Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 306]
| |
Jakarta (10)Tanggal 11 Oktober 1966, pagi-pagi sekali Kolonel Sutikno Lukitodisastro menjemputku di Hotel Indonesia untuk bertemu dengan Presiden Soekarno, yang kemudian akan menjadi pertemuan dan pembicaraan bersejarahGa naar voetnoot1.. Yang juga ikut adalah Kolonel Lamidjono, teman bersama kami dari Batalyon I-Garuda di Mesir dan Sinai. Pukul 07:00 kami bergabung dengan tamu-tamu Bapak yang lainnya. Menjelang pukul 08:00 Bung Karno berkata, ‘Wim, Tikno, ikut aku’. Lewat teras belakang kami memasuki istana dan duduk di perangkat kursi rotan dengan meja di tengahnya. Pertemuan itu berlangsung 45 menit dan akan saya kenang sepanjang hidup saya. Isi dari penjelasan Kolonel Sutikno ialah sebagai berikut, | |
[pagina 307]
| |
‘Anda adalah Bapak kami. Anda adalah presiden kami. Anda telah mengajarkan kami, anak-anakGa naar voetnoot2. Anda, untuk bisa berdiri diatas kaki sendiri. Kami selalu mendengarkan Anda. Dan sekarang kami, anak-anak Anda, berpendirian teguh untuk mengambil jalan lain’. Jadi Pak Tikno mengikuti cara Jawa klasik dalam mendekati seorang Bapak yang dihormati, yang dimohon dengan sangat untuk mendengarkan anaknya yang berbakti padanya. De la Rouchefoucauld menulis dalam kenangan pemikirannya: ‘L' hyprocisie est un homage que la vive rend a la vertu’Ga naar voetnoot3.. Sang kolonel sungguh ahli dalam hal ini. Saya duduk menyaksikan, mendengarkan sambil menahan nafas suatu pembicaraan yang sebagian dilakukan dalam bahasa Indonesia dan sebagian dalam bahasa Belanda. Memahami benar sifat presiden, saya melihat bahwa dia mendengarkan dengan amat sabar segala sesuatu yang disampaikan utusan Jenderal Soeharto ini. Saya tahu benar apa yang dipikirkan Bung Karno, karena saya sendiri sudah menjalani rute yang sama mengenai tajuk pembicaraan yang sama secara berulang-ulang. Setelah membiarkan Sutikno berbicara beberapa lama, presiden mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam mengenai peranan CIA di Indonesia, sejak tahun lima puluhan sampai dengan 1965. Yang mengherankan saya dia sama sekali tidak menyinggung mengenai lima kali percobaan pembunuhan terhadapnya. Tampak dengan jelas bahwa sang | |
[pagina 308]
| |
kolonel tidak mau menanggapi pertanyaan-pertanyaan tajam presiden mengenai peranan subversif Amerika Serikat, yang pada hakikatnya sudah menunjukkan dengan jelas posisinya yang sebenarnya. Juga karena saya tidak mau membiarkan Sutikno sendirian melawan arus, saya memutuskan untuk membantunya kali ini. Pembicaraan sementara itu sudah sampai pada insiden yang menghebohkan sekitar Duta Besar Inggris, Sir Andrew Gilchrist. Ada sepucuk telegram rahasia dari diplomat ini yang bocor yang berisi suatu percakapan antara dirinya dan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones tentang kemungkinan akan adanya perebutan kekuasaan terhadap Soekarno dengan pertolongan ‘sahabat-sahabat lokal kami dari kalangan tentara’. Subandrio telah menjamin kdasliannya dan menyampaikannya kepada Bung Karno 26 Mei 1965. Howard Jones kemudian menyebutnya sebagai ‘pemalsuan yang licik, yang bertujuan agar kecurigaan terhadap Amerika Serikat, Inggris dan pimpinan Angkatan Bersenjata makin dipertajam’Ga naar voetnoot4.. Karena akhirnya sudah diketahui semua orang bahwa KGB juga mengedarkan dokumen-dokumen lengkap dengan kepala surat dan nomor kode, saya memutuskan untuk membantu Tikno dengan nyata. ‘Tetapi, Bapak’, kataku, ‘bukankah tidak mungkin Sovyet dengan KGB-nya memalsukan tele-gram-Gilchrist ini untuk mempermalukan orang-orang Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta ini?’ | |
