Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 295]
| |
Jakarta (9)Tanggal 8 Oktober 1966, sekali lagi saya ke Bogor bersama Emile van Konijnenburg dalam sebuah mercedes KLM. Kali ini Duta Besar Schiff dan istrinya ikut pula. Keluarga Schiff telah mengelilingi Bogor beberapa kali agar tidak datang terlalu dini di istana. Duta Besar Schiff membawa hadiah untuk Bung Karno; yakni dua buah kotak kulit Dunhill yang amat mahal berisi cips ‘een-en-twintigen’, suatu permainan yang sering dimainkan presiden pada malam hari. Presiden melihat kedua kotak itu, mengernyitkan alisnya dan berkata, ‘Saya lebih senang bermain dengan korek api’, yang langsung dijawab oleh Schiff, ‘Kalau begitu saya bawa kembali saja lagi,Yang Mulia!’. Atas tindakannya itu aku berkomentar, ‘Khas reaksi orang Belanda’. Sebenarnya yang saya pikirkan adalah: Schiff bertindak tidak sopan dan sama sekali tidak lucu. Malam kedua di Istana Bogor itu ditandai oleh sikap untuk membuat malam yang menyenangkan bagi presiden. Tetapi | |
[pagina 296]
| |
malam itu saya rasakan sebagai sangat menyedihkan, karena jelas tampak bahwa Bung Karno merasa dikhianati oleh orang-orangnya sendiri, sehingga ia malah mencoba mencari hiburan dengan teman-teman Belandanya. Schiff sebenarnya bukan teman, karena ia menganggap Soekarno sebagai seseorang yang ‘agak gila’, saya melihat bahwa duta besar dan juga istrinya menunjukkan dengan jelas rasa sayangnya terhadap presiden, setelah mereka mengenalnya secara pribadi dengan lebih dekat. Bung Karno mengeluh bahwa gajinya sebagai presiden hanya Rp 20.000,00 per tahun, bebas bayar rumah, air dan listrik. Dia pernah membaca dalam sebuah majalah bahwa gaji ratu Juliana enam seperempat juta gulden per tahun. Kadang-kadang berita-berita dan pandangan-pandangan mengenai politik negeri terdengar juga. Dan Bapak berkata, ‘Apa yang terjadi di negeri ini adalah bahwa kita menyaksikan kecenderungan ke kanan dari revolusi ini. Proses revolusiner bukanlah jalan raya/bulevar yang lurus, seperti yang saya lihat di Leningrad. Jean Jaures telah memformulasikannya dengan jernih. Revolusi itu bukan Champs Elyssees, tidak tegak lurus.Ga naar voetnoot1. Namun arah lurus itu tidak boleh hilang dari pandangan kita, agar revolusi tidak tergelincir’. Dia tahu benar bahwa saya mempunyai buku harian yang saya isi dengan setia. Selama bertahun-tahun kemana pun aku pergi buku itu selalu ada di hadapanku di atas meja. Kadang-kadang, saat mengadakan pembicaraan yang | |
[pagina 297]
| |
bernostalgia di istana Jakarta atau di bungalow di Bogor, Bapak bercerita tentang kenang-kenangannya, yang secara teratur langsung saya catat di tempat, walaupun setelah saya kilas balik, saya kurang melakukan hal ini. Sebenarnya kita ini tidak pernah memperhitungkan bahwa suatu pertemuan bisa menjadi pertemuan yang terakhir. Bung Karno secara tidak sengaja mengatakan, ‘Setelah meninggalnya Sutan Sjahrir, janda dan kakaknya menemuiku di istana. Mereka bercerita bahwa salah satu ucapannya ketika dia masih terbaring sakit adalah, “Bung Karno benar!” Presiden melanjutkan, “Syahrir meninggal sebagai seorang yang sangat religius. Dia minta kepada yang dekat padanya agar menyampaikan salamnya padaku. Pernah, di rumah seorang kenalan kami, yakni penjahit Saddak, Syahrir berkata padaku,” Demi Tuhan, Bung Karno, saya lebih cocok dengan kamu, daripada dengan Hatta’. Pada kesempatan-kesempatan lain, ia menyinggung topik-topik internasional yang penting. Ini sering terjadi bila kami sudah tinggal berdua, setelah semua orang yang diundang sarapan pagi di istana pergi. Ia selalu meminta agar saya tinggal lebih lama. Ia misalnya ingin tahu lebih banyak mengenai pembunuhan JFK di Dallas. Apakah peran sebenarnya Lee Harvey Oswald? Dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika saya bercerita bagaimana saya sepuluhan tahun yang lalu menekuni persoalan itu lewat Godfather -nya Oswald, yakni graaf George de Mohrenschildt, sampai orang tersebut diculik di Brussel di depan mata saya untuk dibunuh di Florida. Bagi Bung Karno yang merupakan teka-teki yang tidak dapat | |
