Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 341]
| |
Jakarta (13)Kolonel Sutikno Lukitodisastro mengatakan kepadaku dengan terpaksa dan dengan sangat menyesal bahwa saya jangan berharap agar Jenderal Soeharto masih mau memberikan wawancara untuk dokumenter NTS kami. Dia menolak mentah-mentah. Tetapi saya tidak putus asa. Tanggal 24 Oktober 1966 sekali lagi saya berada di Jakarta. Baik ajudan Bambang Widjanarko maupun asisten Bapak, Rochmuljati rupanya mengetahui tentang yang disebut ‘affair Marshall Green.’ Kali ini pun Rochmuljati berkomentar, ‘Orang itu gila!’ BM Diah juga ada di sana. Kali ini pun ia mendapat teguran lagi dari presiden, ‘Apa sebenarnya kode-etik kalian para jurnalis?’ Tanyanya kepada Pemimpin Redaksi Harian Merdeka itu, ‘Kalian sudah menulis bahwa Bandrio bersalah tetapi keputusan hakim masih harus dijatuhkan. Bagaimana kalian bisa menulis bahwa Subandrio harus dihukum mati? Orang-orang Belanda dulu jauh lebih baik. Ketika saya pada | |
[pagina 342]
| |
tahun 1927 dipenjara, Harian Preanger Bode menulis, ‘Soekarno harus digantung pada pohon yang paling tinggi!’ Tetapi Profesor De Schepper dari Belanda ikut campur dalam diskusi itu dan mengatakan, ‘Diam kalian! Kalian masih harus menunggu keputusan pengadilan!’ BM Diah bersikap pura-pura malu dengan memandang lurus ke depan. Pada saat lain Bung Karno ingat kembali kunjungan Perdana Menteri Nikita Kruschev dari Uni Sovyet. ‘Saya dituduh anti Amerika dan pro Sovyet. Ketika Kruschev ke sini, kami katakan kepadanya bahwa kami membutuhkan pinjaman sebesar 100 juta dolar. Kruschev memandang menteri luar negerinya, Andrei Gromyko, yang mengangguk menyetujui. Oke, semua beres! Kami langsung menerima uang yang kami butuhkan. Apakah saya sekarang harus membenci orang itu, karena Washington menghendakinya?’ ‘Yang Bapak minta itu tidak cukup’, komentar BM Diah. Sementara itu, saya berhasil memiliki lima buku ukuran besar berisi koleksi lukisan Bung Karno yang dicetak di PekingGa naar voetnoot1.. Saya meminta Presiden agar sudi menuliskan tanda tangannya. Bukan tanda tangan saja, yang dituliskan adalah:
Untuk Wim, | |
[pagina 343]
| |
Tanggal 25 Oktober 1966, dalam sebuah peresmian di istana, Bung Karno akan memberikan sebuah bintang keempat kepada Laksamana Muljadi. Semua, yang termasuk orang penting di Jakarta, pergi ke istana untuk, seperti kali ini, mengucapkan selamat atas kenaikan pangkatnya menjadi Laksamana. Jenderal Soeharto hadir pula. | |
[pagina 344]
| |
Sebelumnya, pada pagi itu saya telah membeberkan problem saya kepada presiden: kami akan pulang ke Belanda tanggal 27 Oktober. Apakah Bapak bersedia mengimbau Soeharto agar masih mau memberikan wawancara televisi bagi kami? ‘Saya tidak pernah bisa menolak permintaanmu!’ kata presiden. Setelah upacara di istana, saya melihat presiden memanggil Soeharto. Soeharto memberi hormat kepada Panglima tertingginya dengan sikap berdiri tegak. Tak lama kemudian saya diberi tahu bahwa saya bisa menghadap jenderal untuk membuat janji untuk pembuatan film 25 Oktober 1966, sehari sebelum saya berpamitan untuk terakhir kalinya dari Bung KarnoGa naar voetnoot2.. Dia masih membantuku untuk ke sekian kalinya, agar tim NTS dan saya tidak kembali ke Hilversum dengan tangan kosong dan berhasil mewawancarai tokoh yang sedang berusaha menggulingkan presidennya agar dalam tiga puluh tahun yang akan datang dapat menduduki jabatannya. Saya segera menghampiri Soeharto. Apakah dia mau memberikan wawancara untuk NTS? Dia tidak menjawab: ‘Oke, akan saya lakukan’, memang dia tidak bisa berbahasa Belanda seperti Bung Karno, tetapi dia melihat jam tangannya, memegangnya dengan tangan yang satunya dan berkata, ‘Besok, jam sembilan, di rumahku Jalan Cendana 8’Ga naar voetnoot3.. Pendek dan tegas jawabannya. Saya serasa bisa meloncat kegirangan, karena dia sebelumnya belum pernah memberikan wawancara | |
