Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 316]
| |
Jakarta (11)Kami makin didesak waktu untuk mengumpulkan materi bagi dokumenter kami agar dapat dijadikan film tepat waktu. Menurut pendapatku Jenderal Nasution juga tak boleh kami lewatkan. Dia tahu bagaimana pendapatku mengenai dirinya. Sejak 1961 saya tahu betul mengenai hubungannya dengan CIA lewat Ujeng Suwargana dalam persiapannya mengadakan perebutan kekuasaan terhadap Bung Karno. Lewat campur tangan Kolonel Sutikno disarankan untuk mengirimkan pertanyaan-pertanyaan secara tertulis agar jenderal Nas bisa mempersiapkan diri untuk pengambilan gambar televisi. Rupanya ia takut dihadapkan kepada pertanyaan menjebak seperti, ‘Apa yang Anda lakukan dengan Ujeng dan presiden di Washington?’ Malam sebelum pengambilan gambar, saya ditelepon oleh ajudan Pak Nas, memberitakan bahwa Pak Jenderal sekonyong-konyong dapat serangan angin. Dia tergeletak di tempat tidur karena demam. Saya mengomentari berita itu | |
[pagina 317]
| |
dengan mengatakan, ‘Rupanya ini merupakan penyakit diplomatik, karena dia tidak mau mengambil risiko untuk dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawab’. Pak Tikno menjadi marah. ‘Wim, kamu terlalu curiga. Saya sendiri dan ajudannya telah mengatur wawancara ini. Saya yakin benar bahwa Pak Nas sakit, kalau tidak tentu berita itu tidak akan disampaikan’. Kebohongan yang kesekian dari Pak Nas akan terbukti. Pada pagi itu saya juga sudah merencanakan suatu wawancara televisi dengan Jenderal Amir Machmud, Pangdam Jaya Jakarta. Sambil lalu saya katakan kepadanya bahwa Nasution sakit. ‘Apa?’, kata Amir Machmud. ‘Tadi pagi saya masih ke rumahnya. Dia dalam keadaan sehat walafiat!’ Ketika kejadian ini saya ceritakan kembali dengan hati-hati kepada Kolonel Sutikno, nampak betul bahwa dia kurang senang mendengarnya. Nasution sudah saya kenal sampai tulang sumsumnya sejak bertahun-tahun. Soeharto belum cukup saya kenal bulan Oktober itu, untuk dapat menggolongkannya dalam kelompok musuh bebuyutan Soekarno atau untuk dapat menebak dengan sekejap permainan kekuasaannya yang sangat licik. Dibawah tekanan Pak Tikno dan markas besar Soeharto, akhirnya Jenderal Nasution menjawab pertanyaan-pertanyaan saya secara tertulis dan terurai. Jawaban-jawabannya tidak akan saya utarakan disini, karena sebagian besar jawabannya tidak benarGa naar voetnoot1.. Contohnya, Nasution menganggap mahasiswa KAMI yang diperalat tentara | |
[pagina 318]
| |
sebagai ‘pembuka jalan’. Ini sudah cukup untuk membuka mata saya. Hampir tiap hari saya meluangkan waktu agar dapat menghadiri pertemuan-pertemuan saat makan pagi di Istana Merdeka. Mengingat kembali konfrontasi antara presiden, kolonel dan saya sendiri, saat itu presiden masih mendesak saya dengan ucapan, ‘Saya minta tolong padamu untuk menjelaskan kepada Angkatan Bersenjata, bahwa CIA aktif di sini dan menjadi biang keladi semua kejadian yang terjadi disini, terutama setelah yang terjadi tahun 1965’Ga naar voetnoot2.. Bapak tahu bahwa saluran saya ke Soeharto adalah lewat Kolonel Sutikno. Mengapa dia mengatakan ini? Apakah dia tidak yakin bahwa Soeharto sendiri adalah bagian dari persekongkolan CIA terhadapnya? Atau apakah Soeharto pada malam 30 September - 1 Oktober 1965, malam musibah itu, dipaksa hadir? Pada malam naas itu Jenderal Soeharto dikunjungi Kolonel Latief, yang termasuk kelompok pembela Bung Karno dan pemerintahan yang sah republik ini. Saat itu Soeharto berada di rumah sakit, karena putranya menderita luka bakar. Kemudian terbukti tanpa ragu, bahwa Latief telah memberitahukan Soeharto tentang apa yang akan terjadi malam itu untuk mencegah bahwa Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan. Seperti juga yang disimpulkan oleh Profesor Wim Wertheim dalam menganalisis berlangsungnya perebutan kekuasaan pada tahun 1965, bila Jenderal Soeharto tidak | |
[pagina 319]
| |
setuju dengan aksi tersebut, secara normal seharusnya dia memberitahukan atau menelepon Jenderal Yani atau Jenderal Nasution. Tetapi dia tidak berbuat apa pun. Tambahan pula, Kolonel Untung yang memimpin penangkapan jenderal-jenderal yang dicurigai, adalah sahabat sangat pribadi Soeharto. Apakah Latief, dari pihak pembela republik dan presiden, mengunjungi jenderal Soeharto pada malam serangan preventif itu sebagai usaha pencegahan untuk sekali lagi membuktikan kebenaran di pihak mana sebenarnya Panglima KOSTRAD ini berdiri? Karena alasan inilah beberapa analis mengenai coup 1965, menyamakan peran Soeharto dengan peribahasa; ‘bila dua ekor anjing memperebutkan sepotong tulang, maka anjing ketiga-lah yang mendapatkannya’. Soeharto baru akan bergabung dengan angkatan bersenjata yang berpihak pada CIA sebagai reaksi dari pembunuhan pada para jenderal. Sebaliknya penyelidik-penyelidik lainnya sudah menetapkan bahwa Jenderal Soeharto sebelum coup juga sudah punya hubungan dengan Washington dan CIA. Yang terakhir ini kemudian dibuktikan pula oleh dokumen-dokumen yang berhasil lolos. Tahun 1966 itu saya bertanya-tanya pada diri sendiri, mengapa Presiden Soekarno minta tolong secara pribadi kepadaku untuk mendekati teman-temanku di Angkatan Bersenjata seperti Sutikno, Lamidjono - atau yang lain-lain yang tidak saya sebut disini - dan memberitahukan kepada mereka tentang campur tangan CIA di JakartaGa naar voetnoot3.. Presiden | |
[pagina 320]
| |
tahu, sejak 1961 dari New York, saya telah memberitahukan kepadanya tentang adanya kelompok-kelompok yang saling menyerang dan mengacau untuk mengadakan perebutan kekuasaan baru. Dinas intelejennya, dan juga Kolonel Magenda, umpamanya yang khusus dikirim ke Washington dan New York untuk tujuan ini, membenarkan informasi saya. Barangkali maksud Bung Karno adalah secara khusus menyoroti detail yang merupakan awal terjadinya coup 1965, yang saya saksikan sendiri di New York. Kolonel Sutikno yang pada tahun-tahun itu menjabat atase militer di Washington, tahu benar apa yang dilakukan Ujeng untuk Nasution di sana. Waktu itu di Washington saya sering membicarakannya dengannya. Pada suatu pagi, untuk kedua kalinya Bung Karno meminta saya menemaninya ke dokter gigi di gedung bagian belakang istana. Ketika melintasi kebun, dia bersenandung. Saya bertanya kepada Pak Suhardjo Hardjowardojo apakah dia tahu musik apa yang sedang berada di benaknya. ‘Beliau menyanyikan nyanyian dari Ramayana mengenai Ratu Sinta, yang menerima pesan dari suaminya’, jenderal itu menerangkan. ‘Sinta diculik oleh raja raksasa. Si monyet Hanoman bertengger di atas pohon. Hanoman adalah seorang jagoan dan kurang ajar pula. Sinta menyapanya dan mengatakan: ‘Apakah benar kau utusan suamiku?’ Hanoman menunjukkan sebentuk cincin dan mengatakan, ‘Bila cincin ini kebesaran, itu artinya Sinta telah menjadi kurus tanda setia kepada suaminya’. Pagi di tahun 1966 itu Kepala Negara Indonesia berjalan- | |
