Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 355]
| |
Penutup: Amsterdam (1995)Selesai menghadiri pemakaman Bung Karno, Dewi kembali ke Paris membawa berita-berita yang sangat mengejutkan mengenai penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh Soeharto beserta anak buahnya terhadap mantan presiden. Dia meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan di Wisma Yaso yang sangat kotor, dalam kesepian dan keterasingan yang sangat mencekam. Yang dilakukan mantan perwira-perwira tingginya terhadap Soekarno dapat disamakan dengan perlakuan Rudolf Hess di penjara Spandau di Berlin oleh tentara Sekutu pada akhir Perang Dunia KeduaGa naar voetnoot1. | |
[pagina 356]
| |
Dewi sendiri meninggalkan Indonesia tahun 1966, pergi ke Tokyo untuk melahirkan seorang putri. Ketika kembali ke Jakarta tahun 1970 pada hari-hari sekitar pemakaman, baru disadarinya apa yang sebenarnya terjadi terhadap suaminya. Pada malam 19 Juni dia menelepon saya dari Paris apakah saya mau terbang bersamanya ke Indonesia, dengan putrinya Karina yang saat itu berusia tiga tahun dan perawatnya dari Jepang, Ny. Azuma, untuk mengunjungi Soekarno yang sakit. Ketika di Bangkok saya pindah pesawat ke pesawat Japan Airlines ke Jakarta, atas perintah atase militer setempat, saya tidak diizinkan masuk. Dewi melanjutkan perjalanannya. Saya langsung terbang ke Tokyo untuk menunggunya di sana. Soeharto mencegah agar saya tak bisa bertemu dengan sahabatku untuk minta diri. Itulah balas dendamnya terhadap Dewi dan saya yang telah menulis Surat Terbuka kepadanya dalam usaha untuk memperbaiki nasib Bapak. Setelah pengkhianatannya tahun 1965, hidup Soeharto diisi oleh rasa dendam kepada segala sesuatu dan semua orang yang mengetahui rahasianya. Negarawan dan ilmuwan Inggris Francis B acon pernah berkata, ‘Revenge, is a kind ofjustice, which the more man's nature runs to, the more ought law to weed it’. Sampai tahun 1970 saya juga tidak menyadari betapa jahatnya otak yang tersimpan dalam kepala Soeharto yang disembunyikan di belakang senyum Jawanya yang ramah itu. Baru setelah Dewi kembali ke Paris dan memberikan gambaran lengkap yang dapat dipercaya mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia setelah 1965, jelaslah bahwa | |
[pagina 357]
| |
Indonesia telah jatuh ke dalam tangan yang salah, yang sangat membahayakan. Bagi Den Haag inilah saat yang paling tepat untuk mengatur kunjungan negara bagi Ratu Yuliana dan Pangeran Bernhard untuk memperkuat legitimasi kepada jahanam-jahanam yang berniat untuk menjual kekayaan Nusantara kepada negara-negara kaya dengan sangat murah. Bersama dua puluh orang sebangsaku aku menulis surat kepada Ratu untuk membatalkan perjalanan yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri W.K.N. SchmelzerGa naar voetnoot2. ‘Pembunuhan massal pada ratusan ribu rakyat, perkosaan terhadap hak asasi manusia, razia-razia, pemilihan umum semu, kamp-kamp tahanan, peleton penembak menjadi ciri dari tirani yang dilakukan rezim jenderal yang akan Anda temui, dan tirani seperti itu tidak dapat dibiarkan oleh setiap insan Belanda’, demikianlah isi surat yang kami kirimkanGa naar voetnoot3.. Dalam hal ini sama sekali tidak ada yang berubah dalam kunjungan negara Beatrix, Claus dan Willem-Alexander tahun 1995. Dan sekarang kabinet ungu malah mengirim keluarga kerajaan ke gerombolan pembunuh di Jakarta itu. Tahun 1994, setelah meninggalkannya selama 28 tahun, saya kembali ke Indonesia bersama Perdana Menteri Lubbers, istrinya dan keluarga Kooijmans. Tak perlu dijelaskan bahwa keadaan rezim Soeharto antara 1965 dan 1995 telah berkembang menjadi lebih buruk. Orang-orang yang membela jenderal pembunuh itu menunjukkan perkembangan ekonomi | |
