| |
| |
| |
1
Kehidupan Emosional Bangsa-Bangsa
Psikodinamika masuk dalam penelitian sejarah sejak paruh kedua abad ke-20. Peneliti sejarah dan ilmuwan sosial selangkah demi selangkah makin menyadari bahwa teori kepribadian selalu membayangi setiap upaya yang menjelaskan perilaku manusia. Di Institute of Psycho-History New York, misalnya, psikologi dan sejarah digabung menjadi ilmu baru mengenai motivasi psikologi dan sejarah.
Hampir seabad yang lalu, Sigmund Freud mengisyaratkan bahwa ‘kita dapat berharap akan adanya seseorang yang berani mengembangkan ilmu yang mempelajari penyakit masyarakat berbudaya (dan berpolitik)’. Secara tradisional, sejarah mengajari kita cara peristiwa publik mempengaruhi kehidupan pribadi. Sebagai contoh, psiko-sejarah menelaah cara khayalan pribadi dimunculkan sebagai tindakan di pentas masyarakat. Piagam UNESCO bahkan mengungkapkan pendekatan baru ini ke pikiran manusia, dengan menyatakan bahwa ‘Perang berawal dalam pikiran manusia’. Analisis khayalan telah menjadi metode penelitian.
Pada tahun 1969, saat Peter Loewenberg, seorang ilmuwan politik dan analis psikologi, dalam buku ‘Decoding the Past’ (University of California Press, Los Angeles), menulis
| |
| |
‘Fasisme, nasionalisme, dan runtuhnya sosialisme demokratik adalah kekuatan sosial-politik yang berkembang sejak masa kecil saya di tahun 1930 dan 1940-an di Jerman’. Pengalaman masa mudanya itu membawanya pada kesimpulan bahwa kajian sejarah memerlukan pendekatan yang baru dan berbeda. Ia mengutip Rimbaud yang pernah mengatakan ‘Cinta perlu diciptakan kembali’.
‘Psiko-sejarah menggabungkan analisis sejarah dengan berbagai model ilmu sosial, kepekaan manusiawi, dan teori psiko-dinamika’, demikian tulis Loewenberg, ‘dan menggunakan wawasan klinik untuk menciptakan pandangan yang lebih penuh dan lebih bulat mengenai kehidupan di masa lalu. Ahli psikosejarah sadar akan dinamika interaksi dari watak, masyarakat, dan pikiran serta tindakan manusia.’ (hlm. 14) Dengan perkataan lain, para ahli sejarah telah memperluas dan memurnikan konsep mereka yang menjelaskan tindakan manusia dengan melibatkan ketidaksadaran dan emosi ketika mempelajari perilaku dan tindakan manusia dalam masa peralihan.
Pemikiran itu berulang kali membersit di benak saya ketika saya berada di Indonesia untuk memperingati hari yang seharusnya menjadi hari ulang tahun Bung Karno yang ke-100, tanggal 6 Juni 2001. Apa sebenarnya yang menjadi dorongan keinginan dan kegilaan yang menguasai beberapa ratus juta pikiran orang Indonesia saat ini? Karena, dan ini jelas bagi dunia luar, sejarah Indonesia saat ini berada pada fase yang berbatasan dengan fase yang menegangkan syaraf. Berbagai peristiwa yang terjadi di Jakarta setelah lengsernya Soeharto di tahun 1998 harus disebut sebagai kejadian yang abnormal, tidak wajar, dan kacau balau. Kenyataan jadi bercampur dengan khayalan, dan demikian
| |
| |
pula sebaliknya, terjadi di seluruh negeri. Meminjam istilah psikoanalitik, Indonesia menjadi pasien sakit jiwa di antara bangsa-bangsa.
Llyod de Mause, Direktur Institute of Psycho-History, menarik kesimpulan yang mirip pada tahun 1991 mengenai George Bush, yang menyerang Irak dengan 600.000 serdadu sekutu, termasuk negara-pengkhianat Arab, yang berpihak ke Washington melawan saudara-saudara sebangsanya. Ia menerbitkan makalah berjudul ‘The Gulf War as a Mental Disorder’. Dalam istilah klinik, reaksi Bush I atas perilaku buruk Saddam Hussein yang menyerbu Kuwait, adalah reaksi psikotik atas nama Presiden Amerika Serikat, yang berdampak luas pada seluruh wilayah Timur-Tengah. Pengungkungan Irak masih berlangsung di tahun 2001 dan terus meracuni situasi politik dan militer di bagian dunia yang mudah meledak itu. Bush I dan Saddam Hussein, keduanya seharusnya menggunakan nasihat psiko-analitik sehingga mereka dapat menyadari sepenuhnya akan derita yang mereka sebabkan bagi jutaan orang Irak, terutama anak-anak. Ribuan anak telah meninggal karena kelaparan dan tiadanya pelayanan kesehatan yang layak.
