Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 201]
| |
Jakarta (1)Tahun 1965 Republik Indonesia telah dua puluh tahun berdiri sendiri. Sebagai bangsa, negara ini telah mulai menjadi dewasa. Tahun 1925, ketika dia memulai revolusinya sebagai rising expectations (harapan-harapan yang mulai timbul), dia merasa kuat karena dukungan sebagian besar rakyat Indonesia, yang memberikan dan mempercayakan padanya kepemimpinan perjuangannya untuk meraih kemerdekaan. Tahun 1945 ketika bendera merah putih dikibarkan, ia mencapai puncak kepopulerannya. Tahun 1965, banyak alasan baginya untuk meragukan kepopulerannya itu. Massa memang tetap setia padanya, tetapi untuk pertama kali timbul aliran-aliran kuat, terutama pada bagian-bagian di angkatan bersenjataGa naar voetnoot1. yang mempertanyakan kepemimpinannya. Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Korps Marinir (KKO) jelas-jelas masih pro-Bung Karno. | |
[pagina 202]
| |
Mengingat usaha-usaha pembunuhan yang berulang kali terjadi terhadap presiden, dibentuklah Resimen Cakrabirawa, yang terdiri dari 3000 orang pasukan elite di bawah pimpinan Jenderal Sabur. Mereka terutama terdiri dari anggota Pasukan Para yang khusus dididik untuk perang gerilya. Tiga ratus di antaranya bertugas sebagai pengawal pribadi tetap dan memiliki golongan darah yang sama dengan presiden. Tameng pelindung yang dianggap perlu di sekitar presiden tidak hanya membatasi kebebasannya bergerak seperti semula, tetapi mengubah istana lebih dari semula, menjadi sebuah benteng bersenjata. Saya masih ingat situasi tahun 1956-1957, ketika kami bisa masuk ke dalamnya tanpa banyak diperiksa. Tahun 1965 keadaan itu sudah berubah sekali. Setelah problema-problema yang terjadi pada angkatan bersenjata tahun 1950, 1952, 1955, 1957 dan coup CIA tahun 1958, tahun 1965 itu berarti bahwa harapan-harapan akan terjadinya Putsch baru oleh militer menyebabkan penjagaan terhadap Bung Karno diperketat secara maksimal. Sementara itu Jakarta telah menjadi semacam sarang lebah desas-desus coup yang paling menggelikan. Dalam visi para sekongkolan anti-Soekarno, saat itu paling ideal untuk menggulingkan status quo Soekarnois. Sampai ujung jarinya Bung Karno tahu betul apa yang terjadi. Malah beberapa minggu sebelum terjadinya coup di hadapan Dewi, dia bertanya kepada Kepala Staf Angkatan Bersenjata Yani, apa yang sedang dikerjakan Dewan Jenderal saat itu, demikian cerita Dewi padaku. Jenderal Yani menjawab bahwa Soekarno sebagai Panglima Tertinggi tidak | |
[pagina 203]
| |
perlu memikirkan hal itu, ‘sebab kelompok jenderal itu berada di bawah saya.’ Agar perebutan kekuasaan para jenderal bisa berhasil, maka antara Soeharto dan Soekarno hanya terhalang oleh Jenderal Yani dan Nasution. Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, Yani dibunuh bersama lima jenderal lainnya, ajudan, Letnan Tendean dan anak gadis Jenderal Nasution. Nasution sendiri bisa melarikan diri lewat dinding belakang sebelum ditembak, sehingga jalan Soeharto menuju istana terbuka lebar. Tinggal Bung Karno-lah yang harus diperhitungkan, sebab Nasution terkilir kakinya sehingga secara praktis tidak bisa bertempur lagi. Beberapa minggu sebelum coup 1965, mantan ajudan Soekarno yang paling setia, Jenderal SugandhiGa naar voetnoot2., juga datang ke istana untuk memberitahukan presiden demi kebaikannya bahwa akan terjadi coup PKI. Sugandhi telah lebih dulu bergabung dengan persekongkolan CIA. Bung Karno memberitahukan padanya bahwa dia tahu benar apa yang sedang terjadi. Bukan PKI, tetapi Dewan Jenderal yang mempunyai niat busuk. Bukan tanpa alasan bila Thomas Mann menyebutkan bahwa anti-bolsjewisme sebagai dasar kegilaan suatu kurun waktu. ‘Dengan berjalannya waktu, Sugandhi telah berubah dari seorang ajudan Presiden yang loyal menjadi seorang anti-komunis yang terobsesi. Sebaliknya, teman sejawatnya Jenderal Sabur, tetap setia pada Bung Karno sampai akhir dan mengomandani tentara Cakrabirawa.’ Ancang-ancang coup 1965 itu telah mengubah Jakarta | |