[pagina 321]
| |
jalan di kebun istananya. Sementara dia dikhianati dari segala penjuru dan dikucilkan, Bung Karno melantunkan kesetiaan sejati Sinta dari Ramayana. Saya berdiam diri dan mendengarkan. Tetapi perhatiannya teralihkan oleh suara-suara anak yang mendapatkan pelajaran di tenda musik di kebun istana. Dia berhenti dan berbicara dengan anak-anak dan ibu gurunya. Sekali lagi saya perhatikan betul orang yang dihina dan dicemoohkan di Belanda ini dan untuk kesekian kalinya, sejak saya mengenalnya tahun 1956 bahwa ‘hanya kalau kami mengenalnya dan mengalaminya secara pribadi, maka segala sesuatu yang saya ceritakan tentang Bung Karno ini bisa dipercaya orang Belanda. Maka karena ketidaktahuan mereka inilah, sampai akhir zaman mereka akan tetap membencinya dan memperlakukannya dengan tidak adil’. Sementara itu saya mengunjungi Duta Besar Amerika Serikat, Marshall Green, yang akhirnya kembali lagi ke ibu kota Indonesia. Dia menjelaskan bahwa pada tahun 1965 pada waktu dia menyerahkan surat-surat kuasanya kepada Bung Karno, dia digambarkan sebagai agen kolonialisme dan imperialisme. ‘Segera setelah itu beribu-ribu pemuda komunis berdemonstrasi terhadap saya. Dia tidak pernah memberikan kesempatan yang adil kepada saya’. Rupanya dia telah mendapat pengalaman banyak dari imperialis, Amerika Serikat dan CIA, jawabku. ‘Pernah saya berbicara panjang lebar dengan presiden selama satu jam dan itu merupakan pembicaraan yang menyenangkan’, demikian Green. ‘Dia malah mengantar saya ke mobilku. Tetapi ketika saya sampai | |
[pagina 322]
| |
kembali di kedutaan, jendelanya dilempari batu.’ Selanjutnya, yang sangat mengherankan saya, duta besar mengakui bahwa Bung Karno ‘barangkali benar juga’ untuk mencurigai orang-orang Amerika dan CIA. Setelah kejadian-kejadian yang terjadi pada tahun-tahun yang lalu’. Dia melanjutkan bahwa para militer pelaksana coup diberi semangat oleh kehadiran kekuatan bersenjata Amerika yang penting di Vietnam, untuk mengakhiri ‘hubungan cinta antara Soekarno dan Republik Rakyat Cina’. Saya mengingatkan Bapak duta besar bahwa Roosevelt dan Churchill pada Perang Dunia Kedua mengadakan aliansi dengan Joseph Stalin bukan karena mereka adalah komunis, oleh karena mereka hendak mencapai tujuan yang sama, yakni menumpas Hitler. ‘Memang benar Bung Karno tidak setuju dengan adanya perang yang Anda lakukan di Vietnam. Karena alasan inilah maka Bung Karno, seperti juga Pangeran Norodom Sihanouk di Kamboja, merasa menjadi mitra Ho Chi-Minh dan Mao Tse-Tung, karena semua orang Asia menghendaki agar Amerika pergi dari tanah Asia. Tetapi ini kan tidak membuat Soekarno maupun Sihanouk komunis’. Lambat laun saya benar-benar merasa jengkel terhadap tuan yang berpura-pura dan seolah-olah tidak tahu menahu mengenai seluruh kejadian itu. Dengan terus terang saya katakan kepadanya, bahwa dia dibenci dan dicemoohkan di kalangan luas, juga di kalangan Angkatan BersenjataGa naar voetnoot4.. Green | |
