Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 235]
| |
Jakarta (4)Jam-jam, hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun setelah perebutan kekuasaan oleh Soeharto tahun 1965 merupakan hari-hari yang paling gelap dalam sejarah Indonesia. Tidak satu pun dari perang-perang kolonial, juga tidak pertempuran di Aceh yang dipimpin Jenderal Van Heutz, maupun pembantaian yang dilakukan Jepang atau kapten Belanda ‘Turco’ Westerling bisa dibandingkan dengan pertumpahan darah yang dilancarkan Soeharto bersama kroni-kroninya untuk menumpas Indonesia yang ‘berpikiran kiri’. Di Asia Modern, pembantaian manusia hanya diungguli oleh Mao-Tse-tung di Cina dan Pol Pot di Kamboja. Kesempatan untuk melakukan genocide/pembunuhan massal pada rakyat sendiri disuguhkan padanya di nampan emas oleh Washington, dan dari sanalah pula datangnya senjata dan keuangan untuk melaksanakan coup itu. Hitler memiliki seorang jago bertempur, yakni Marsekal Erwin Rommel; George Bush, Presiden Amerika pertama yang | |
[pagina 236]
| |
dipilih dari jajaran CIA, mengirim Jenderal Norman Schwarzkopf ke Irak. Soeharto juga mempunyai, sebetulnya secara kebetulan, seorang pengayau (pembunuh dengan cara memenggal kepala) yang amat mahir dan istimewa yang bernama Jenderal Sarwo Edhie. Tanggal 1 Oktober 1965, Edhie melaporkan diri pada Soeharto yang sedang berjalan mondar-mandir kebingungan di markas besarnya, di hadapan Jenderal Nasution yang meletakkan kakinya yang luka di atas meja. Jenderal Edhie menyarankan agar mereka malam itu juga menyerang Pangkalan Udara Halim. ‘Rupanya kamu orang yang tidak senang menunda sesuatu’, begitulah komentar Jenderal Nasution. Soeharto, ‘Saya membalikkan badanku, menunjukkan jari telunjukku pada Edhie dan berkata, ‘Lakukan segera’Ga naar voetnoot1. Kemudian Soeharto menggambarkan, bagaimana Jenderal Edhie di tengah malam buta berangkat menuju Halim bersama 600 anggotanya. Itulah awal kerja sama antara Jenderal: (yang melakukan) coup dan algojo PKI nya yang terpenting. Sebab penumpasan kaum kiri merupakan tujuan utama Soeharto. Soeharto bercerita bagaimana ia membayangkan jalan keluar politik dari coup itu. Hal itu dibicarakannya dengan Bung Karno di Istana Merdeka. ‘Bila Bapak Presiden sekarang secara resmi mengumumkan bahwa PKI dibubarkan dan akan dilarang, saya kira, bahwa para mahasiswa akan menghentikan aksinya kepada Bapak’Ga naar voetnoot2.. Bagian pembicaraan ini merupakan pemerasan (penekanan) langsung. Tentara | |
[pagina 237]
| |
mengorganisasi dan membiayai kegiatan yang seolah-olah merupakan protes mahasiswa dengan teriakan-teriakan ‘Gantung Soekarno’, tetapi kepada presiden ia menggambarkannya seolah-olah demonstrasi-demonstrasi yang penuh penghinaan itu spontan datang dari rakyat dan akan berhenti dengan sendirinya bila kepala negara mau menuruti tuntutan yakni melumpuhkan PKI. Dia tahu betul bahwa Bung Karno dalam seribu tahun pun tidak akan menerima usul-usulnya. Sebagai kepala negara Bung Karno bertanggung jawab atas semua warga negara di negara ini, termasuk PKI dan mereka yang berorientasi kiri. Sebenarnya Nasution dan Soeharto melalui koneksi-koneksinya dengan CIA yang sudah terbukti, merupakan pembunuh bayaran orang-orang Amerika. Kesulitan yang seolah-olah tidak terpecahkan inilah yang dihadapi tahun 1965 itu. Soekarno mengatakan kepada Jenderal, ‘Sekarang kamu mulai lagi tentang jalan keluar politik. Sedangkan baru kali ini kamu mengatakan bahwa kamu menghormati kepemimpinanku’. ‘Tanpa ragu, Pak’ jawab jenderal. ‘Kalau begitu, lakukanlah perintah-perintahku!’ demikianlah yang diungkap Soeharto mengenai presidennya dalam kenangannya (hal. 120). ‘Saya tidak menjawab. Bung Karno juga diam,’ sambung Jenderal coup. Presiden berdiam karena dia tahu betul dengan siapa dia bicara. Soeharto terdiam karena panglimanya telah mengalahkannya, skakmat. Kebanyakan pasukan di dunia memiliki disiplin dan hierarki militer; kebiasaannya ialah dari serdadu sampai dengan jenderal harus segera menjalankan perintah yang | |