[pagina 358]
| |
yang telah berkembang lebih dari 7 persen per tahun dan pemunculan spektakuler Indonesia sebagai ‘Harimau Asia’. Perkembangan spektakuler ini terutama berlangsung di Jakarta, dimana elit militer dan orang-orang kaya baru serta konco-konconya memamerkan kekayaannya di hotel-hotel dan restoran-restoran termahal di dunia. Seperti yang diringkaskan desainer Iwan Tirta kepadaku, ‘Nyonya-nyonya kalau datang tidak mencari kainGa naar voetnoot4. yang bagus, tetapi mencari kain yang mahal.’ Untuk massa Indonesia yang tinggal di desa,Ga naar voetnoot5. kehidupan dalam lima puluh tahun terakhir ini tidak banyak berubah. Utang nasional Indonesia selama pimpinan Bung Karno, antara 1945 dan 1965, tidak sampai tiga miliar dolar, terutama disebabkan untuk pembelian persenjataan untuk pembebasan Irian Barat. Antara tahun 1965 dan 1995 di bawah Soeharto, utang nasional meningkat menjadi 100 miliar dolar. Menurut para pengamat, jumlah itu malah sudah lebih naik, yang bisa menyebabkan timbulnya problema-problema finansial bagi Indonesia, seperti halnya yang terjadi di MexicoGa naar voetnoot6.. Soekarno menolak dengan sekuat tenaga, gelombang ‘investor’ yang datang dengan dolar dan yen, karena dalam praktek, ini berarti kembalinya imperialisme, walaupun dengan ‘baju’ lain. Sebaliknya, Soeharto memenuhi keinginan Washington, CIA dan Tokyo. Dibukanya lebar-lebar | |
[pagina 359]
| |
pintu bagi ‘peminat asing’. Misalnya lewat seorang tokoh dunia hitam lokal dan sahabat presiden, Bob Hasan, sebagian besar Pulau Kalimantan (Borneo) hancur lebur. Hutan-hutan hujan tropis yang sangat diperlukan untuk keseimbangan lingkungan Indonesia maupun untuk lingkungan dunia, telah ditebangi untuk sepuluh miliar dolar setahun, pertama-tama untuk memenuhi permintaan Jepang akan kayu kualitas terbaik se Asia. Usahawan-usahawan Indonesia saat ini telah mengembangkan metode merampok kayu mereka sampai ke Suriname. Setelah pengkhianatan Soeharto, negara-negara kaya Barat dan Jepang membentuk IGGI Club, yang ironis sekali diketuai oleh Belanda, untuk dapat melanjutkan eksploitasi imperialis di kepulauan Indonesia dengan kerja sama maksimum dan halangan minimum dari para jenderal. Dalam dua puluh tahun yang lalu ini telah bermiliar-miliar dolar telah dipompakan ke dalam rezim jenderal yang fantastis ini termasuk di dalamnya ratusan juta dari para pembayar pajak Belanda. Saat ini di Jakarta terdapat lebih banyak gedung bank yang menjulang tinggi daripada di Singapura dan Hong Kong bersama-sama. Petunjuk jalan di ibu kota Indonesia mencantumkan dalam edisi 1995, di bawah huruf B untuk bank, dicetak dengan huruf kecil nomor-nomor telepon bank dari hal. 119 sampai dengan 181. Lambat-laun rakyat Indonesia menyadari juga apa yang terjadi di Jakarta, bagaimana para jenderal, petualang dan sekelompok usahawan Cina yang dilindungi Soeharto sebagai imperialis-imperialis Asia baru telah menggantikan penguasa- | |
[pagina 360]
| |