[pagina 323]
| |
menjadi marah, sangat marah. Dia ingin mengetahui nama-nama. Dan saat itulah yang saya anggap paling tepat untuk pamitan. Keesokan harinya saya bertemu dengan atase pers Belanda di Hotel Indonesia, Tuan Schaap bercerita bahwa dari sumber yang dapat dipercaya ia mendengar bahwa Duta Besar Green segera setelah kunjunganku langsung pergi ke rumah Menteri Luar Negeri Ad interimGa naar voetnoot5. BM Diah untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan. Saya sedang menuju ke istana dan bercerita kepada presiden mengenai pertemuan saya dengan Marshall Green, termasuk kunjungannya kepada Pak Diah. Dengan segera Bung Karno memberi tugas kepada ajudannya Kolonel B ambang Widjanarko untuk memanggil Pak Diah ke istana. Jawab yang diberikan adalah bahwa dia tidak dapat datang, karena Menteri ad interim sedang menerima kunjungan dari Duta Besar Argentina. ‘Saya tidak peduli,’ kata presiden, ‘dia harus datang ke sini’. Widjanarko sekali lagi pergi dan dalam waktu yang tak lama nampak mobil Pak Diah di bagian belakang istana. Sekali lagi saya merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk pergi. Apa pun yang telah terjadi, pada Duta Besar Green saya tanyakan, mengapa ia tidak pernah lagi menghadiri pertemuan makan pagi di istana, sebab ketidakhadirannya sungguh menarik perhatian, berlainan sekali dengan duta besar-duta besar lainnya, di antaranya Duta Besar Schiff. Ia bersedia bertemu kembali dengan Bung Karno, ‘Tetapi saya harus | |
[pagina 324]
| |
yakin bahwa kedatangan saya diharapkan’. Hal itu saya bicarakan dengan presiden. ‘Apakah akan ada gunanya untuk bertemu kembali dengan Duta Besar dan LBJ?’, tanyaku. ‘Orang itu memang di sini sebagai duta besar Amerika Serikat’. Presiden akan memikirkan hal itu. Dua hari kemudian saya berada di Istana Bogor pada malam hari. Kami naik mobil Lincoln Continental dari bun-galow ke ruang film di Istana. Bung Karno dan Ny. Hartini duduk di belakang. Saya di depan. Sekonyong-konyong presiden membicarakan kembali persoalan Marshall Green. ‘Wim, apa maksud Green dengan mengatakan bahwa dalam tingkat tertentu kecurigaan Soekarno pada Amerika Serikat dan CIA itu benar?’ tanya presiden. ‘Dia mengakui bahwa Anda mempunyai alasan yang berdasar untuk menuduh Amerika dan CIA’. ‘Jadi apalah gunanya bila aku bertemu kembali dengannya? Green sudah subversif!’ Persoalan selesai dan ditutup. Malam itu hadir pula seorang teman lama presiden di Istana Bogor, Pak Mohammad Said Reksohadiprodjo, wakil menteri dari pendidikan dasar. Dia orang yang sangat sederhana tetapi menarik. Menurut Hatta revolusi telah selesai. Menurut Bung Karno, revolusi masih akan berlangsung terus dan sama sekali belum selesai. Sebaliknya Pak Said berpendapat bahwa revolusi mental yang sebenarnya di Indonesia masih harus mulai. Saya mengunjunginya kemudian di rumahnya yang sederhana dekat Kemayoran. | |
[pagina 325]
| |
