dirinya sebelumnya. Ruslan Abdulgani, menteri luar negeri saat itu, berjalan tepat di belakang kami bersama seorang pengacara Washington bernama Joe Borkin. Saya tahu bahwa Joe telah disewa oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1948 untuk melobi para senator AS agar mengirim surat kepada Presiden Harry Truman, untuk mengancam Belanda apabila negara ini tidak menghentikan tindakan mereka yang disebut ‘aksi-polisional’ terhadap Indonesia. Bila tidak, bantuan Marshall Plan ke Negeri Belanda akan segera dihentikan. Pada akhir tahun empat puluhan Negeri Belanda sedang berupaya membangun kembali negaranya, dan perekonomiannya sangatlah tergantung kepada dolar Amerika. Oleh sebab itu, siasat yang dirancang Borkin berhasil. Den Haag berunding dan akhirnya bersedia mengalihkan kedaulatan yang terlambat itu pada tahun | |
[pagina 16]
| |
1949, yang ditandatangani oleh Ratu Juliana dan Bung Hatta, karena Bung Karno masih dilarang datang ke Negeri Belanda. Pada tahun 2001 ini, saya masih merasa malu akan kedangkalan dan kepicikan para politisi dan pengambil keputusan Negeri Belanda dalam berhadapan dengan Indonesia, saat itu dan sekarang, setengah abad kemudian.
Pada tanggal 24 Juni 1956, saya menulis artikel panjang di majalah ‘Elseviers’ mengenai pertemuan saya dengan Bung Karno di Italia dan menuliskan setiap kata yang diucapkannya mengenai kami, orang Belanda, persengketaan yang menyangkut Irian Barat, dan akan keinginannya berkunjung ke Den Haag untuk mendamaikan kembali Indonesia dan Negeri Belanda selama-lamanya. Tulisan saya menimbulkan kekacauan yang hebat di lingkungan politik. Sejak hari itu saya dimasukkan dalam daftar hitam oleh Pemerintah Belanda dan dinyatakan persona-non-grataGa naar voetnoot1 untuk seumur hidup saya. Sebenarnya, tak perlu saya katakan bahwa Bung Karno tidak akan pernah diijinkan menginjakkan kakinya di tanah Belanda, dan hal ini menggambarkan watak dan jiwa orang Belanda yang sebenarnya.
Barangkali saya perlu menyebutkan bahwa saya juga menulis di dalam artikel tersebut mengenai Joe Borkin sebagai teman akrab dan penasihat pribadi Presiden Soekarno. Hal ini jelas menyebabkan kelompok tertentu di Kemlu (sekarang Departemen Luar Negeri) gelisah, karena mereka lebih suka apabila senjata rahasia mereka di Washington tetap anonim. Saya | |
[pagina 17]
| |
sedang memasuki tahun ketiga bekerja sebagai wartawan dan saya gagal menyikapi aspek yang peka bagi pihak Indonesia ini. Joe menjadi sahabat saya sepanjang masa. Saya selalu mengunjunginya bila saya ke Washington. Sama halnya dengan saya, ia juga tetap berkorespondensi secara pribadi dengan Bung Karno. Berdasarkan pengetahuannya yang sangat pribadi mengenai tokoh ini, ia menganggap Presiden Indonesia ini sebagai salah seorang pemimpin besar di abad ke-20. Lama sesudahnya saya baru tahu bahwa Joe berkebangsaan Yahudi. Hal inilah yang mungkin menjadi alasan lain yang menyebabkan kegelisahan Kemlu, karena betapapun juga, Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia. Tiada alasan bagi Bung Karno untuk tidak menganggap Joe sebagai teman pribadinya hanya karena yang bersangkutan itu orang Yahudi.
Ketika Presiden Abdurachman Wahid pada awal masa kepresidenannya menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan berdagang dengan Israel, ia dikritik keras untuk sikapnya itu, yang ikut menyebabkan kejatuhannya pada tahun 2001. Tetapi, dasar pemikiran Wahid lebih dekat dengan Soekarno ketimbang pemimpin Indonesia yang lain sejak tahun 1965. Pada tahun 1978, Borkin menerbitkan buku ‘The Crime and Punishment of I.G. Farben, The Startling Account of the Unholy Alliance of Adolf Hitler and Germany's Great Chemical Combine’ (MacMillan, New York). Didukung dokumen yang luar biasa banyaknya, Joe membeberkan bahwa I.G. Farben dan para direkturnya yang Yahudi, mempekerjakan tenaga budak Yahudi dari kamp-konsentrasinya Hitler sebagai mesin perang Nazi. Beberapa tokohnya diadili di Nuremberg untuk kejahatan perang dan pembunuhan masal. Joe berkali-kali mengatakan pada saya | |
[pagina 18]
| |
bahwa ia juga merasa berkewajiban untuk menuliskan kebenaran mengenai Bung Karno. Dalam berbagai kesempatan saya mendorongnya untuk melakukan hal itu, tetapi ia meninggal karena serangan jantung pada tahun delapan puluhan dan sumbangannya yang sangat berharga untuk membantu menempatkan Soekarno dalam kedudukan yang sebenarnya, ikut dibawanya ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Perang pribadi saya dengan Pemerintah Belanda berawal pada tahun 1956 dan berlangsung selama 46 tahun. Saya dihukum berat karena menceritakan kebenaran mengenai Bung Karno di ‘Elsevier’. Musuh-musuh saya akan berupaya sekuat tenaga mencekal saya bekerja sebagai wartawan (Berufsverbot) sepanjang hidup saya. Mereka menggunakan segala bentuk pencekalan watak, buktinya jelas diperlihatkan oleh beratusratus dokumen yang akhirnya dikeluarkan dari simpanannya pada tahun 1991. Setelah perjalanan di Italia itu saya pergi ke Jakarta, dan pada tanggal 4 Desember 1956, untuk pertama kalinya saya datang ke negeri tempat tiga generasi moyang ayah saya melewatkan tahun-tahun kehidupan mereka yang terbaik.