[pagina 345]
| |
untuk televisi, dan saya berhasil mendapatkannya. ‘Anda adalah seorang bidadari,’ kataku kepada Jenderal Soeharto dalam bahasa Belanda. Dia menjawab dalam bahasa Indonesia yang tentunya tidak saya pahami. Orang yang berdiri di dekatnya menerjemahkannya untukku, ‘Kata jenderal, ya, bidadari laki-laki tentunya’. Begitulah berlangsung ‘adu kata’ pertamaku dengan orang yang antara 1967 dan 1970 akan memperlakukan Bung Karno sedemikian menyakitkan sampai akhir hayatnya. Tanggal 26 Oktober 1966, sebelum pukul sembilan saya bersama tim NTS sudah ada di rumah Jenderal Soeharto. Kami disambut oleh Kolonel Sutikno Lukitodisastro, yang terheran-heran bagaimana akhirnya kami berhasil mendapatkan persetujuan majikannya untuk memberikan wawancara, walaupun itu berkat bantuan dorongan dari Bung Karno. Tahun 1995 Soeharto masih mendiami rumah itu, walaupun sudah tampak diperbaiki dan diperluas. Rumahnya yang ‘diberikan’ kepadanya oleh seorang mitra usahanya yang berbangsa Cina, saat itu sudah luas dan modem dan mempunyai halaman dalam di mana ditempatkan sebuah kurungan berisi seekor orang utan yang sangat besar. Melihat itu, terlintas dalam pikiranku, ‘Soekarno tak akan melakukan hal itu’. Sepanjang ruang tamu rumah itu terletak sebuah taman yang tersusun dengan rapi. Di ruangan ada dua ekor harimau yang diawetkan dan ada satu helai kulit harimau di lantai. Juga sesuatu yang tak akan kita temukan di istana Bung Karno. Ada pula sebuah akuarium dengan ukuran yang amat besar dan mencolok mata. Dua kali sebesar akuarium yang ada di istana. Tetapi tempat | |
[pagina 346]
| |
menyimpan ikan-ikan milik Soeharto bercirikan suatu emblem yang mengkilat, emblem Mercedes Benz. Jenderal Soeharto bersikap ramah, tetapi terlihat gugup. Bagiku Soeharto kelihatan sebagai seorang Jawa tulen dan itu membuatku merasa tenteram. Dia berusia 45 tahun dan tampak muda dan energik. Dia satu generasi lebih muda dari presidennya. Ketika Soekarno berusia 45 tahun dia sudah dua puluh tahun memimpin revolusi antiimperialis untuk membebaskan negerinya dari kolonialisme. Tahun 1946, ketika puluhan ribu militer Belanda mendarat membawa tank dan meriam, Soeharto berusia 25 tahun dan masih harus menunjukkan kemampuan dan jasa-jasanya dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia melawan Belanda. Tahun 1965, politik dalam negeri bagi Soeharto sebagian besar masih merupakan terra incognita (tanah/daerah yang belum diketahui), dan politik luar negeri atau hubungan-hubungan internasional umumnya sama sekali tidak diketahuinya. Karena itu, nada yang amat arogan yang dia pergunakan dalam memoar (kenang-kenangannya), seolah-olah dia lebih berkualifikasi untuk memegang kemudi negara daripada Bung Karno, merupakan gambaran yang menyedihkan betapa tidak inteligennya jenderal yang ‘jatuh ke atas’ ini sebenarnya. Berulang kali dia demonstrasikan dalam kenang-kenangannya pandangannya yang terbatas dan picik serta kebodohannya dengan nada yang tidak menyenangkan, yang sama sekali tidak kena. Bukan keahliannya dan bukan pengetahuannya mengenai banyak hal yang menyebabkannya bisa bertahan sampai tiga puluh tahun di puncak pimpinan Indonesia, | |
[pagina 347]
| |
