Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 286]
| |
Jakarta (8)Dari percakapan-percakapan yang saya lakukan dengan Kolonel Sutikno Lukitodisastro secara berangsur menjadi jelas bagi saya apa yang dia kehendaki. Karena campur tangan saya pada tahun 1957 dalam pengunduran Batalyon I Garuda dari Sinai, dia (Sutikno) tahu bahwa antara Bung Karno dan saya telah terjalin hubungan saling mempercayai karena alasan yang sederhana saja, yaitu bahwa Bung Karno sebagai teman saya beritahu semua yang saya pikirkan, atau yang saya ketahui sebagai wartawan yang mungkin mempunyai arti penting baginya. Saya tidak mempunyai kepentingan pribadi di Indonesia dan saya berada dalam suatu posisi dapat berbicara dengan terus terang dengannya. Saya tidak mempunyai kepentingan Unilever (Paul Rijkens), kepentingan Shell (Koos Scholtens) atau kepentingan KLM (Emile van Konijnenburg). Saya berkenalan dengannya, mendalami kebijaksanannya dan beruntung | |
[pagina 287]
| |
menjadi sahabatnyaGa naar voetnoot1.. Salah satu aspek yang paling penting dalam uraian-uraian panjang lebar yang disampaikan kolonel Sutikno kepadaku barangkali adalah bahwa berulang-ulang ia menekankan pada saya bahwa kebijaksanaan Soeharto dan Orde Baru tidak khusus bertujuan untuk menurunkan atau memindahkan presiden dari istana. Baik Soeharto maupun Sutikno menganggap diri mereka mengabdi Republik. Mereka setia kepada Panglima Tertinggi Bung Karno. Sementara Pak Tikno berulang kali menyatakan hal ini kepadaku, pada Oktober 1966 itu saya tidak tahu menahu mengenai kejadian yang sebenarnya pada Oktober 1965 itu; saya juga tidak tahu bahwa Soeharto telah mencegah Jenderal Pranoto Reksosamudro yang dipanggil presiden untuk menghadap panglima tertingginya. Mendengar perkataan-perkataan sahabatku Soekarno, saya masih berpendapat bahwa Soeharto dan dia (Sutikno) adalah perwira-perwira yang setia kepada Soekarno. Yang senantiasa ditandaskan dalam desakannya adalah bahwa Bung Karno harus diturunkan karena menolak mengutuk PKI. Walaupun Soeharto lewat Super Semar tanggal 11 Maret 1966 memperoleh kekuasaan dengan cara yang tidak sah untuk selanjutnya melarang dan membubarkan PKI - dan menggencarkan perburuan terbuka terhadap orang-orang yang diperkirakan anggota PKI - salah satu syarat dari rezim yang melakukan coup adalah, bahwa presiden harus mengutuk para | |
[pagina 288]
| |
komunis agar dapat tetap berfungsi sebagai kepala negara simbolis di bawah kekuasaan para jenderal. Tuntutan para pelaku coup bisa disamakan dengan menuntut agar Soekarno pada usianya yang ke 65 melepas agama Islamnya. Di dalam Otobiografinya Soeharto menulis bahwa Bung Karno dalam pidato-pidatonya tidak mau menyerah sedikit pun. ‘Dia memperolok-olok larangan terhadap marxime dan komunisme’ begitu tulis Soeharto. ‘Dengan teguh dia mempertahankan pendiriannya mengenai bersatunya kelompok-kelompok nasionalis, agama dan para komunis’ (Nasakom). Berulang kali pidato-pidato Bung Karno itu menimbulkan reaksi dan demonstrasi-demonstrasi (halaman 133). Ungkapan terakhir itu adalah khas ucapan buatan Soeharto, sebab justru dia sendiri dan rezim militernyalah yang mendalangi protes-protes terhadap Presiden Soekarno itu dan yang selalu terjadi kembali secara teratur. Bapak jenderal memberi contoh