[pagina 309]
| |
Mendengar kata-kata ini, Bung Karno menjadi benar-benar marah, hanya satu kali itu saya melihat dia marah didalam sepuluh tahun saya mengenalnya. Dia pegang lenganku dan sambil menggoyang-goyangkannya ia berkata, ‘Bung, kau kira aku tidak mengetahui hal itu?’ Pada saat yang kritis itu saya teringat apa yang pernah dikatakan Duta Besar Zairin Zain di Washington dalam suatu insiden yang serupa. Karena itu Bung Karno saya jawab, ‘Duta Besar Zain pernah menjelaskan kepadaku bahwa selama dia masih bisa marah padaku, saya masih menjadi temannya dan masih masuk dalam hitungannya’. Presiden melunak dan tersenyum. Lambat-laun pembicaraan antara Kolonel Sutikno dan presiden memuncak menuju klimaks yang sangat menyakitkan. Daerah pemikiran Bung Karno telah cukup saya selidiki untuk mengetahui bahwa akhirnya Pak Tikno akan ditolak. Makin ia mendesak sampai inti pesanan Soeharto dan tentara, makin bungkam Bung Karno. Sebenarnya Tikno makin teijerat untuk bisa mencoba membujuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kepemimpinannya selama empat puluh tahun yang lalu. Bapak lebih baik menghilang dari panggung politik, mati sekalipun, daripada menuduh anak tirinya (PKI) melakukan sesuatu yang dia tahu benar tidak dilakukan anak itu. Respek dan hormat saya kepada Bapak bangsa Indonesia ini, berdasarkan pengalaman-pengalamanku bersamanya dan percakapan-percakapan diantara kami tahun 1966, makin mantap dan akan terus berlangsung. Akhirnya Sutikno menyerah, setelah meyakinkan Bung | |
[pagina 310]
| |
Karno bahwa tidak seorang pun di negeri ini, Jenderal Soeharto juga tidak, yang ingin kehilangannya sebagai kepala negara. Kolonel kemudian menundukkan kepalanya dan air matanya menetesi pipinya. Presiden juga tampak terharu. Sebagai pengambil inisiatif utama dalam pertemuan yang tak terlupakan ini, saya memahami lebih dari sebelumnya bahwa Bung Karno dan tentara, selama masih di bawah pimpinan Soeharto, telah sampai pada point ofno return. Saya menyaksikan esensi dari drama Indonesia ini, yang akan berlangsung antara 1965 dan 1967 di Jakarta dan yang kemudian akan berakhir dengan penangkapan Bapak dan diisolasikannya secara total dari rakyatnya, dari teman-temannya dan sering dari keluarga terdekatnya agar dia meninggal karena kesepian dan kesedihan yang mendalam. Saya mendengar dia menegur Sutikno, ‘PKI tidak melakukan makar terhadap pemerintahanku’, sedang yang dimaksud adalah, ‘yang melakukan adalah kalian, tentara, yang didukung oleh CIA’. Dengan perasaan halusnya sebagai orang Jawa, dia menghindari mengucapkannya pada kolonel. Tetapi yang langsung dikatakan pada utusan Soeharto ialah ‘Karena itu saya tidak dapat meninggalkannya’. Dia mengatakan ini dengan pasrah, yang mengejutkanku, seolah dia memahami benar bahwa dia berbicara pada seseorang yang tidak mendengar. Walaupun kata-kata Sutikno dibungkus dengan kata-kata yang terselubung, cara Jawa yang terkenal untuk menutupi perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang sebenarnya, Bung Karno pasti sudah menyadari bahwa | |
[pagina 311]
| |