tetapi kelicikannya yang dalam bahasa Indonesia disebut ‘pintar busuk’Ga naar voetnoot4.. Juga kesediaannya untuk melenyapkan lawan-lawannya atau mereka yang tidak bersahabat dan yang dicurigainya, menyebabkan ia berkuasa tunggal bagi rakyat yang digambarkan Multatuli sebagai ‘rakyat yang paling berperasaan halus di dunia’. Tanggal 26 Oktober 1966 itu, dia menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku tanpa memandangku sekalipun dan dengan suara hampir berbisik menjawab semua pertanyaanku. Loed Hentze, yang menangani alat instalasi suara NTS, dengan susah payah mengusahakan agar dapat menangkap kata-kata yang hampir tidak terdengar itu. Tambah celaka lagi karena sebentar-sebentar kedengaran kokok ayam di halaman dalam dan pada pukul 10 terdengar sepuluh kali bunyi lonceng yang menggelegar, sehingga beberapa kutipan harus digunting dan dihilangkan. Soeharto juga berbicara dalam Bahasa Indonesia, yang merupakan hambatan tambahan, karena saya tidak dapat menyusun pertanyaan berdasarkan jawaban-jawabannya sebab Sutikno tidak diberi waktu untuk menerjemahkan pokok-pokok penting pembicaraannya. ‘Kami kurang waspada dalam politik’, kata Soeharto, jenderal yang tidak tahu apa pun mengenai soal-soal politik di depan kamera NTS. ‘Dulu kami benar-benar percaya bahwa PKI berjuang untuk kepentingan rakyat, bersama kelompok-kelompok sosial lainnya. Hal ini jelas tidak terjadi. Dua kali kita telah dihadapkan pada kejadian-kejadian yang tak terduga | |
[pagina 348]
| |
oleh PKI, yakni tahun 1948 dan 1965. Kita harus mencegah agar hal ini tidak terjadi untuk ketiga kalinya. Karena itu kita akan melakukan apa saja untuk mencegah PKI bangkit lagi di Indonesia’. Di sini dia mengeja kata demi kata raison d'etre (alasannya) untuk mengadakan pembunuhan massal terbesar dalam sejarah Indonesia secara terbuka untuk para pemirsa televisi di Belanda. Berulang kali dalam pidato-pidatonya setelah 1965, Bung Karno mempertanyakan apakah pembunuhan terhadap enam jenderal, seorang letnan, dan putri Jenderal Nasution mensahkan pembunuhan satu juta orang warga negara. Dan Soeharto selalu menjawab tanpa ragu, ‘Apakah terlintas dalam pikiran Bapak, apa yang akan dilakukan orang-orang komunis itu terhadap kita bila bukan tentara tetapi PKI yang memenangkan coup 1965 itu?’ Dalam benak Soeharto, kejadian-kejadian tahun 1965 sangat sederhana. Bagaimanapun ia mencoba menjelaskan kepadaku bahwa persoalannya adalah antara ‘mereka dan kami’, dan untuk gampangnya ia membisu mengenai realitas sederhana yang lainnya, bahwa Washington dan CIA menginginkan agar Partai Komunis Indonesia dilikuidasi, karena Indonesia di bawah Soekarno yang bersikap bermusuhan, bisa membahayakan mereka, karena berada dekat dengan kancah pertempuran di Vietnam. Dengan percakapan terakhir di Jakarta tahun 1966 ini, saya anggap misi NTS sudah selesai. Tanggal 27 Oktober 1966, diantar dan dengan lambaian Sutikno di Kemayoran, kami terbang kembali dengan KLM ke Amsterdam. | |
[pagina 349]
| |
Dalam Sidang MPR Sementara, yang diadakan 8 Maret 1967, Soeharto diangkat menjadi Wakil Presiden Indonesia. Tanggal 27 Maret 1968 secara resmi dia diangkat menjadi Presiden Kedua Republik Indonesia. Pada hari-hari itu saya sedang terbang bersama calon presiden dalam Pemilihan 1968, Richard Nixon, dalam pesawatnya melewati negara bagian New Hampshire. Tahun 1969, Nixon adalah presiden pertama Amerika Serikat yang datang ke Jakarta dalam suatu kunjungan negara. Antara tahun 1945 sampai 1969 Washington sudah menunggu dengan penuh harapan agar dapat mengadakan kunjungan kepresidenan ke Indonesia. Tetapi Soekarno harus dilenyapkan dulu dari panggung