penguasa dan si muka pucat Belanda. Eksploitasi Indonesia berlanjut terus dengan bantuan dari luar dan lindungan pejabat-pejabat Soeharto dari dalam, seperti yang terjadi tahun 1940. Hampir semua informasi mengenai Indonesia dikombinasikan dengan yang berkepentingan untuk disiarkan ke seluruh dunia. Teror militer, metoda polisi dan sensor menjamin pengawasan pemerintah tentang apa yang akhirnya diberitakan ke luar. Baru-baru ini misalnya, terbit buku A Nation in Waiting oleh Adam SchwarzGa naar voetnoot7., suatu analisis yang relatif aktual mengenai Indonesia saat ini, tetapi ditulis oleh seorang mitra kerja Far Eastern Economic Review. Kami ingin bertanya berapa anggota Tweede Kamer yang pernah membaca buku seperti ini sebelum membentuk opini perlu tidaknya Ratu Belanda mengunjungi Soeharto. Di Indonesia sendiri terbit Indonesia Business Weekly, Economic & Business Review Indonesia dan Jakarta Post, media yang seharusnya dibaca secara konsekuen di Den Haag, apabila kita ingin mengetahui keadaan. Rupanya redaksi terbitan-terbitan itu juga harus sangat berhati-hati agar tidak berurusan dengan Herr Goebbels-nya Soeharto, yakni Harmoko, yang bertanggung jawab untuk menjaga temperatur sensor pada para jurnalis Indonesia, lewat penangkapan, pembrangusan dan pem-breidelan pada media yang melewati batas.Ga naar voetnoot8. Media kami hanya mempunyai satu orang koresponden | |
[pagina 361]
| |
di Jakarta, yakni Dirk Vlasblom yang bekerja untuk NRC Handelsblad. Problema-problemanya masih sama seperti pada tahun 1957Ga naar voetnoot9. saat saya mewakili koran yang waktu itu masih merupakan terbitan-terbitan terpisah. Den Haag waktu itu mencegah saya menulis keadaan sebenarnya. Sekarang Vlasblom dari Jakarta dipaksa memperhitungkan keinginan dan harapan Soeharto dan Harmoko. NRC Handelsblad menyajikan sejumlah artikel kepada pembacanya dalam rangka pesta 50 tahun Republik Indonesia, bervariasi antara informasi mengenai penerangan pesta di Jakarta sampai dengan ucapan Jenderal Nasution yang tidak benar (76). Menurut militer ini, kesatuan Indonesia terlaksana berkat orang-orang Belanda. Itu benar, dalam hal koleksi geografis pulau-pulaunya, termasuk Irian Barat, yang pernah merupakan bagian dari Hindia Belanda. Tetapi kesatuan politik negara ini tidak didirikan oleh orang-orang Belanda, seperti yang dikatakan Nasution - dan yang disampaikan Vlasblom tanpa bantahan - tetapi secara khusus dan hanya pekerjaan Bung Karno sebagai nation builder. Dan bila Vlasblom masih juga memuji Nasution sebagai ‘sumber yang bisa dipercaya’, maka itu menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak tahu duduk persoalannya. Dalam reportase yang terdahulu saya telah menulis tentang pengkhianatan Nasution dan CIA - serta perjalanan-peijalanan Ujeng Suwargana yang menimbulkan banyak pertanyaan- yang memberikan bukti cukup untuk menyangkal ucapan Vlasblom | |
[pagina 362]
| |
yang menyebutkan bahwa beritanya itu dari ‘sumber yang bisa dipercaya’. Saya tahu betul bahwa wartawan ini baru tiba di Jakarta setelah 1990, tetapi membuktikan bahwa dia tidak mengetahui dan tidak memahami sejarah Indonesia dan aspek-aspeknya yang terpenting. Nasution akan tercatat dalam sejarah negaranya sebagai salah satu pengomplot licik yang paling penting dalam pengkhianat tahun 1965. Pertanyaanku kepada Paul Brouwer, duta besar negaraku saat ini di Jakarta, apakah ia berpendapat bahwa media di negaraku menyampaikan situasi seperti apa adanya, dengan spontan dia menjawab, ‘Sama sekali tidak’. Kalau begitu, berdasarkan informasi mana maka parlemen menyetujui perjalanan kerajaan ke Indonesia, mengingat keadaan negara saat ini? Mengenai penerangan, kami hampir tidak menunjukkan kemajuan sejak hari-hari pelelangan kopi dari Nederlandse Handels maat schappij? Satu-satunya perbedaan adalah bahwa sebuah berita dalam masa hidup Multatuli, yang dikirim dengan kapal paket membutuhkan beberapa bulan untuk sampai di karesidenan, sedangkan dengan teknik komunikasi saat ini suatu peristiwa dapat kita saksikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan tempat kejadiannya. Walaupun demikian realitas-realitas yang terjadi waktu ini di Indonesia dan gambaran yang benar mengenai negara dan pemimpin-pemimpinnya sebagian besar masih tersembunyi bagi kami. Jenderal Pamu Rahardjo, anggota dari organisasi mantan pejuang PETA, tahun 1994 menyampaikan sepucuk surat kepadaku yang isinya ditujukan kepada Ratu dan Perdana | |
