Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 32]
| |
4
| |
[pagina 33]
| |
terhadap Jakarta dan Soekarno. Ketika John F. Kennedy menjadi presiden pada tanggal 21 Januari 1956, saya telah membina hubungan yang erat dengan mereka selama lima tahun. Oleh sebab itu, ketika saya mendengar pada tahun 1961 bahwa Bung Karno akan berkunjung ke Gedung Putih pada tanggal 24 dan 25 April, dan Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns, tanggal 10 dan 11 April, saya memutuskan akan bergerak cepat. Pemerintah AS harus diberitahu mengenai lobi para warga terkemuka Belanda itu, yang menentang cara Joseph Luns menangani masalah Indonesia yang sudah basi itu. Sejak beberapa tahun ini saya sadar bagaimana ia dengan sengaja memutarbalikkan niat dan kebijakan Soekarno di kabinet dan parlemen Belanda. Ia dengan sengaja melencengkan kedudukan Washington dalam sengketa Irian Barat dan meninggalkan kesan di Den Haag, bahwa bila terjadi perubahan, Amerika akan berpihak ke Belanda. Ini pun dusta yang jelas-jelas konyol.
Saya menghubungi Walt Rostov, penasihat keamanan nasional John F. Kennedy. Pada tanggal 5 April 1961 saya mengunjunginya di kantornya di Gedung Putih dan memberinya sebuah memorandum 12 halaman mengenai apa yang sebenarnya berlangsung di antara Jakarta dan Den Haag. Dokumen itu masih tersimpan sampai sekarang di Perpustakaan JFK di Boston. Dalam kesempatan perbincangan kami, saya menyarankan Profesor Rostov untuk meminta pendapat suami Ratu Juliana, Pangeran Bernhard dari Negeri Belanda. Selama bertahun-tahun pangeran ini telah menjadi pelindung tak resmi dari ‘kelompok lobi Belanda New Guinea’, yang menganjurkan penormalan hubungan dengan Indonesia, dengan secepatnya menyerahkan kedaulatan atas hutan-hutan di Irian Barat itu kepada | |
[pagina 34]
| |
Indonesia. Beberapa orang teman terdekat Pangeran Bernhard adalah anggota kelompok pendesak ini.
Ketika Luns tiba di Gedung Putih untuk pertemuannya yang pertama dengan Presiden AS yang baru ini, ia segera tahu bahwa JFK telah mendapat informasi yang tidak mungkin berasal dari jajaran kebijakan luar negeri Belanda. Siapa yang memasok Presiden Amerika ini dengan fakta yang menggelisahkan itu? Luns hampir gila karena marah. Seperti yang ditulis Profesor Arthur Schlesinger Jr. dalam bukunya ‘The Thousand Days’ mengenai John F. Kennedy di Gedung Putih, Menteri Luns tidak lagi dapat menguasai dirinya ketika membincangkan masalah New-Guinea dengan JFK di Ruang OvalGa naar voetnoot1.. Ia benar-benar amat marah, dan Schlesinger, pembantu dekat presiden, menulis: ‘ia mengacungkan telunjuknya yang gembrot itu ke wajah Kennedy, sikap yang dengan santun diacuhkan oleh Kennedy’. (Houghton Mifflin, Boston, 1995).
Saya terbang ke Los Angeles untuk bertemu dengan Presiden Soekarno saat ia tiba di Amerika Serikat. Saya memberitahu ia tentang prakarsa saya langsung berurusan dengan puncak kekuasaan di Washington. Pada saat yang sama saya memberitahu ia bahwa dua orang wakil dari kelompok pelobi Belanda, Emile van Konijnenburg (KLM) dan Koos Scholtens (Royal Dutch Shell) juga akan terbang ke Washington untuk bertemu dengan Kepala Negara Indonesia ini di Hotel Mayflower. Dengan tindakan saya ini saya sadar | |
[pagina 35]
| |
sepenuhnya, bahwa untuk sementara saya meninggalkan pekerjaan saya sebagai wartawan dan berganti menjadi diplomat tak resmi, dan untuk itu saya sering dikritik. Tetapi, setelah meniru cara CIA yang membungkam saya sebagai wartawan penulis berita, saya tidak punya pilihan lain selain memanfaatkan informasi yang telah saya peroleh dengan cara di belakang layar dalam lingkungan sekitar diplomatik. Masa depan hubungan Belanda-Indonesia dipertaruhkan di sini. Kolonialisme sudah tamat. Pengalaman dan pelajaran yang diperoleh setelah saling mengenal selama tiga ratus tahun harus diubah dan disesuaikan dengan kenyataan baru. Mengapa Belanda tidak dapat mengikuti contoh Inggris dan membina hubungan Persemakmuran dengan bekas jajahannya di Asia?