betapa ‘berbahayanya’ Bung Karno bagi Indonesia. Dalam suatu pidatonya ia berkata, ‘Saya akan bersabar, sesabar Nabi Muhammad. Ketika nabi Ta'if dihina, disumpahi, difitnah dan malah dilempari kotoran, dia tetap bersabar. Tetapi setelah itu dia mengambil langkah-langkah dan malah berangkat berperang’Ga naar voetnoot2.. Di dalam buku memoimya Presiden Soeharto bercerita bahwa ucapan itu sengaja dia pancing dari presiden dengan menantangnya dan melawannya dalam pekeijaan. Bung Karno sebenarnya ingin menghadiri peringatan Hari Pahlawan di | |
[pagina 289]
| |
Surabaya. ‘Saya menganggap berbahaya bila ia akan terbang ke sana. Bukankah saya harus menjaga kesejahteraan dan kesatuan rakyat’, demikian kata Soeharto (hal. 134). Betapa beraninya dia menuliskan di dalam Otobiografi yang resmi contoh penilaian diri yang begitu berlebihan. Mantan pesuruh kelas satu Bank Rakyat di Wuryantoro itu benar-benar menganggap dirinya lebih mampu mengendalikan kesejahteraan dan kesatuan Indonesia daripada Bung Karno, yang selama empat puluh tahun mengusahakannya tanpa lebih dahulu harus membunuh sejuta atau lebih orang yang berpendirian lain dari rakyatnya sendiri. Atau memasukkan ratusan ribu orang tanpa proses apa pun ke dalam kamp-kamp tahanan (penjara). Karena pada hari-hari itu saya belum mencurigai maksud-maksud Kolonel Sutikno saya menyetujui untuk berusaha membicarakan syarat yang tak terelakkan (conditio sine quanon) dari Soeharto dengan presiden. Jadi saya berbicara berputar-putarGa naar voetnoot3. dengan uraian-uraian panjang agar dengan kata-kata yang sangat hati-hati mencoba mendekatinya untuk menyampaikan sugesti Kolonel Sutikno: suatu bentuk reculer pour mieux sauter. Jadi saya mulai mengobrol tentang tokoh besar Lenin yang berhasil memperoleh perdamaian di Brest Litovsk (1918), di mana dia mundur selangkah untuk dapat maju. Saya mengingatkan juga kepadanya menyerahkan Nikita Khruschev kepada JFK saat terjadinya krisis-raket ketika kapal-kapal Sovyet bermuatan roket untuk Fidel Castro | |
[pagina 290]
| |
langsung balik kanan di tengah lautan. Yang membuat saya tercengang, setelah mendengar argumentasi-argumentasi saya yang telah saya susun dengan teliti, dengan ketus Bung Karno menjawab, ‘Khrushev adalah Khruschev. Dan saya adalah Soekarno’, dan dengan demikian topik pembicaraan ditutup. Sebetulnya saya membenarkan tindakannya. Tetapi saya menyadari bahwa dengan lima belas orang menteri yang terpentingnya dipenjara dan tentara di tangan lawan-lawannya, yang dengan mulutnya menyatakan hormatnya kepada kepala negara, tetapi sebenarnya sangat menghinanya - dan iri padanya, ia berada dalam situasi yang sangat lemah dan sukar. Duta Besar Schiff menginterpretasikannya seolah presiden tetap tidak mengakui musibah yang sedang ditimpakan terhadapnya. Saya kira Bung Karno tahu benar apa yang sedang terjadi dengan negaranya, tugas suci hidupnya dan dirinya, tetapi karena ia seperti kayu jati yang kokoh dan kuat, ia tidak bisa digoyahkan oleh pengkhianat dan sejenisnya. Dia tidak ragu sedetik pun. Dia tidak akan pernah dan tidak akan mau mengkhianati anak tirinya PKI, seperti yang diharapkan oleh para militer pelaku coup dan CIA. Apabila hal itu bisa menyebabkan hilangnya kedudukannya sebagai presiden, biarlah itu terjadi. Menyerah kepada pengkhianat, tidak akan pernah dilakukan. Tetapi sekali lagi saya menyingung topik ini. Saya ingatkan dia bagaimana keluarga kerajaan Belanda dengan sabar menghadapi reaksi awal yang disebabkan oleh pilihan Beatrix untuk sekali lagi memilih sebagai suami seorang pangeran dari Jerman, seperti yang dilakukan ibunya dengan | |