[pagina 363]
| |
Menteri LubberrGa naar voetnoot10.. Presiden Soeharto adalah pelindung PETA. Antara lain disarankan agar Ratu Beatrix meletakkan karangan bunga di makam Bung Karno di Blitar, Jawa Timur. Tetapi tentu saja kebenciannya kepada Soekarno yang tetap membara dalam dirinya dan sikap Den Haag lagi-lagi menghalangi. Yang Mulia Ratu hanya boleh meletakkan karangan bunga di Taman Pahlawan Indonesia dan makam orang-orang Belanda yang menjadi korban perang. Anggota parlemen Jan Marijnissen dari Partai Sosial (SP) memutuskan untuk menanyakan secara tertulis apakah Yang Mulia Ratu barangkali boleh meletakkan karangan bunga ketiga di monumen kemerdekaan, di mana berdiri patung Soekarno dan Hatta setinggi manusia. Tetapi apa jawab Wim Kok (Perdana Menteri) dan Hans van Mierlo (Menteri Luar Negeri)? ‘Pada kunjungan-kunjungan negara, program yang disusun adalah hasil pembicaraan yang cermat antara kedua negara. Ini berlaku khusus untuk acara-acara yang bersifat serimonial. Alasan-alasan yang bisa mempengaruhi keputusan, amat sangat dirahasiakan’. Sekali lagi pemerintah (Belanda) menyelesaikan suatu problem yang pelik dengan memberikan jawaban yang meremehkan kepada seorang anggota parlemen yang dengan serius mencoba menyelamatkan kehormatan negaranya. Sementara itu Beatrix menjadi korban dari sikap cari gampangnya petinggi-petinggi pemerintah ungu saat | |
[pagina 364]
| |
itu (pemerintah ungu: pemerintah yang terdiri dari gabungan partai-partai yang ada di Belanda). Pendapat bahwa rakyat mendapatkan pemimpin-pemimpin yang pantas diperolehnya, benar-benar terjadi. Problema pelik lain yang membingungkan otak para pejabat Belanda itu ialah, apakah Yang Mulia Ratu harus datang pada hari kemerdekaan, 17 Agustus, di Jakarta seperti yang dikatakan Profesor Emil Salim, Ketua Panitia Peringatan, sebagai permohonan khusus dari Indonesia. Tetapi karena kemenangan Soekarno lima puluh tahun kemudian belum juga dicerna oleh kalangan luas, maka tidak diperlukan diskusi khusus di parlemen untuk memutuskan agar Ratu akan muncul di Jakarta lima hari kemudian. Tanggal 21 Agustus 1995 Ratu akan sampai di Pangkalan Udara Halim bersama Pangeran Claus dan putra pewaris tahta. Hanya mantan menteri Sicco Mansholt yang berani mengatakan bahwa dengan demikian ‘Yang Mulia Ratu akan dipermalukan’. Segala sesuatu yang saya lihat dan dengar sejak kedatangan saya di Indonesia dari Januari sampai April 1995 memberi gambaran yang jelas -seperti halnya perjalanan Yuliana dan Bernhard tahun 1971- bahwa suatu kunjungan negara tahun 1995 dalam fase perkembangan-perkembangan intern di Indonesia saat ini, lagi-lagi akan memberikan legitimasi khusus kepada rezim Soeharto yang tidak diharapkan. Jenderal-jenderal purnawirawan, duta besar dan beberapa mantan menteri Indonesia, baik dari pemerintahan Soekarno maupun dari pemerintahan Soeharto memberikan kesempatan kepada saya untuk meneliti dokumen-dokumen dan laporan-laporan, | |
[pagina 365]
| |