[pagina 204]
| |
menjadi satu kota besar penuh omong-kosongGa naar voetnoot3.. Subandrio pun tahun 1966 menjelaskan di depan hakim bahwa pada hari-hari itu begitu banyak berita palsu yang beredar sehigga dia tidak percaya kepada apa pun dan siapa pun. Saat itu Menteri Subandrio masih mengepalai CIA Indonesia. Tahun 1965 hanya Amerika dan CIA yang mempunyai motif untuk menghendaki perubahan di Indonesia. Perang di Vietnam oleh LBJ (Lindon B. Johnson) ditingkatkan. Tentara Indonesia sebanyak 500.000 orang di punggung orang-orang Amerika, berjuang dan berkelahi untuk hidupnya di delta Mekong, dan dipimpin oleh Soekarno yang bersikap bermusuhan, merupakan bahaya yang sangat besar. Sementara itu dokumen-dokumen yang berhasil lolos dari Washington membuktikan tanpa meragukan bahwa CIA sejak gagalnya coup yang telah direncanakan tahun 1958 terus-menerus berusaha mencari ‘para perwira Indonesia yang bisa dipakai.’ Baru-baru ini di Jakarta Jenderal Suhario Padmodiwirjo menjelaskan kepadaku bagaimana cara kerja mereka. Sejak bertahun-tahun ada perjanjian antara Washington dan Angkatan Bersenjata Indonesia, bahwa para perwira akan dididik di pusat-pusat latihan Amerika. ‘Dalam prakteknya ini berarti’, demikian Jenderal Suhario ‘bahwa CIA meneliti dan menyeleksi siapa-siapa yang “bisa dipakai” untuk melancarkan coup terhadap Soekarno. Bila tawaran semacam itu diajukan padaku, maka orang itu akan saya tembak kepalanya.’ Jenderal Suhario yang waktu itu menjabat | |
[pagina 205]
| |
komandan pasukan di Kalimantan dan orang kepercayaan Bung Karno, juga dikirim ke sekolah tinggi perwira di Moskow oleh presiden sesuai dengan titik pandang Bapak yang tidak pernah berubah, yakni mendekati kekuatan-kekuatan mahabesar (adidaya) dengan hak yang sama. Soekarno benar-benar tidak terikat. Tetapi sikapnya itu sama sekali tidak bisa diterima di Washington. Jalan yang paling mudah agar dunia dan para kolaborator Indonesia tidak menyukai pemimpinnya adalah menyebutnya sebagai komunis. Orang yang kurang pandai seperti Jenderal Sugandhi tentu terkecoh oleh karenanya. Dan dia bukan satu-satunya orang. Pada malam menjelang coup tahun 1965 beredar cerita yang menggelikan bahwa para dokter yang dikirim Perdana Menteri Chou En-Lai untuk membantu menangani penyakit ginjalnya, telah kehilangan harapan. Soekarno akan meninggal dalam waktu yang dekat. Kenyataannnya dia masih hidup sampai tahun 1970. Juga diberitakan bahwa presiden jatuh sakit ketika mengucapkan pidato di Stadion Senayan pada malam 30 September 1965. Dewi Soekarno mengingat kembali kejadian malam itu sebagai berikut. Untuk santap malam bersama Duta Besar Iran dan istrinya, malam itu ia berada di ‘Nirwana Club’ Hotel Indonesia. Setelah memberi pidato, Presiden kembali ke istana berganti baju untuk kemudian menjemput istrinya di hotel. Seorang ajudan naik ke tempat bersantap dan menjemputnya. Cadillac presiden diparkir secara tersembunyi dan beberapa bodyguard (pengawal) yang berpakaian preman duduk dalam mobil mereka pergi ke Wisma Yaso, di mana seperti biasa | |
[pagina 206]
| |
menjelang tengah malam disediakan makan malam (koud buffet). Setelah itu mereka masih tampak berdua di kebun. Keesokan harinya, pagi sekali, presiden dibangunkan oleh seorang ajudan. Soekarno membiarkan Dewi tidur dengan tenang. Mereka menuju istana, tetapi di tengah jalan diputuskan untuk pergi ke rumah seorang teman wanita presiden, karena, demikian disebutkan, di sekitar istana merdeka tampak gerakan-gerakan tentara yang tak jelas. Setelah itu baru ketahuan bahwa mereka adalah tentara yang pro-Soekarno. Kemudian Soekarno pergi ke Pangkalan Udara Halim. Tahun 1970 Dewi bercerita padaku di Paris. ‘Bapak sama sekali tidak sakit apa-apa malam menjelang 30 September itu.’ Dari mana datangnya berita bahwa dia jatuh sakit di Senayan? tanyaku. Dewi, ‘Beberapa minggu sebelumnya presiden memang kena serangan jantung ringan saat sarapan. Dia terjatuh lemas ke bawah. Hal itu terjadi dalam sekejap dan insiden itu berlalu tanpa diketahui orang. Tetapi berita-berita yang beredar menyebutkan bahwa dia sakit parah. Pada pagi terjadinya serangan jantung Bung Karno itu, Perdana Menteri dr. Subandrio langsung pergi ke Wisma Yaso, menyuruh membangunkanku dan menangis secara histeris di samping tempat tidurku. Dia berkata bahwa dia tidak tahu apa yang harus dilakukan bila presiden benar-benar meninggal. Subandrio sungguh sudah bisa menilai dirinya, sebab tanpa Soekarno dia bukan apa-apa. Baru tahun 1995 Jenderal Soeharto membebaskannya. | |