[pagina 291]
| |
Pangeran Bernhard von Lippe Biesterfeld dan Wilhelmina dengan Pangeran Hendrik von Mecklenburg Schwerin. Kemarahan rakyat dengan ucapan-ucapan seperti ‘Claus, 'raus!’ (Claus, pergilah) lambat laun di Belanda berubah menjadi kesadaran yang telah dipikirkan secara tenang mengenai pangeran yang baru. Pada saat itu Laksamana Mulyadi ikut bergabung dengan kami dan Bung Karno berkata kepadanya, ‘Wim ini mau menghibur saya’. Dalam pembicaraan yang kesekian kalinya dengan Kolonel Sutikno sambil makan siang di Hotel Indonesia, dia berkata, ‘PKI telah mencuci otaknya’. Karena itu Pak Harto dengan kesopanan timur memberikan sedikit tekanan kepadanya. Bahwa sekarang kami melarang PKI, adalah kesalahan PKI sendiri. Mereka terlalu banyak menyerang dari belakang. Wim, kamu sekarang harus melihat Bung Karno lewat kacamata posisinya saat ini. Jenderal Soeharto sekarang adalah ketua presidium. Kecuali itu kami harus menenangkan luar negeri bahwa di Indonesia sini komunisme tidak mungkin hidup kembali’. Sambil mendengarkan kata-kata kolonel itu saya menyadari bahwa dia pada tahun-tahun belakangan berada di Washington, dia sebenarnya sama sekali tidak mengenal presidennya dan rupanya tidak memahami pula cara berpikir politiknya. Dugaannya seolah Presiden Soekarno telah dicuci otaknya oleh anak tirinya dengan mengorbankan anaknya sendiri, menunjukkan bahwa Sutikno tidak tahu apa yang dia katakan. ‘Tekanan yang disampaikan dengan kesopanan timur’ dari Soeharto, buktinya merupakan perebutan | |
[pagina 292]
| |
kekuasaan militer kejam dengan kedok ketimuran. ‘Kesalahan ’PKI dalam kenyataannya adalah komplotan CIA agar dapat menyalahkan PKI melakukan coup yang tidak dapat dipertanggungjawabkan partai. Dan dengan ‘menenangkan luar negeri’, yang dimaksud kolonel adalah Washington dan CIA. Aku mulai menyadari bahwa sahabatku Pak Tikno termasuk pembantu-pembantu Indonesia baru yang bersedia dipakai Amerika Serikat untuk memanuver Republik Indonesia yang secara strategis penting karena terletak di persimpangan hubungan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik ke jalur pelayaran Amerika untuk selama-lamanya. Sutikno melanjutkan, ‘Persoalannya sekarang adalah untuk mendesak presiden sampai dia berkata, ‘Jangan berkelahi demi saya!’ atau ‘Jangan mempertengkarkan diri saya!’. Ini adalah pendirian Jenderal Nasution, ketika ia dikeluarkan dari kabinet oleh presiden. Jangan lupa bahwa Pak Nasution pada tanggal 20 Juni 1966 terpilih sebagai Ketua MPRS karena merasa kesal telah dipecat kembali oleh Bung Karno’. Saya mendengarkan penjelasan Sutikno dengan rasa heran dan rasa tidak senang yang mendalam. Selain itu makin jelas bagiku bahwa tangan kanan Soeharto ini mempengaruhi saya, atau mencoba melakukannya, agar mau berfungsi sebagai penghubung antara presiden dan kelompok pengkhianat. Pesannya, yang dicoba dimasukkannya ke dalam tembok istana lewat orang yang dipercaya Bung Karno, bertentangan dengan fakta-fakta dan dari A sampai Z tidak benar, terutama hal-hal yang berhubungan dengan presiden. Saya makin yakin | |