Roger Hilsman, yang berdinas sebagai Direktur State Department Bureau of Intelligence and Research, biro intelijennya JFK, dan kemudian menjadi Pembantu Menteri Luar Negeri Urusan Timur Jauh, pada tahun 1967 menerbitkan buku berjudul ‘To Move a Nation’ (Doubleday & Co., New York). Di dalam buku itu ia banyak menulis tentang Indonesia. Ia bercerita bahwa perbincangan dua hari di antara Bung Karno dan JFK berlangsung baik dan lancar, dan dari sumber langsung saya tahu akan fakta bahwa keberhasilan ini adalah berkat usaha dr. Zairin Zain, Dubes Indonesia di Washington saat itu. ‘Kennedy mengenali jiwa seorang politikus dan nasionalis sejati dalam diri Soekarno,’ demikian ditulis Hilsman, ‘Sementara itu, Soekarno mengakui dan menghargai kenegarawanan Kennedy serta empatinya bagi bangsa yang sedang berjuang di dunia.’ Dalam pembicaraan terakhir saya sendiri dengan Bung Karno di bulan Oktober 1966 - dan saya sering melaporkan | |
[pagina 36]
| |
pembicaraan itu, kata-demi-kata seperti yang diucapkannya, dalam beberapa buku yang saya terbitkan sebelum ini - presiden membenarkan pendapat Hilsman itu. Sementara itu, JFK terbunuh dan sama seperti kita semua, Presiden Soekarno juga berusaha mencari tahu mengenai hal tersebut. Ia meragukan pernyataan yang menyebut Lee Harvey Oswald sebagai pembunuh tunggal presiden Amerika itu.
Wartawan David Wise dari Herald Tribune dan Thomas Ross dari Chicago Tribune menyebutkan rincian penting dalam buku mereka ‘The Invisible Government’ (Random House, New York, 1964) tentang kunjungan pertama Soekarno ke JFK pada tahun 1961, yang sebagian besar terlewati oleh kajian kebanyakan peneliti. John Kennedy berkata kepada pembantunya, demikian wawancara Wise dan Ross, ketika Bung Karno berkunjung ke Gedung Putih: ‘Tidaklah mengherankan apabila Soekarno tidak terlalu menyukai kita. Ia harus duduk bersama orang-orang yang mencoba menggulingkannya.’ (hlm. 145). JFK jelas merujuk kepada berbagai percobaan pembunuhan terhadap Presiden Indonesia itu, seperti juga upaya makar yang terkenal busuk pada tahun 1958, yang dilakukan oleh Eisenhower di Gedung Putih, Pentagon, CIA, dan Departemen Luar Negeri, yang berkolusi dengan para pengkhianat dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. (Mengapa tidak pernah ada percobaan pembunuhan terhadap Soeharto?)
Campur tangan saya di Gedung Putih pada tanggal 5 April 1961, seperti saran saya kepada Rostov, telah membuahkan hubungan langsung antara JFK dengan Pangeran Bernhard. Dalam pandangan saya, suami Ratu Juliana ini telah bertindak | |
[pagina 37]
| |
sangat berani dalam melangkahi saluran pemerintah yang lazim, dengan memberitahu Presiden Amerika Serikat secara tak resmi bahwa Joseph Luns itu sontoloyo dan telah menarik Belanda dan Indonesia ke arah pertentangan militer yang sungguh sia-sia. Campur tangan Bernhard ini tentu saja berlangsung secara sangat rahasia. Agar tidak lebih memerahkan wajah Yang Mulia Ratu tanpa ada manfaatnya, karena suaminya memberikan saran yang bertentangan dengan kebijakan resmi Pemerintah Belanda kepada Gedung Putih, hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah kerajaan konstitusional itu, di mana semua pihak yang terlibat menutup mulutnya rapat-rapat.
