Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 273]
| |
Jakarta (7)Setelah semua undangan, termasuk van Konijnenburg tanggal 7 Oktober 1966 pagi itu pergi, akhirnya saya bisa berbicara dengan presiden dengan tenang. Yang sangat menyakitkan hatinya adalah sikap yang memuakkan gerombolan-gerombolan pemuda tertentu yang direkrut dan dibiayai tentara, dan yang tidak sadar bahwa mereka diperalat dan sewaktu-waktu membantu ‘mengacau’Ga naar voetnoot1. di ibu kota Indonesia itu. Dia telah mengundang 120 orang pemuda itu ke istana dan mencoba berdialog dengan mereka. Tetapi mereka tidak bisa diatur dan diajak bicara. Seperti juga Drs. Mohammad Hatta, proklamator Republik yang satunya, Bung Karno terutama juga terkejut tidak hanya karena kelakuan tidak beradab anak-anak muda itu di hadapan umum, tetapi karena diinjak-injaknya nilai-nilai tradisional | |
[pagina 274]
| |
Indonesia. Moh. Hatta mengatakan kepadaku dia sangat risau karena rasa ‘malu’Ga naar voetnoot2. yang khas Jawa sama sekali tidak ada pada generasi muda ini. Hatta menganggap trend dalam sikap dan tingkah laku modern ini sebagai sesuatu yang sangat negatif, berbahaya dan bisa merusak. Niels Mulder menguraikan perasaan Jawa dalam bentuk rasa malu terhadap orang lain, sangat hebat. Menurut dia, ‘malu’ lebih dalam dari perasaan malu biasa bila terungkap hal-hal yang tidak diketahui orang. ‘Malu’ (yang lebih dalam ini) harus dipelajari dan berulang-ulang dilatih sehingga berkembang menjadi perasaan murni yang sangat halus sehingga di dalam pergaulan tidak akan menyakiti hati orang lain atau membuat orang lain maluGa naar voetnoot3. Walaupun saya produk dari sebuah keluarga Indo yang khas, dan walaupun ayah dan kakek saya dilahirkan di Semarang, saya masih ingat bahwa tahun 1957, pada perjalanan saya yang pertama ke Soekarno, sahabat lama saya Wim Latumeten kadang-kadang memperingatkan saya, ‘Willem, buka/tanggalkan kelom-mu’. Dia benar. Di dunia Barat rasa ‘malu’ Indonesia itu tidak ada. Sebaliknya, terutama setelah 1945 mentalitas cow boy yang gemar menembak dari dunia baru juga melanda dunia Barat lama. Keberanian Barat berarti langsung bertindak. Alam berfikir Bung Karno dan Hatta dalam hal ini terutama setelah 1965, sangat terpukul sehingga kedua tokoh itu amat sedih dan prihatin. ‘Anak-anak muda itu tidak menyadari apa yang | |
[pagina 275]
| |
mereka lakukan. Mereka sengaja dibimbing ke arah yang salah’, demikianlah Bung Hatta menyimpulkan kelakuan KAMI pada pagi itu. Sejak itu dunia pengetahuan banyak menyoroti demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan terhadap Soekarno. Stephen Douglas, seorang peneliti Amerika dari University of Illinois, pada tahun 1970 melemparkan bukunya berjudul: Political Socialization and Student Activism in Indonesia, ke pasar Barat. Dalam penelitiannya, Douglas bertanya-tanya bagaimana mungkin bahwa Soekarno bertahun-tahun lamanya memusatkan perhatiannya untuk menanamkan nilai-nilai Indonesia murni pada generasi muda dan remaja-remajanya justru kaum muda ini, pada tahun 1966 ketika cita-cita dan loyalitas mereka diuji, justru berbalik melawan Bung Karno. Douglas membayangkan seolah di media dan televisi ‘para mahasiswa yang sebelumnya sudah dipilih oleh tentara untuk berdemonstrasi’ menceritakan seluruh kejadian setelah 1966 di Indonesia. Demonstrasi balik tak dapat dilakukan karena tentara melarangnya. Ed van Kan malah memfilmkan pembunuhan terhadap seorang mahasiswa yang pro Soekarno untuk NBC. ‘Dunia’ hampir tidak mendapatkan informasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Presiden meminta saya untuk menemaninya berjalan menuju seorang dokter gigi di salah satu gedung di belakang istana. Kami berjalan bersama melintasi kebun diikuti oleh ajudan Bambang Widjanarko dan anggota-anggota lainnya. Kamu sudah membaca buku Wilfred Burchett War against Trees?, tanyanya kepadaku. Saya belum baca buku itu, tetapi | |