yang baru akan dipublikasikan setelah pemerintahan diktatur militer Soeharto lenyap dan baru setelah itulah akan dipublikasikan secara luas di IndonesiaGa naar voetnoot11.. Begitu pula wartawan-wartawan terkemuka yang selama bermalam-malam di rumah Guruh Soekarnoputra di komplek DPR, dekat Makam Pahlawan Kalibata, menekankan kepadaku, ‘Wim, bagi orang luar, negara kami nampaknya normal saja, tetapi sebenarnya kami sedang berada dalam keadaan negara polisi fasis yang amat sangat berbahaya’. Yang dimaksudkan itu tidak hanya dilecehkannya hak-hak asasi manusia dan penembakan-penembakan yang terus menerus di Timor Timur atau Irian Barat. Tetapi juga, seperti yang saya tulis dalam Volkskrant 29 Juli 1995 bahwa rezim Soeharto tidak membagikan bintang kuning kepada Ex-Tapol/eks tahanan politik yang baru dikeluarkan dari kamp-kamp konsentrasi dan penjara-penjara, tetapi sebagai gantinya mendapatkan cap ET dalam kartu identitasnya. Secara menyeluruh ada 1.352.896 warga negara Indonesia yang dicap seumur hidup seperti itu.Ga naar voetnoot12. Bentuk-bentuk teror semacam ini bertahun-tahun ditutup-tutupi untuk media Barat, apalagi dibicarakan dalam parlemen kita yang selalu waspada terhadap hak-hak asasi manusia di negara-negara lain. | |
[pagina 366]
| |
Sudah sejak di Jakarta saya melayangkan sebuah surat kepada Ratu dan Perdana Menteri Kok bahwa apabila fungsi simbolik keluarga Oranye masih mau dihormati secara serius, maka sejak saat ini kami tidak perlu lagi mencampuri sejarah Indonesia dengan membatalkan pertemuan antara Beatrix dan Soeharto yang telah direncanakan. Ketika saya kembali ke Yordania, penerbit Paul de Ridder dari Papieren Tijger di Breda, mengusulkan agar kesimpulan itu dipertanggungjawabkan dalam sebuah brosur. Dengan demikian terbitlah Bon Voyage Majesteit 24 Mei 1995, yang terkecuali koran Elzevier, tidak dibicarakan dalam satu pun media populer. Beberapa anggota parlemen memberikan reaksi secara tertutup. Paul RosenmollerGa naar voetnoot13., misalnya, menulis bahwa Groen Links juga tidak mempunyai keberatan prinsipiil terhadap perjalanan Ratu, ‘karena kami berpendapat bahwa kami tidak perlu memutuskan hubungan dengan Indonesia, justru juga agar hak asasi manusia masih dapat menjadi pembicaraan’. Rosenmoller juga tidak menangkap inti dari pleidooi (pembelaan) saya, yang sekali lagi saya garis bawahi sebagai berikut pada tanggal 29 Juli 1995 di Volkskrant, ‘Perdana Menteri Lubbers, Perdana Menteri Kok, siapa saja bisa mengunjungi kepala negara Indonesia selama ia menjabat. Tetapi jangan simbol Oranye’. Tambahan pula, 5 Mei 1995, Ratu telah mengucapkan sebuah pidato yang menarik perhatian pada peringatan lima | |
[pagina 367]
| |
puluh tahun kemenangan fasisme di Eropa. ‘Bila kami menyadari terjadinya pembunuhan bangsa yang teramat keji dalam sejarah, kami akan dicekam oleh rasa malu yang mendalam’, demikian kata Ratu dengan jujur. Tetapi beliau tidak menyadari bahwa justru kata-kata ini diucapkan di malam menjelang kunjungan ratu ke rezim jenderal di Indonesia. Bolehkah kami membedakan pembunuhan massal di Eropa oleh Hitler atau Stalin dan pembunuhan massal di Asia oleh Soeharto atau Pol Pot? Dalam brosurku saya membandingkan Soeharto dengan Pol Pot. Saskia Wieringa, dosen pada Institute of Social Studies di Den Haag, meyakinkan bahwa justru harus dibuat perbandingan antara Soeharto dengan Hitler dan Mussolini, karena Presiden Indonesia saat ini telah membuktikan diri sebagai diktator yang paling kejam dalam abad ini.Ga naar voetnoot14. Tanggal 5 Mei Beatrix melanjutkan, ‘Noda AibGa naar voetnoot15. pada dunia yang beradab ini tidak bisa dimaafkan, di mana hak sesama manusia diinjak-injak, begitu pula yang bisa terjadi pada kita’. Tetapi di manakah rasa malu itu berhenti? Di batas-batas Eropa? Apakah orang-orang Indonesia hanya merupakan Untermenschen (manusia-manusia rendah) yang tak perlu dipedulikan apakah Soeharto menyuruh membunuh 500.000, satu juta atau dua juta jiwa manusia di antaranya? Malah mengenai tindak-tanduk kita di Hindia Belanda, di desa Rawagedeh, di mana lebih dari 400 orang dibunuh dengan | |
