Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 224]
| |
Jakarta (3)Pada pekan-pekan awal bulan Oktober 1965 itu Dewi Soekarno memusatkan perhatian pada pengumpulan sebanyak mungkin informasi dari seluas mungkin sumber yang telah terseleksi dengan teliti. Semua masukan itu diketik pada lembaran kertas yang panjang yang dikirimnya kepada Bapak di Istana Bogor. Dia tidak akan mempengaruhi ataupun memberi nasihat pada presiden, katanya padaku. Tetapi dia mau memberikan informasi yang sebanyak dan seluas mungkin tentang kejadian-kejadian di Ibu Kota selama ia tidak berada di sana. Tanggal 6 Oktober 1965 dia memang mengirim surat kepadanya untuk mengatakan betapa terkejutnya ia melihat tayangan televisi yang menayangkan rapat kabinet pertama di Bogor, yang memperlihatkan Bung Karno, seolah-olah tidak terjadi apa-apa di negara ini. Presiden tampak bergurau, tenang dan tersenyum lebar. Kekejian di Lubang Buaya baru terungkap dan Bapak bertindak acuh tak acuh. | |
[pagina 225]
| |
Saya yakin, tayangan televisi yang memperlihatkan tingkah laku presiden itu tidak diterima semestinya. Motivasinya tentu adalah bahwa dengan sikap untuk ‘segera kembali ke keadaan normal sehari-hari,’ ia hendak menenteramkan keadaan. Tetapi dalam kenyataannya dia tidak menyadari bahwa dengan sikap yang sepertinya acuh tak acuh pada saat kritis dan sensitif ini ia justru menginjak-injak hati rakyatnya yang masih dalam keadaan terkejut, terutama kalangan militer Indonesia. Ada satu faktor yang menyebabkan ia bertindak demikian, yakni keyakinan Soekarno, bahwa memang ada Dewan Jenderal yang hendak mengantarkan negara ini langsung ke tangan negara-negara kaya. Dia tahu, bahwa beberapa dari jenderal-jenderalnya yang terpenting sudah bertahun-tahun berhubungan dengan CIA. Jadi, dua hari setelah ditemukannya jenazah-jenazah para jenderal, dia sendiri menghadapi suatu konflik batin yang tak terbayangkan. Kekejaman yang terjadi di Lubang Buaya, seperti yang diperlihatkan di televisi, tak dapat dipahami seorang pun. Jenderal Soeharto mengantarkan jenazah-jenazah ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat dan menulis, ‘Saya berjaga semalam suntuk di samping teman-teman sejawat yang terbunuh’ (halaman 113). Jenderal Nasution menjelaskan, ‘orang-orang yang tak bermoral telah menuduh jenderal-jenderal yang terbunuh itu sebagai pengkhianat’ dan menambahkan. ‘Fitnah lebih kejam dari pembunuhan’. Tetapi saya sendiri menjadi saksi bahwa Jenderal Nasution yang harus disebut sebagai pengkhianat, karena dia dengan kerja sama Ujeng Suwargana sudah sejak tahun enam puluhan | |
[pagina 226]
| |
di Washington bersekongkol dengan CIA untuk melawan Soekarno dan menciptakan politik yang netral. Jadi ketika Bung Karno tanggal 6 Oktober itu dilihat Dewi di layar televisi, ia menyaksikan seorang presiden yang selama belum tahu dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi pada malam 30 September menjelang 1 Oktober, dan mengapa hal itu terjadi, belum menentukan sikap pribadinya terhadap kejadian itu. Ia berkata kepada Abdulgani, ‘Saya adalah sebuah buku terbuka. Aku bukan seorang hipokrit’. Yang menyebabkan mitra kerjanya yang terdekat menjawab bahwa presiden bagi dirinya pun merupakan sebuah buku yang banyak isinya belum jelas baginya. Tanggal 6 Oktober 1965 itu Soekarno tidak mampu mencucurkan air mata buaya yang tidak dihayatinya. Mengenai keterbukaan, Dewi merupakan angin segar dalam hidupnya. Dewi selalu mengatakan dengan langsung apa pendapatnya dan apa yang dipikirkannya, tanpa mempertimbangkan apakah pendapat itu benar. Di dalam istana yang selama bertahun-tahun selalu penuh dengan orang-orang yang selalu mengatakan. ‘Ya, Bapak’, Soekarno merasa hidup bila didatangi orang-orang yang selalu jujur dan terbuka terhadapnya. Dewi benar-benar merupakan angin segar baginya. Tanggal 8 Oktober 1965 Bung Karno menyuratinya, antara lain, ‘Kamu jangan salah memahami saya. Pada rapat kabinet itu saya tersenyum untuk menunjukkan kepada dunia bahwa saya aman dan bahwa situasi sudah kukendalikan. Kamu tentu tahu bahwa persGa naar voetnoot1. -NECOLIM menyakatan bahwa saya kalah | |
