Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 213]
| |
Jakarta (2)Wartawan Gordian Troeller dari Der Stern memang benar, Dewi lebih banyak melibatkan diri secara intensif dengan peristiwa yang terjadi daripada Ny. Hartini Soekarno. Tanggal 1 Oktober 1965 itu, ia baru dibangunkan pukul 10:00 pagi dan mendengar dari Michel Le Tac dari Paris Match yang sedang menyusun reportase foto mengenai Bung Karno dan Dewi, bahwa ada problem. Tanggal 2 Oktober Kapten Suparto datang membawa surat pertama dari presidenGa naar voetnoot1.. Surat itu segera dijawab Dewi, mengatakan bahwa ia segera ingin bertemu Bapak. Dia menawarkan jasanya padanya. Malam itu juga kapten kembali untuk menjemputnya. Dalam sebuah jip militer yang tertutup dia dibawa ke Pangkalan Udara Halim, di mana ia berkesempatan berbicara dengan Bung Karno selama dua puluh menit. Bung Karno sedang sangat resah mengenai nasib | |
[pagina 214]
| |
Jenderal Yani, yang merupakan ‘anak emas’Ga naar voetnoot2. nya. Profesor Peter Dale Scott dari Kalifornia kemudian menunjukkan dalam suatu analisis, bahwa justru dengan dibunuhnya Yani perebutan kekuasaan oleh Soeharto dan kroni-kroninya itu dipermudah. Tahun 1970 di Paris, Dewi bercerita padaku bahwa pada malam tanggal 2 Oktober itu ia menyarankan kepada presiden untuk sesegera mungkin membuat suatu pidato radio, karena massa sedang sangat kebingunan dan mengkhawatirkan nasibnya. Karena telah diputuskan tidak pergi ke Bogor tetapi terbang saja ke Madiun, Dewi berusaha sekuat tenaga agar Bung Karno membatalkan niat itu. Dia memeperingatkan Bapak bahwa tahun 1948 telah terjadi pemberontakan PKI di Madiun. Mengingat kejadian yang sangat menyedihkan itu, kedatangannya ke sana justru akan disalahartikan orang. Dewi berkata, ‘Saya merasa bahwa apabila dia menyingkir ke Jawa Tengah, dia akan kehilangan pengawasan pada kekuasaan di Jakarta. Saya memintanya dengan sangat agar jangan pergi ke mana-mana, tetapi apabila ia memutuskan untuk pergi juga agar membawa serta aku, karena jiwaku adalah miliknya. Di saat-saat yang berat ini saya ingin berguna baginya’. ‘Bila ditinjau kembali,’ lanjutnya, ‘seharusnya saya melakukan apa yang semula ingin saya lakukan yakni memakai setelan celana saat pergi ke Halim, juga karena saya pergi naik jip. Tetapi karena saya tahu bahwa Bapak tidak menyukainya, saya mengenakan gaun. Dia berterima | |
[pagina 215]
| |
kasih atas loyalitas dan dedikasi saya, tetapi sambil melihat pakaianku ia berkata bahwa saya sebagai wanita tidak bisa ikut. Pada saat itu saya merasa sebagai seorang istri samurai yang harus menerima kenyataan bahwa ia hidup di dunia laki-laki. Saya menyadari bahwa saya akan menyukarkan dia bila saya bersikeras untuk ikut’. Segera setelah pertemuan itu Bung Karno memasuki mobil. Dewi bertanya pada diri sendiri apakah ia masih akan bertemu atau melihatnya lagi. Pintu mobil ditutup. Aba-aba diteriakkan. Tak lama kemudian dia melihat Perdana Menteri Johannes Leimena. Dia berlari menghampirinya dan memohonnya dengan sangat agar mengimbau presiden mengurungkan niatnya untuk pergi ke Madiun. Presiden harus memperlihatkan diri kepada rakyat untuk membantu memulihkan ketenteraman dan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat akan kepemimpinannya. Tanggal 3 Oktober dia menerima surat ketiga dari presiden lewat seorang kurir, yang memberitahukan bahwa dia bersama Johannes Leimena telah pergi ke istana Bogor. Dalam suratnya Bung Karno menulis bahwa dia belum mengetahui sama sekali nasib Jenderal Yani. Tanggal 5 Oktober 1965 ditemukan keenam jenazah yang rusak berat dari jenderal-jenderal yang terbunuh dan Letnan Pierre Tendean dekat Lapangan Udara Halim di Lubang BuayaGa naar voetnoot3.. Para komando marinir mempergunakan tabung zat asam ketika mengeluarkannya dari lubang. Jenazah Jenderal | |
[pagina 216]
| |
