Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 248]
| |
Jakarta (5)Sebagai reaksi atas pidato kepresidenannya yang terakhir tahun 1966 itu, pecah lagi ‘penyakit flu Asia’ di Jakarta, demikian ringkasan Time magazine. Segera setelah itu jenderal-jenderal yang pro CIA melancarkan kampanye baru ‘Ganyang Soekarno’Ga naar voetnoot1.. Para mahasiswa dan pengikut-pengikut lain dari militer dimobilisasi seperti dulu, sebab pengecut-pengecut itu tidak mau ambil risiko, jangan-jangan Bapak telah membuat massa berpikir. Bertentangan dengan adatGa naar voetnoot2. Jawa, anak-anak muda disuruh turun ke jalan dengan spanduk-spanduk bertuliskan ‘Stop impor istri-istri’, yang ditujukan kepada Dewi yang orang Jepang. Memang, para Soekarnois telah menimba keberanian baru dari pidato pemimpinnya. Mereka mendirikan Front Soekarno. Tetapi musuh-musuh presiden sudah mengincar inisiatif ini untuk segera ditindas. Jenderal Soeharto sendiri | |
[pagina 249]
| |
menulis dalam Otobiografinya, ‘Saya melihat bahwa hal ini dapat membahayakan dan karena itu saya harus segera bertindak agar tidak berkembang’. Di satu pihak, Soeharto tahun 1966 itu berusaha keras untuk merebut kekuasaan Bung Karno setapak demi setapak, misalnya sengaja memberi interpretasi pada Super Semar, yang hanya ada dalam otaknya sebagai pelengkap tugas kepresidenannya. Di pihak lain, dia umumkan secara luas bahwa dia di kemudian hari tidak mau dipersalahkan telah ‘melakukan hal-hal yang tak pantas terhadap pemimpin rakyat kita yang patriotik’. Dalam Otobiografinya dia menulis bahwa dia tidak pernah berniat untuk menyingkirkan Bung Karno sebagai presiden. Dalam kenyataannya Soeharto sedang ‘bergerilya’, berselang-seling ‘menyerang’ dan ‘mundur’ agar Bung Karno akhirnya dengan perlawanan minim bisa digulingkan. Sementara ini terjadi di Jakarta, di rumah persembunyian (rumah orang tua) saya menerima sepucuk surat dari sahabat lamaku Kolonel Sutikno Lukitodisastro yang menanyakan apakah saya ada minat untuk datang ke Indonesia pada 1 Oktober 1966 untuk menghadiri proses terhadap mantan Menteri Luar Negeri, dr. Subandrio. Tentu saja saya berminat, tetapi sudah sejak tahun 1962, atas permintaan Den Haag, saya sudah terdaftar sebagai orang Belanda yang oleh pemerintah dianggap tidak dikehendakiGa naar voetnoot3.. Sudah beberapa tahun terdaftar sebagai orang Belanda, yang oleh pemerintah | |
[pagina 250]
| |
dianggap tidak dikehendaki. Sudah beberapa tahun saya tidak bisa lagi mendapat visa untuk Indonesia dan pada waktu itu saya memahami bahwa Menteri Subandrio dengan jalan begitu hendak memisahkan saya dari Bung Karno. Itu satu sisi dari ceritanya. Tahun 1991 saya mendapatkan dokumen-dokumen rahasia yang menyatakan bahwa saya dan juga Tuan Luns dijadikan persona non grata untuk seumur hidupGa naar voetnoot4.. Saya menulis pada Pak Tikno bahwa saya pasti mau datang, asal surat-surat perjalanan saya bisa disediakan, sehingga saya bisa lagi memasuki Indonesia sejak 1957. Apa yang saya tulis mengenai perkembangan-perkem-bangan di negara ini dalam bab-bab terdahulu tahun 1966 itu, sebagian besar tidak saya ketahui. Mengenai pertumpahan darah yang dilakukan Soeharto dengan pembantu-pembantu-nya hampir tidak diketahui sama sekali oleh dunia. Saya masih ingat bahwa dari media kami sendiri hanya Hans Beynon dari Volkskrant yang meminta perhatian pada kejadian-kejadian mengerikan yang terutama terjadi di Jawa. Majalah Life dan beberapa terbitan opini internasional juga memuat berita, tetapi sering dengan nada, bahwa orang-orang Indonesia saling baku hantam dengan klewangGa naar voetnoot5.. Pada tahun 1995, di sekitar kunjungan kenegaraan Beatrix ke Indonesia, fabel-fabel seperti itu masih tetap masuk dalam bentuk reportase-reportase dan surat-surat pembaca ke media kita. Sebenarnya para tentara yang melakukan coup telah berusaha benar agar kejadian-kejadian tahun 1965 disuguhkan sebagai pengkhianatan baru | |