kunjungan tangan kanan Soeharto dalam instansi yang terakhir merupakan ultimatum yang ke sekian, tanpa memberikan sedikit pun ruang gerak melakukan sesuatu. Dengan cara-cara yang amat jelas Presiden Soekarno menambahkan bahwa ia sama sekali tidak berniat untuk mempertahankan kedudukan kepresidenannya dengan cara apa pun. Kepada Pak Tikno dikatakannya, ‘Apakah kalian mengira bahwa saya masih tetap ingin sekali menjadi presiden?’ Saya ikut dalam jip kolonel ketika ke Hotel Indonesia. ‘Wim’, katanya, ‘itu tadi adalah pembicaraan yang baik. Bapak tua itu nanti malam akan memikirkannya’. Saya sama sekali tidak setuju dengan pendapatnya. Bagi Bung Karno sudah amat jelas duduk perkaranya. Aidit, Nyoto, Lukman dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya telah memberitahukan dengan sangat rinci posisi PKI pada 30 September dan 1 Oktober 1965 itu. Tanggal 12 Oktober 1966 seorang mitra kerja menelepon dari istana. Pukul 09:00 Bung Karno akan mengadakan wawancara khusus untuk dokumenter NTS kami. Ketika bersantap pagi, presiden mendapat kunjungan sahabat lamanya A.M. Dasaad dan Pemimpin Redakasi koran Merdeka, B.M. Diah. Di sini saya akan menambahkan beberapa ciri khas Oom Dasaad. Soekarno muda pada tahun 1931 keluar dari penjara dan disambut oleh teman-temannya, di antaranya Dasaad yang belum dia kenal. Orang yang belum dikenal ini memasukkan empat ratus gulden Hindia Belanda dalam kepalan tangannya hanya dengan alasan bahwa ia mengetahui bahwa saya tidak mempunyai uang .... Dan saya | |
[pagina 312]
| |
masih tetap meminjam dari padanyaGa naar voetnoot5.. Dan ini adalah kejadian yang sebenarnya. Bung Karno tidak pernah mempunyai uang. Bila dana pribadinya habis, dia minta tolong Dasaad, yang dengan berjalannya waktu telah melejit menjadi seorang usahawan Indonesia yang penting, dan yang kemudian datang membawa koper atase penuh berisi dolar. Saya pernah mengalami bahwa Emile van Konijnenburg diminta membawa setumpuk kemeja dan kaos kaki dari Saks Avenue New York untuk presiden. Barang-barang itu dibawanya sebagai hadiah. Tetapi Soekarno tidak mau menerimanya. ‘Masuklah ke kamar tidurku dan ambil yang kaubutuhkan’ kata Bung Karno. Di kamar tidur Istana Merdeka masih berdiri lemari pakaian kuno milik mantan Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Koper-atase Oom Dasaad ada pula di situ. Van Konijnenburg menemukan di dalamnya uang pecahan senilai sepuluh, dua puluh dan seratus dolar yang masih dilingkari bandrol di mana tertulis jumlah tumpukan uang kertas itu. Tetapi oleh karena presiden rupanya juga memberi instruksi kepada orang-orang lain untuk mengambil sendiri uang dari ‘kotak uangnya’, tulisan pada bandrol itu tidak benar. Tidak satu pun bandrol itu menunjukkan jumlah yang sebenarnya. ‘Saya ambil saja beberapa lembar uang kertas, untuk memberinya perasaan telah membayar notanya’. Dengan cara demikianlah dilakukan transaksi-transaksi pribadi Bung Karno pada tahun 1966 itu. Saya tidak bermaksud untuk menceritakan dalam buku yang saya tulis untuk menghormati | |
[pagina 313]
| |