Yani, Harjono, Sutojo Siswomihardjo, Suprapto dan Jenderal S. Parman, para perwira tinggi dari dinas penerangan, yang setahun sebelumnya menemui saya di New York dengan tugas menghabisi Wemer Verrips dan saya, telah ditemukan. Jenderal Soeharto menyaksikan penggalian itu dan tahun 1989 menulis, ‘Saya bergidig ketika melihat jenazah-jenazah itu dan menggigit bibirku. Saya tak akan pernah melupakannya, kataku pada diri sendiriGa naar voetnoot4.. Akhirnya ditemukan juga jenazah Jenderal D,I. Panjaitan, salah seorang sahabat baik agen CIA Verrips yang terbunuh tahun 1964. Ketika pembunuhan-pembunuhan terhadap para jenderal diumumkan, tidak hanya Soeharto yang bergidig tetapi seluruh rakyat Indonesia merasakannya sebagai pukulan psikis dan emosional yang sangat dalam. Trauma tragis yang dialami bangsa tahun 1965 itu, baru tercerna oleh rakyat Indonesia tahun 1995. Penemuan di Lubang Buaya mempunyai efek seperti bom atom pada benak rakyat Indonesia. Biasanya dibutuhkan satu generasi untuk dapat mengampuni kejadian-kejadian di masa lalu, dan secara berangsur menyembuhkan tekanan psikis yang menimpa jiwa mereka. Baru akhir-akhir ini saja Amerika Serikat untuk pertama kali sejak perang di Indo-China, yang pecah pada tahun enampuluhan, memperbaiki kembali hubungan diplomatiknya dengan Vietnam. Menteri Pertahanan Kabinet JFK dan LBJ baru tahun 1995 akan menulis buku mea-culpa,Ga naar voetnoot5. dengan hak pembahasan | |
[pagina 217]
| |
utama, bahwa perang itu salah dan sebaiknya tidak pernah dilakukan. Kejujuran mengenai perebutan kekuasaan dan pertumpahan darah yang terjadi kemudian di Indonesia di bawah tanggung jawab Jenderal Soeharto, tidak dapat diharapkan terungkap, setidaknya tidak selama rezimnya masih berlangsung. Di dalam otobiografinya pun yang dipublikasikan tahun 1989, jenderal ini masih tetap mengelabui dirinya sendiri dan rakyat Indonesia. Bila seseorang dengan inteligensi tinggi seperti Mc. Namara tahun 1995 mengakui secara umum, apa yang dapat diharapkan dari seseorang yang berasal dari desa Kemusu, yang letaknya sama jauh dari Yogyakarta seperti Lage Vuursche dari Amsterdam, yang hanya lulus SD di desanya, kemudian masuk MULO (SMP) dan tersendat sampai usia 15 tahun untuk kemudian menjadi pesuruh pertama di Bank Rakyat di Wuryantoro? Suatu pengakuan berbuat salah tidak akan bisa diharapkan dari Soeharto selama hidupnya. Sejarahlah yang dalam hal ini harus meluruskannya. Jose Ortega y Gasset berpendapat, pada saat-saat terjadi gejolak emosi dan perkosaan terhadap kebenaran, kaum intelektual sebaiknya berdiam diri, kalau tidak mereka terpaksa harus berbohong. Jadi, baru di Bogor Soekarno mendengar tentang nasib yang menimpa para jenderal. Barang siapa telah mengikuti riwayat hidupnya, akan memahami bagaimana jutru orang ini sangat terpukul dengan kejadian itu. Selama 40 tahun kepemimpinannya di Indonesia hanya satu kali dia menjatuhkan hukuman mati. Yakni pada S.M. Kartosuwirjo, pemimpin teroris Darul Islam yang telah | |
[pagina 218]
| |
menyebabkan tewasnya ribuan orang, di antaranya wanita dan anak-anak. Sukmawati Soekarnoputri, putrinya, kemudian bercerita kepadaku, bagaimana Bung Karno selama seminggu amat tertekan dan tidak berbicara sama sekali, hanya duduk di teras istana sambil menatap hampa ke depan sebelum menandatangani keputusan itu. Pada minggu-minggu pertama bulan Oktober 1965 itu, Soekarno tidak berbicara sama sekali sebagai reaksi terhadap penemuan jenazah para jenderal yang mengerikan itu. Pada tanggal 5 Oktober ia menulis kepada Dewi, antara lain, ‘Hari ini keenam jenderal dan seorang ajudan salah satu jenderal akan dimakamkan. Dinas keamanan dan Subandrio, begitu pula Leimana melarangku menghadiri pemakaman dengan alasan keamanan negara. Mereka mengatakan bahwa tak seorang pun tahu apa yang bisa terjadi pada kejadian yang emosional seperti ini.’ Sebagai penutup ditulisnya, ‘Mengenai para jenderal yang dibunuh, kita tunggu saja dulu hasil dari penyelidikan kita. Betulkah mereka mempunyai niat melancarkan coup terhadap saya? Beritanya saling bertentangan. Yang jelas dan nyata adalah bahwa mereka semua menderita ‘fobi-komunis’, begitu kata presiden pada istri yang orang Jepang itu. Dewi bercerita bahwa ketika melihat tayangan televisi mengenai jenderal-jenderal yang terbunuh itu, yang dia kenal semua, ia menjadi bingung. Berhari-hari ia menangis karena menyadari bahwa kejadian-kejadian yang tragis itu bisa berdampak dalam dan jauh bagi hidupnya maupun hidup presiden. Tanggal 6 Oktober 1965, untuk pertama kali setelah coup | |