[pagina 298]
| |
dimengerti adalah bahwa JFK dalam waktu yang relatif singkat kalah dan menyerah kepada musuh-musuhnya dan CIA dan dilikuidasiGa naar voetnoot2.. Berulang kali dia mengatakan telah menjalin hubungan yang amat bagus dengan Kennedy bersaudara itu. Presiden Soekarno juga mengagumi Jacqueline Kennedy. Dahulu, di Peking pernah diterbitkan dalam lima jilid, gambar-gambar lukisan yang telah dikumpulkan Bung Karno selama bertahun-tahun. Duta Besar Zain begitu cerdik untuk mengirimkan seri lima jilid yang berukuran raksasa dan dicetak dalam warna indah itu ke Gedung Putih sebelum Presiden Indonesia datang mengunjunginya secara resmi tanggal 24 April 1961. Pada acara minum teh, Ny. Kennedy membawa buku-buku tersebut dan berlutut di lantai dekat presiden ketika meletakkan salah satu buku tebal itu di pangkuannya. Bung Karno heran dan kagum kepada pertanyaan-pertanyaan artistik yang diajukan ‘Jackie’ kepadanya. ‘Mengapa Presiden Johnson mempertahankan orang semacam Dean Rusk sebagai Menteri Luar Negeri?’ tanya presiden padaku. ‘Bukankah Rush penganut politik agresif yang sama dengan John Foster Dulles?’ Dia selalu bisa mengajukan topik-topik mengenai politik luar negeri secara rinci - yang merupakan terra incognito’ (daerah yang tidak diketahui) bagi penggantinya. Bagi saya, yang pada tahun 1966 itu telah dua puluh tahun tinggal di Amerika Serikat, merupakan hal yang menyenangkan untuk bisa bertukar pikiran | |
[pagina 299]
| |
dengannya mengenai hal tersebut. Berkali-kali pula Bung Karno mengingatkan kembali bahaya yang akan menimpa dunia, bila Amerika Serikat sebagai adikuasa Barat, cenderung lebih condong ke BaratGa naar voetnoot3.. Dia juga membicarakan tokoh-tokoh Amerika konservatif seperti Senator Barry Goldwater dari Arizona, sementara akhirnya tiap pembicaraan lambat laun selalu berakhir pada praktek-praktek mafia yang dilakukan CIA, dan menyebut Cuba dan Fidel CastroGa naar voetnoot4.. Makan malam 8 Oktober 1966 itu di bawah pengawasan Ny. Hartini, disajikan dengan sempurna. Saat makan malam, presiden merasa kepanasan dan membuka kemeja batiknya. Kemudian ia melanjutkan makan malamnya dalam pakaian baju dalamnya bersama dutabesar ratu dan kami. ‘Kali ini baju dalamnya tanpa lubang’, komentar Emile van Konijnenburg, yang saya ketahui selalu mempergunakan setiap kesempatan untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang yang paling lucu. Ny. Hartini menyambung, ‘Apakah Bapak akan mulai ber ‘striptease?’ Yang dilanjutkan pula oleh Bapak Presiden dengan mengatakan kepada Ny. Schiff agar mengikuti contohnya. Tetapi nyonya yang cerdik ini menjawab, ‘Saya bersedia melakukan permintaan Anda, kalau Ny. Hartini ikut juga!’ Gelak tawa mengakhiri kata-kata canda itu. Demikianlah malam di Istana Bogor berlangsung pada tahun | |
[pagina 300]
| |