Bung Karno ini, secara rinci praktek-praktek korupsi berjumlah milyaran dari Soeharto, Nyonya Soeharto dan seluruh keluarga Soeharto, kecuali untuk menggarisbawahi, lewat pengalaman-pengalaman, bagaimana presiden pertama Indonesia membereskan urusan keuangan semacam itu. Untuk wawancara televisi, presiden telah mengenakan seragam dan pada pagi itu rupanya berada dalam suasana hati yang menyenangkan. Tim NTS bersiap memasang lampu-lampu dan peralatan lainnya, tetapi presiden menghentikan mereka dengan mengatakan, ‘Duduklah dulu, apakah kalian sudah minum teh atau mencicipi buah-buahan’. Dan berpiring-piring mangga dihidangkan. Secara sambil lalu presiden mengajukan suatu pertanyaan yang menyudutkan pada Bapak Diah. Pagi itu pada halaman utama korannya terpampang. dengan huruf-huruf tebal, sebuah berita bahwa Menteri Luar Negeri Adam Malik di Tokyo menyalahkan dan menuduh Presiden Soekarno bahwa di Indonesia telah terjadi pembunuhan massal di bawah komunis dan antek-anteknya. Tidak ada yang lebih tidak masuk akal. Menurut pendapat Malik, jatuhnya banyak korban itu justru karena Bung Karno menolak mengutuk PKI. Bila presiden, seperti yang dikehendaki Soeharto dan kawan-kawannya, pada tahun 1965 itu mau mengutuk PKI, maka korban yang jatuh tidak satu tetapi tiga juta orang. Satu-satunya tangkisan lemah yang dapat diajukan Diah terhadap pertanyaan presiden adalah, reaksi pura-pura malu dengan kata-kata, ‘Ya, susah Bapak’Ga naar voetnoot6.. | |
[pagina 314]
| |
‘Bagaimana kamu dapat memuat berita itu begitu saja, tanpa menilainya lebih dahulu’, lanjut presiden. ‘Apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?’ Pak Diah tidak menjawab dan menundukkan kepalanya dalam sikap seolah-olah malu yang khas Indonesia. Betul-betul munafik. Kami merekam sebuah percakapan selama satu jam dengan Presiden Soekarno. Di dalam tubuh NTS timbul reaksi mengapa Carel Enkelaar mengirim saya yang free lancer ke Indonesia dan bukan seorang mitra kerja tetapGa naar voetnoot7.. Akibatnya saat kedua dokumenter tersebut disusun, hanya beberapa menit dari materi historis dengan Bung Karno ini yang akan dipakai, sedangkan sisanya dibuang ke tempat sampah. Saya tidak membuat catatan-catatan dengan perkiraan bahwa saya akan dapat memperoleh teks film tersebut di kemudian hari. Ini adalah dugaan yang sangat keliru dan fatal. Justru karena kontak-kontak saya di Jakarta, baik dengan Soekarno, maupun dengan lawannya Soeharto, maka Enkelaar mengutus saya membuat reportase itu. Maka saya sebagai wartawan Belanda pertama, akhirnya akan kembali ke Hilversum membawa materi film baik tentang Soekarno maupun tentang Soeharto. Masih ada satu aspek dari wawancara dengan Bung Karno ini yang ingin saya kemukakan, juga karena telah menimbulkan banyak pembicaraan baik di koran-koran Indonesia maupun di koran-koran Belanda. Via Sutikno saya telah mencari tahu apakah di pihak tentara ada keinginan untuk mengundang Puteri Beatrix danPangeran Claus ke In- | |
[pagina 315]
| |
donesia. Dalam film itu Presiden Soekarno dengan ramah mengundang pasangan kerajaan itu ke Indonesia. ‘Saya selalu mengatakan bahwa saya selalu akan berusaha untuk memperbaiki persahabatan dengan Belanda’, tambahnya. Siapa yang akan mengira bahwa sejak 1966 itu baru lahir 1995 Beatrix, Claus dan Willem-Alexander datang dalam suatu kunjungan kerajaanGa naar voetnoot8.. Bagian ini dalam wawancara dengan Bung Karno tersebut saya kirimkan secara terpisah ke Hilversum, dengan tujuan agar jurnal akan menayangkannya. Tetapi dalam staf penyiaran duduk seorang D.G. Simmons sebagai kepala, yang tidak saya kenal, yang rupanya sangat membenci saya, dan tidak ‘sudi’ menyiarkan berita itu. Informasi tersebut adalah sebuah film NOS, sehingga karenanya tidak ditayangkan di televisi mana pun. Saya menelepon Duta Besar Schiff, yang menganggap undangan kepada Beatrix dan Claus itu sebagai suatu ‘gagasan yang ramah’. |
|