politik dan CIA sudah harus mengamankan daerah untuk mempermudah melangkah ke dunia Barat. Baru pada awal 1970, dunia luar menerima berita bahwa keadaan kesehatan Bung Karno memburuk. Saya pergi ke Paris dan menelepon di Avenue Montaigne 12 untuk mengunjungi Nyonya Dewi Soekarno dan anak gadisnya KarinaGa naar voetnoot5.. Sebelumnya saya belum pernah menemuinya. Dalam waktu singkat terbukti bahwa sebagai awal kami berada pada satu garis mengenai kejadian-kejadian yang menegangkan tahun 1965, yang dia alami sendiri dari sangat dekat. Dan juga pandangan kami tentang peran Washington dan CIA dalam perubahan yang terjadi di Indonesia, berjalan paralel. Pendeknya, terbukti kami menjadi mitra, terutama mengenai niat untuk menarik perhatian media internasional pada perlakuan jahat terhadap suaminya, yang di bawah tanggung | |
[pagina 350]
| |
jawab penggantinya, benar-benar dikucilkan dari dunia luar, dari keluarga terdekatnya sekalipun, tepat seperti yang diduga Nasution dan Ujeng Suwargana pada awal tahun enam puluhan, ‘Membiarkan Soekarno mati seperti setangkai bunga yang tidak lagi diberi air’. Dewi mengetahui amat sangat banyak detail bagaimana penjaga-penjaga Bung Karno memperlakukannya dengan sangat kejam. Berjam-jam dia diinterogasi oleh para militer, mengenai perannya tahun 1965, sebelum dan sesudah perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto. Beberapa waktu kemudian, aku hadir saat penerbit Masagung dari Jakarta datang ke Paris membawa rekaman interogasi itu. Maksudnya ialah agar Dewi menukarkan rekaman-rekaman yang menyayatGa naar voetnoot6. hati ini dengan surat-surat vital yang amat penting yang ditulis presiden pada hari-hari terjadinya coup, mula-mula dari Pangkalan Udara Halim dan kemudian dari istana Bogor untuk diserahkan kepada rezim Soeharto. Dewi tidak hanya mendapat kunjungan dari anak-anak Bung Karno, tetapi sahabat-sahabat setia Bung Karno juga sering berkunjung. Dengan demikian dia mengetahui misalnya bahwa Jenderal Alamsyah, orang yang untuk Soeharto menyalurkan dana dari Amerika Serikat kepada Angkatan Bersenjata Republik IndonesiaGa naar voetnoot7. telah mencuri tiga mobil | |
[pagina 351]
| |
Soekarno yang tertinggal. Selanjutnya, untuk membuat hidup Bapak lebih menderita dan lebih kesepian, pada suatu hari Jenderal Alamsyah datang ke Wisma Yaso untuk mengambil juga pesawat televisi Bung Karno. Dengan demikian kontak terakhir dengan dunia luar pun benar-benar terputus. Kami bersepakat untuk bertindak. Bersama-sama kami menulis sepucuk surat terbuka kepada Jenderal Soeharto yang tanggal 16 April 1970 dimuat di halaman depan mingguan Vrij Nederland. Itu terjadi dua puluh lima tahun yang lalu. Teks surat itu, pada tahun 1995 masih mempunyai nilai sejarah, pada waktu peringatan lima puluh tahun Republik Indonesia, dan dimuat secara keseluruhan pada akhir buku ini. Beberapa bulan kemudian, setelah imbauan kami kepada Soeharto untuk memperlakukan mantan presiden dengan lebih baik, dan lebih manusiawi, Bung Karno dilarikan ke rumah sakit di mana dia meninggal tanggal 21 Juni 1970. Pada hari itu aku berada di Tokyo dan pergi ke Duta Besar Jenderal Ashari untuk menandatangani buku daftar belasungkawa. Tentu saja Soeharto tidak mempedulikan himbauan yang menyayat hati yang dikirimkan Dewi dari Paris untuk sudi membiarkan mantan presiden menghabiskan tahun-tahun akhir hidupnya dengan lebih manusiawi. Selama hidupnya, juga ketika dipenjarakan oleh Belanda, Bung Karno selalu dikelilingi orang untuk berdiskusi. Interaksi dengan orang-orang lain membuatnya ‘hidup’. Keramahan dan suasana bersahabat yang menyenangkan merupakan kebutuhan utama baginya. Di negaranya sendiri dia dipenjarakan oleh Belanda. Tetapi lebih dari sekali ia mengatakan kepada orang-orang | |