1966 yang amat menyedihkan bagi Bung Karno itu. Setelah makan malam sampai tengah malam mereka main ‘een en twintig’ dengan batang korek api. Kami berangkat dalam gelap gulita ke Jakarta. Duta Besar Schiff dengan bendera tri-warna di spatbornya di depan. Saya mengikuti dari belakang dengan Konijnenburg dalam Mercedes milik KLM. Atas perintah presiden, kami dikawal dua jip polisi militer, karena j am malam telah lama lewat. Kami melintasi beberapa rintangan jalan yang dijaga tentara bersenjata lengkap. Tanggal 9 Oktober 1966, di Hotel Indonesia saya bertemu dengan usahawan Louis Worms yang sedang berjuang untuk pembuat kapal Cornelis Velorme. Mereka dibawa menghadap kepada Presiden oleh Pak Kelinci. Di Tanjung Priok akan dibangun galangan kapal ‘Karya Putra’. Sebelumnya telah diperlukan empat kali kunjungan Velorme sendiri untuk dapat meloloskan proyek itu dari birokrasi, sekalipun Bung Karno telah memberikan bantuan pribadinya. Peristiwa pertemuan dengan mantan pedagang besi Belanda di Jakarta ini memungkinkan saya menemukan jejak suatu transaksi korupsi senilai 320 juta gulden, yang pada saat itu siap dipertanggungjawabkan pemerintah Belanda. Kunci dari rencana yang busuk ini dipegang oleh tokoh paling korup, yakni Ibnu Sutowo, presiden direktur perusahaan minyak Indonesia ‘Pertamina’. Dengan dimuatnya seluruh kejadian ini di mingguan kristen Die Spiegel yang terbit masa itu, bisa dicegah bahwa beberapa pengusaha yang tidak jujur merugikan pembayar pajak sebanyak ratusan juta. Di Den Vaderland | |
[pagina 301]
| |
GetrouweGa naar voetnoot5. saya memperinci kejadian itu dan menyebutkan nama seseorang yang kemudian terbukti melakukan praktek korupsi, yakni Menteri Luar Negeri pada masa periode Soeharto, Adam Malik. Tanggal 10 Oktober 1966, saya bertemu dengan Presiden Soekarno, sendiri dari pukul 07:00 sampai kira-kira 08:40 di Istana Merdeka. Saya sengaja minta menghadap sendiri agar dapat bertemu empat mata dengan beliauGa naar voetnoot6. tanpa kehadiran tamu-tamu lain untuk sarapan pagi, karena sekali lagi aku ingin mencoba apakah benar-benar tidak ada lagi kesempatan untuk mengadakan kompromi yang bisa diterima antara istana dan markas besar Soeharto. Saya sampai pada kesimpulan bahwa Kolonel Sutikno Lukitodisastro mengharapkan dari saya, sebagai sahabat lamanya, bahwa saya akan berhasil membujuk Bung Karno. Tetapi sejak awal misi itu merupakan a mission imposible, karena presiden tidak bisa dibujuk seperti diharapkan orang-orang lain yang tidak mengenalnya. Yang juga berperan adalah bahwa karena saya mengetahui betul pendirian presiden mengenai sikapnya terhadap PKI, tetapi juga memahaminya, saya harus mempengaruhi Bung Karno untuk mengubah pendiriannya, yang sebenarnya saya pun tidak menyetujuinya. Dengan sangat hati-hati, permohonan Soeharto dan Sutikno itu saya sampaikan kepada kepala negara, di mana sangat | |
[pagina 302]
| |
diharapkan agar dia secara umum mau mundur selangkah dan paling tidak menjauhkan diri dari PKI, yang dalam pandangan pemikirannya (mind scape) merupakan anak tirinya. Bagaimanapun aku mencoba, semua usaha saya sia-sia. Dengan pendek ia menjawab, ‘Wim, jempol dan kelingking kakiku pun tahu itu’. Yang bila dipanjangkan berarti, ‘Percumalah usahamu!’ Selama pembicaraan ini, Bapak berulang kali membicarakan peranan CIA di Indonesia. ‘Kami telah pernah membicarakannya’, katanya. ‘Sudah berapa tahun lamanya mereka di sini untuk mengerjai saya?’ Dengan tegas dia mengajak untuk membicarakan hal lain saja. Jadi saya bercerita, saya akan membuat film komplex Velorme di Tanjung Priok dan bahwa Jenderal Herman Budojo dari marinir (KKO) akan memberi penjelasan lebih lanjut mengenai rencana-rencana Velorme berdasarkan sebuah maket. Saya juga akan membuat film tentang Laksamana Mardanus, yang disela oleh Bapak dengan mengatakan, ‘Karena Mardanus adalah orang yang berhasrat maju, maka ia dicap “kiri”, padahal Mardanus adalah seorang patriot sejati’. Saat aku mau pergi, saya tanyakan kepada presiden apakah ia bersedia bertemu dengan Kolonel Sutikno. ‘Sebaiknya dia sendiri mengatakan kepada Bapak apa yang sebenarnya hendak dia katakan,’ kataku. ‘Hanya saja dia tidak bisa mengambil inisiatif untuk mengunjungi Anda. Anda yang harus memanggilnya untuk mengadakan pembicaraan atau Soeharto yang harus mengirimnya untuk mengunjungi Anda. Apakah Anda mau memanggilnya?’ Dengan segera Bapak | |
