Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 180]
| |
New York (1965)Hari-hari pertama tahun baru itu saya telah kembali ke studio saya di Long Island dari bungalow orang tua saya di Huis ter Heide. Pada salah satu percakapan saya yang pertama dengan Duta Besar Zairin Zain, dia mengemukakan kepadaku secara rahasia bahwa saya dalam episode sekitar Jenderal S. Parman itu sebenarnya lolos dari bahaya. Misi awal para perwira penerangan militer dari Jakarta itu adalah untuk menamatkan riwayat Verrips dan Oltmans. Verrips mengetahui terlalu banyak dan selalu ingin buka mulut kepada siapa saja. Dan Oltmans selalu ingin memuat segala yang ia ketahui dalam koran. Saya mengakui terheran-heran dan belum berpikir tentang hubungan antara matinya Verrips dengan jenderal-jenderal Indonesia yang berhubungan dengan CIA. Memang ada kemungkinan, ‘Profesor’ Verrips mengetahui adanya suatu coup yang akan dilancarkan di Jakarta dengan segala seluk- | |
[pagina 181]
| |
beluknya. Duta Besar bercerita, percakapannya dengan S. Parman di Hotel Hilton menyebabkannya melaporkan ke Jakarta bahwa jenderal tidak menganggap perlu lagi melaksanakan rencana likuidasi tentara Indonesia terhadap saya. Saya malah berpikir, Duta Besar Zain dan mantan Atase Militernya, Sutikno LukitodisastroGa naar voetnoot1. bersama-sama telah mendesak dengan sangat kepada Parman agar setidak-tidaknya menangguhkan eksekusi terhadapku. Saya benar-benar tidak mengetahui persiapan-persiapan coup CIA di Indonesia ini, sekalipun saya bertemu Ujeng Suwargana secara teratur. Februari 1965, saya membaca sebuah reportase Gordian Troeller dalam Der Spiegel yang menulis setelah membuat perjalanan ke Indonesia bahwa akan terjadi perebutan kekuasaan. ‘Dinas rahasia Amerika mencari tokoh-tokoh yang tepat yang nantinya akan mengganti Soekarno. Perundingan dilakukan dengan gencar, baik di Tokyo, Hongkong maupun Jakarta. Banyak uang yang akan disediakan bagi para perwira, tetapi juga bermiliar-miliar untuk perlengkapan dan pengembangan Angkatan Bersenjata Indonesia. Demikianlah argumen-argumen yang diajukan kepada kaum pemuja pangkat dan kedudukan.’ Troeller memperkirakan coup itu akan segera terjadi. Sungguh menarik perbandingan yang diajukan wartawan Jerman Barat itu yang menyamakannya dengan perebutan kekuasaan melawan Syah Iran tahun 1953 yang dilakukan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh. Syah melarikan | |
[pagina 182]
| |
diri ke Roma dan melalui coup militer yang dilakukan CIA dikembalikan lagi ke tahta meraknya. Mayor Jenderal Fazlollah Zahedi yang telah ditunjuk oleh Reza Pahlevi sebagai Perdana Menteri, membentuk pemerintahan baru. Washington untuk sementara bermitra dengan Iran - dan pasokan minyak ke Barat - terselamatkan. Saudara kembar Syah yang cantik jelita, putri Aschraf, telah mamainkan peran yang menentukan lewat pertemuan-pertemuan rahasia dengan Allan Dulles dari CIA di Swiss dan Riviera-Perancis. Wartawan Troeller saat itu menulis dalam Der Stern, tahun 1965 di Jakarta ada pula seorang wanita cantik jelita yang menjadi pusat perhatian. Tetapi disana keadaannya lain. Dewi Soekarno yang orang Jepang itu tidak berhubungan dengan CIA, tetapi justru