Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 192]
| |
Amsterdam (1965)Soekarno adalah ahli dalam sepi ing pamrihGa naar voetnoot1.-nya Jawa, yang berarti bahwa pertama-tama dia tidak didorong oleh motif-egonya. Perjuangannya untuk pembebasan Hindia-Belanda, sudah lewat 20 tahun. Namun bagi presiden, Indonesia First, merupakan penggerak kelakuannya yang tetap tidak berubah, walaupun setelah coup tahun 1965 ada tokoh presiden lain yang mungkin karena kepentingan pribadinya mengaburkan pendirian itu demi mempertahankan kedudukannya sebagai kepala negara. Selama masa tahanannya yang cukup lama, di satu pihak, Bapak dibanjiri informasi dan cara berpikir Barat, tetapi di lain pihak dia amat terikat pada elemen-elemen unik kebudayaan dan mitologi Indonesia, mungkin karena rasa takut kehilangan jati diri Jawanya. Dia betul-betul dan benar-benar Indonesia, seperti yang diungkapkan Duta Besar Zain. | |
[pagina 193]
| |
Baginya ilmu itu subjektif dan rahasia. Simbolik dan ilmu diam, di Jawa menstimulir perenungan dan fantasi. Kesatuan kehidupan ini secara esensi dilihat sebagai misterius. Karena satu dan lain sebab selalu harus ada pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, segala sesuatu itu tidak menarik dan tidak menyenangkan bila itu biasa dan jelasGa naar voetnoot2.. Otak Soekarno sebenarnya tempat pertemuan antara yang terbaik dari Barat dan Timur. Hasil dari dunia pikir dan dunia pengalamannya adalah campuran dari Barat yang ia kenal saat menjadi tahanan dan jati dirinya yang secara fundamental murni Jawa. WayangGa naar voetnoot3. dihayatinya sampai sumsum tulangnya. Penulis Jef Last menyaksikannya sendiri. Ia menulis mendapat undangan untuk pertunjukan malam di istana. ‘Saya telah membaca komentar Frans Goedhart yang setengah mengejek terhadap Soekarno’, ‘si pemimpin di istana’, yang sepanjang malam/menyaksikan sandiwara boneka itu. Dari pukul 19:00 sampai pukul 07:00 duduk di kursi yang bersandaran lurus di istana yang temaram gelap, digambarkan Last sebagai suatu siksaan. ‘Selama itu presiden mendengarkan dalam sikap diam absolut, mendengarkan seorang dalangGa naar voetnoot4. Sunda yang tidak saya pahamiGa naar voetnoot5.. Soekarno sampai jiwa yang sedalam-dalamnya kejawen, artinya, ia tertambat secara fundamental dalam mistik dan kebudayaan Indonesia. Genarasi yang lebih muda di se- | |
[pagina 194]
| |
kitarnya, Subandrio, Abdulgani, Malik, Nasution apalagi Soeharto tidak memiliki akar-akar yang kuatGa naar voetnoot6. yang benar-benar mengikatnya pada tanah Jawa. Untuk generasi yang mengganti Soekarno, intensitas dan arti dasar kebudayaan Indonesia, sudah banyak yang hilang. Untuk Ruslan Abdulgani misalnya, wayang merupakan abacadabra (sesuatu yang tidak dimengerti). Dia sendirilah yang pernah mengatakannya kepada saya. Pada pertunjukan wayang, ‘tokoh-tokoh baik’ ditempatkan di sebelah kanan dan ‘tokoh-tokoh jahat’ di sebelah kiri layar. Sudahlah jelas bahwa Presiden Soekarno telah meningkat pada tingkat kepemimpinan, yang tanpa memperdulikan kecenderungan pribadinya, memberikan kesempatan yang sama pada ‘kanan’ dan ‘kiri.’ Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, pada tahun 1960 Jenderal Nasution dan Sekretaris Jenderal PKI DN Aidit mengantarkan presiden ke rapat puncak PBB di New York. Itulah kilasan yang sebenarnya dari cara berpikir Bung Karno. Pada Ruslan Abdulgani faktor-faktor lain yang bekerja. Pada awal tahun 1960-an Bung Karno didekati pemimpin-pemimpin Islam dari negaranya. Mereka mengingatkan bahwa di wayang pun para penjahat ditempatkan di sebelah kiri, sedangkan para pahlawan di sebelah kanan pemain boneka. Justru karena di pertunjukan wayang para pahlawan selalu menang, Pak Ruslan diminta agar perbedaan ini diberitahukan kepada Soekarno dengan cara Jawa yang halus. | |
[pagina 195]
| |