‘Tiang penyangga awal Bung Karno, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) hancur bercabang-cabang akibat kobohongan-kebohongan dan tuduhan-tuduhan palsu yang sengaja dilancarkan pihak tentara terhadap mereka. Lebih tepat dikatakan bahwa PNI telah dipukul hancur. Dasar politiknya hilang, yang tinggal ialah pasukannya beserta pengikut-pengikutnya. Sekarang ia adalah Pemimpin Besar RevolusiGa naar voetnoot6. di satu pihak, ada rakyat dan di pihak lainnya, tentara. Kedua kelompok itu seharusnya menjadi satu, tetapi segala sesuatu yang terjadi sejak 1965, menyebabkan kesatuan itu pecah. Polisi, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan terutama para marinir (KKO) masih setia dan pro Bung Karno. Kekacauan yang sekarang terjadi terutama disebabkan oleh Angkatan Darat. Disamping rakyat dan tentara masih ada pula kelompok-kelompok beragama tertentu, yang beroparasi ‘between de devil and the deep sea’ (beroperasi antara dua api). ‘Sungguh disayangkan’, sambung Pak Said, ‘bahwa PKI tanggal 30 September 1965 terjebak ke dalamnya’. Ucapannya itu mengejutkan saya. ‘Bila PKI telah melakukan coup, maka Bung Karno akan melarang partai itu seperti yang dikehendaki tentara daripadanya’ kataku. ‘Itu memang benar’, begitu penjelasan Pak Said. ‘Bung Karno memang tidak bersedia untuk melarang PKI, karena dia tidak yakin bahwa PKI sendiri yang melakukannya 30 September 1965 itu’. Lewat kontak-kontak yang saya adakan selama berada tiga bulan di Jakarta tahun 1995, saya mendapat | |
[pagina 326]
| |
informasi bahwa tahanan-tahanan komunis dalam ‘kamp konsentrasi’ Soeharto di Pulau Buru waktu itu mengaku kepada tahanan-tahanan non komunis bahwa ada ‘elemen-elemen dari PKI” ikut serta dalam aksi Kolonel Untung untuk melindungi Bung Karno dan republik dari coup yang diprakirakan datang dari CIA dan golongan kanan. Hanya dalam kerangka demikianlah dapat dilihat bahwa di antara pelindung dan penyelamat presiden dan republik terdapat orang-orang komunis, yang memberikan gambar lain sama sekali daripada gambaran bahwa PKI sebagai partai melakukan coup terhadap pemerintahan Soekarno. Pemimpin dari aksi 30 September 1965, Kolonel Untung, ketika dieksekusi atas perintah Soeharto, mengucapkan sebagai kata terakhir ‘Hidup Bung Karno!’Ga naar voetnoot7. dan bukan ‘Hidup PKI’ Tidak pernah ada coup PKI di IndonesiaGa naar voetnoot8.. Omar Dhani, di mata saya salah satu pahlawan dari perlawanan perwira tinggi terhadap CIA, Soeharto dan Nasution, membungkam ketika dibebaskan dan ketika buku ini dicetak, begitu pula Raden Sugeng Sutarto. Tetapi Subandrio langsung menunjukkan dirinya, seperti seekor serigala yang banyak kehilangan bulunya, tetapi bukan tipu muslihatnya. Dia menerangkan di depan televisi dengan | |
[pagina 327]
| |
sangat yakin bahwa coup CIA tahun 1965 itu adalah coup PKI. Bila hal itu dikatakannya pada tahun 1966, ketika saya mendengar bagaimana dia dengan gemetar mengatakan yang sebaliknya, di bawah sumpah di dalam pengadilan, maka Soeharto tidak akan menyuruh mengadilinya dalam suatu proses pura-pura dan dia tidak akan mendekam selama tiga puluh tahun di dalam penjara. Sekarang dia menyebut dirinya bukan sebagai seorang komunis, tetapi seorang sosialis dan menjadi anggota Partai Sutan Sjahrir. Pada tahun 1995 ini ia lupa bahwa tahun lima puluhan ia sudah pindah dari Partai Sosialis Indonesia ke PNI nya Soekarno, agar dapat memperoleh karier sebagai diplomat dan menteri luar negeri