dibayang-bayangi dengan seksama oleh dinas rahasia Amerika itu. Sementara sekelompok jenderal Indonesia di Amerika Serikat berburu kekuasaan dan dolar, Presiden Soekarno justru mengirim Dewi ke Perancis dan Jepang untuk melancarkan serangan balik diplomatik. Tuduhan-tuduhan yang selalu ditujukan kepada Soekarno oleh musuh-musuhnya di dalam dan di luar negeri adalah bahwa dia cenderung bersimpati pada PKI daripada partainya sendiri PNI. Nikita Krushchev pernah berkata, ‘Saya akan tetap menjadi komunis sampai udang bisa bersiul.’ Saya yakin betul bahwa Bung Karno sampai saat meninggalnya tahun 1970 masih tetap seorang Pancasilais dan nasionalis, dan bahwa semua tuduhan bahwa ia telah menjadi komunis, merupakan fitnah yang paling keji. Dalam otobiografinya yang terbit tahun 1965, Bung Karno | |
[pagina 183]
| |
berulang kali mengungkap persoalan itu dengan penuh keheranan. ‘Pada dasarnya aku ini seorang yang ramah,’ katanya kepada Cindy Adams, penulis biografinya. ‘Saya menyukai orang Timur dan orang Barat, malah Tunku Abdul Rahman dan orang-rang Inggris sekalipun. Saya juga menyukai orang-orang yang membenciku. Saya bukan pendendam, juga tidak terhadap mereka yang memfitnah saya. Bila mereka masih mau bersahabat dengan saya, saya bersedia.’Ga naar voetnoot2. Ia menambahkan, ‘Saya pernah dengar bahwa Charles de Gaulle tidak menyukai saya. Namun saya bertemu dengannya di Wina. Setelah pertemuan itu kami saling cocok’. Situasi Jakarta sukar saya amati dari New York. Orang-orang Amerika yang lebih berpengalaman pasti membela Bung Karno. Dalam buku To Move a NationGa naar voetnoot3. ia ingat saat seorang dari televisi Amerika mewawancarai wakil menteri untuk Far Easter Affairs, Averall Harriman, dan wartawan itu menyebut Soekarno sebagai ‘seorang komunis’. Dengan sengit Harriman menegurnya: ‘Ta bukan seorang komunis, dia seorang nasionalis!’. Selama tiga puluh tahun saya tinggal di Amerika Serikat dan sebagian besar waktu saya dipergunakan untuk mengikuti kejadian-kejadian di markas besar PBB, menjadi jelaslah bagi saya bahwa dalam banyak kejadian bukan departemen luar negeri yang menanganinya, tetapi CIA. Pada waktu Adlai | |
[pagina 184]
| |
Stevenson menjadi Dubes di PBB untuk JFK, dan CIA mengadakan pendaratan rahasia di Teluk Babi di Kuba, saya mendengar Stevenson menyangkal bahwa Amerika Serikat terlibat dalam invasi di Kuba itu. Duta Besar JFK sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia berbohong demi kesetiaannya. Begitu pula ketika terjadi krisis di Kongo-Belgia, Menteri Luar Negeri masa JFK, Dean Rusk, menyangkal dengan gigih bahwa pilot-pilot CIA terlibat di dalamnya. Rusk sendiri ketika itu sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan CIA di Afrika. Baru akhir-akhir ini saja Profesor George McTuman Kahin dan istrinya mempublikasikan suatu studi yang rinci mengenai keterlibatan CIA pada pemberontakan Sumatra tahun 1958 terhadap Soekarno, di mana secara lengkap dia mendokumentasikannya dalam suatu kerangka CIA. Suatu ketika kelak akan terungkap pula studi mengenai apa yang sebenarnya terjadi tahun 1965 di Jakarta. Selama bertahun-tahun di New York saya selalu jengkel membaca hal-hal yang tak benar dan sindiran serta hujatan palsu terhadap Soekarno yang disuguhkan media Amerika. Robert Ruark misalnya pernah menulis, ‘Orang kecil yang licik ini, mencapai kekuasaan dengan cara licik pula, yang diterima penuh upacara kehormatan di Gedung Putih, seperti yang selalu kita lakukan bagi sopir busGa naar voetnoot4. yang mendapat kekuasaan dalam suatu dorongan yang tak masuk akal, yang disebut hak untuk menentukan sendiri’. Duta Besar Zain pernah sangat marah kepada para | |