[pagina 368]
| |
persetujuan penuh, sampai tahun 1995 ini belum juga terungkap. Dengan cara yang sama orang-orang Amerika merusak hak-hak asasi manusia di Vietnam, seperti yang sekarang terjadi di Bosnia atau Yugoslavia yang dulu, bedanya ialah bahwa orang-orang Amerika melakukannya secara besar-besaran, sehingga penderitaan dan jumlah korban rakyat Asia berjumlah beberapa juta jiwa. Tetapi pembantaian yang terjadi di Desa My Lai, misalnya, langsung diselidiki secara resmi oleh pihak Amerika. Letnan William Calley dianggap sebagai perwira yang bertanggung jawab atas pembantian itu.Ga naar voetnoot16. Presiden Nixon memberikan grasi kepadanya. Mahkamah Agung Belanda, dulu dan sekarang, telah memiliki kebiasaan yang aneh, yakni melenyapkan secara diam-diam kasus yang harus disembunyikan atas nama hukum. Karena wakil-wakil rakyat lebih suka menyuguhkan ‘persoalan-persoalan yang aman’ untuk angket-angket parlemen, maka kebanyakan Calley Belanda bisa dengan aman melewati jaringan tatanan hukum tanah airnya. Tentu saja termasuk juga mahkamah agung yang tanpa diragukan juga bersalah. Undang-undang Openbaar Bestuur yang memberikan hak kepada warga negara untuk menyelidiki berkas proses, dalam bentuknya saat ini sunggguh sesuatu yang menggelikan dan dalam pelaksanaannya membuat orang tertawa. Sebagai sahabat Soekarno tahun 1962 saya ikut dihukum dengan cara | |
[pagina 369]
| |
dibatasi gerak gerik saya, dan sejak bertahun-tahun berusaha menyelidiki berkas-berkas proses negara sendiri untuk menunjukkan bahwa yang memerintah di Den Haag adalah penjahat-penjahat. Di Departemen Luar Negeri, seorang ahli hukum yang menentukan berkas-berkas mana yang boleh dan tidak boleh diselidiki oleh seseorang. Dalam periode 1956-1962 awalnya saya menerima sejumlah telegram rahasia, juga oleh karena ahli hukum itu berpendapat bahwa dokumen-dokumen tersebut sudah kadaluwarsa. Ketika hakim Den Haag memutuskan bahwa di dalam kasus saya tidak satu pun dokumen boleh dianggap kadaluwarsa, setelah 1962 itu sekonyong-konyong tidak bisa ditemukan telegram rahasia. Karena itu, seorang teman anggota parlemen, Piet Schoffelen (Pvd A) yang bertanggung jawab atas pengawasan parlementer terhadap dinas-dinas penerangan, mengunjungi mantan direktur BVD, dr. Arthur Docters van Leeuwen, anggota D'66. Maksudnya ialah agar dapat melihat dan meneliti berkas sidang saya. Menurut Docters van Leeuwen tidak ada berkas sidang Oltmans pada BVD. Orang tersebut berbohong. Sudah sejak 1957 Hofland memperingatkan saya bahwa dinas-dinas penerangan mendatangi pemimpin-pemimpin redaksi saya untuk mendesak pemecatan saya sebagai wartawan di Jakarta, yang berhasil dilakukan dalam 24 jam, sementara saya dalam perjalanan karier saya dari 1971 sampai 1987 mondar-mandir ke Moskow bersama tokoh-tokoh penghubung sampai ke puncak pimpinan di Kremlin dahulu. Setiap penjual bunga tulip dari Hillegom, yang pada waktu Perang Dingin bepergian ke Uni Sovyet, | |
[pagina 370]
| |