Abdulgani, ‘Bung Karno memerintahkan saya ikut ke Bali untuk kepentingan pendidikanku. Pada hari-hari itu presiden menganggap wayang Bali telah mengalami kemunduran, karena pertunjukan hanya berlangsung tiga jam. Sebenarnya pertunjukan wayang harus berlangsung dari awal malam sampai dini hari. Abdulgani, ‘Presiden telah mengajak dalang kesayangannya dari Yogyakarta ikut terbang ke Bali dengan seperangkat gamelan yang lengkap, para penabuhnya wayangnya. Ia akan menunjukkan kepada para dalang di Bali bagaimana seharusnya mendalang dan telah mengundang seratus dalang pulau itu untuk datang ke Tampaksiring. Untuk mencegah saya meninggalkan pertunjukan, ia menyuruh saya duduk di sebelahnya.’ Untuk ketiga kalinya dalam hidupnya, Ruslan Abdulgani menyaksikan pertunjukan wayang. Presiden sadar betul bahwa jarak antara dia dan mitra kerja terdekatnya tetap akan renggang bila Pak Ruslan tetap ignoramus et ignorabimusGa naar voetnoot7. mengenai apa yang sebenarnya menyentuh pemimpinnya dan atas dasar nilai-nilai Indonesia murni mana kepemimpinannya itu bertumpu. Pada malam di Bali itu Bung Karno juga menjadi super-dalang. Dari waktu ke waktu dia menyuruh ajudannya ke belakang layar untuk menambah instruksi, selain itu presiden rupanya menikmati benar melihat saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali duduk diam dan menonton pertunjukan sampai | |
[pagina 196]
| |
akhir. Setiap kali ia menanyakan apakah saya memahami apa yang saya lihat di layar, saya mengangguk dengan sopan dan menjawab ‘ya’, begitu Abdulgani. Ketika Pak Ruslan menceritakan itu bertahun-tahun kemudian di kamar kerja saya di Amsterdam, saya merasa iba kepada Soekarno. Bertahun-tahun setelah wafatnya, Abdulgani menggambarkan dengan kata-kata sendiri bahwa dia pun termasuk kelompok ‘penjawab-ya’ (yesman) dalam lingkungan terdekat presiden. Malam itu di Bali ketika klimaks pertarungan terakhir antara baik dan jahat mendekati akhir, Abdulgani membisikkan pertanyaan yang dipesan kaum Islam kepada Bung Karno. ‘Mengapa kaum yang jahat ditempatkan di sebelah kiri dan pahlawan-pahlawan yang baik di sebelah kanan dalang?’ Ruslan melanjutkan, ‘Jadi pertunjukan wayang itu saya hubungkan dengan ajaran-ajaran politiknya, tampak jelas bahwa pertanyaan saya itu mengejutkannya. Melihat itu dengan sopan saya memalingkan kepala saya. Sekarang giliran saya menikmati reaksi pertanyaanku.’ Kedua orang itu saling memasang perangkap. Ditinjau dari sudut psikoanalitik perbedaannya mencolok sekali. Presiden menangkap mitra kerjanya yang paling dekat dengan menempatkannya pada tempat di mana ia tidak bisa menghilang. Maksudnya adalah untuk memperkaya otak Abdulgani. Ia berharap bahwa arti yang lebih dalam mengenai wayang akan mendekatkan mereka dengan lebih erat. Sebaliknya, Abdulgani dalam perangkap yang telah dipasang untuknya, mencoba mengingatkan Bung Karno pada | |
[pagina 197]
| |
kecenderungannya yang pro-PKI, jadi lebih mengutamakan anak tiri ketimbang anak kandung. Pak Ruslan mengarah kepada karangan otak yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Tentu saja presiden terheran-heran dan kecewa sekali, saya pikir. ‘Saya menyaksikan pertarungan batin yang terjadi padanya,’ kata dr. Abdulgani. ‘Nasionalis Soekarno yang berkebudayaan Jawa yang sedang bimbang dengan dua Soekarno lainnya, yakni yang Islam modem dan yang marxis’. Menurut saya, yang dipikirkan Bung Karno saat itu adalah, ‘Juga engkau, Brutus?’ Mudah-mudahan generasi yang akan datang tidak akan mengambil kesimpulan yang keliru dari analisis saya mengenai Pak Ruslan, seolah Soekarno memiliki kepribadian ganda. Sebagai dalang super Indonesia ia menganggap tugas utamanya untuk menciptakan ko-eksistensi yang damai antara kaum kiri dan kaum kanan atas dasar ketidakberpihakan yang ketat. Karena sikapnya itu, di mata mereka yang berorientasi kiri keras, ia dianggap bermitra secara rahasia dengan kaum kanan, dan bagi mereka yang berorientasi kanan dan kaum fundamentalis, ia dianggap tidur bersama kaum kiri. Sebenarnya Bung Karno tidur dengan dirinya sendiri di tempat tidur. Presiden pertama Indonesia itu tidak datang dari desaGa naar voetnoot8. seperti penggantinya. Soekarno adalah seorang yang berpendidikan dan banyak membaca yang membacakan pidatonya untuk para mahasiswa di Muenchen dalam bahasa | |
