Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 330]
| |
Jakarta (12)Pada suatu pagi yang lain di bulan Oktober 1966, saya berniat memberikan sebuah lukisan kepada Bung Karno sebagai kejutan. Di Hotel Indonesia seorang pelukis muda Perancis Rogeon, sedang mengadakan pameran. Saya ajak dia ke pertemuan makan pagi di istana, di mana saya bertemu antara lain, dengan pendeta Visser't Hooft dari Dewan Gereja Sedunia. ‘Gereja-gereja di Indonesia selalu saya lindungi, kata presiden kepadanya.’ Vatikan memberiku penghargaan yang tinggi. Tetapi sekarang orang-orang Indonesia malah menyerang para pendeta’. Pagi hari itu hadir pula Jenderal Amir Machmud, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena dan Emile van Konijnenburg. Dua orang pembantu rumah tangga datang membawa tiang penyangga tempat bersandar lukisan pelukis Perancis Daumerge. Lukisan seorang wanita yang tak berbusana sampai pusarnya. Van Koijnenburg memperkirakan bahwa nilainya tidak lebih dari lima ribu gulden. Bung Karno mengatakan | |
[pagina 331]
| |
pada yang hadir - jadi di antaranya juga Pendeta Visser't Hooft - ‘Apakah kalian tidak melihat payudaranya yang sebelah kiri?’ Dia berdiri dan menunjukkan yang dimaksud. ‘Semula bentuknya begini. Saya menandainya dengan coretan kapur dan menyuruh mengulanginya’. ‘Untung tidak menjadi sebesar mata sapi’, tambah Pak Kelinci. Jenderal Amir Machmud duduk di sebelah saya dan saya katakan kepadanya, ‘Apa pendapat Pendeta Visser't Hooft dan yang lain yang menyertainya sekarang tentang Bapak? Dan yang lebih celaka lagi gambaran tentang Bapak ini akan lama berada dalam pikiran mereka. Sebenarnya hal itu adalah satu sisi saja dari kepribadiannya’. Bapak Jenderal menjawab, ‘Saya sudah mengatakan kepada Bung Karno: Bapak sudah dilempari batu, tetapi Bapak selalu saja membawa batu-batu yang baru’. Setelah semua tamu pulang dan hanya Rogeon dan saya yang tinggal, presiden memilih diantara dua lukisan yang dibawa pelukis Perancis itu. Bung Karno menanyakan pelukis muda itu apakah sudah menikah. ‘Ya,’ jawabnya. ‘Dengan seorang wanita Perancis?’ ‘Tidak, dengan seorang wanita Laos’. Mendengar jawaban itu Presiden tampak terheran-heran. ‘Sekarang kamu harus katakan padaku apakah yang dikatakan Pangeran Norodom Sihanouk itu benar ketika dia berkunjung ke sini. Menurutnya wanita-wanita Laos tidak berambut di bagian itu. Kamu tentu tahu yang saya maksud'. Rogeon agak malu mendapat pertanyaan itu, tetapi dia mengiakannya. | |
[pagina 332]
| |
Pada pagi yang lain, ketika saya tinggal sendiri setelah tamu-tamu pulang dan duduk di teras belakang bersama presiden, ia mengejutkan saya dengan kata-kata, ‘Wim, telan pil ini. Baik untukmu’. Saya menjawab bahwa kepalaku tidak sakit dan pencernaanku baik sehingga tak memerlukan obat. Dengan suara memerintah dia berkata, ‘Telan pil itu!’ Saya masih ragu, tetapi biarlah aku melakukannya, mengangkat pil itu tinggi-tinggi dan berseru, ‘Untuk ratu dan tanah air!’ Rupanya presiden senang melihat saya melakukannya. Sore harinya kami sedang membuat film dengan Pak Said Reksohadiprodjo. Sekonyong-konyong saya merasa menjadi sangat demam dan amat sakit. Semuanya segera dihentikan. Saya langsung pulang ke Hotel Indonesia, menelepon dr. Suwandi Mangkudipuro untuk segera datang dan memeriksa saya. Saya masih melihat dia memasuki kamar sambil membawa kopernyaGa naar voetnoot1.. Dia menemukan suhu badan yang sangat tinggi. Kami telusuri secara rinci apa yang menjadi penyebabnya. Sampai saya teringat bahwa presiden telah memberikan pil itu untuk ditelan. Mendengar itu Dr. Suwandi tertawa terbahak-bahak. ‘Wim’, katanya, ‘itu tadi pasti pil hormon. Karena itu kamu menjadi sangat sakit’. Dia memberikan injeksi dan setelah menderita semalaman, keesokan harinya aku sudah sehat kembali. Saya tidak merasakannya sebagai selingan yang menyenangkan. Kelakar | |