[pagina 227]
| |
atau setidak-tidaknya hampir kalah. Saya juga tertawa untuk memberi kepercayaan dan kekuatan kepada rakyat saya.’ Dan ia melanjutkan, ‘Tahukan kamu bahwa para jenderal yang terbunuh itu segera saya nobatkan sebagai pahlawanGa naar voetnoot2. revolusi dan bahwa mereka semua saya naikkan pangkatnya satu tingkat?’ Saya berpendapat sama dengan Dewi bahwa Bung Karno 6 Oktober 1965 itu pertama-tama tidak harus mengingat kesan apa yang harus dia perlihatkan pada pers dunia, tetapi terutama harus memberikan reaksi pada pertanyaan-pertanyaan yang pada saat-saat itu hidup dalam hati rakyatnya yang sedang mengalami trauma mendalam dan ingin mendengar dari mulutnya apa yang sebenarnya terjadi. Dengan beberapa kata menyatakan ikut berduka atau kalau perlu dengan penjelasan sedikit mengenai tragedi yang terjadi, ia sebenarnya dapat mengurangi dan menghilangkan rasa sedih dan sakit dari rakyatnyaGa naar voetnoot3. yang sangat membutuhkan informasi. Tetapi dia memilih mengikuti resep Ortega y. Gaset, yakni membungkam. Pekan-pekan pertama setelah perebutan kekuasaan digunakan Soekarno untuk menemukan jalan keluar politik lewat resep lama yang dikenal dan dipercayainya, yang membuatnya melanjutkan kebijakannya, yakni melibatkan PKI seperti biasa dalam rapat-rapat. Soeharto dengan antek-anteknya justru sesuai dengan pertemuan dan perjanjian-perjanjian rahasia yang telah dilakukan dengan CIA, mulai | |
[pagina 228]
| |
memburu orang-orang komunis dan semua serta segala yang dipradugakan beraliran kiri. Presiden sebagai Bapak dari semua warganya, tetap melindungi PKI. Soeharto mengarang bahwa PKI pada 30 September melakukan coup dan karenanya harus ditumpas. Kedua orang itu memang sangat berlainan. ‘Saya yakin betul bahwa Soekarno itu bukan orang PKI’, tulis Soeharto dalam otobiografinya tahun 1989 (halaman 143). Melalui kebijaksanaanyalah PKI mendapat kesempatan untuk mengembangkan sayapnya, itu memang benar. Tetapi dia tidak pernah bermaksud untuk memberikan ruang gerak yang begitu besar kepada PKI, sehingga bisa mencapai tujuannya. Lepas dari pertanyaan apakah PKI akhirnya pada tahun 1965 bermaksud untuk di kemudian hari merebut seluruh kekuasaan, pada hari-hari perebutan kekuasaan itu hal itu tidak terjadi. Lagi pula saya yakin seyakin-yakinnya, setelah berhubungan dengan Bung Karno sendiri selama sepuluh tahun secara terus-menerus bahwa dia akan menolak sekuat tenaga untuk memberikan seluruh kekuasaan kepada kaum kiri, yakni PKI, seperti yang dilakukan pada tahun 1965 menolak sekuat kemampuannya agar pendulum politik tidak bergerak ke kanan, tentara dan Soeharto. Tanggal 10 Oktober 1965 ia melayangkan lagi sepucuk surat dari Bogor untuk Dewi. | |
‘Dear darling Dewi,my darling: Pertama-tama saya memberitahukan bahwa saya hari ini tidak dapat ke Jakarta, karena saya harus membicarakan sesuatu yang amat penting dengan staf Divisi Siliwangi di | |
[pagina 229]
| |
Bogor. Pembicaraan ini tidak dapat dilakukan di Jakarta. Pertemuan harus berlangsung di sini secara rahasia. Bila dilakukan di Jakarta, orang-orang, terutama beberapa tentara akan segera menciumnya. Staf Siliwangi sendiri amat takut, kalau-kalau beberapa kalangan militer akan mengetahuinya. Kepadamu, sebagai istriku yang tercinta, yang bisa saya percayai, dapat saya beritahukan, dengan sangat rahasia bahwa staf Siliwangi sangat tidak setuju bila Jenderal Ibrahim Adjie, PanglimaGa naar voetnoot4. Siliwangi dijadikan Panglima Kostrad di Jakarta dan menggantinya dengan Jenderal Umar ‘panglima’ saat ini di JakartaGa naar voetnoot5.. Staf Siliwangi menghendaki Ibrahim Adjie tetap menjadi komandan mereka karena divisi