[pagina 303]
| |
menjawab, ‘Oke, bawalah dia besok pagi ke sini’. Malam harinya saya mengunjungi Bapak Sartono, sahabat Soekarno pada hari-hari pertama mereka mengorganisasikan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Sartono juga adalah mantan ketua parlemen Indonesia yang mendapatkan pendidikan sebagai ahli hukum di Leiden. Selama sepuluh tahun saya mengenalnya dengan baik. ‘Pandangan (visi) politik Bung Karno itu benar. Intuisinya tidak ada tandingannya. Dia sangat banyak membaca dan amat pandai. Hanya dalam materi faktanyalah ia lemah. Dia harus sering minta bantuan para menterinya. Tetapi tuan-tuan itu justru meniru dia. Bung Karno-lah yang memberikan garis-garis besarnya, tetapi selalu terhambat dalam segala hal dalam tindak lanjutnya. Dia menempatkan Subandrio, Leimena dan Saleh dalam presidium dan mengatakan, ‘Nah, sekarang kalian bertiga bersama-sama yang membuat segala keputusan’. Dalam prakteknya hal ini tidak beijalan. Hanya yang berjalan lancarlah yang dilaporkan kepada presiden. Dia selalu percaya apa saja yang dikatakan kepadanya. Akibatnya dia sering tertipu. Oom Sartono, demikian dia sering disebutGa naar voetnoot7., mengatakan yang sama dengan yang dikatakan Mohammad Hatta, yang menganggap Soeharto sebagai penyelamat bangsa. Soeharto melakukan segala sesuatu secara terbuka. Subandrio melakukan segala sesuatunya secara rahasia. Masa lalu Soeharto bersih. Pernyataan itu tidak benar, karena Jenderal | |
[pagina 304]
| |
Nasution memecatnya dari Divisi Diponegoro tahun 1958, karena memergokinya melakukan hal-hal yang tidak benar. Tambahan pula, Soeharto akan beroperasi di latar depan sedangkan Subandrio di latar belakang juga tidak benar. Pertunjukan wayang dari Jenderal Soeharto sebagai Presiden Kedua Indonesia akan dicatat di dalam sejarah republik sebagai operasi politik paling licik dalam sejarah Nusantara. Orang itu barangkali menokohkan diri sebagai The Smiling General, tetapi dalam keadaan sebenarnya Soeharto adalah si pengkhianat menteri Durno, dari kerajaan Hastinapura, yang mengkhianati raja dan rakyatnya untuk kepentingannya sendiri. Dalam buku O.G. Roeder, Soeharto menyamakan dirinya dengan cucu pahlawan Arjuna dari alam pewayangan. Pahlawannya Bung Karno (Arjuna) mengundurkan diri ke dalam hutan, dan menurut legendanya cucunya, yakni Parikesit (Soeharto) menjadi raja (hal. 29)Ga naar voetnoot8.. Sementara itu, Oom Sartono juga mengeluhkan kelakuan mahasiswa KAMI yang dipanas-panasi kaum militer untuk berdemonstrasi. Menurut Mr. Sartono, ‘Bahwa sekarang pemuda-pemuda bertindak melampaui batas, adalah hasil dari didikan Bung Karno. Pemuda-pemuda dididik secara politik. Mereka sudah menjadi sadar politik. Sebetulnya presiden harus memuji dirinya sendiri. Dahulu kaum muda tidak berani membuka mulut, tetapi sekarang mereka sudah melampaui | |
[pagina 305]
| |
batas. Pemuda-pemuda KAMI juga telah memasuki rumahnya tanpa permisi dan telah menghabiskan semua makanan yang ada di dapur. ‘Anda kan tidak setuju bahwa kelakuan seperti itu adalah hasil dari kepemimpinan Bung Karno? Apa yang dilakukan KAMI mencerminkan kepemimpinan Soeharto, Nasution dan CIA dan adalah hasil dari kebohongan. Pemuda-pemuda KAMI dengan sengaja dibawa ke jalan yang salah’. ‘Betul, tetapi kekacauan pertama mengenai KAMI, sekarang sudah lewat,’ jawabnya. |
|