[pagina 333]
| |
semacam itu bisa juga dilakukan presiden. Sebelum meninggalkan Indonesia, satu kali lagi saya ke Istana Bogor untuk menghadiri malam keroncong. Ketiga orang mitra NTS saya ikut pula. Tanpa sepatu, sambil berdiri dekat sebuah papan tulis, Bung Karno memberikan penjelasan terurai kepada seluruh yang hadir, di antaranya teman-teman khusus dan selanjutnya personel istana dan militer dari bagian penjagaan. Siapa saja boleh masuk. Dia bercerita tentang berbagai hal yang khusus: kebudayaan Jawa, sejarah dan musik. Pada saat seperti itu saya sungguh menyayangkan tidak memahami bahasa Indonesia. Intensitas dan vitalitas yang tampak dari penampilannya, ditambah dengan pengetahuan yang mendalam tentang berbagai hal, selalu mengejutkanku kembali. Setiap nada yang sumbang segera terdengar olehnya dan orkesnya langsung mendapat teguran keras. Putranya yang bungsu, Guruh Soekarnoputra, mewarisi bakat seninya. Guruh berkembang menjadi seorang seniman dan berusaha benar untuk menciptakan musik dan tarian asli Indonesia. Namun suatu ketika saya melihat di televisi di Jakarta suatu tayangan pertunjukan pop pimpinan Mas Guruh, yang menunjukkan jenis seni yang demikian ringan, yang membuat saya bertanya-tanya apakah masih ada hubungannya dengan seni dan kebudayaan Jawa yang asli. Kadang-kadang, bila presiden sedang mandiGa naar voetnoot2., saya berbicara berdua dengan Ibu Hartini yang saya sayangi. ‘Bapak tidak mempunyai siapa-siapa, yang benar-benar | |
[pagina 334]
| |
mengatakan apa adanya kepadanya,’ adalah kata-kata yang pernah dengan tak sengaja diucapkannya. ‘Dan van Konijnenburg?’ tanyaku. ‘Tidak seluruhnya benar’, jawabnya. ‘Saya pun tidak selalu membantahnya. Pada akhir pekan dia hanya sebentar di sini. Dia telah banyak berubah, sejak saya mengenalnya pada tahun 1957’. ‘Memang, dia telah mengalami begitu banyak. Tidak seorang pun yang tidak akan terpengaruh karenanya’, jawabku. ‘Tetapi saya tetap takut kalau akan jatuh lagi banyak korban pada Pemilu 1968 nantiGa naar voetnoot3.. Bapak bisa juga sangat keras kepala. Saya mencoba mengatakan banyak hal kepadanya, tetapi kalau tidak bisa, saya berdiam diri saja untuk menghindari pertengkaran. Dia hanya sebentar berada di Bogor. Saya sangat menyayangi Pak Kelinci, tetapi mengapa dia juga tidak memberikan fakta-fakta yang sebenarnya kepada Bapak?’ Pada tahun tujuh puluhan ketika saya mengenal Dewi Soekarno di Paris, saya menyadari apa yang menyebabkan Bung Karno begitu tertarik kepadanya di samping wajahnya yang menarik. Dewi adalah salah satu dari sedikit orang di sekeliling mantan Presiden Indonesia itu, yang tanpa ragu mengatakan apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin dia tidak memiliki kebijaksanaan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini. Contohnya dia yakin betul | |
[pagina 335]
| |