[pagina 207]
| |
Emile van Konijnenburg kemudian juga bertanya kepada presiden mengenai kejadian ketika sarapan di istana itu. Soekarno mengiakan bahwa ia memang terjatuh akibat serangan jantung. Dia juga bercerita bahwa ketika ia sadar kembali, dia mengingat sebuah pantun dalam bahasa Belanda yang dia kenal dan mengucapkannya kembali untuk mengetahui apakah ingatannya masih berfungsi secara normal. Tanggal 2 Oktober 1965, setelah Bung Karno tinggal satu hari di Pangkalan Udara Halim, dia menulis surat sebagai berikut kepada Dewi. | |
Dear darling Dewi,Saya dalam keadaan sehat dan sedang sangat sibuk dengan suatu konferensi dengan para perwira tinggi militer untuk memecahkan konflik militer ini. Jangan cemaskan aku darling.
Sayang dan 1000 kecup,
Soekarno
2-10-65 | |
[pagina 208]
| |
Para perwira tinggi militer Presiden menunjukkan di situ bahwa persoalannya adalah konflik antarmiliter, yakni pro dan kontra PKI. Ruslan Abdulgani kemudian juga mengatakan kepada saya tentang adanya kortsluiting antara Dewan Jenderal di satu pihak dan Dewan Revolusi di pihak lainnya, yang terdiri dari para prajurit progresif yang berpangkat rendah dari angkatan bersenjata yang berhaluan kiri termasuk para perwira mudanya di satu pihak dan elemen-elemen dari PKI di pihak lain. Menurut interpretasi coup 1965 ini, kemudian Dewan Revolusi bertindak sesuai pedoman, ‘siapa yang duluan, dia yang menang’, maka pada malam tanggal 30 September 1965 dilancarkanlah aksi membunuh jenderal-jenderal terpenting yang dianggap ada hubungannya dengan Dewan Jenderal. Memanfaatkan kekacauan yang kemudian terjadi, Soeharto menemukan kesempatan untuk kepentingannya sendiri bak anjing ketiga yang membawa lari tulang yang diperebutkan. Spekulasi-spekulasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada malam naas itu pada sejarah Republik yang masih muda ini, tetap beredar. Cerita yang sebenarnya mengenai coup 1965 ini rupanya masih harus ditulis. Selama para pemenang di Jakarta masih berkuasa dan membuat negara ini suatu negara polisional yang fantastis, tak akan ada sedikit pun kemungkinan bahwa kebenaran tentang kejadian tahun 1965 akan disusun, demikian keyakinan para wartawan yang disampaikan kepadaku tahun ini di Jakarta. Voltaire pernah berkata bahwa bila ada dua laporan yang berbeda mengenai suatu peristiwa, banyak kemungkinan kedua laporan itu tidak berdasarkan kenyataan. Presiden Soekarno | |
[pagina 209]
| |
bercerita padaku tahun 1966 bahwa dia telah menerima dua laporan rahasia mengenai coup itu, tetapi tidak satu pun yang ia percayai. Tanggal 3 Oktober 1965, presiden menulis lagi pada Dewi. =========================3/10/'65========= | |
Dear darling Dewi,Dua suratmu sudah saya terima. Saya senang bahwa kamu telah mendengarkan pidato saya, dan terima kasih bahwa kamu telah menghargainya. Pranoto agak lemah, ia adalah anggota staf Markas Besar Angkatan Darat, tetapi dialah satu-satunya orang di MBAD yang bisa berhubungan dengan kiri dan kanan. Saya menunjuk dia sebagai care taker harian untuk manajemen harian Angkatan Darat untuk sementara. Komando Angkatan Darat saya pegang sendiri. Segera setelah keadaan reda kembali, saya akan menunjuk komandan Angkatan Darat yang definitif. Saya belum tahu di mana Yani berada, atau mengapa dia sebenarnya. Segera setelah semuanya aman, saya akan kembali ke Jakarta. Informasi hari ini adalah, ‘belum’. Saya selalu ingat padamu. Kamu tahu betapa cintanya aku padamu.