Dengan demikian, campur tangan anggota kerajaan ini tetap tinggal sebagai rahasia, sehingga ketika dr. Soebandrio misalnya, pada tahun 2000 menerbitkan bukunya berjudul ‘Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat’ (Yayasan Kepada Bangsaku), ia sama sekali tidak menyinggung campur tangan Bernhard ini. Bandrio juga tidak menyebut kaum pelobi Belanda yang dipimpin oleh teman pribadi Pangeran Bernhard, dr. Paul Rijkens, mantan ketua Unilever Brothers. Soebandrio sendiri telah berkali-kali bertemu dengan wakil-wakil dari kelompok pelobi Belanda-Irian Barat ini. Demikian juga dengan dr. Ruslan Abdulgani, yang bahkan menganggap Emile van Konijnenburg sebagai teman pribadinya. Abdulgani menulis kata pengantar buku Soebandrio itu tanpa menyebutkan Bernhard (serta kelompok pelobinya), ia juga menulis bahwa penyerahan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia itu sepenuhnya berkat kemenangan diplomasi Indonesia. Tentu saja di dalam bukunya dr. Soebandrio menyatakan dirinya sebagai kekuatan penggerak yang akhirnya berhasil mengembalikan kesatuan wilayah di dalam Kepulauan Indonesia. | |
[pagina 38]
| |
Hal itu mengingatkan saya akan pernyataan Napoleon yang tersohor, bahwa sejarah seringkali merupakan kumpulan dongeng yang telah disepakati sebelumnya. Menurut pendapat saya, orang yang akhirnya memecahkan kebuntuan mengenai akan dibawa ke mana orang Papua New Guinea itu adalah Pangeran Bernhard, yang dengan gamblang menyatakan bahwa satu-satunya jalan terbaik menyelesaikan masalah ini ialah lewat penengah. Saran itu diikuti JFK sepenuhnya. Segera terjadi perundingan dan setahun kemudian masalah ini diselesaikan dengan tuntas pada tanggal 15 Agustus 1962 di ruang Chamber of the Security Council di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya hadir di sana. Ketidakhadiran Luns sangat mencolok. Soebandrio di mata orang luar tampak sebagai jagoan satu-satunya, dan itu sama sekali tidak benar.
Campur tangan saya dengan Walt Rostov di Gedung Putih akhirnya diketahui oleh Luns dan intelijen Belanda. Segera pula saya didekati oleh seorang profesor misterius bernama Werner Verrips. Ternyata ia adalah mantan agen CIA, yang langsung mengancam saya, bahwa saya harus dilenyapkan bila saya tidak berhenti mencampuri urusan Belanda dengan Indonesia. Saya mengecek tokoh yang misterius ini dan saya dapati bahwa pada tanggal 20 Desember 1950 ia - bersama dengan teman-temannya penjahat CIA - merampok Javase Bank di Surabaya dan berhasil melarikan diri dengan menggondol empat juta rupiah, yang pada saat itu merupakan jumlah yang sangat besar. Bandit-bandit itu tertangkap dan dihukum. Verrips dipenjara selama beberapa tahun di Indonesia. Rupanya, setelah dibebaskan, ia pulang ke Belanda dan kembali menekuni pekerjaannya yang lama di bidang intelijen. | |
[pagina 39]
| |
Yang mengherankan saya, ceritera itu dibenarkan oleh Frans Goedhart, wartawan yang kemudian menjadi anggota terkemuka Partai Sosialis (PvdA) di Parlemen, seperti tertulis dalam Bab III bukunya, ‘Een Revolutie op Drift’ (A Revolution Adrift, G.A. van Oorschot Publishers, Amsterdam, 1953). Saya lanjutkan penyelidikan saya - saya sebutkan kehadiran Verrips di New York yang mengancam akan membunuh saya - kepada Kolonel Sutikno Lukitodisastro, Atase Militer Indonesia di Washington pada saat itu. Tikno adalah sahabat saya. Saya pertama kali bertemu dengannya pacta tahun 1957, ketika saya mengunjungi Batalion Garuda I di Mesir, yang bertugas di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjaga perdamaian di antara bangsa Arab dan Yahudi. Ia membenarkan bahwa ia adalah petinggi polisi militer yang menangkap Werner Verrips pada tahun 1950 di Jawa dan memenjarakannya. Dengan demikian, isi bab dalam buku yang ditulis Frans Goedhart itu dibenarkan oleh informasi tangan pertama dari pihak Indonesia yang berwenang.