[pagina 198]
| |
Jerman dan pidato untuk Kongres Amerika dalam bahasa Inggris ketika ia membeberkan gagasan-gagasannya mengenai hubungan Indonesia-Amerika. Penggantinya, setelah masa kepemimpinan 27 tahun pada tahun 1995, masih mempergunakan penerjemah. Soekarno, misalnya, membaca dan mencerna karya-karya Gladstone, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Alfred Adler, Kari Marx, Engels dan Lenin, Danton, Rouseau dan Jaures. ‘Sementara itu wartawan tetap menulis bahwa saya adalah budak Moskow’, katanya pada Cindy Adams. ‘Let's get this straight once and for all, I'am not, have never been, and could never be a communist’Ga naar voetnoot9.. Dalam sejarah Indonesia, 1965 tercatat sebagai annus horribilis tahun mengerikan dalam hidupnya Soekarno. Rupanya ia telah mendapatkan tekanan psikologis yang amat berat. Dia tahu betul tentang adanya Dewan JenderalGa naar voetnoot10. yang kali ini benar-benar berniat untuk menghancurkan konsep Nasakom presiden dalam waktu secepat-cepatnya serta membinasakan PKI serta segala sesuatu yang kiri secara radikal. Bila Bung Karno setuju dengan rencana itu, lebih baik, dan oleh para jenderal dan CIA ia diperbolehkan menduduki jabatannya. Bila ia tidak setuju, maka hari-harinya bisa dihitung, sebab ia akan diperlakukan sesuai dengan resep yang telah dibeberkan Ujeng Suwargana, yakni disiksa sampai mati. Itulah realitas yang terjadi tahun 1965. Setelah diadakan di Bandung (1955) dan di Belgrado | |
[pagina 199]
| |
(1961) maka Juni 1965 akan diadakan Konferensi Asia-Afrika III yaitu negara-negara yang tidak terikat (Non Blok). Tetapi sekonyong-konyong terjadi suatu halangan. Ben Belia telah diturunkan oleh Houri Boumidienne seorang kolonel angkatan darat dan dikenakan tahanan rumah dalam sebuah villa dengan kolam renang. Jadi, konferensi Bandung ketiga yang sudah direncanakan itu gagal berlangsung karena ada coup. Presiden Soekarno, Perdana Menteri Chou En-Lai dari Cina dan Gamal Abdel Nasser mengadakan rapat puncak-mini di Cairo sebagai gantinya. Hadir pula mantan Menteri Luar Negeri Pakistan, teman pribadi Bung KarnoGa naar voetnoot11.. Tahun 1966 Bapak menceritakan suatu kejadian yang aneh di ibu kota Mesir itu. Ini untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar sadar akan intrik-intrik CIA terhadapnya dan terhadap Indonesia. Presiden sedang duduk di lobi hotel berbicara sejenak dengan Ali Bhutto, ketika seorang wanita muda Amerika menghampirinya, memperkenalkan diri sebagai Pat Price dan ingin membuat studi tentang Indonesia untuk menyusun sebuah buku. Soekarno, ‘Saya berjanji untuk membantunya’. Ali Bhutto setelah itu mengatakan, ‘Bung Karno, waspadalah!’ dan yang dimaksudkan adalah aktivitas-aktivitas mata-mata seperti yang telah saya gambarkan sebelumnya sekitar Profesor Guy Parker dari Rand Corporation. | |
[pagina 200]
| |
Soekarno, ‘Saya mengatur agar dia bisa datang ke Jakarta. Dia juga mengunjungi saya di istana. Saya menunjuk seorang asisten untuk membantunya. Beberapa bulan kemudian dinas penerangan menyampaikan sebuah laporan kepadaku Pat Price yang genit dan cantik itu rupanya seorang agen CIA. Dia selalu kami bayangi. Namaku selalu dipakainya di mana-mana sebagai introduksi khusus. Dia menikmati bantuan dan keramahanku tetapi sebenarnya seorang mata-mata biasa’. Saya bertanya padanya apakah dia yakin akan hal itu. ‘Wim, dia mengadakan pertemuan-pertemuan malam dengan agen-agen Amerika. Dia bertemu dengan fungsionaris-fungsionaris Kedutaan Amerika di tempat-tempat yang tidak biasa pada waktu-waktu yang tidak biasa pula. Yang mencolok adalah kontak-kontaknya dengan atase militer Amerika. Dia berhasil mamasuki lingkungan-lingkungan tertentu, di antaranya golongan militer kita yang tertinggi’. Dia melanjutkannya tahun 1966, ‘Kamu tahukan, apa yang selalu dilakukan CIA di sini? Presiden Kennedy telah meminta maaf kepadaku mengenai hal itu tahun 1961 di Gedung Putih. Saya percaya padanya. Kedua Kennedy, John dan Bobby, orang-orang jujur. JFK adalah Presiden Amerika pertama yang saya percaya’. |
|