[pagina 185]
| |
wartawan di Washington dan diplomat kita sendiri, Huydecoper tentu tidak akan setuju, ketika Duta Besar Zain berkata, ‘Kalian bisa berlainan pendapat dengan kami, tetapi kalian tidak punya hak untuk menghujat kepala negara kami dan menghinanya dengan hal-hal yang tak benar’. Bung Karno tahun 1956 pernah mengadukan hal ini kepada penulis Louis Fisher. Lagi-lagi dimuat berita yang menghujat Presiden Indonesia di TIME. ‘Saya tak akan memberi komentar, kata Bapak,’ tetapi katakan kepadaku Louis, mengapa mereka menggambarkan saya sebagai monster?’Ga naar voetnoot5. Saya mengenal Louis Fisher dengan sangat baik. Dia juga telah berusaha tinggal bersama Bung Karno selama beberapa bulan. Pendapat kami mengenai Bung Karno sama. Politisi Amerika kadang-kadang malah lebih kejam dibandingkan wartawan Amerika. Senator Wayne Morse dari Oregon misalnya, yang saya kenal baik dan pernah berhubungan mengenai perkembangan-perkembangan di KubaGa naar voetnoot6., pernah secara gampang menggambarkan Soekarno sebagai ‘seekor bunglon politik’. Saya membicarakan hal ini dengan Senator itu dan terbukti bahwa dia tak tahu apa pun mengenai Soekarno atau Indonesia. Saya cenderung menambahkan: seperti juga Lubbers, Kooijmans, Kok dan van Mierlo tahun 1994-1995 ketika mereka berpendapat bahwa saatnya telah tiba untuk Ratu Beatrix berkunjung ke Indone- | |
[pagina 186]
| |
sia pada tanggal yang keliru. Mengenai hal ini lain kali lebih banyak. Tokoh Republiken William Broomfield, pada tahun enam-puluhan di Kongres Amerika lebih banyak berbicara mengenai Soekarno dan menggambarkannya sebagai ‘seorang despoot, orang yang gila kekuasaan, seorang Adolf Hitler dan penjahat muda internasional’. Perhatikan, ucapan itu dilontarkannya di depan komisi luar negeri Kongres Amerika. Senator Peter Dominick yang Republiken melaporkan Bung Karno sebagai seorang ‘bandit.’ Untuk menyelesaikan kalimat Senator Wayne Morse, ‘Soekarno adalah seorang koruptor, yang sudi tidur bersama orang-orang komunis, bila dolar Amerika tak dapat mencegahnya melakukan itu’. Teks-teks seperti itulah yang kadang dilihat Presiden Indonesia. Dia paham bagaimana cara kerja ‘sistem demokrasi.’ Dia juga paham sekali bagaimana cara ‘pers bebas’ bekerja, tetapi dia bisa benar-benar marah mendengar ucapan-ucapan yang justru datang dari orang yang seolah berkuasa di Washington. Saya ingat misalnya reaksinya ketika Juni 1956 saya bersamanya duduk dalam kereta api kepresidenan dalam perjalanan dari Milan ke Turin di Italia, ketika tersiar berita terjadinya suatu skandal internasional mengenai paranormal Greet Hofmans yang mempermalukan Ratu Yuliana dan Keluarga Kerajaan. Soekarno dan Menteri Luar Negeri dr. Ruslan Abdulgani memutuskan, di dalam kereta api juga, untuk mengirimkan instruksi ke Jakarta, untuk membujuk pers Indonesia dengan ramah agar menangani keributan sekitar | |