[pagina 219]
| |
kabinet berkumpul secara lengkap di istana Bogor. Pers diizinkan masuk untuk waktu terbatas. John Hughes dari Chistian Science Monitor menanyakan komentar Bung Karno mengenai kejadian. ‘Saya mempunyai senyum untuk pers’, begitu jawab presiden. ‘Senyum itu kami lihat, tetapi apa yang bisa Anda katakan kepada kami’ tanya Hughes. ‘Sudah berapa lama Anda berada di Indonesia?’. ‘Satu minggu’. ‘Hanya di Jakarta, atau apakah Anda sudah keliling negeri ini untuk melihat-lihat?’ Hughes bertanya kapan presiden akan kembali ke Jakarta. ‘Para wartawan ini mempunyai berbagai cara dan siasat untuk mengajukan pertanyaan yang sukar-sukar’, lanjut presiden. Hughes, ‘Anda bertanya mengenai rencana perjalanan saya, jadi saya kira saya juga perlu bertanya mengenai rencana Anda’Ga naar voetnoot6.. Perundingan kabinet pada tanggal 6 Oktober 1965 itu sampai pada kesimpulan sementara, bahwa coup yang terjadi itu akibat adanya perselisihan di dalam jajaran Angkatan Bersenjata, di mana beberapa perwira progresif ingin menyingkirkan jenderal-jenderal anti komunis yang penting, jenderal-jenderal yang juga mempunyai hubungan erat dengan CIA. Aksi itu dilancarkan atas perintah Kolonel Untung untuk | |
[pagina 220]
| |
mencegah terjadinya perebutan kekuasaan dari para jenderal yang berhaluan kanan tanggal 5 Oktober 1965 itu. Satu-satunya kali Bung Karno pada hari-hari kritis itu tidak berdiam diri dan menyebut kejadian itu sebagai ‘riak di samudera revolusi’, musuh-musuh presiden memanfaatkan kata-kata itu secara terus-menerus untuk menggambarkan seolah dia adalah seorang pemimpin yang tidak berperasaan dan tidak punyak hati nurani, yang menganggap pembunuhan di Lubang Buaya itu hal yang remeh. Mengenai hal ini, Jenderal Soeharto menulis dalam otobiografinya, ‘Sementara itu Presiden Soekarno mengambil sikap yang bertolak belakang dengan langkah dan aksi yang saya ambil. Perbedaan dalam titik pandang ini makin tampak setelah Bung Karno menyebut insiden tanggal 30 September itu sebagai ‘riak di samudera revolusi.’ Tidak hanya langkah dan aksi kedua orang laki-laki itu yang bertolak belakang, otak Soekarno dan Soeharto juga berjauhan seperti jauhnya Mars dari Venus. Soekarno adalah seorang revolusioner intelektual yang sangat berpengalaman, pemimpin politik dan merupakan pendiri yang sebenarnya dari negara kesatuan ini, Soeharto adalah seorang sersan yang jatuh ke atas dari tentara kolonial dulu, yang berhasil mendapatkan penghargaan dari angkatan perang berkat jasanya sebagai ahli berkelahi yang efektif dan walaupun mendapatkan halangan yang beratGa naar voetnoot7. ambisinya yang besar yang berhasil mendorongnya sampai puncak komando militer. Karena itu dalam autobiografi Bung Karno yang dipubli- | |
[pagina 221]
| |
kasikan tahun 1965, Soeharto tidak ada. Sebaliknya Soeharto, baik dalam The Smiling GeneralGa naar voetnoot8.Ga naar voetnoot8. yang dipublikasikan tahun 1969, maupun dalam otobiografinya dari tahun 1989, membuka secara terang-terangan sikapnya yang merendahkan terhadap Soekarno. Ditambah pula bahwa presiden yang kedua itu adalah hasil dari generasi yang baru, yang tidak mengenal Soekarno yang sebenarnya, jarang bertemu dengannya dan tidak dekat dengan Bapak karena ia agak mencurigainya. Tahun 1969 Soeharto menyuruh orang Jerman Barat O.G. Roeder melukiskan situasi itu sebagai suatu tragedi