bahwa dengan mengadakan jamuan makan antara Bung Karno dan Nasution dan Soeharto 29 November 1965 itu akan mengakibatkan adanya pendobrakan. Setelah itu hubungan antara ketiga orang itu akan aman dan damai kembali. Dewi masih tetap tidak memperhitungkan sikap ‘tertutup’Ga naar voetnoot4. nya orang Jawa. ‘Kami orang Jawa adalah orang tertutup. Kami memperlihatkan dan mengatakan padamu satu hal dan berharap Anda menyukainya, tetapi tak akan pernah menunjukkan apa yang ada di dalam diri kami. Impresi, kesan dan intepretasi yang Anda dapat hanya berdasarkan pada apa yang Anda lihat dan Anda dengar, tetapi Anda tidak bisa melihat apa yang ada di belakang sikap kami. Kami hanya membuka diri sampai di mana kami menghendakinya, dan Anda tidak akan pernah tahu apa yang ada di dalam diri kami’.Pada malam di istana itu Dewi benar-benar mengabaikan untuk mengamati dengan cermat dan tuntas apa yang terjadi di belakang kedok kedua jenderal itu. Dewi hanya memproyeksikan dan tidak mampu membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran Nasution dan Soeharto. Niat yang bermaksud baik itu berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada tahun-tahun dia mendampingi Bung Karno, Dewi adalah satu-satunya wanita yang yang tidak gentar untuk menghadapi percekcokan bila dia mengatakan kata-kata yang tidak disensor dan menyampaikan pendapatnya terus terang. Tidak mengherankan bahwa sekalipun | |
[pagina 336]
| |
selalu terjadi adu mulut yang hingar-bingar antara pasangan itu, Dewi merupakan orang yang memberinya kesejukan dan hiburan di dalam iklim psikologis Jakarta saat itu. Pada hari-hari itu kami juga membuat film di markas besar para marinir (KKO) di Cilandak Pasar Minggu, pemuda-pemuda kekar yang di Indonesia memakai baret merah muda. Kemudian juga mengabadikan dalam film manuver-manuver yang dilakukan kelompok elite ini, yang dengan kecepatan 40 km meloncat dari truk dan berlatih dengan tank yang dilengkapi perlengkapan roket. Tanggal 21 Oktober 1966, sahabatku yang setia, Mas Diarto dari SoloGa naar voetnoot5. membawa saya ke Jl. Sam Ratulangi No.l, alamat markas besar mahasiswa-KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Saya membuat film saat berbicara dengan ketuanya Cosmas Batubara; dengan seorang mahasiswa hukum, Ojong; dengan seorang mahasiswa pedagogi M. Zamroin, seorang mahasiswa hukum lagi, Arif Pohan dan akhirnya seorang mahasiswa Sastra Inggris, Leo Batubara. Kemudian bergabung pula Leo Sun dari kelompok mahasiswa Katolik. Salah satu dari tugas pemuda-pemuda ini adalah menginfiltrasi bekas-bekas organisasi PKI, terutama saat berlangsungnya demonstrasi-demonstrasi. Untuk keperluan ini telah dibentuk sebuah resimen KAMI khusus yang terdiri dari 2.000 | |
[pagina 337]
| |
orang. Mereka membual tentang pengaruh [...]ka pada para menteri, yang mereka kirimi memo. Bila mereka tidak didengarkan, maka mereka akan menuju gudang-gudang untuk membagikan bensin dan beras kepada rakyat miskin. Saya bertanya kepada mereka apakah perbuatan aksi-aksi mereka yang seperti itu tidak lebih cocok untuk organisasi-organisasi komunis, ‘rancangan tujuan-tujuan kalian lebih dekat dengan PKI daripada pada para jenderal’. Ucapanku ini menimbulkan bisik-bisik di antara mereka tetapi mereka tidak memberi jawaban. Mereka menganggap diri mereka sebagai ‘pahlawan revolusi’ yang akan mengawasi agar negara di bawah Soeharto akan mulai dengan lembaran yang bersih dan yang pertama-tama harus mereka lakukan adalah menghapuskan korupsi. Kelompok ini memberi kesan ‘akan berjuang terus’ dengan gejala-gejala sampingan yang cenderung jahat. Cosmas Batubara yang bicara paling banyak dan barangkali memiliki otak yang paling tidak terprogram dari seluruh kelompok ini. Dibawah Soeharto akhirnya dia dijadikan menteri sebagai imbalan untuk jasa-jasanya. Setelah mereka pergi mas Diarto mengingatkanku, ‘Wim, seharusnya kamu tadi bertanya kapan mereka akan kembali ke sekolah untuk menyelesaikan studi mereka.’ | |