[pagina 251]
| |
para komunis, untuk menjamin agar dalam negara yang 95 persen penduduknya beragama Islam, serentak atas kemauan sendiri menyerang ‘kaum merah yang tidak ber-Tuhan’. Skenario Soeharto, CIA dan pengikut-pengikutnya juga telah mengatur untuk menggambarkan Soekarno sebagai antek rahasia para ‘pengkhianat’ dari Moskow dan Peking, karena memang tidak ada cara lain untuk menuduh dan menjelekkan Bapak di mata rakyatnya. Taktik yang menjijikkan ini berakibat sebagai taplak merah pada ‘banteng’Ga naar voetnoot6. Indonesia dan memang pada banyak tempat massa menjadi ‘mata gelap’Ga naar voetnoot7.. Tetapi orkestrasi dari kegilaan dan nafsu membunuh itu dikobarkan oleh ribuan ahli-ahli kelahi rimba dalam pakaian kamuflase dan bersenjatakan pisau dan golok yang disuruh Soeharto berburu ‘gerombolan merah’ dan membunuh mereka. Saat menerima undangan yang simpatik dari Kolonel Sutikno, saya seperti juga kebanyakan orang Belanda tidak mengetahui pengkhianatan terbuka Bung Karno dan aktivitas-aktivitas berdarah yang tak dapat dibayangkan sebagai akibatnya. Saya juga tidak tahu bahwa Tikno telah dipanggil kembali dari Washington oleh Soeharto untuk menjadi tangan kanannya dan salah satu penasihatnya yang paling dekat. Atase-atase militer di Washington karena jabatannya menjalin hubungan antara lain dengan CIA. Karena itu dapat diduga bahwa Soeharto melihat dalam diri Sutikno seorang perwira yang sangat mahir yang telah ditariknya dalam | |
[pagina 252]
| |
komediputar dinas spionase di ibu kota Amerika. Saya mengenal Pak Tikno sudah sejak 1957 dan menganggap dia sebagai teman pribadi. Tanggal 10 Agustus 1966, Neue Zuricher Zeitung, melaporkan bahwa pembunuhan massal masih terus berlangsung di Indonesia. ‘Di bagian tengah Jawa saja setelah coup itu telah terbunuh 100.000 orang tanpa proses apa pun’ demikian tulis koran yang berpengaruh di Eropa itu. Dilaporkannya kemudian ‘bahwa di Magelang, Yogya dan Solo tiap malam dibunuh dua puluh sampai tiga puluh orang, karena menolak memberi keterangan atau tidak dapat membuktikan bahwa mereka pernah bergabung dengan PKI. Lebih dari 75.000 orang menunggu pengadilan di penjara-penjara’. Sebagai persiapan untuk perjalanan reportase yang akan datang ke Indonesia, sebagai anggota tim televisi NTS, saya mendalami kejadian-kejadian di Jakarta tahun 1965 dan 1966. Yang menarik ialah betapa sedikitnya informasi yang ada dan dapat dipercaya yang tersedia. Tanggal 1 Oktober 1966, tepat satu tahun setelah Soeharto bertentangan dengan perintah Bung Karno merebut kekuasaan militer, saya tiba di Indonesia bersama tiga mitra kerja NTSGa naar voetnoot8.. Tahun 1957 saya terakhir berada di Kemayoran setelah selama sembilan bulan berkeliling di negeri ini bersama Bung Karno. Sekarang, kata-kata pertama yang saya dengar diucapkan oleh orang Indonesia adalah dari seorang sopir taksi yang meng- | |
[pagina 253]
| |