[pagina 187]
| |
keluarga kerajaan Belanda sesopan mungkin, atau tidak memberitakannya sama sekali. Isi dari suasana-anti-Soekarno (di tingkat) internasional menurut propaganda Barat adalah, bahwa ia telah tidur bersama PKI. Seperti biasa TIME memeloporinya. Opini umum harus dipersiapkan bahwa kaum komunis sedang berusaha merebut Indonesia dengan dukungan penuh dari Bung Karno. Tahun 1976 mingguan tersebut juga menyediakan diri untuk memberitakan bahwa Beatrix itu kiri dan Claus seorang ‘sersan merah.’ Saya diberitakan juga sebagai seorang jurnalis yang bersama KGB berusaha menghancurkan keluarga kerajaan.Ga naar voetnoot7. TIME disusul oleh De Telegraaf, menganggap tidak ada untungnya untuk menjelek-jelekkan keluarga kerajaan Belanda, maka lalu Soekarno-lah yang dijadikan bulan-bulanan sebagai folkwar leader/ pemimpin perang bangsanya dari suatu negara berkembang yang nun jauh di sana dan penduduknya sebagian besar berkulit sawo matang. Profesor Noam Chomsky dari Massachusetss Institute of Technology menulis dalam Knowledge and Freedom.Ga naar voetnoot8. Dalam buku itu ia membahas, apa yang dia sebut ‘sikap memalukan klub negara-negara kaya terhadap pemimpin-pemimpin negara berkembang, seperti Indonesia pada tahun 1965’. Tanggal 15 Juli 1965, TIME menulis bahwa sepuluh minggu sebelum coup yang dilancarkan Soeharto, berkat bantuan Bung Karno PKI beranggotakan tiga juta orang, | |
[pagina 188]
| |
sedangkan masih ada 14 juta buruh dan organisasi pemuda merah yang mendukungnya. Empat tahun kemudian, tahun 1969, jadi setelah terjadinya banjir darah massal yang dilancarkan Soeharto terhadap pengikut-pengikut Soekarno dan para komunis, 13 Juni TIME mempublikasikan pandangan umum mengenai ‘bahaya merah’ di dunia. Menurutnya di planit ini ada 45.200.000 komunis yang terbagi dalam 88 partai. Menurut TIME pula, pengikut komunis di Indonesia sudah merosot dari 17 juta sampai 5000. Dalam 5000 yang tersisa itu termasuk tokoh-tokoh partai yang dulu. Saya kemudian menulis surat kepada redaksi TIME untuk menanyakan apa yang terjadi dengan 16.950.000 PKI Indonesia yang hilang itu. Tanggal 27 Agustus 1969 redaksi TIME mengirimkan jawabannya, ‘Pembaca TIME mendapat informasi lengkap tentang pembantaian ratusan ribu orang yang komunis atau yang dianggap komunis. Sebagai majalah berita, kolom kami terbatas untuk... dan sebagainya.’ Rupanya, Soeharto sebagai penyebab banjir darah itu tidak disebut. Dialah rupanya jenderal Indonesia -pilihan CIA- dan Washington, untuk menghabiskan kaum kiri di Indonesia. Tidak hanya di Amerika dan dunia, Soekarno melawan gambaran palsu yang sengaja dilancarkan terhadapnya bahwa dia telah menjadi komunis. Di Indonesia pun lambat-laun makin banyak orang yang merasakan ketakutan Barat pada PKI. Di lingkungan resminya yang terdekat pun ia sering tidak dipahami. Bung Karno adalah seorang pemimpin yang ingin memberikan perhatian dan hak yang sama pada semua kelompok politik di Indonesia, tanpa menghiraukan | |
[pagina 189]
| |