[pagina 276]
| |
saya bercerita tentang perjalanan-perjalananku tahun 1964 ke Saigon dan penerbangan-penerbangan helikopter tentara Amerika di atas Delta Mekong. Dia menandaskan bahwa orang-orang Amerika di Vietnam dan orang-orang Inggris di Malaysia seharusnya pergi dari Asia Tenggara. Dia sekonyong-konyong berhenti dan berkata, ‘Kepalkan tanganmu. Kepalan tanganmu itu adalah Vietnam, di mana orang-orang Amerika itu berada. Ini adalah Cina (dan menunjuk tangan kirinya) dan ini adalah Indonesia (tangan kanannya).’ Sementara kedua belah tangannya menutupi kepalan tanganku, ia berkata dengan geram, ‘Bersama sama kami akan hancurkan orang-orang Amerika itu.’ Saya sadar betul bahwa yang dimaksudkan bukanlah mengirimkan pasukan-pasukan tentara ke Hanoi, dia hanya berkata dalam istilah-istilah simbolik. Tetapi sementara itu saya juga sadar dan memahami bahwa musuh-musuhnya akan memutarbalikkan ucapan-ucapan itu agar dengan demikian bisa mendemonstrasikan kecenderungan Bung Karno yang pro komunis. Lagi pula bukan dia saja yang berpendirian demikian di Asia Tenggara ini. Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja berpendapat yang sama, walaupun baru pada 18 Maret 1970 sebelum Washington dan CIA mengadakan perebutan kekuasaan terhadapnya di Pnom Penh. Tanggal 1 Mei 1965 untuk pertama kali pesawat-pesawat Amerika mengebom dari desa-desa Vietnam di kerajaan Kamboja. Pada 3 Mei 1965, karena alasan itu Sihanouk memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Sejauh itu belum pernah dilakukan Bung Karno. Richard Nixon dan | |
[pagina 277]
| |
Henry Kissinger menganggap Sihanouk sebagai penghalang, seperti halnya Lyndon Johnson yang pada tahun 1965 memberi jalan lapang kepada CIA untuk melenyapkan Soekarno untuk selama-lamanya. Seperti Bung Karno, Sihanouk juga bukan seorang komunis. Pangeran beserta keluarganya berangkat ke Peking dan selama bertahun-tahun menikmati pintu terbuka Mao Tse-Tung. Chou En-lai juga merupakan teman pribadi. Dalam bukunya My War with the CIA Pangeran Sihanouk mengenang kembali Ketua Mao yang pernah berkata kepadanya bahwa sebenarnya (pleinponvoir) dia bisa menjadi seorang komunis yang ulung. Sihanouk memprotes dengan mengatakan bahwa ia kurang cocok untuk menjadi seorang komunis. Tetapi Mao berkeras pendapat, ‘Saya terlalu malas untuk mempelajari Marx, Lenin dan yang lain-lain,’ demikian kepala negara Kamboja itu. Bung Karno mempelajari dan menelaah Marx dan Lenin, tetapi dalam darah dagingnya ia tetap menjadi seorang Marhaenis dan memilih sistem banyak partaiGa naar voetnoot4.. Seperti halnya dengan Soekarno, Pangeran Norodom Sihanouk dilengserkan oleh seorang militer yang telah diseleksi Washington, yakni ‘Marsekal’ Lon Nol. Pada hari-hari itu Dewi Soekarno berkata kepada saya di Paris bahwa ia tidak dapat mengerti mengapa Sihanouk tidak lebih berhati-hati setelah mengetahui apa yang terjadi dengan Soekarno, | |
[pagina 278]
| |