antarkan saya ke Hotel Indonesia. ‘Soekarno lebih buruk dari Subandrio. Bung Karno harus ditembak mati!’. Saya tidak tahu apakah kata-kata ‘selamat datang’ ini telah diatur oleh tuan rumah saya Kolonel Sutikno. Tetapi saya tahu betul, kata-kata ini sungguh menggoncangkan saya. Tahun 1956 dan 1957 itu sama sekali tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa perubahan sentimen umum semacam itu terhadap Bapak suatu bangsa mungkin terjadi. Di mana-mana saya baca slogan anti Bung Karno dicoret-coret pada dinding-dinding. Siapakah pemicu utama kebencian dan penghinaan ini? Soeharto. Pertemuan pertama saya adalah dengan Kolonel Sutikno Lukitodisastro. Dia menunggu saya di depan markas besar Soeharto. Dia menjelaskan kepada saya bahwa dia bekerja untuk Soeharto maupun untuk Jenderal Sudirgo dari dinas penerangan militer. Dia telah menggantikan kedudukan Jenderal S. Parman yang terbunuh itu. Saya sadar bahwa saya telah memasuki kandang singa. Sekali lagi: apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan bagaimana mereka merongrong Bung Karno untuk akhirnya merebut kekuasaan negara, sama sekali belum saya ketahui. Jadi saya langsung menanyakan mengenai kesehatan teman saya. Sutikno mencoba menjelaskan kepadaku situasi di sekitar Soekarno dan mengatakan misalnya, ‘Bila seseorang mempunyai bisul di atas hidungnya, maka tidak perlu seluruh hidungnya dipotong. Lebih baik wajah yang cacat daripada wajah tanpa hidung’. Saya menyadari bahwa saya sudah kembali ke Jawa. Dengan banyak kata Sutikno menjelaskan | |
[pagina 254]
| |
bahwa Bung Karno telah mendapatkan lekuk karena benturan, tetapi ‘lekuk’ itu bisa diperbaiki dan ‘mobil’ akan bisa berjalan lagi. Walaupun saya tidak biasa mendengar bahasa seperti itu darinya, pada hari pertama saya kembali di Indonesia, saya sama sekali tidak tahu betapa dalam artinya itu semua. Perhatian terbesar kami tujukan kepada tiga pekan yang dialokasikan Carel Enkelaar dan NTS bagiku untuk membuat suatu dokumentasi mengenai Orde BaruGa naar voetnoot9., dan tayangan-tayangan mana yang paling tepat bisa menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat. Tentu saja saya segera menyarankan agar mengadakan wawancara khusus dengan Jenderal Soeharto. Pak Tikno menyangsikan apakah saya dapat melakukannya, karena bapak jenderal amat membenci wawancara. Belum satu pun perusahaan televisi luar negeri yang pernah diizinkannya untuk mewawancarainya. Tanggal 3 Oktober 1966, sekali lagi saya berada di markas besar Soeharto, kali ini untuk bertemu dengan Jenderal Na-wawi Alif. Tepat hari itu dia dinaikkan pangkatnya menjadi jenderal. Kami membicarakan rancangan skenario, yang sementara itu telah saya susun dalam garis besar bersama mitra kerja NTS. Jenderal menunjuk Kapten Dipa untuk mengantar kami ke mana-mana, agar tidak menemui kesukaran dengan para pejabat militer. Dia menjadi pelindung kami. Jenderal Nawawi menyediakan sebuah jip tentara bagi kami untuk pergi menemui kepala bagian penerangan Departemen Luar Negeri, Ali Alatas, yang sekarang menjabat Menteri Luar Negeri Presiden Soeharto. | |
[pagina 255]
| |