kecenderungan pribadi. Sikap itu dianggap sebagai pendirian kurang murni terhadap dasar-dasar demokrasi, oleh kebanyakan orang. Dalam hubungan ini Ruslan Abdulgani pernah bercerita padaku yang berikut ini. Bertahun-tahun dia berada di lingkungan Bapak. Dia adalah salah satu penasihat utamanya. Antara lain dia adalah Ketua Dewan NasionalGa naar voetnoot9. yang demi dasar-dasar ‘demokrasi terpimpin’, harus mengindonesiakan demokrasi parlementer. Abdulgani menamakan presidennya un pere terrible. Mengapa? Saya akan beri contoh. Suatu ketika di istana, Soekarno mengobrol dengan Wilopo (PNI), Idham Chalid (Nahdatul Ulama), Arudji (PSSI) dan Pak Ruslan sendiri. Wilopo, dan PNI Soekarno mengajukan perubahan-perubahan dalam pembentukan front-bersama politik nasional yang akan merugikan PKI. Bung Karno menebak isi hati Wilopo dan melemparkan senyum padanya. ‘Saya mengenal kamu’, kata presiden. ‘Kamu akan menambah kursi untuk PNI 'kan? Kamu seperti Ruslan yang juga berpendapat bahwa semua yang saya lakukan menguntungkan PKI dan merugikan PNI. Kemudian Bapak berpaling pada Sakirman (PKI). ‘Tuan-tuan ini’, kata Bung Karno, ‘berpendapat bahwa karena PKI adalah anak pungutku, partai ini lebih saya sayangi dibandingkan anakku sendiri, PNI’. Ruslan menceritakan hal itu bertahun-tahun kemudian di rumah -drive-in ku di Amsterdam Utara. Celakanya, dia sama sekali tidak menangkap inti ucapan Presiden Soekarno. Sebab | |
[pagina 190]
| |
apa tindakan dan komentar dr. Abdulgani? ‘Kamu bisa bayangkan rasa malu kami, Wim. Mengapa ucapannya melawan PNI disampaikan di hadapan pemimpin politik lainnya? Terutama di hadapan PKI’. Bung Karno telah mempergunakan ungkapan kata yang gemilang untuk memperbaiki rasa cintanya pada PNI-nya, dan mitra kerjanya yang terdekat telah menginterpretasikannya sebagai ungkapan rasa sayang kepada PKI. Apa yang sebenarnya hendak diungkapkan presiden pada tokoh-tokoh partai tadi adalah, ‘Saya bersikap jujur. Saya berada di Istana Merdeka ini untuk semua warga Indonesia, juga untuk PKI. Saya ingin bertindak adil. Saya di sini tidak untuk memanjakan anakku sendiri atau anak-tiriku.’ Dalam pandangan kilas-balik tentang presiden pertama Indonesia itu, yang terutama hendak saya tandaskan adalah bahwa tragis kepemimpinannya ditandai oleh fakta bahwa ia memiliki kemampuan rohani yang jauh melebihi orang-orang yang bekerja sama dengannya. Jangan lagi bicara mengenai sersan-sersan yang berhasil mengangkat dirinya menjadi jenderal. Lebih dari sebelas tahun ditahan dan diasingkan pada tahun-tahun akhir kolonialisme memberinya kesempatan untuk membaca, membaca dan membaca lagi dan ada waktu untuk mencerna pengetahuan yang diperolehnya dengan penuh ketenangan. Dia mampu mengangkat otaknya ke tingkat intelektual yang tinggi dan latihan internasional yang belum dikenal Indonesia sebenarnya. Dengan latar belakang seperti itu banyak teman senegaranya tidak dapat mengikutinya. Ketika kegembiraan kebebasan dari | |
[pagina 191]
| |
kolonialisme dan imperialisme telah mereda, orang-orang Indonesia secara keseluruhan tidak berbeda dari negara-negara Afro-Asia yang baru lahir lainnya, tarik tambang untuk memperoleh keuntungan dan kekuasaan pribadi mulai dari awal lagi. Indonesia sudah matang untuk mengalami coup. |
|