sahabatnya. Dia tahu betul skenario yang dijalankan CIA di Jakarta. Di dalam bukunya My War with the CIA Sihanouk juga menulis, ‘Dengan bantuan spesialis-spesialis dalam pelaksanaan perang psikologis di Indonesia, dan melancarkan kampanye menjelekkan nama presiden Soekarno, hal yang sama dilakukan juga disini, di Kamboja. Antara lain disebarluaskan ‘slogan-slogan’ yang berbunyi ‘raja-raja kami dari dulu adalah pengkhianat’ (halaman 216). Menurut Dewi seharusnya Sihanouk tahu jenis manusia apa mereka itu. Dan dalam salah satu perjalanannya ke luar negeri masih saja ia dikejutkan oleh Lon Nol dan Sarik Matak yang secara diam-diam bersekongkol untuk merebut kekuasaannya. ‘Saya sudah sakit hatiGa naar voetnoot5. mengenai Amerika’, sambung Bung Karno pagi itu di kebun istana menuju ke dokter gigi. ‘Kadang-kadang saya betul-betul mengharap agar Amerika sendiri terlindas habis. Ini sebagai balas dendam atas segala sesuatu yang telah mereka lakukan di Asia ini. MerekaGa naar voetnoot6. sekarang ingin agar saya berinisiatif mengadakan aksi perdamaian di Vietnam. Itu sebenarnya adalah keinginan Washington. Tetapi siapakah sebenarnya mereka, yang membujuk Jepang untuk meminjamkan uang kepada kami, berjuta-juta dolar jumlahnya, untuk membohongi dan merampas habis kita. Orang-orang Amerika yang sama itu pula! Siapa yang berada di belakang Ferdinand Marcos di Philipina. Apakah saya harus membantu orang-orang Amerika itu untuk mengeluarkan mereka dari rawa-rawa Vietnam itu?’ | |
[pagina 279]
| |
Sejenak kemudian dia mengambil tempat di kursi dokter gigi yang sudah tersedia. Pengikut-pengikutnya telah mengambil tempat pula di kursi-kursi yang tersedia berjejer di sepanjang tembok. Sementara dokter gigi Cina mem-pesiapkan alat-alat, presiden bertanya kepadaku apakah saya sudah membaca Otobiografinya yang dicatat Cindy Adams. Tanpa tedeng aling-aling saya menjawab bahwa buku itu tidak baik, apa lagi kurang baik untuk pendiri Republik Indonesia. Sebab 263 halaman dari keseluruhan 312 halaman menguraikan apa saja yang terjadi sampai penyerahan kekuasaan tahun 1949 dan bagian terpenting dari sejarah Modern Indonesia tidak selayaknya dibicarakan dalam 50 halaman. Orang-orang Indonesia yang hadir di kamar dokter gigi itu terkejut dan terheran-heran akan keberanian saya menyampaikan kritik secara terbuka. Presiden juga menunjukkan keheranannya dan menjawab, ‘Tetapi saya dengar, buku itu di Amerika justru terjual dengan sangat laris.’ ‘Itulah celakanya, karena terlewat suatu kesempatan! Apa yang ditulis Ny. Adams adalah hanya sebagian dari cerita Bapak. Masih sangat banyak yang tidak tercatat.’ Saya mengingatkan dia kembali, baik mantan Perdana Menteri Sastroamidjojo maupun Duta Besar Zairin Zain telah meminta dengan sangat untuk menulis buku yang serius, bekerja sama misalnya dengan seorang wartawan Indonesia dan saya. Presiden mengubah tajuk pembicaraan, menunjuk pada dokter giginya dan berkata, ‘Dialah satu-satunya orang yang bisa membungkam saya’, sementara dokter giginya memasang sebuah penjepit di mulutnya. Sementara giginya dibor, saya | |
[pagina 280]
| |
bertanya kepadanya apakah bagian-bagian yang membeberkan masa sekolah menengah ketika ia jatuh cinta kepada gadis-gadis, patut ditulis dalam sejarah hidupnya, bila dibandingkan dengan begitu banyak informasi lain yang lebih penting. Ya, misalnya dia punya dua orang teman gadis yang masih dipertukarkan dalam cerita itu, katanya, ‘Kasihan Mientje Hessels, saya sebetulnya tidak mau mempermalukannya.’ Bertahun-tahun kemudian dia bertemu dengannya dan melihat bahwa selama itu temannya telah berubah menjadi seorang ‘patapouf’Ga naar voetnoot7.. Tetapi sebenarnya bukan Mientje Hessels yang dimaksud, tetapi Laura Fikerscher, tambah Bung Karno. Dia minta tolong kepada Emile van Konijnenburg untuk memperbaikinya dalam buku Cindy Adams. Saya bertanya kepadanya bagaimana kelanjutan kunjungan Joseph Luns ke Jakarta tahun 1964 itu. Presiden mengganggap menteri itu jenaka. Mereka bertukar lelucon. Ketika bersantap siang di Istana Bogor, Luns bercerita tentang pamannya, Jenderal Van Voorst tot Voorst, ketika mengispeksi serdadunya. Ia bertanya kepada salah seorang anggota pasukannya, ‘Bagaimana makannya disini, soldat?’, maka jawabnya adalah ‘Buruk’. ‘Tidak bisakah kau berbicara dengan lebih sopan dan menjawab dengan dua kata?’ lanjut jenderal Van Voorst. ‘Sangat buruk’ jawabnya lagi. Bung Karno menunjuk kijang-kijang yang berada di taman istana sambil berkata, ‘Pada zaman kolonial, jumlahnya 50. Setelah proklamasi | |
[pagina 281]
| |
kemerdekaan, jumlahnya meningkat menjadi 750! Hewan-hewan itu rupanya tidak pernah diam,’ demikian komentar menteri luar negeri kami. Sebagai hadiah Luns memberikan sebuah jambangan bunga bermotif rusa dan sebuah burung hantu perak, yang menurutnya adalah simbol kepandaian. Pagi hari tanggal 7 Oktober 1966 itu, kontak antara kami sudah kembali pulih seperti sepuluh tahun yang lalu. Tanggal 8 Oktober, saya menghadap Duta Besar E.L.C Schiff. Mula-mula kami berbicara empat mata. Baru kemudian saya membuat film mengenai wawancara dengan beliau untuk dokumenter NTS. Schiff mendapat kesan bahwa Soekarno entah dengan sengaja atau tidak menghindar untuk menghadapi keadaan politik yang berubah. ‘Rupanya dia tidak mau memahami, atau dia tidak mau menerima bahwa Soeharto dengan antek-anteknya menginginkan dia pergi. Dalam hal ini ia agak gila. Tidak hanya kekuasaan presidennya yang hilang, tetapi mikrofon-mikorfonnya pun sudah diambil’, demikian diplomat Belanda itu. Yang terakhir itu tidak seluruhnya benar. Dalam satu minggu saya kembali ke Jakarta ini, saya mendengarkan dua pidato presiden yang masing-masing 45 menit lamanya. Tetapi menurut pendapat Tuan Schiff, Bung Karno hidup ‘in denial’Ga naar voetnoot8. dan buta terhadap realita-realita baru di sekitarnya. Di sini barangkali ada inti kebenaran. Tetapi hal ini sama sekali tidak saya sadari pada hari-hari | |
[pagina 282]
| |
pertama saya kembali ke Indonesia. Selama sepuluh tahun saya mengenal Soekarno sebagai pemimpin yang tak diragukan. Pada awalnya saya sungguh tidak melihat betapa besar dampak yang merusak dari kampanye-kampanye fitnah yang dilancarkan Orde Baru pada rakyat. Tangan kanan Soeharto, Kolonel Sutikno mungkin sadar bahwa saya sangat sedikit mengetahui apa yang terjadi di negeri ini sejak 1 Oktober 1965. Pada hari-hari pertama itu saya melihat fungsinya tidak sebagai kolaborator pelaksana coup, tetapi sebagai rekan Jenderal Soeharto yang berdinas pada Bung Karno. Pada saat itu menurut saya, situasi tampak berfungsi cukup normal sesuai dengan urutan hierarkis yang saya kenal. Pak Tikno dan saya hampir tiap hari bertemu dan berbincang. Baru setelah cukup lama saya menyadari - dan sungguh tidak disangka - bahwa dia secara langsung mempekerjakan saya agar sebisa mungkin membantu Soeharto dan militer yang melakukan coupnya, dalam kedudukan saya sebagai teman yang dipercaya presiden. Inti dari penjelasannya adalah sebagai berikut, ‘Saat ini Bung Karno sudah harus sanggup mengadakan suatu pengorbanan bagi negara’, demikian kata kolonel Sutikno Lukitodisastro. ‘Dia harus menunjukkan kebesaran hatinya dan mau mundur selangkah, walaupun dengan hati yang berdarah.’ Tentu saja saya ingat kepada ramalan-ramalan Ujeng Suwargana dan rencana-rencana untuk mengisolir Bapak, sehingga para militer bisa bertindak seenaknya. Sebab itu, saya lambat laun menjadi curiga ketika orang itu yang selama ini saya | |
[pagina 283]
| |