[pagina 238]
| |
datang dari atas. Dengan berhasilnya Soeharto ini memperoleh kekuasaan, terjadilah, setidaknya di Indonesia, suatu situasi yang tidak biasa, yakni seorang jenderal bawahan Soekarno pura-pura tidak mendengar semua perintah yang diberikan panglima tertingginya kepadanya sampai tahun 1967, yang dianggap Soeharto, saat yang tepat untuk mengisolasi panglima tertingginya langsung sama sekali dan untuk menyiksanya secara perlahan sehingga ‘bapaknya yang tercinta’ itu mati. Sementara Soeharto dan Bung Karno sedang saling berdebat mengenai perlu tidaknya keberadaan PKI, Jenderal Sarwo Edhie dan teman-teman sekelompoknya mendapat hak penuh untuk berburu penganut Soekarno dan orang-orang komunis. Tugas ini pun segera dilaksanakan Edhie. Sekretaris Jenderal PKI, DN Aidit yang terbang dari Halim ke Jawa Tengah dengan Dakota Angkatan Udara dikhianati dan secara hukum militer yang cepat, ditembak mati. Menurut berita, Aidit masih menuntut untuk dipertemukan dengan Bung KarnoGa naar voetnoot3.. Dia diperkirakan telah menandatangani suatu keterangan setebal 50 halaman, di mana dia, menurut Brackman, mengakui, ‘Pertanggungjawaban yang paling tinggi pada peristiwa 30 September, adalah saya, AiditGa naar voetnoot4.. Rasanya tidak mungkin Aidit menandatangani dokumen semacam itu secara sukarela. Dan kalaupun hal ini terjadi, maka seharusnya Soeharto-lah orang pertama yang | |
[pagina 239]
| |
mengumumkan dokumen itu pada dunia, karena dengan demikian perburuannya terhadap orang-orang PKI lebih bisa dimengerti. Sekarang sudah diketahui bahwa Aidit tanggal 1 Oktober segera pergi ke Halim untuk menjelaskan kepada presiden bahwa PKI tidak ada sangkut pautnya dengan aksi yang dilakukan Untung. Rezim militer dalam tempo yang sangat cepat melikuidasi sejumlah pimpinan atas PKI, seperti Njoto, Lukman, Sukirman dan banyak lagi yang lain. Kolonel dari Pasukan Pengawal Istana Cakrabirawa, Untung, yang bertugas memimpin penangkapan perwira-perwira tinggi pada malam 30 September 1965 itu, telah diseret keluar dari sebuah bus di antara Surakarta dan Semarang, untuk kemudian tentunya juga dieksekusi. Kata-kata terakhirnya bukan ‘Hidup PKI’ tetapi ‘HidupGa naar voetnoot5. Bung Karno’, dengan demikian menyatakan sekali lagi bahwa ada sebuah aksi yang harus melindungi presiden dari pengkhianatan j enderal-jendereal Indonesia yang pro CIA yang telah disuap. Di Kamboja kejadiannya malah sebaliknya. Setelah kekalahan Amerika di Asia Tenggara, di Phom Penh tidak ada lagi tempat buat ‘Soeharto lokal’, yakni Lon Nol. Karena itu, ia menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di Hawaii. Ferdinand Marcos dari Filipina yang dibandingkan dengan Soeharto merupakan mini koruptor, juga menyingkir ke Hawaii setelah coup yang terjadi di Manila dan meninggal di sana. Tanggal 6 Juni 1970, pada ulang tahunnya yang ke 69 | |
[pagina 240]
| |