[pagina 352]
| |
yang dekat dengannya bahwa perlakuan orang-orang Belanda terhadapnya lebih manusiawi daripada perlakuan dari Soeharto, orang yang bertanggung jawab agar Soekarno dikucilkan secara total sesuai dengan resep yang telah bertahun-tahun sebelumnya diberitakan Nasution, yakni untuk membiarkannya mati seperti setangkai bunga yang tidak lagi diberi air. Selain itu, rezim militer menyebarkan desas-desus bahwa Soekarno tidak lagi waras otaknya. Untuk perbuatan curang yang terakhir dari Soeharto terhadap ayahnya ini, pada hari-hari itu putrinya, Rachmawati, menulis sebuah artikel. Untung saja artikel itu dimuat juga di Vrij Nederland, setelah diterjemahkan oleh Profesor Utrecht. Tetapi siapa di sini yang peduli terhadap nasib Bung Karno? Atau apa yang dikatakannya 6 Juni 1970, hari ulang tahunnya yang ke-69? Dari tempat tidurnya di mana ia terbaring sakit dia membandingkan perebutan kekuasaan yuang terjadi pada 18 Maret 1970 di Kamboja dan sikap Jenderal Lon Nol terhadap Pangeran Norodom Sihanouk, sebagai suatu tindakan pengkhianatan Soeharto terhadapnya 1 Oktober 1965. Ucapan inilah yang kemudian akan menjadi ucapan politik terakhir yang tersiar daripadanya, suatu tembakan akhir ke arah Soeharto yang diucapkan oleh Presiden Pertama Indonesia. Berita-berita mengenai kesehatan Soekarno yang dengan cepat mundur, makin santer. Dewi menelepon, mengatakan, Jenderal Amir Machmud memberitakan bahwa Bung Karno menanyakan dirinya dan putrinya Karina. Malam 17 April 1970 itu Dewi menelepon kembali menanyakan apakah saya | |
[pagina 353]
| |
mau datang ke Paris malam itu juga untuk terbang ke Jakarta bersamanya, Karina dan perawat Jepangnya Ny. Azuma, mengunjungi Soekarno yang sakit. Ketika di Bangkok pindah pesawat ke pesawat Japan Airlines ke Jakarta, atas perintah atase militer Soeharto, saya dilarang turun. Saya langsung terbang ke Jepang untuk menunggu Dewi di sana. Permintaan terakhir dari yang meninggal adalah agar dimakamkan di bawah pohon di kebun rumahnya di Batu tulis. Keluarganya memohon dengan sangat kepada presiden yang baru untuk mengabulkan permintaannya yang terakhir. Tetapi Soeharto yang telah dirasuki rasa dendam terhadap presiden yang terdahulu tidak mengabulkannya. Dia memutuskan, dan menutupi seolah keputusannya itu juga atas persetujuan Mohammad HattaGa naar voetnoot8., agar Soekarno dimakamkan di Blitar. Oleh Soeharto, ‘bapak rakyat’ ini harus ditempatkan sejauh mungkin dari pusat negara, untuk mencegah agar makamnya lama-kelamaan dijadikan tempat ibadah yang mudah dijangkau. Ketika saya pada tahun 1994, dengan campur tangan Perdana Menteri Lubbers, akhirnya bisa lagi mengunjungi Jakarta, maka kunjungan pertama saya adalah ke makam sahabatku di Blitar. Akan datang suatu saat di Indonesia bahwa anak-anaknya akan mengabulkan permintaan terakhir ayahnya bahwa rumah ayah mereka di Batutulis (Bogor) yang sampai saat ini belum dikembalikan kepada keluarganya oleh Soeharto, akan | |
[pagina 354]
| |
dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, dan bahwa ‘bapak rakyat’, pendiri Indonesia yang sebenarnya, akhirnya akan mendapat tempat istirahatnya yang layak, yang diinginkannya dan yang sebenarnya patut diperolehnya. Maka pada batu nisannya akan tertulis, seperti yang juga sudah tercatat dalam otobiografinya, ‘Di sini terbaring Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia!’ |
|