[pagina 293]
| |
lagi untuk dijadikan sebagai penghubung, apalagi setelah makin jelas bagiku tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai Sutikno dengan sejumlah undangan makan siang itu. Malam 7 Oktober 1966 itu, bersama Emile van Konijnen-burg untuk pertama kali aku bertamu di bungalow yang berada di kebun Istana Bogor, di mana Bapak menghabiskan akhir pekannya bersama Ibu Hartini Soekarno. Untuk itu dia datang dari Jakarta, naik helikopter buatan Amerika. Pak Kelinci juga mengajak Dries Ekker, yang selama bertahun-tahun bekerja keras untuk memperkenalkan pendirian Luns mengenai soal Irian Barat. Lama setelah itu, ketika Ekker dikeluarkan dari pekerjaannya, Luns mengangkatnya bekerja di Departemen Luar Negeri, dan ditempatkan sebagai atase pers di negara asing. Terakhir datang juga Jaap Kruisweg. Van Konijnenburg membawakan buku Watzien ik karya Albert Mol untuk presiden, yang sekarang terletak di meja dekat tempat tidurnya dan sering dibaca. Sebelum makan malam kami pergi ke istana untuk menonton film Errol Flynn. Polisi-polisi militer dan anggota para memberi hormat pada presiden saat memasuki ruangan film, yang telah terisi oleh personel, para tukang kebun dan dua orang anak laki Bung Karno, Bayu dan Taufan, anak dari Hartini. Taufan bertahun-tahun kemudian meninggal di California karena kanker. Tahun 1994 saya bertemu lagi dengan Bayu di rumah Hartini. Sejak beberapa lama ia bekeija di Sekretariat Negara di bawah Presiden Soeharto. Bisa terjadi juga! Selama pertunjukan film, Bung Karno meletakkan kakinya di atas meja rendah di depannya, karena kakinya sering | |
[pagina 294]
| |
bengkak. Ibu Hartini mengelilinginya penuh kasih sayang. Dia masih kelihatan muda dan menarik seperti tahun 1957 ketika saya pertama kali bertemu dengannya dengan Bapak di Bojonegoro Jawa Timur. Selama itu saya selalu berkorespondensi dengannya, sampai tahun 1994 hubungan itu putus sebagai akibat dari sikapnya yang berubah terhadap orang yang sebenarnya bertanggung jawab atas perlakuannya menyiksa sampai mati terhadap Bung Karno. Setelah film usai, acara dilanjutkan dengan makan malam. Walaupun politik tabu dibicarakan saat santap malam, presiden sedikit menyinggung proses terorganisir terhadap dr. Subandrio yang terjadi di Jakarta saat itu yang dianggapnya sebagai proses semu. Dia juga bertanya-tanya bagaimana mungkin rezim militer menyebar kebohongan seolah Ny. Hartini menyumbang 200 juta rupiah kepada PKI. Sampai di situ pembicaraan tentang politik. Konijnenburg menghibur para hadirin dengan menceritakan sejumlah lelucon Amsterdam yang sering amat menggelikan. Sebenarnya saya lebih senang bila semua yang hadir cepat pulang, karena saya sudah tidak sabar untuk menanyakan seribu satu pertanyaan kepada presiden. Tetapi akhir pekan khusus diperuntukkan untuk beristirahat, tandas Ibu Hartini. Dia bercerita bahwa Bapak akhir-akhir ini sering diserang sakit kepala yang amat sangat karena banyak berpikir. Dan dia telah menentukan agar kunjungan-kunjungan pendek ke Bogor yang lebih sejuk ini dalam situasi apa pun harus diusahakan menjadi kunjungan yang nyaman dan menyenangkan. |
|