dan hanya beberapa minggu sebelum wafatnya, Soekarno berkata kepada Rachmawati Soekarnoputri bahwa di matanya, Soeharto adalah Lon Nol Indonesia. Itulah tebakan jitu terakhir yang pernah dikatakan Presiden Pertama Indonesia yang kita ketahui sampai sekarang. Tanggal 11 Maret 1966, setelah dipertimbangkan secara masak-masak, Presiden Soekarno menandatangani yang disebut Super Semar, surat kepresidenan yang menyatakan bahwa kekuasaaan pelaksana dengan syarat-syarat yang diuraikan secara rinci, akan diserahkan oleh Presiden kepada Soeharto. Dalam otobiografinya, Jenderal ini menulis bahwa tugas presiden itu berbunyi bahwa dia boleh melakukan usaha apa saja agar keamanan dan ketenteraman beserta stabilitas pemerintah dan jalannya revolusi teijamin. Dan Soeharto juga harus bertanggung jawab atas keamanan dan kesejahteraan serta kekuasaan kepala negara yang sah, yakni Bung Karno, Soeharto juga berjanji, ‘akan melaksanakan semua gagasan Pemimpin Besar Revolusi’Ga naar voetnoot6.. Jenderal Basuki Rachmat, M. Jusuf dan Amir Machmud telah mempersiapkan Super Semar ini dengan cermat lewat pembicaraan-pembicaraan yang penuh kesabaran kepada Bung Karno. Soeharto meminta agar menyampaikan salamnya kepada Bung Karno, dan bila presiden mau menandatanganinya dan memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengakhiri keadaan yang tidak menentu di negeri ini, maka dia meyakinkan bahwa perintahnya akan dilaksanakan sesuai | |
[pagina 241]
| |
dengan apa yang tertulis. Dan apa yang dilakukan Soeharto sebenarnya? Sementara tinta tandatangan presiden belum mengering ia mengumumkan: - perhatikan atas nama presiden yang sah - pada 12 Maret 1966, dikeluarkan Keputusan Presiden No.1/3/1966 yang melarang dan membubarkan Partai Komunis Indonesia, keputusan yang bertolak belakang dengan instruksi dan kemauan Bung Karno. Dalam otobiografinya Soeharto mencatat, ‘Keinginan rakyat untuk membubarkan PKI telah terlaksana’Ga naar voetnoot7.. Dalam kenyataannya dia telah mematuhi semua perintah Washington dan CIA, dan pengkhianatannya yang paling tinggi terhadap Bung Karno dan bangsa dalam sejarah Indonesia, lengkaplah sudah. Ernst Utrecht menunjukkan suatu aspek untuk melengkapi cara presiden dijebak untuk menandatanganinya. Dalam pembicaraan mengenai teks Super Semar, diperingatkan bahwa telah terjadi situasi membahayakan dalam tubuh angkatan bersenjata, Tentara yang berpihak ke kanan dan tentara yang berpihak ke kiri sudah bersiap-siap untuk saling menyerang, kali ini dalam bentuk Perang SaudaraGa naar voetnoot8. Sejak awal coup tahun 1965, sejumlah jenderal dan laksamana yang setia pada Soekarno, menyatakan siap membantu dan sering bertanya kepadanya, ‘Berilah komando maka kami akan memusnahkan para pengkhianat’. Lak- | |
[pagina 242]
| |
samana Muljadi berterus terang pada Soeharto, ‘Bila Bung Karno memutuskan untuk mengundurkan diri, itu oke. Tetapi bila ia harus mempertanggungjawabkan di depan mahkamah militer, seperti didesas-desuskan, maka Angkatan Laut akan bertindak dan mengumumkan perang’. Komandan polisi, Jenderal Sutjipto Judodihardjo juga bertanya langsung kepada Soeharto, ‘Mengapa Anda telah menyuruh menyusun buku porno itu?’ Yang dimaksudkan adalah sebuah laporan yang disusun rezim Soeharto mengenai pelanggaran undang-undang politik, ekonomi dan moriel yang katanya telah dilakukan Presiden Soekarno’Ga naar voetnoot9.. Pada hari-hari itu Bapak berkata kepada Ny. Dewi Soekarno, ‘Saya sekarang berada pada titik yang sama seperti tahun 1945, ketika negara ini didirikan. Saya harus mulai lagi dari awal’. Emile van Konijnenburg kembali dari Jakarta dan bercerita, ‘Di Jakarta sekarang mereka sedang berkelahi dengan revolver di atas meja. Dulu permainan demikian dimainkan dengan lebih halus, dengan kehadiran wanita-wanita cantik, hidangan makan yang lezat dan pesta’. Dia melanjutkan, ‘Presiden masih tetap tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September itu dan mercon peledak mana yang pertama meletus. Soeharto tetap melanjutkan menangkapi teman-teman Bapak, seperti sekarang Jenderal Djamin Ginting, Jenderal Mursid dan | |