1000 cium Soekarno | |
[pagina 210]
| |
Aspek yang terpenting dari surat yang ditulis pada hari ketiga coup itu adalah, bahwa Bung Karno tidak mengetahui bahwa Yani telah dibunuh 30 September malam. Aspek kedua yang tampak kembali ialah bahwa Presiden yang tahun 1965 memperingati 40 tahun kepemimpinannya atas revolusi Indonesia, cukup berpengalaman untuk mengetahui bahwa bila terjadi bentrokan antara perwira-perwira yang berhaluan kanan dengan perwira-perwira yang berhaluan kiri, ia membutuhkan komandan angkatan bersenjata yang secara pribadi tidak berhubungan dengan PKI, atau seperti Soeharto telah dengan satu kaki bergabung dengan CIA. Tetapi Soeharto mempunyai rencana lain sama sekali daripada panglima tertingginya Bung Karno. Ketika presiden memanggil Jenderal Pranoto untuk datang ke Halim untuk membicarakan penggantian sementara Jenderal Yani, jenderal itu kebetulan berada di Markas Besar Kostrad, Soeharto, yang segera melarangnya menuruti perintah presiden. Di ‘Den Vaderland Getrouwe’, saya melukiskan perbuatan Soeharto sebagai tindakan yang nyata-nyata suatu pengkhianatan. Jenderal Mursid pernah mengunjungi saya di Amsterdam Utara dan mengatakan, ‘Wim, kamu telah menulis buku yang bagus sekali mengenai Bung Karno bagi kami di Indonesia. Tetapi ingatlah lain kali bahwa Soeharto itu tidak hanya melakukan pengkhianatan tetapi pengkhianatan tinggi.’ Di dalam otobiografinya Soeharto menulis tentang peristiwa ini sebagai berikut, Setelah perundingan yang masak, presiden pergi ke Istana Bogor. Soeharto dipanggil ke sana dan diberitahu oleh presiden bahwa beliau sendiri telah | |
[pagina 211]
| |
mengambil alih pimpinan sehari-hari dan Pranoto ditunjuk sebagai pelaksananya. ‘Saya berdiam dan mampu manahan diri’ tulis Soeharto tahun 1989. ‘Saya ingin melaporkan’ demikian tulis jenderal Soeharto. ‘bahwa saya atas inisiatif sendiri telah mengambil alih pimpinan angkatan darat. Saya mengambil inisiatif ini karena itu yang biasa dilakukan bahwa apabila Jenderal Yani berhalangan, sayalah yang ditunjuk untuk menggantikannya’Ga naar voetnoot4.. Setelah berbicara beberapa lama, Soekarno sekali lagi sampai pada suatu keputusan yang khas Indonesia, yaitu suatu kompromi di mana ia akan mengumumkan lewat pidato radio bahwa Soeharto menjadi orang yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan ketertiban di negara ini, sedangkan Pranoto masih menjadi pelaksana harian seperti yang sebelumnya telah ditetapkan secara tertulis. ‘Pengangkatan Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian tidak saya sukai sama sekali. Saya tidak begitu mempercayainya. Tetapi saya berdiam diri saja,’ demikian tulis Soeharto dalam otobiografinya. Saya tidak mempercayainya. Soeharto hanya dapat menghargai perwira yang pro-Amerika, jadi Pranoto yang tidak terikat pada kiri maupun kanan merupakan buah busuk dalam keranjang, yang sedang sibuk dia isi dengan perwira-perwira pro CIA yang bisa ‘dipakai’. Megawati, putri Soekarno yang paling tua bertanya pada ayahnya pada hari-hari itu, mengapa ia menuruti keinginan | |
[pagina 212]
| |
Soeharto. ‘Ah, dia begitu menginginkannya’ adalah jawaban mengejutkan yang diberikan ayahnya padanya, seperti yang ia ingat kembali tahun 1995 itu. |
|