ini merupakan benteng saya yang terkuat. Problem ini harus saya pecahkan hari ini. Karena itulah, sayangku, hari ini saya tidak bisa ke Jakarta. Benar, Siliwangi adalah benteng saya yang paling kuat. Saya harus dekat dengannya dan sangat penting bagiku’. Dalam kenyataannya, Soeharto mengganti Jenderal Ibrahim Adjie dengan Jenderal HR. Dharsono, yang mengubah Divisi Siliwangi menjadi kesatuan militer anti-Soekarno dan anti-PKI yang paling menyedihkan. Jenderal Adjie dikirim ke London sebagai duta besar, di mana saya kemudian menemuinya dan berbicara panjang lebar dengannya. Baru- | |
[pagina 230]
| |
baru ini Soeharto menganugerahkan gelar ‘Tahlawan Revolusi’ kepadanya, di mana Jenderal Ibrahim Adjie yang sudah lanjut usia itu hadir dalam kursi roda. Dalam konteks Indonesia kawan menjadi lawan dan lawan menjadi kawan semudah ‘Timur itu menjadi Timur’ dan ‘Barat menjadi Barat’. Dalam undangan makan siang dengan Ny. Hartini Soekarno tahun 1994, ibu ini memberitahukan kepadaku bahwa ‘Pak Harto itu sebenarnya orang yang baik yang dibimbing oleh mistik Jawa tradisional’. Bertahun-tahun aku berkorespondensi dengannya. Tahun 1972 saya bersamanya selama beberapa hari di Mandarin Hotel Singapura, untuk merekam kenang-kenangannya tentang berbagai peristiwa yang relatif masih baru terjadiGa naar voetnoot6.. Dan benarlah, seperempat abad kemudian, setelah Soeharto yang sama itu membunuh suaminya secara perlahan-lahan, pendapatnya mengenai orang itu berbalik 180o, yakni jalan pikiran aneh yang tak dapat saya ikuti dan tidak dapat saya terima. Dewi, sebaliknya, dengan cara berpikir yang lebih berorientasi ke Barat, tetap mempertahankan pendapatnya yang negatif mengenai Soeharto, sampai tahun sembilan puluhan. Pada bulan Oktober 1965 itu Dewi mengadakan hubungan intensif dengan golongan atas di Jakarta saat itu, agar dengan demikian bisa membantu Bung Karno. Antara dia dan Bapak dan Ny. Nasution telah terjadi sejumlah pertukaran berita dan pesan secara tertulis. Akibatnya ialah bahwa melalui sejumlah laporan dia mencoba meyakinkan | |
[pagina 231]
| |
presiden bahwa presiden tak perlu takut kepada ‘Pak Nas’ dan bisa mempercayainya, tetapi Soekarno saat itu sudah mengetahui, yang kemudian pada tahun delapanpuluhan dibuktikan oleh dokumen-dokumen CIA yang bisa beredar secara bebas bahwa Nasution sejak semula sudah dipilih oleh orang-orang Amerika untuk menggulingkan Soekarno melalui suatu coup. Presiden mengetahui misi-misi Ujeng Suwargana dan rencana untuk mengisolir dia dan untuk membiarkannya layu dan mati seperti bunga. Sayalah yang telah berusaha agar Bung Karno mengetahui misi-misi rahasia Ujeng ke Den Haag, New York dan Washington, jadi mengenai hal itu tidak ada keragu-raguan. Sebagai jawaban atas informasi Dewi, bahwa presiden bisa mempercayai Nasution, dan kemudian menulis pada 10 Oktober, misalnya, ‘mengenai Nasution, saya sampai pada kesimpulan bahwa saya bisa mempercayainya. Dia hanya belum dewasa dalam berpolitik’. Bila Nasution pada Oktober 1965 itu dianggap belum dewasa dalam berpolitik, maka dibandingkan dengannya Soeharto adalah tuna aksara dalam berpolitik. Reaksi Bapak yang lunak mengenai Nasution di dalam suratnya kepada Dewi, di satu pihak merupakan pernyataan apresiasinya mengenai keterlibatannya yang tekun untuk membantu, tetapi di lain pihak saya menginterpretasikannya sebagai kebingungan psikis yang dialaminya pada Oktober 1965 itu. Sejumlah perwira telah menempatkan sebuah mercon di bawah kursi kepresidenannya. Dia berada dalam keraguan yang amat sangat mengenai bagaimana coup itu telah berlangsung. Yang menarik, Ny. Nasution pada hari-hari itu menulis kepada Dewi | |
[pagina 232]
| |