[pagina 243]
| |
Letnan Kolonel Sudarmo, yang telah mencoba menggerakkan para mahasiswa yang setia pada Soekarno untuk turun ke jalan. Presiden berkata bahwa Nabi Muhammad juga telah menerima banyak penghinaan dan baru kemudian memutuskan untuk mengadakan aksi balasan. Pak Kelinci berpendapat, kesempatan untuk berhasil melawan kelompok Soeharto, makin hari makin kecil. Tanggal 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno akan mengucapkan pidato besarnya untuk terakhir kalinya dalam peristiwa peringatan diproklamasikannya kemerdekaan. Untuk mereka yang setia padanya, ini merupakan peristiwa yang menyedihkan. ‘Akhirnya, akhirnya, akhirnya - demikian orang berkata - terjadi juga perebutan kekuasaan dan Soekarno. Presiden Soekarno telah dirampas kekuasaannya. Tangannya terikat oleh kelompok-tiga-orang yang terdiri dari Soeharto, Hamengku Buwono IX dan Adam Malik’, katanya. Dan dalam kenyataannya, memang ini merupakan keduapuluh satu kali dan terakhir kalinya ia akan mengucapkan pidato tahunannya sebagai presiden. Dia menunjuk pada Super Semar 11 Maret 1966, yang oleh Soeharto secara sepihak diartikan sebagai pengalihan kekuasaan. ‘Itu bukan pengalihan kekuasaan”, demikian presiden. ‘ttu adalah perintah keamanan, itu garis-garis arahan untuk menjamin berfungsinya pemerintahan. Itulah kata-kata yang kuucapkan ketika saya melantik Kabinet Dwikora yang baru. Lagi pula itu merupakan garis petunjuk untuk menjamin keamanan pribadi presiden. Garis petunjuk untuk mengamankan sejumlah persoalan dan Soeharto telah melaksanakan | |
[pagina 244]
| |
garis-garis petunjuk ini dengan baik.Ga naar voetnoot10. Tetapi itu bukan merupakan pengalihan kekuasaan!’ ‘Kalian semua keliru,’ lanjut Bung Karno, ‘sekarang pun pada peringatan kemerdekaan kita, mereka itu keliru. Soekarno masih tetap presiden. Soekarno masih tetap Pemimpin Besar Revolusi. Soekarno masih tetap presiden menteri. Soekarno masih tetap berdiri di mimbar’. Dia berusaha sekuat tenaga untuk memberi kesan, seolah-olah situasi masih seperti sediakala, tetapi hampir semua yang hadir menyadari bahwa dalam kenyataan keadaan telah berubah secara radikal. Tanggal 17 Agustus 1966 itu Bung Karno hanya namanya saja presiden. Hanya soal waktu, peralihan resmi dan peralihan administrasi kekuasaan pun akan menjadi kenyataan. Untuk terakhir kali Bapak berbicara kepada rakyatnya untuk menyampaikan gagasan-gagasannya mengenai hari depan negara. Soeharto ada di situ dan berpikir ‘bicara sajalah di situ.’ ‘Betapa kejamnya imperialisme di Vietnam,’ kata Soekarno. ‘Dengan hak apa imperialisme melakukan hal-hal ini di Vietnam? Dengan hak apa imperialisme membunuh, membakar, mengebom dan menyebar napalm, dengan hak apa segala yang bagus itu dihancurkan? Sederetan jenderal, yang sudah lama sampai pada kesimpulan bahwa Washington benar dan bahwa komunisme di Vientam harus dibendung dengan | |
[pagina 245]
| |