dan menggantikan Ruslan Abdulgani. Pada usianya yang ke-81, bagaimana tidak, Subandrio masih tetap merupakan hipokrit yang penuh senyum seperti sediakala. Maartje van Weegen, yang mewawancarainya untuk NOS, percaya pada jawaban Subandrio bahwa yang terjadi tahun 1965 adalah coup PKI, dengan alasan sederhana saja, bahwa dia tidak mengetahui sama sekali mengenai sejarah dan pengetahuan politik Indonesia yang paling elementer. Dia dikirim untuk waktu yang sangat pendek ke Indonesia untuk meliput perjalanan Beatrix dan menyuguhkan di televisi NOS jurnalistik ‘Zo de wind waait, waait mijn jasje’. Sebenarnya ini dilakukan juga oleh kebanyakan wartawan yang mengantarkan Beatrix, dengan konsekwensi bahwa yang disajikan adalah omong kosong dan publik serta pemirsa di Belanda tidak tambah pengetahuannya sedikit pun tentang kunjungan yang menelan biaya tidak sedikit ini. Artikel utama | |
[pagina 328]
| |
dalam NRC Handelsblad mengakui ‘dalam kenyataannya sehari-hari Indonesia bagi kebanyakan orang Belanda merupakan negara yang jauh dan asing’Ga naar voetnoot9.. Hal itu memang tak perlu diragukan, tetapi koran tersebut sebenarnya juga bersalah karena tidak pernah berterus terang. Dulu Henk Hofland pernah berbicara tentang ketakutan dari pihak redaksi mengenai ‘pelanggan yang paling menjengkelkan’, yakni pelanggan yang menghentikan abonemennya sebagai protes. Tahun 1995 seluruh dunia -media terpengaruh untuk melaporkan hal yang samaGa naar voetnoot10.. Memberikan informasi biasanya diturunkan derajatnya menjadi ‘memberi hiburan’ dalam jenisnya yang paling buruk. Subandrio mengatakan sesuatu yang tidak benar dan tidak masuk akal kepada Maartje, yang tidak dibantahnya, karena ia tidak memiliki referensi tentang apa yang terjadi di Indonesia sebelum dan sesudah 1965. Tahun 1966, di bawah Carel Enkelaar, NOS mengirim saya ke Jakarta, kendati diprotes oleh para reporter dari staf yang tidak memiliki informasi lengkap. Tetapi tahun 1995 penyakit Amerika tentang ‘reporter-reporter terkenal’ telah menjalar ke mana-mana, sehingga mereka lebih senang mengirimkan Maartje untuk meliput kunjungan Beatrix ke Jakarta, daripada saya, misalnya, yang segera akan membantah jawaban | |
[pagina 329]
| |
Subandrio dengan tajam, karena saya mengetahui benar sejarah dan fakta-fakta negara ini. Yang lebih parah lagi: saya yang semula akan diikutsertakan untuk meliput perjalanan ratu, oleh Den Haag ditahan di tempat, persis dengan cara yang melawan hukum yang sama yang dilakukan kepada saya tahun 1992, tidak oleh Afrika Selatan tetapi oleh permintaan Den Haag dan dinas penerangannya sehingga saya hari itu berada di Johannesburg dan pada hari berikutnya sudah dimasukkan ke pesawat terbang lagi untuk kembali - dengan meninggalkan semua yang saya miliki.Ga naar voetnoot11. Bukan Jakarta yang berkeberatan atas kehadiran saya pada kunjungan kerajaan, tetapi Wim Kok yang tersinggung karena saya telah mengatakan dengan terus terang kepada ratu tentang fakta-fakta, yang tidak diberitahukan kepadanya hanya karena dia tidak mengetahuinya. Mengenai Indonesia, perdana menteri yang sekarang sefaham dengan Maartje van Weegen, begitu pula Hans van Mierlo. Berbahagialah mereka yang tidak mengetahui apa-apa. |
|