[pagina 338]
| |
Tanggal 22 Oktober 1966 adalah terakhir kami berkumpul bersama di Istana Bogor dengan Ibu Hartini. Emile van Konijnenburg memberikan laporan tentang pertukaran hewan antara Belanda dan Indonesia yang terselenggara berkat usahanya. Pak Kelinci sungguh merupakan orang yang serba bisa, bila itu menyangkut transaksi antara kedua negara tersebut, dari pesawat-pesawat Fokker sampai kera. ‘Saya mau menukarkan kalian berdua dengan seekor orang utan!’, reaksi Bung Karno atas kesukaran-kesukaran yang dialami Pak Kelinci dengan penghambat-penghambat birokrasi. Presiden sedang membangun sebuah bungalow di Batutulis di luar Bogor. Rancangan gambarnya dibuat sendiri. Rupanya | |
[pagina 339]
| |
dia sudah memperhitungkan bahwa pada tahun 1966 dia harus keluar dari rumah dekat Istana Bogor setelah meninggalkan jabatannya sebagai kepala negara. Dan memang, pada tahun kedua penangkapannya, yakni pada tahun 1968, Bung Karno akan menghabiskan sebagian besar waktunya di Batu tulis. Putri ketiganya, Sukmawati Soekarnoputri, telah berbaik hati untuk mengantarkan saya ke sana, suatu hari pada tahun 1995. Sebuah villa sederhana yang sangat asri, diatas sebuah bukit dengan pemandangan yang menakjubkan dari gunung-gunung di Jawa Barat. Di bawah mengalir sebuah sungai yang alirannya cukup deras. Tetapi cuacanya terlalu lembab dan kadang-kadang terlalu dingin bagi mantan presiden yang telah berusia 67 tahun. Karena itu secara tertulis ia telah meminta kepada Presiden Soeharto - bayangkan! - dan dengan sangat sopan apakah dia boleh pindah ke Wisma Yaso milik Dewi di Jakarta. Persetujuannya kemudian memang diberikan Soeharto atas dasar kemurahan hatinya. Sambil berjalan-jalan dengan putrinya Sukma di rumah kesayangan Bapak ini, terbayang di hadapanku Bapak berjalan mondar-mandir dengan kaki telanjang, yang membuatku penuh emosi. Pemerintah hanya mengirimkan seorang pembantu dan seorang penjagaGa naar voetnoot6. untuk malam hari. Tirai jendela pemberian Pak Kelinci-pun masih tergantungGa naar voetnoot7.. Di beberapa kamar masih terletak berlusin-lusin lukisan koleksi Bung Karno. ‘Kadang- | |
[pagina 340]
| |
kadang kami duduk main kartu di sudut kamar itu’ kata Sukma, sambil terisak mengingat kejadian itu. Kami saling merangkul sambil meneteskan air mata. Tahun 1967 Soeharto menyuruh menyita rumah di Batutulis itu, sebab rumah itu diperoleh berkat korupsi, demikian pendapatnya. Maling teriak maling! Memang tidak masuk akal untuk membayangkan bahwa di dalam tas atase yang tersimpan dalam lemari pakaian Van Mook di Istana Merdeka, tersimpan cukup banyak dolar Oom Dasaad, untuk dapat membiayai pembangunan rumah ini. Tetapi presiden punya banyak teman. Secara gotong-royong mereka mengumpulkan uang untuk membangun sebuah rumah sederhana tetapi menyenangkan tempat menghabiskan hari tuanya. Tahun 1995 pun Soeharto masih menolak memberikan vila Bung Karno itu kepada anak-anaknya, yang menjadi ahli warisnya yang sah. Tanggal 22 Oktober 1966 itu, Van Konijnenburg dan saya untuk terakhir kalinya melewati jalan lurus keluar dari Istana Bogor, menjelang tengah malam. Bung Karno dan Hartini berdiri di bawah lampu di teras rumah melambaikan tangan sampai kami hilang dari pandangan mereka. Gambaran terakhir dari Bung Karno dan Hartini yang tak akan terlupakan, karena terukir ke dalam neuron-neuron otak saya. |
|