Ketika bersantap siang di hotel, saya bertemu dengan mitra kerja NBC, Ed van Kan. Dia bercerita bahwa pagi itu ia telah berhasil menangkap dalam filmnya, bagaimana seorang serdadu Soeharto menusuk seorang mahasiswa yang pro-Soekarno saat berdemonstrasi. Menurut dia, para militer itu telah memperlakukan para demonstran yang pro Bung Karno dengan amat kasar. Keesokan harinya, 4 Oktober 1966, saya mengunjungi mantan Wakil Presiden, Mohammad Hatta, yang tahun 1945 bersama dengan Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan negeri ini dan pada tahun lima puluhan secara sukarela mengundurkan diri dari pemerintahan, karena waktu itu ia telah berada pada jalur yang lebih pro Barat daripada Soekarno. Tahun 1957 saya pernah mewawancarai Hatta untuk Vrij Nederland. Pada saat itu ia menyatakan solider dengan Bung Karno mengenai konflik Irian Barat. Hatta yang menandatangani penyerahan kedaulatan di Istana op de Dam bersama Ratu Yuliana, mengatakan kepada saya tahun 1957 itu bahwa ia merasa ditipu oleh perunding-perunding Belanda itu. Menteri Van Maarseveen sendiri secara rahasia berjanji kepada Hatta, bahwa daerah seberang lautan Irian Barat dalam waktu satu tahun setelah penyerahan Hindia Belanda, akan diserahkan pula. Tetapi yang terjadi adalah bahwa Den Haag memulai suatu kampanye untuk melanjutkan ‘misi sucinya’ mempertahankan Irian Jaya. Soekarno, yang seorang Jawa dan Hatta yang seorang Sumatra, dalam banyak hal berbeda. Soekarno kuliah di Bandung dan tidak akan diperbolehkan menginjakkan sebelah | |
[pagina 256]
| |
kakinya pun di Belanda. Hatta kuliah ekonomi di Rotterdam dan merupakan seorang pragmatis yang agak berpikiran Belanda dan tambahan pula sebenarnya seorang yang dikuasai istrinya. Di daerah tempat asalnya berlaku hukum matriarkhal. Karena itu Ny Hatta yang berkuasa di rumah. Kamar kerja Hatta yang diisi dengan kusi-kursi dengan sandaran tangan dan punggung serta ditutupi dengan taplak-taplak pada sandaran punggungnya, lebih mengingatkan kita pada Schiedam daripada Jakarta. Bila pada akhir pekan saya berkunjung ke Bung Karno dan Ny Hartini di bungalownya yang terletak di pelataran istana Bogor untuk ikut makan, maka Bapak paling senang menyantap nasinya dengan jari-jarinya seperti lazim dilakukan orang Jawa. Pada saat bersejarah, 17 Agustus 1945 kemerdekaan akan diproklamasikan, drs. Hatta tidak ada. ‘Saya tidak akan membacakan Proklamasi tanpa Hatta’, kata SoekarnoGa naar voetnoot10.. Bagi Bung Karno, rasa simpati atau antipati mendapatkan tempat kedua. Kesatuan negara, ‘satu bangsa, satu negara’Ga naar voetnoot11. yang berulang-ulang diteriakkannya pada massa yang mendengarkannya di seluruh negeri untuk menanamkan persatuan dan kesatuan; itulah yang merupakan misi yang suci baginya. Peresmian baru bisa dilaksanakan bila Hatta telah datang. Di Den Haag Hatta justru tidak begitu disukai, sedangkan bukan dia tetapi Soekarno yang menjadi pahlawan nasional massa di Indonesia. Saya memahami, Hatta harus hadir dalam dokumenter yang akan dibuat, walaupun itu | |
[pagina 257]
| |
hanya untuk menenteramkan perasaan pro-Hatta di tanah air. ‘Anda terlambat’, adalah kata sambutan yang diucapkan Hatta padaku setelah lama tidak bertemu. Sikapnya melebihi sikap orang Belanda. Di dalam becak aku terjebak lalu lintas. Percakapan empat mata itu tak akan pernah saya lupakan, ketika membuat persiapan untuk siaran televisi. Percakapan itu menggambarkan sikap Hatta yang sebenarnya, penuh dengan rasa dendam terhadap Bung Karno. Ia berpendapat bahwa perlakuan Jenderal Soeharto terhadap Soekarno ‘terlalu lemah’. Dengan demikian presiden akan mempunyai waktu untuk merekayasa kedudukannya sebagai penguasa yang sudah mulai surut. Hatta menganggapnya berbahaya, dari 60 tokoh penting PKI, paling tidak 35 yang bersembunyi. Ia menyebut antara lain, Nyoto, Sudisman, Sakirman dan Anwar Sanusi. Tokoh-tokoh komunis yang bersembunyi itu, bagaimanapun masih tetap mengadakan hubungan