Presiden Soekarno mencantumkan nama saya ke dalam daftar protokol istana dan sampai September 1957 saya bepergian ke mana-mana dengannya. Beberapa rincian perjalanan itu dapat Anda baca di buku ‘Bung Karno Sahabatku’ (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001). Ketika saya kembali ke Amsterdam, saya jumpai semua pintu kantor redaksi persuratkabaran tertutup rapat bagi saya. Saya tidak lagi dapat bekerja sebagai wartawan di negeri saya sendiri. Tanggal 10 Juni 1958, tepat dua tahun setelah bertemu Bung Karno di Roma, saya tiba di Amerika Serikat sebagai imigran, penduduk, dan wartawan buronan. | |
[pagina 19]
| |
Tentu saja, saya harus mencari pekerjaan. Alangkah herannya saya, kebanyakan pintu perusahaan media di Amerika juga tertutup untuk saya. Pada saat itu saya tidak menyadari bahwa cara Gestapo Belanda kembali berulang di Amerika. Sampai terjadi suatu hal yang aneh. Di bulan Juni tahun 1958 saya menandatangani kontrak dengan Lecture Agency (biro ceramah) nomor satu saat itu di AS, W. Colston Leigh di Fifth Avenue 521. Bila saya tidak dapat menulis artikel, barangkali saya dapat berceramah dan menghasilkan dolar. Duta Besar Belanda di Washington, dr. J.H. van Roijen mendengar tentang kontrak itu dan mengutus seorang wakilnya, Baron van Voorst tot Voorst, ke New York untuk menangani masalah ini. Diplomat itu memberitahu biro ceramah ini, ‘Kami memiliki orang-orang yang lebih baik daripada Oltmans untuk berceramah di Amerika.’ Jawabnya: ‘Datangkan saja mereka ke sini.’ Setelah itu, Dubes van Roijen datang ke New York dan menawarkan dirinya sebagai penceramah ke biro saya.
Ketika saya kembali dari liburan musim panas ke New York, saya dipanggil dan diceritakan tentang sabotase kontrak saya oleh Pemerintah Belanda ini. Tetapi, big boss saya, Bill Leigh, dengan kakinya yang diletakkan di atas mejanya saat berbicara dengan saya, adalah seorang Yankee tulen. Ia tahu apa yang akan dilakukan orang Belanda itu terhadap saya. Katanya, ‘Kami tidak menyadari bahwa Anda adalah seorang wartawan yang penting. Dubes Anda membuat kenyataan itu menjadi jelas dengan percobaannya menggagalkan kontrak Anda dengan kami. Jadi, kami telah memutuskan akan menggandakan jumlah perjalanan ceramah Anda untuk musim dingin ini.’ Malam itu | |
[pagina 20]
| |
saya menyurati Dubes van Roijen di Washington untuk menyatakan terima kasih saya kepadanya karena ketidaksengajaannya telah meningkatkan penghasilan saya dalam usaha berceramah.
Pada tahun 1959 saya tetap berhubungan dengan Bung Karno, misalnya dengan bepergian untuk menemuinya pada saat kunjungan kenegaraannya ke Turki. Beberapa hari kemudian, di ruangan tempatnya menginap di Hotel d'Angleterre di Kopenhagen, saya bertanya apakah ia menerima surat-surat yang saya kirimkan lewat saluran rahasia kami, Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, kepala rumah tangga kepresidenan. Ia membenarkan hal tersebut, dan menambah dengan berkata, ‘Saya membacanya pada malam hari di tempat tidur.’ Ketika Sukmawati Soekarnoputri membaca bagian yang memuat hal ini dalam buku ‘Bung Karno Sahabatku’ tahun 2001, ia berkata, ‘Bapak mengatakan hal yang sama kepadaku, apabila saya menulis surat pribadi kepadanya.’
Apa yang tidak saya bicarakan dalam pertemuan dengan Bung Karno di tahun 1959 ialah mengenai berbagai masalah yang dihadapinya di tahun 1958 menyusul pemberontakan PRRI dan Permesta sebagai akibat langsung dari operasi rahasia CIA yang paling besar sejak Perang Dunia II. Pada saat itu saya sama sekali tidak memiliki petunjuk mengenai fakta di balik upaya AS yang tersembunyi itu untuk menggulingkan Bung Karno dan membantu ‘teman-teman’ Amerika itu merebut kekuasaan. Dengan perkataan lain, pada tahun keenam saya bekerja sebagai wartawan, saya masih sangat hijau dalam memahami apa yang dapat dilakukan Pemerintah Amerika Serikat, dan saya tetap buta akan hal itu. Saya pun tidak tahu akal busuk apa yang dirahasiakan | |
[pagina 21]
| |
dan dilakukan pemerintah negara saya sendiri, yang bebas dan berdemokrasi, meskipun ada peristiwa van Roijen. |
|