Kemunculan Verrips di New York menjadi teka-teki bagi saya. Saya mencoba menerka siapa yang telah menyuruhnya mengancam saya. Apakah CIA, atau dinas rahasia Belanda, atau apakah ia diutus oleh kelompok pejabat militer Indonesia yang tidak menyukai hubungan saya yang akrab dengan Bung Karno? Tidak lama setelah Verrips, seorang pria misterius lainnya mendekati saya. Orang itu ialah Ujeng Suwargana, yang menyebutkan dirinya sebagai teman akrab dan utusan pribadi Jenderal Abdul Harts Nasution. Karena saya selalu ingin tahu tentang pribadi-pribadi baru yang menarik yang terkait masalah Indonesia, saya menjumpai Ujeng ini di suatu tempat di | |
[pagina 40]
| |
Manhattan. Inti pesan yang disampaikannya ialah bahwa di Jakarta, sejumlah jenderal telah membentuk Dewan Jenderal yang terutama bertujuan hendak menggantikan Bung Karno dengan atasan langsung Ujeng, Jenderal Nasution. Pesan mengenai kelompok baru ini memang mengejutkan saya. Saya cemas dan membincangkan hal ini dengan Sukardjo Pranata, dubes di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pak dubes menyarankan saya untuk mengacuhkan Ujeng, karena Bung Karno dapat mengendalikan semua masalah di Jakarta dengan baik. Saya tidak yakin. Saya terbang ke Washington untuk berbicara dengan Dubes dr. Zairin Zain. Sementara menunggu dipersilakan masuk ke ruang kerja pak dubes, saya sangat terkejut ketika melihat Ujeng sedang sibuk mengetik di kantornya Jenderal Surjo Sularso, yang saya kenal sebagai orang yang setia kepada Bung Karno. Apakah Ujeng sedang melapor ke Dewan Jenderal dari kantor atase militernya Soekarno di Washington?
Dubes Zain juga mengingatkan saya agar bijaksana, tetapi ia meninggalkan kesan bagi saya, bahwa ia pun sadar akan adanya semacam rekayasa di antara petinggi Angkatan Bersenjata Indonesia, dan hal ini meresahkannya juga. Sementara itu, beberapa teman saya di Belanda melaporkan hal yang sama, bahwa Ujeng telah mendatangi parlemen Belanda dan lingkungan wartawan, mengumumkan bahwa tidak lama lagi akan ada pengalihan kekuasaan militer oleh Jenderal Nasution dan kawan-kawannya di Jakarta. Saya mengambil keputusan bahwa hal yang paling sedikit dapat saya lakukan ialah memberitahu Bung Karno lewat saluran rahasia kami (untuk mencegah mata-mata Soebandrio, bahkan di Istana Merdeka), Jenderal Suhardjo Hardjowardojo. Tak lama kemudian, saya | |
[pagina 41]
| |
mendengar dari Bob Tapiheru, asisten utama Dubes Zain, bahwa Presiden Soekarno telah mengutus Kolonel Magenda ke Washington dan New York untuk menyelidiki laporan saya kepadanya. (Rinciannya dapat dibaca dalam buku ‘Den Vaderland Getrouwe’, Willem Oltmans, Bruna, Utrecht, 1973. 680 hlm). |
|