pada waktu itu mempunyai berkas BVD. Tambahan pula, bukankah saya pada tahun 1962 mendapat ‘sertifikat’ persona non grata dari Luns, sehingga saya sebagai sahabat Soekarno selama hidup dianggap tabu oleh pemerintah? Mitraku Hofland pada tahun 1961 di Den Haag menemukan bahwa ada perintah untuk bagaimanapun menjauhkan saya sebagai wartawan, dari anggota-anggota keluarga kerajaan. Jadi ketika tahun 1995 untuk pertama kali sebagai peliput berita untuk Story saya mengikuti perjalanan Putri Margriet dan Peter van Vollenhoven ke Kanada, hal ini menyebabkan Putri mengatakan sesuatu yang menarik perhatian, yang sekarang harus dibuktikan secara hukum untuk menunjukkan sekali lagi bahwa pemerintah Belanda sejak 1956 telah menginjak-injak hakku sebagai warga negara dan wartawan, telah melakukan kejahatan dengan merampas sumber kehidupan sayaGa naar voetnoot17.. Sementara itu Docters van Leeuwen telah digeser dengan cara mempromosikannya menurut Peter Principe dan menjadikannya ketua dari kolese mahkamah agung. Baru-baru ini Elsevier menyatakan bahwa dia harus dianggap sebagai petugas penasihat yang paling berkuasa di Den HaagGa naar voetnoot18.. Sekarang tergantung sayalah untuk menunjukkan berdasarkan pengalaman selama empat puluh tahun dengan penjahat-penjahat di Den Haag, bahwa orang ini pun apabila | |
[pagina 371]
| |
akan menguntungkannya, tidak akan ragu untuk menyampaikan ketidak jujuran terhadap anggota parlemen yang terhormat. Celakanya Docters van Leeuwen juga menjabat sebagai tangan kanan Menteri Kehakiman yang menjabat sekarang, Winnie Sorgdrager, yang juga anggota D'66. Kongsi kehakiman saat ini tidak terbentuk karena kebetulan. Dibentuk untuk mencegah Gertjan Wolffensperger (D'66) menjadi Menteri Kehakiman, sebab itu akan menghambat kelangsungan kasak-kusuk yang dilakukan Doctors van Leeuwen dan orang-orang sejenisnya. Keributan yang dilakukan penduduk kota yang terjadi di Den Haag sebagai reaksi terhadap tulisan sindiran saya Bon Voyage Majesteit tetap berlangsung. Sudah pada 13 Juni Direktur RVD Hans van der Voet memanggil saya untuk mengatakan bahwa tidak hanya nyonya di Noordeinde tetapi juga Perdana Menteri Kok sangat terkejut. Mulai dari Luns sampai dengan Kok, pengertian kebebasan menyampaikan pendapat merupakan sesuatu yang pelik. Bila Charles Krauthammer dalam majalah Time magazine (31 Juli 1995) menyuguhkan suatu pleidooi untuk mencegah Hillary Clinton menghadiri konferensi wanita di Peking pada bulan September, karena pelanggaran hak-hak asasi manusia di negara itu, maka mengapa saya setelah empat puluh tahun pengalaman saya di Indonesia, tidak diperbolehkan menulis brosur untuk menyarankan agar sebaiknya Yang Mulia Ratu jangan mengunjungi Pol Pot Indonesia? Ketika seorang teman wartawan akan menyampaikan brosur itu kepada Perdana Menteri Kok pada suatu konferensi | |
[pagina 372]
| |
pers, dengan sangat marah buku itu disingkirkannya dari meja. Kemudian Van der Voet menyarankan kepada teman wartawan itu agar memutuskan hubungan dengan saya. Begitukah kelakuan Den Haag tahun 1995 terhadap mahluk-mahluk yang memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan yang berwenang. Sudah sejak 13 Juli Van der Voet mengumumkan bahwa akan muncul problema-problema, bila saya sebagai wartawan Story dan HP de Tijd mengikuti perjalanan Beatrix ke Indonesia. Ini mengherankan saya, sebab setelah saya mengirimkan brosur saya kepada Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, lewat Duta Besar JBS Kadarisman di Den Haag dia mengucapkan terima kasih lewat telepon atas kiriman brosur itu. Selama tiga puluh tahun saya menyatakan dalam buku-buku dan tulisan-tulisan bagaimana pendapat saya tentang Presiden Soeharto. Tahun yang lalu telah terbit