rahasia dengan Bung Karno, yang menurut mantan Wakil Presiden merupakan suatu ‘situasi yang tak boleh terjadi’. ‘Kabinet Ampera Soeharto membuat kesalahan besar,’ katanya. ‘Soeharto seharusnya memberikan ultimatum langsung. Walaupun Soeharto telah menjadikannya semacam boneka, ini berisiko tinggi, sekalipun ia melaksanakan rencananya dengan tenang. Juga Nasution, yang di belakang layar tidak begitu banyak menunjukkan kekuasaannya seperti yang diharapkan daripadanya, rupanya masih berpendapat bahwa sebaiknya Soekarno untuk sementara dibiarkan saja dalam istananya’. Hatta, ‘Presiden bukan lagi Bung Karno yang dahulu’. | |
[pagina 258]
| |
Sudah sejak 1959, Menteri Luar Negeri Austria dr. Bruno KreiskyGa naar voetnoot12. mengatakan kepada saya bahwa ‘sangat disayangkan saat berkunjung ke Wina, Bung Karno telah berkelakuan kurang baik’Ga naar voetnoot13.. Lambat laun Presiden kita lebih menyerupai Herman Goring. Seharusnya Soeharto lebih tegas dan mengatakan kepada Soekarno, ‘Sekarang Anda harus memilih, mengikuti kami atau berlibur panjang di luar negeri’. Justru disamakannya dengan marsekal udara-nazinya Adolf Hitler, itulah yang menunjukkan ciri khasnya -- dan sesungguhnya tidak masuk akal -- sampai di mana titik terendah pandangan Hatta terhadap realita-realita baru yang terjadi di Indonesia. Sebaliknya dia melukiskan Soeharto pada tahun 1966 itu malah sebagai ‘penyelamat tanah air.’Ga naar voetnoot14. Hatta, ‘Soekarno masih saja merendahkan Soeharto. Memang masih terlalu banyak orang-orang yang belum dibersihkan di sekitar Soeharto. Kabinet Dwikora saat itu masih saja beranggotakan 75 orang. Bila saya membentuk kabinet, saya hanya akan menempatkan delapan belas menteri. Sultan Yogya akan saya minta memegang Departemen Luar Negeri, bukan Adam Malik yang membuka rahasia buruk tentang Indonesia seperti yang pernah dilakukannyaGa naar voetnoot15.. Tahukah Anda bahwa maksud PKI adalah untuk membantai | |
[pagina 259]
| |
juga tokoh-tokoh politik penting pada hari kedua setelah revolusi itu? Namaku juga tercantum pada daftar itu. Dengan tindakan itu kebencian anti Soekarno sekarang benar-benar tersulut. Di Makassar semua orang anti Soekarno. Di Medan foto-foto Soekarno dibakar. Dalam pidato-pidato yang saya adakan akhir-akhir ini berulang kali ditanyakan, ‘Apakah kita masih bisa mempertahankan seorang presiden yang mengaku dirinya seorang marxis?’ Jawab saya waktu itu adalah, ‘Saudara sekalian j angan menganggap marxisme-nya Bung Karno terlalu ketat. Kenyataan adalah bahwa seseorang itu tidak bisa sekaligus seorang muslim dan sorang marxis, seperti juga selalu ditekankan Bung Karno selama hidupnya. Bacalah saja surat dari Marx kepada Schmid tahun-tahun 1860-1870’. Dan suatu kenyataan pula bahwa bila kita menganalisis sejarah, tentu kita akan bersikap dialektis. Jadi ketika saya memberikan ceramah di Makassar kepada para mahasiswa, dan mereka berkeluh kesah bahwa Bung Karno telah menyatakan dirinya sebagai seorang marxis, maka tak lain yang dapat saya lakukan kecuali mengakui bahwa saya juga menerima metode berpikir marxis untuk menguraikan problema-problema ekonomi modern’. Jelaslah sudah bahwa pada tahun 1966 itu Hatta seratus persen berdiri di belakang grup CIA dan Soeharto. Pada tahun tujuh puluhan, jadi pada tahapan berikutnya dalam rezim Soeharto, dia kembali pada pendapatnya itu dan ia menjadi kritis terhadap presiden kedua negaranya. Dia meninggal tahun 1980 sebagai seorang yang amat kecewa. |
|