bahwa suaminya tidak pemah berniat untuk merebut kekuasaan Soekarno, tidak pernah bekerja sama untuk merencanakan pembunuhan terhadapnya, seperti yang didesas-desuskan dan bahwa Nasution acapkali memperingatkan Soekarno terhadap intrik-intrik dari Subandrio. Ny. Nasution menulis, ‘Kami sangat berterima kasih atas bantuan dan pengertian Anda, yang begitu berharga agar suami Anda dapat menerimanya lewat Anda’. Dewi memang menyampaikan semuanya ke Bogor. Dengan maksud yang terbaik di dunia, pada pekan-pekan itu Ny. Dewi Soekarno membuka suatu inisiatif untuk mendamaikan presiden dengan kedua jenderal terpenting yang bersekongkol terhadapnya. Di samping fakta bahwa dia tidak memiliki sejumlah informasi yang sangat besar, yang dimiliki suaminya, dia rupanya tidak menyadari bahwa dia telah dilayangkan dari Jepang dan terdampar di suatu negara tempat sandiwara wayang. Tanggal 29 November dia berhasil mengadakan jamuan makan malam di istana di Jakarta, yang dihadiri di samping Bung Karno dan dia sendiri: oleh Bapak Dan Ny. Nasution, Bapak dan Ny. Soeharto, Wakil Presiden dan Ny. Johannes Leimena, Duta Besar Ismail Thayeb dan isterinya serta duta besar Jepang beserta istrinya. Dewi mengenang malam yang istimewa itu sebagai ‘suatu kebersamaan yang intim antara Bapak dan putra-putranya’. Tidak satu pun kata yang tidak mengenakkan yang terucap. Baginya malah terkesan adanya suasana kerukunan antara para undangan. Dia mendapat perasaan yang tak dapat diketahui asalnya, seolah telah terbentuk basis untuk perdamaian antara Soekarno, Nasution | |
[pagina 233]
| |
dan Soeharto. Tetapi dia lupa bahwa dia berada di Jakarta dan tidak di Tokyo, New York atau Paris. Dewi kurang memperhitungkan sentimen Jawa asli yakni ngabekti, yang dilukiskan Niels Mulder sebagai suatu pemberian penghormatan dari pihak anak, sering dari anak laki-laki kepada ayahnya, sebagai suatu perbuatan semi religius untuk menyatakan penghormatan. Tahun 1965 Bung Karno masih menjadi Bapak Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Rupanya Soeharto juga bingung dengan ke-Jawa-annya dan perasaan pemberontakannya terhadap Bung Karno. Mengenai presidennya, Soeharto menulis tahun 1989 dalam otobiografinya: ‘Saya adalah anak petani melarat. Tetapi ayahku selalu berkata kepadaku bahwa saya harus selalu menghormati orang-orang yang lebih tua’ (halaman 119). Kepada Soekarno ia masih berkata, ‘Saya menjunjung tinggi Anda, seperti saya selalu menjunjung tinggi orangtuaku. Bagiku Anda bukan saja pemimpin bangsa. Saya menganggap Anda sebagai ayahku. Saya akan menghormati dan menjunjung tinggi Anda’. Jenderal (Soeharto) tidak pernah melaksanakan kata-katanya itu. Sejak 1965 Soeharto sudah lama mengidap penyakit menganggap dirinya lebih, dan mengira bahwa dirinya lebih baik daripada Bung Karno menyangkut kepentingan negara. Dia tidak menyetujui kepemimpinan Bung Karno, karena presiden ingin agar Indonesia tidak terlibat dalam Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet agar tidak terjebak dalam cengkeraman negara adidaya yang satu maupun yang lain. Dan berkatalah sang jenderal dalam otobiografinya, | |
[pagina 234]
| |
‘Saya tidak dapat begitu saja loyal (kepada Soekarno), sebab bila saya menuruti permintaan-permintaannya maka itu berarti, bahwa saya akan berbuat sesuatu yang tidak benar’, (hal. 121). Inilah yang ditulis Pol Pot tentang Indonesia: seperempat abad setelah dilancarkannya banjir darah terbesar dalam sejarah Indonesia untuk memaksakan kehendaknya, dan dengan bantuan CIA dan kumpulan negara-negara kaya, dipelopori oleh Belanda, menumpas segala perlawanan dari orang-orang Indonesia yang sebagai patriot setia kepada Bung Karno dan tidak setia pada Soeharto. Soeharto tidak hanya pengkhianat rakyat Indonesia, tetapi juga berkali-kali berkesempatan untuk menyatakan kecintaan dan penghormatan pribadinya kepada presiden dan panglima tertingginya, untuk lima menit kemudian meninggalkan istana dan menulis dalam kenang-kenangannnya, ‘Akhirnya dia (Soekarno) mengetahui juga bahwa saya tidak mudah diperintah bahwa saya mempunyai pendapatku sendiri’, (hal. 122). |
|