Ramsey Clark, jaksa agungnya Lyndon B. Johnson tahun 1961-1968, pergi ke Irak dengan rekan-rekannya dan meneliti dampak malapetaka dari pemboman sekutu yang membabi-buta terhadap Irak. Ia segera membentuk komisi penyelidik bagi Pengadilan Kejahatan Perang Internasional (International War Crimes Tribunal). Ia juga membentuk Koalisi untuk Menghentikan intervensi AS di Timur-Tengah. Tahun 1992 ia menerbitkan laporan yang mengagetkan setebal 325 halaman berjudul ‘The Fire this Time’, dengan sub judul, ‘US War Crimes
| |
| |
in the Gulf’. Ia sedang berada di Baghdad ketika sebuah bom presisi AS yang dikendalikan laser ditembakkan ke tempat perlindungan bawah tanah dan membunuh ratusan orang termasuk perempuan dan anak-anak. Angkatan Udara AS menjatuhkan 88.000 ton bom di Irak pada tahun 1991, jumlah yang setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima.
Hal ini tentu saja telah terlupakan sekarang, media Barat - apalagi koran Indonesia di zaman pemerintahan Soeharto - tidak melaporkan bahwa Pengadilan Kejahatan Perang Amerika (Tribunal for American War Crimes) di New York, yang dihadiri 22 hakim dari 18 negara menyimpulkan bahwa Amerika Serikat dan para pejabat terasnya dinyatakan bersalah atas ke-19 tuduhan kejahatan perang. Pengadilan itu dengan cermat menunjukkan bagaimana Bush I dan komplotannya telah melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konstitusi AS. Mantan Menteri Kehakiman AS itu terpaksa harus berpaling ke The Thunder's Mouth Press di New York untuk dapat menerbitkan laporannya dan menyediakannya bagi opini publik Amerika. Tidak satu penerbit pun berani menerbitkan berita tersebut. Itulah keadaannya di negara yang menggembar-gemborkan keberhasilan bahwa mereka telah dapat membangun masyarakat yang bebas dan berdemokrasi.
Oleh sebab itu, tanpa menceriterakan hal yang sebenarnya kepada masyarakat, pemerintahan yang akan datang - seperti Bush II - tidak akan atau sedikit sekali mendapat tentangan, apabila mereka akan mengawali petualangan militer yang sama. Amerika Serikat dengan sekutunya boleh dikatakan tidak kehilangan seorang pun serdadunya di Perang Teluk. Lebih lanjut lagi, negara-negara Barat yang kaya mampu menghamburkan
| |
| |
beberapa ratus miliar dolar bagi pasukan yang dikirim ke Timur-Tengah. Sebenarnya, hal ini merupakan ‘bisnis baik’ bagi industri perang Amerika Serikat yang besar itu, yang selalu mencari peluang untuk mulai dengan konfigurasi yang kecil atau besar, selama tanah air kaum Yankee itu tidak terganggu.
Psiko-sejarah mencoba untuk membangun sintesis yang cocok di antara yang tidak normal dengan yang normal. Ia mempelajari agresifitas, seksualitas, gairah, fantasi, dan emosi yang berkecamuk di dalam diri subjeknya. Pada awal abad ke-21 pola pikir orang Indonesia tampaknya bergerak di suasana politik negara-tak-bertuan. Bahtera negara Indonesia tidak berkapten, ataukah ia memerlukan seorang ‘ayah’? Di sinilah kita teringat akan kajian yang terkenal dari dr. Alexander Mitscherlich, seorang ahli neurologi Jerman dan presiden dari Society of Psychotheraphy and Depth Psychology, yang pada tahun 1963 menulis buku ‘Society without the Father’ (Harcourt, Brace & World, New York).