seorang orang tua, yang tidak memahami bahwa gagasan-gagasannya yang muluk-muluk yang telah berhasil di masa lalu, tidak bisa dipertahankan terus-menerus. Dia makin lama makin bertingkah laku seperti anak, dan bertindak seolah ‘saya lebih tahu’ salah satu slogan saya lebih tahu favoritnya. Diucapkannya kata-kata itu mengenai presiden kepada seorang jenderal bawahannya untuk menggambarkan dilema yang dihadapi kepala negara tahun 1965 itu. Mantan Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta telah mensinyalir gejala-gejala itu ketika ia tahun 1966 dengan cemas menyampaikan padaku bahwa ia melihat dengan jelas bagaimana generasi muda makin terasing dengan salah satu nilai fundamental dari pendidikan Jawa yang amat bagus, yakni ditumbuhkannya rasa segan ‘dan maluGa naar voetnoot9.’ terhadap orang yang lebih tua. Dia menyimpulkannya, misalnya dari kelakuan beberapa | |
[pagina 222]
| |
kelompok mahasiswa yang meneriakkan kebohongan-kebohongan dan penghinaan-penghinaan terhadap Soekarno di jalan-jalan untuk menyulut rakyat agar melawan presiden yang resmi negara ini. Kelompok Soeharto menyediakan kendaraan tentara untuk keperluan ini dan lewat Australia mereka muda mendapatkan seragam kamuflase Amerika. Anak-anak muda pun disalahgunakan para perwira yang pro-Amerika ini untuk kepentingan mereka. Di dalam The Smiling General, Soeharto menjelaskan mengenai apa yang ia sebut sebagai slogan-slogan yang telah dipahami. Yang dia maksudkan dengan itu adalah misalnya konsep Nasakom Bung Karno dan fakta bahwa gambaran masa depan negaranya bagi Soekarno adalah tetap mempertahankan politik kenetralannya dalam Perang Dingin antara Amerika dan Uni Sovyet, sedangkan Soeharto dan kelompoknya jelas-jelas memihak kepada Amerika Serikat. Bila kemudian Soeharto yang menganggap dirinya lebih mengetahui, maka itu hanya menunjukkan orang seperti apa dia pada dasarnya. Sampai sekarang sudah tiga puluh tahun Indonesia mengalami praktek-praktek pembunuhan dan kematian paksaan dari jenderal. Rakyat tidak berdaya untuk melepaskan diri dari tekanan teror militer ini, jadi juga dari rezim yang didukung Amerika Serikat, Belanda, Jepang dan negara-negara kaya lainnya dengan biaya bermilyar sebagai imbalan diserahkannya ekonomi pada negara-negara imperialis ini. Tahun 1989, Soeharto menulis dalam biografinya bahwa setelah coup ia menekankan kepada Bung Karno, ‘Saya masih menghormati Anda seperti saya menghormati dan menjunjung | |
[pagina 223]
| |
tinggi orang tua saya. Bagi saya Anda tidak hanya pemimpin rakyat. Saya menganggap Anda sebagai ayahku. Saya ingin menghormati Anda’Ga naar voetnoot10.. Kata-kata dan ungkapan seperti itu menunjukkan gangguan psikis, apalagi bila di samping penjelasan itu kita tempatkan tindakan-tindakannya yang penuh pengkhianatan dan insubordinasi, dengan mengabaikan semua perintah Bung Karno secara katagoris. Sambil merongrong presiden dengan segala cara yang tidak jujur dan licik, ia akan melancarkan pernyataan-pernyataan kedekatan dan keterikatannya. Soekarno hampir tidak bisa mempercayai telinganya, karena dia lebih dari tahu mengenai niat busuk Soeharto. Jadi Bapak berkata ‘Betul, Harto?’ dan Jenderal menulis dalam biografinya (halaman 120) ‘Betul Pak. Bila Tuhan menghendaki....’ Mendengar kata-kata tidak benar itu, presiden tentu kemudian mengetuk keningnya. Jadi Soeharto akan menganggap Soekarno sebagai ayahnya. Tahun 1995 kami mendengar bahwa ia telah meminta Profesor Emil Salim yang menjadi pelaksana protokol bagi kunjungan kenegaraan pada keluarga kerajaan Belanda agar memberitahukan kepada wartawan NRC Handels BladGa naar voetnoot11. bahwa dia menganggap Pangeran Bernhard sebagai ‘seorang kakak’ dan Ratu Beatrix sebagai ‘seorang anak’. Dengan cara seperti itu kepala negara Indonesia saat ini mempunyai keluarga yang istimewa besarnya, sebab Pangeran Claus menjadi menantunya dan pangeran Willem-Alexander adalah cucunya. |
|