anggap sebagai perwira yang setia kepada Soekarno mulai melancarkan tindakan-tindakan subversif sesuai kehendak Soeharto. ‘Dulu rakyat Indonesia bersikap, seolah-olah Bapak itu orang yang sempurna’, lanjutnya. ‘Sekarang rasa kasih sayang untuk Bapak bangsa itu masih sama, tetapi mata rakyat sudah terbuka.’ Rupanya Sutikno mudah sekali mengatasnamakan tindak-tanduk para militer pelaksana coup dan CIA dengan ‘Rakyat Indonesia’. Negara dan bangsa telah menjadi korban dari sekelompok kecil militer yang telah dipengaruhi Washington dan memperoleh kekuasaan lewat pengkhianatan. Sutikno melanjutkan, ‘Misalnya, kepada presiden telah dilaporkan bahwa Jenderal Nasution berniat mendirikan negara Islam. Dia mengetahui bahwa ini tidak benar, tetapi walaupun demikian Bung Karno telah menyingkirkan Jenderal Nasution tanggal 11 Maret 1966. Ini suatu hal yang sangat buruk.’ Sebenarnya sudah sejak Republik Indonesia berdiri Soekarno berulang kali bertentangan dengan Nasution. Tetapi berulang kali pula Bung Karno menempatkannya pada kedudukan yang tinggi, karena seumur hidupnya ia dijiwai oleh pendapat bahwa memelihara kesatuan nasional harus mendapat prioritas utama. Dalam Otobiografinya Soekarno menyinggung sifat pemaafnya yang sudah terkenal itu. ‘Saya tidak ingin terjadi perpecahan antara saya dengan Angkatan Darat, jadi Nasution saya angkat lagi. Soekarno bukan anak kecil, begitu pula Nasution. Kami akan tetap bersatu, sebab bila | |
[pagina 284]
| |
musuh kita berhasil memecah belah kita, maka republik akan hancur.’Ga naar voetnoot9. Saya berpendapat, Bung Karno yang pada tahun enam puluhan cukup lama berkecimpung dalam politik, tidak lagi bisa berharap akan mendapatkan keheranan dari orang-orang di sekelilingnya. Dia menyadari bahwa kebanyakan orang mengatakan apa yang senang didengarnya dan bahwa situasi ini dalam kedudukannya sukar dihindari. Dalam prinsipnya dia tidak mencurigai siapa-siapa, tetapi sekaligus juga mencurigai semua orang. Kelemahan masa kepresidenannya ialah bahwa ia dikelilingi oleh terlalu banyak yesmen. Mungkin juga karena dia terlalu lama menduduki kedudukan tinggi di istana itu. Sering kali pula orang-orang yang mengadu ini tidak tahu lagi apa yang sebenarnya terjadi di negara ini. Selangkah demi selangkah pemimpin negara kehilangan kontak yang nyata dengan rakyatnya. Tidak seorang pun lagi yang berani menyampaikan berita-berita buruk kepadanya. Sang pemimpin membohongi diri sendiri dan dibohongi. Kadang-kadang Soekarno menjadi sangat marah dan memecat Jenderal Nasution, misalnya tetapi dia juga mudah memaafkan, kadang-kadang terlalu mudah. Saya bertanya-tanya apakah ia tidak pernah mengindahkan peringatan Napoleon bahwa maaf diberikan untuk jasa yang telah diberikan, bukan untuk intrik-intrik. Sejak awal tahun lima puluhan, Nasution sering terlibat dalam berbagai intrik terhadap kedudukan kepresidenan dan | |
[pagina 285]
| |
kekuasaan Bung Karno. Tetapi berulang kali pula dia dimaafkan oleh presiden, dan barangkali tepat juga, sebab akhirnya CIA pun sadar bahwa Nasution ‘tidak bisa dipakai’, karena sering pada saat-saat terakhir sumpah perwiranya (Sapta Marga) mencegahnya melakukan pengkhianatan terhadap panglima tertingginya. Ketika pada tahun 1965 ia akhirnya bersedia melakukan pengkhianatan, hampir saja ia tertembak peluru-peluru para patriot, yang hendak melindungi Indonesia dan presiden dari pengkhianatan ini. Para pelindung Bung Karno dikalahkan oleh Soeharto dan CIA, dan walaupun Nasution dapat menyelematkan diri, secara lambat-laun dia menghilang dari panggung politik untuk selanjutnya dilupakan orang. |
|