Akar budaya bangsa Indonesia mungkin menyimpan di dalam jiwa masyarakatnya beberapa ingatan mengenai kerajaan masa dahulu seperti Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram. Beberapa yang lain akan mengenang hari-hari kelam imperialisme Belanda atau masa singkat pendudukan Jepang. Beberapa orang akan mengingat Jan Pieterz Coen, Jenderal B.J. van Heutsz, atau barangkali Multatuli, pengarang Belanda pemberi harapan, yang membangun pemahaman yang mendalam mengenai pemikiran orang Jawa. Tak pelak lagi, telah terjadi langkah penyerbukan silang di antara pikiran Belanda dan Indonesia yang tak terhapuskan, yang bermanfaat bagi keduanya. Pendudukan Jepang juga membawa bayangan suram pada
| |
| |
kepulauan ini dan meninggalkan torehan luka yang dalam di dalam ingatan banyak orang.
Namun demikian, ayah sejati bangsa Indonesia bukan, misalnya, Gajah Mada, yang pada tahun 1331 menjadi Patih atau Perdana Menteri Kerajaan Majapahit (lihat ‘Nusantara: A History of Indonesia’, W. van Hoeve, The Hague, 1959), tetapi Ir. Soekarno (1901-1970). Ia menjadi ayah sejati bagi bangsa ini, karena Indonesia mewarisi Netherlands East Indies (Hindia Belanda) ciptaan Belanda sebagai tanah airnya. Bagi kami, bangsa Belanda, ia adalah Willem van Oranje (1533-1584), yang memimpin perjuangan kemerdekaan lima ratus tahun yang lalu, yang menjadi ‘bapak tanah air’ kami, sama halnya dengan George Washington (1732-1799) bagi bangsa Amerika atau Simon Bolivar (1783-1830) bagi bangsa Amerika Latin, sebagai satu-satunya penyelamat bangsa Amerika dan Amerika Latin. Bung Karno menonjol bersama Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru, Fidel Castro, Che Guevara, Gamal Abdel Nasser, Kwame Nkrumah, Patrice Lumumba, Nelson Mandela, Broz Tito, Mao Tse-tung dan lain-lain, sebagai tokoh-tokoh utama yang memerdekakan bangsa-bangsa Asia, Afrika, Rusia, Yugoslavia, dan masyarakat Amerika Latin selama revolusi dengan munculnya semangat kemerdekaan yang dikobarkan masyarakat yang pernah dijajah dalam abad ke-16 sampai ke-20.
Bagi sebagian besar orang Indonesia, Bung Karno telah menjadi tokoh dongeng. Mereka barangkali mendengar cerita mengenai tokoh ini dari orang tua atau kakek neneknya, namun mereka baru lahir lama setelah makar atau kup (coup d'etat) pengkhianatan yang dilakukan sekelompok perwira militer pada tanggal 1 Oktober 1965.
| |
| |
Setelah saat yang amat menentukan di dalam sejarah Indonesia itu, bapak bangsa ini difitnah dan dihujat oleh para penerusnya sampai suatu tahap yang membuat orang ragu apakah namanya akan dibersihkan dan dikembalikan ke tempatnya yang layak dan sah di dalam sejarah Indonesia. Selama sepuluh tahun, sejak tahun 1956 hingga 1965, saya mengenal Bung Karno, baik sebagai pemimpin dunia ketiga yang terkemuka maupun sebagai teman pribadi. Pada tahun 2001, meminjam istilahnya Alexander Mitscherlich, Bung Karno telah menjadi ‘bapak bangsa yang gaib’. Dengan berlanjutnya sejarah, dan kenyataan masa lalu menjadi semakin samar, orang makin bergantung pada kenangan palsu yang terkenal kejamnya, atau apa yang mungkin ditulis dalam buku sejarah mengenai apa yang diduga terjadi pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965. Tetapi semua cerita itu pun tidak benar.
Ketika para perwira angkatan bersenjata melakukan kudeta, anak-anak yang bersekolah di tahun-tahun berikutnya cenderung untuk mempercayai cerita yang ditulis dalam buku sejarah mereka. Apabila cara seperti fasisme dan pengawasan kebijakan politik diterapkan untuk menjaga agar para jenderal yang berkhianat itu tetap duduk di pelana mesin propaganda, maka yang digambarkan biasanya adalah para pengkhianat itu sebagai orang suci dan yang dikhianati sebagai orang yang keji dan sangat buruk. Dalam hal Bung Karno, Jenderal Soeharto yang menggantikannya di tahun-tahun setelah kup tahun 1965 itu, menuduh bapak bangsa ini telah bersekongkol dengan kaum komunis yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjatuhkan pemerintahannya sendiri. Tuduhan yang menggelikan terhadap bapak bangsa ini sangatlah jahat dan beracun, dan disebarluaskan
| |
| |
sedemikian efektifnya dengan cara propaganda modern ke seluruh Kepulauan Indonesia, sehingga sangatlah sukar, dan sering tidak mungkin, untuk menghancurkan kedengkian yang hidup di dalam pikiran rakyat Indonesia.