Persona Non Grata, di mana pada halaman 11 saya menulis, ‘Menurut ukuran yang dipakai terhadap Nazi di Neurenbuerg, Soeharto seharusnya ditembak’. Setelah buku itu diterbitkan dan juga beredar di Jakarta, saya tinggal di Indonesia dari Januari sampai April 1995. Setelah waktu itu, visaku harus diperpanjang. Bagian protokol dari Dinas Luar Negeri mengirim surat kepada Dinas Imigrasi Jakarta, meminta untuk memperpanjang masa tinggal saya, ‘karena Willem Oltmans adalah sahabat pribadi Menteri Alatas’. Tentu saja Van der Voet dari RVD pada 13 Juni sudah tahu apa yang diberitakan Jakarta pada saya pada 19 Juli, yakni bahwa visaku untuk mengikuti perjalanan Beatrix akan ditolak. Beatrix, Kok dan Van Mierlo masih memikirkan | |
[pagina 373]
| |
brosur itu - katanya sendiri kepada mitra separtainya Gertjan Wolffensperger. Memang benar, sebab Jakarta sama sekali tidak peduli tentang apa yang kemudian terbukti pada tahun 1994 tentang pendapat saya perihal Soeharto yang berulang-ulang saya sampaikan. Dengan sangat licik Departemen Luar Negeri mencantumkan nama saya dalam berkas-berkas resmi sebagai wartawan yang memiliki surat-surat, untuk kunjungan negara Yang Mulia Ratu ke Indonesia. Sejarah saya yang berlarut-larut dengan para penguasa Belanda berulang lagi. Tahun 1964 pihak Luns memberitahukan serikat kerja wartawan, NVJ, bahwa hak-hak saya sebagai wartawan telah dikembalikan berkat anugerah Tuhan, dan di pihak lain dua minggu kemudian Luns menyusulkan sebuah telegram rahasia bahwa sabotase terhadapku harus tetap dilaksanakan. Saya dapat memiliki telegram-telegram itu karena seorang ahli hukum Departemen Luar Negeri secara tidak sengaja menganggapnya kadaluwarsa. Bila berkas-berkas kotor yang dilakukan Den Haag terhadapku untuk mencegahku melakukan pekerjaanku, suatu ketika muncul di permukaan, mungkin saya sudah tidak ada. Sementara itu kebencian pemerintah masih terus berlangsung dan penjahat-penjahat ini, bagiku seorang diri, hampir tak mungkin saya pegang. Permohonan-permohonan saya yang sangat mendesak kepada Sri Ratu dan kepada Perdana Menteri Van Mierlo agar mengikuti contoh Lubbers dan menyuruh Duta Besar Indonesia menelepon dengan pemberitahuan bahwa saya akan ikut kunjungan tanpa visa, tidak diindahkan. Secara sekilas terlintas di benakku untuk pergi juga ke Indonesia sebagai | |
[pagina 374]
| |
turis, karena untuk kunjungan turis tidak dibutuhkan visa. Tetapi ketika buku ini dicetak, pada tanggal 15 Agustus 1995, Duta Besar Kadarisman menelpon saya untuk mencegah saya pergi ke Jakarta sekalipun sebagai turis.Ga naar voetnoot19. Kalau saja Ruud Lubbers tidak pernah pergi, maka saat ‘kunjungan kenegaraan yang historis’ ke Indonesia ini, saya bisa melakukan pekerjaanku secara normal. Semua kasak kusuk itu adalah hasil langsung dari fakta bahwa antara Roma (1956) dan Jakarta (1966) saya telah menganggap Bung Karno sebagai sahabat. Karena itulah saya menjadi persona non grata dan dianggap sebagai musuh negara nomor satu. Tanggal 8 Agustus 1994, di menara yang terkenal itu, Perdana Menteri Lubbers mengatakan kepadaku bahwa dia tidak mengira bahwa kartu merah yang diberikan Luns kepadaku pada tahun 1962, tidak akan pernah bisa hilang. Tetapi rupanya fakta membuktikan bahwa saya tahun 1995 dapat menulis buku ini tanpa disensor dan mempublikasikannya, barangkali ini merupakan langkah pertama ke arah pengembalian hak saya sebagai warga negara dan sebagai wartawan, walaupun bulan Agustus 1995 Beatrix, Kok dan Van Mierloo tidak mau membantu melaksanakannya. Willem Oltmans, 15 Agustus 1995 |
|