penuh kekuatan, duduk di atas tangga istana dan mendengarkan kata-kata panglima tertingginya, juga berpikiran, ‘bicara sajalah disitu.’ Para jenderal yang sependapat dengan Bung Karno berdiam diri, yang lain telah ditangkap atau dibunuh. Berulang kali mereka memohon kepada presiden agar memberi perintah untuk membinasakan kelompok pro Amerika sekitar Soeharto. Berulang kali pula Bung Karno berpendapat, dengan musyawarah dan mufakat, revolusi dapat diarahkan lagi ke jalur-jalur yang bisa diterima, tetapi dia sekarang berhadapan dengan generasi baru perwira-perwira berani yang tidak mau lagi menuruti kehendak ‘bapak tua’. ‘Apa gunanya proklamasi kemerdekaan kita, apa gunanya kata-kata indah dalam preambul dari falsafah dasar kita, bila kita diam terhadap kekejaman-kekejaman yang teijadi di Vietnam dan tanpa tedeng aling-aling serta tanpa ragu akan memprotes perang Amerika di Vietnam dan mengutuknya?’ demikian Bung Karno. ‘Saya mohon Amerika! Tinggalkanlah Vietnam. Aku mohon, pergi, pergilah dari Vietnam. Anda tidak akan mungkin memecahkan soal Vietnam dengan cara yang dilakukan sekarang. Anda akhirnya pasti akan kalah!’ begitulah kata-kata ramalan Presiden Soekarno tahun 1966. Sekelompok jenderal-jenderalnya sendiri sedang sibuk untuk bersama Washington dan CIA menggulingkannya sebagai kepala negara Indonesia demi kepentingan militer perang Vietnam, yang memang terbukti delapan tahun kemudian dan tambahan jutaan korban, berakhir dengan kegagalan total bagi Washington dan CIA. ‘Saya adalah pemimpin besarmu! Ikutilah aku dan | |
[pagina 246]
| |
tepatilah garis arah saya. Saya tidak ambisius. Saya tidak menghendaki keuntungan pribadi. Saya tidak didorong oleh kepentingan pribadi. Saya hanya mau menunjukkan jalan, selalu bersama dengan Anda, tidak pernah tanpa Anda. Bersama kalian saya berdiri tegak. Tanpa Anda aku bukan siapa-siapa’. Banyak di antara pendengar pasti tak kuasa menahan air mata mendengar kata-kata itu, kendatipun negara sudah mengalami banyak dalam setahun. Mereka rupanya sudah menyadari bahwa presiden mereka dalam waktu dua belas bulan telah menempuh sebagian besar jalan buntu. Dia benar, dan sejarah juga akan membenarkannya bahwa Amerika akan mengalami kekalahan. Banjir darah massal terhadap kaum kiri, pemenggalan kepala para komunis dan melemparkan potongan-potongannya ke dalam sungai-sungai di Indonesia oleh Sarwo Edhie dan komando serta para-nya Soeharto, akan terungkap dua puluh lima tahun kemudian akibat berbagai perkembangan yang terjadi di dunia dan di Asia, dan sekali lagi akan terbukti bahwa itu adalah pekerjaan orang-orang jahat. Bung Karno memperjuangkan kerja sama dalam hak yang sama dengan kaum kiri dan PKI, itulah maksud konsep Nasakom-nya. Soeharto dan kelompoknya memutuskan untuk memusnahkan kaum kiri dan PKI. Koran Inggris The Econo-mist memperkirakan satu juta orang yang mati akibat kebijaksanaan Soeharto di Indonesia. Pol Pot di Kamboja, yang sesungguhnya melawan kaum kanan, telah melebihi Soeharto, dengan menyembelih dua juta penduduk. Sekarang, tiga puluh | |
[pagina 247]
| |
tahun kemudian, Washington mengatakan bahwa Pol Pot harus dibawa ke pengadilan internasional di Den Haag karena melanggar hak asasi manusia dan pembunuhan massal, seperti juga pemimpin Bosnia-Serbia Radovan Karadzic dan Jenderal Radko Mladic. Lalu bagaimana dengan Soeharto? Kepada Soeharto-lah keluarga kerajaan Belanda tahun 1995 berkunjung dalam suatu kunjungan kenegaraan, seolah-olah dia bukan pembunuh massal yang paling besar dalam sejarah IndonesiaGa naar voetnoot11.. Jalan yang ditempuh Soekarno adalah melanjutkan bekeija sama dengan PKI, bukan memenggal kepala mereka secara massal, karena mereka mengejar tujuan yang lain. Koeksistensi penuh damai dalam jangka panjang akan menunjukkan, rute mana yang harus ditempuh Indonesia dan kawasan Asia Tenggara untuk memperbaiki nasib semua orang. Pada tahun 1967 itu Soeharto keluar sebagai pemenang dalam perebutan kekuasaan antara kedua orang itu. Tetapi sejarah akan membenarkan Soekarno. |
|