Hari ulang tahun Bung Karno yang ke-100 diperingati pada tanggal 6 Juni 2001 di Jakarta oleh keluarga dan teman-temannya. Pagi harinya saya hadir di Istana Merdeka pada acara memperingati lahirnya kelima sila dari Pancasila, yang dirancang oleh Soekarno sebagai pilar penyangga negara modern ini. Pada hari-hari itu saya sedang meluncurkan buku saya ‘Bung Karno Sahabatku’ (Pustaka Sinar Harapan), dan bersama Sukmawati Soekarnoputri, putrinya yang keempat, saya menyampaikan buku tersebut kepada presiden saat itu, Abdurachman Wahid. Setelah itu saya menghadiri pergelaran budaya di Jakarta Convention Centre, yang diselenggarakan oleh Rachmawati Soekarnoputri, putrinya yang kedua, dengan dukungan Universitas Bung Karno yang didirikannya pada tahun 1999.
Kejutan yang mengagetkan saya hari itu terjadi saat saya dalam perjalanan kembali ke Hotel Indonesia dan membuka halaman editorial surat kabar ‘Jakarta Post’ terbitan 6 Juni 2001, saya membaca tajuk: ‘Mengenang Soekarno’. Ada bagiannya yang mengatakan: ‘Kesalahannya yang terbesar, seperti anggapan banyak peneliti, ialah sikapnya yang keras kepala menolak membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) segera setelah kup yang gagal itu, yang membawanya berselisih paham dengan Angkatan Bersenjata Indonesia, saat itu dipimpin oleh Letnan Jenderal Soeharto, yang kemudian menggantikan Soekarno, dan menyebabkan presiden pertama negeri ini dikenakan tahanan rumah yang sesungguhnya.’ Seluruh kalimat tahun 2001 itu sungguh
| |
| |
berlawanan dengan - boleh dikatakan - setiap fakta yang terjadi pada tahun 1965.
Sopir taksi Blue Bird menanyakan pada saya mengenai pandangan orang luar negeri akan Indonesia, setelah pemilihan umum yang demokratis di negeri ini memunculkan seorang presiden yang boleh dikatakan buta. Saya teringat akan pertanyaannya dan ditambah dengan kenyataan yang saya baca itu, semuanya menunjukkan bahwa seluruh Indonesia buta akan apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965. Apabila editor surat kabar ternama bisa menulis omong kosong seperti itu 36 tahun setelah peristiwa tersebut terjadi, jelaslah bahwa ada banyak hal yang lebih buruk di negeri Indonesia yang mungkin masih tersimpan dan belum terkuak sampai saat ini. Hari-hari berikutnya, saya menyelidiki semua kejadian yang saya temukan di Jakarta, apa yang sebenarnya diketahui masyarakat tentang masa bergolak selama tahun-tahun terakhir kehidupan Bung Karno sejak tahun 1965 sampai ia meninggal pada tahun 1970. Ya, kebanyakan pernah mendengar, bahwa kup tersebut diduga didalangi oleh CIA, tetapi mana buktinya? Saya sadar bahwa, sementara seluruh dunia berpendapat bahwa peristiwa Jakarta 1965 merupakan suatu skenario hebat dari sebuah kup yang didalangi oleh CIA, seperti terlihat selama bertahun-tahun di mana-mana, hanya bangsa Indonesialah yang tidak tahu mengenai apa yang telah menjatuhkan bapak bangsa ini.
Tanggal 16 Juni 2001 saya kembali duduk di depan komputer saya di Amsterdam untuk menyajikan informasi bagi pembaca Indonesia masa kini, informasi yang dengan sengaja disembunyikan selama 32 tahun oleh pemerintahan militer yang
| |
| |
fasis, saat AS dan negara kaya lainnya di dunia (termasuk Belanda) membiayai dan mempersenjatai rezim Soeharto yang korup dan haus darah, dengan mengorbankan hak manusia yang paling asasi dari bangsa Indonesia.
|
|