Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 168]
| |
New York (1964)New York mempunyai daya tarik yang amat disukai orang-orang Indonesia. Banyak mahasiswa yang tinggal di sana, beberapa di antaranya tinggal bersamaku untuk waktu yang lama. Dengan cara begitulah saya mengenal penyair Rendra. Teman-teman dari Jakarta juga sering mampirGa naar voetnoot1.. Wakil Nasution, Ujeng Suwargana menjadi tamu yang sering datang. Dalam suatu pertemuan yang tak sengaja di toko ‘Macy's’, terbukti bahwa dia juga memiliki laporan ‘Profesor’ Verrips. Bagaimana tidak? Kedua orang itu berorientasi CIA. Pada kesempatan lain saya melihat dia di kantor atase militer di kedutaan di Washington, sedang sibuk bekerja di belakang mesin ketik. Pada waktu itu atase militernya adalah Jenderal Surjo Sularso. Pak Ujeng mempergunakan fasilitas pemerintah Soekarno untuk bersama dengan CIA melawan penguasa yang resmi di Jakarta. Aku | |
[pagina 169]
| |
malah dua kali makan malam dengan orang tersebut di ‘Finale’. Pada waktu itu ia mengatakan sesuatu yang antara 1967 dan wafatnya Soekarno pada 20 Juni 1967, benar-benar terjadi. Ujeng berkata, ‘Kami akan mengisolasi Soekarno dan membiarkannya mati seperti sekuntum bunga yang tidak diberi air’. Dan memang perlakuan-perlakuan itulah yang dilaksanakan rezim Soeharto kepada Soekarno. Sementara itu, seorang kawan lama, Kolonel Sutikno Lukitodisastro dipindahkan ke biro atase militer di WashingtonGa naar voetnoot2.. Tanggal 18 Oktober 1964, dia meneleponku di Long Island dan memberitahukan bahwa ada seorang jenderal dari Jakarta yang menginap di kamar 1040 Hotel Hilton New York di Sixth Avenue dan ingin berbicara dengan saya. Dia bekerja untuk dinas penerangan militer dan kabarnya menjadi orang kepercayaan Bung Karno. Saya justru ingin mengetahui bagaimana perkembangan di Jakarta, karena Presiden berpegang teguh pada nasionalis, religius dan komunis dalam suatu negara, yang saya ketahui bahwa justru karena itu makin banyak orang Indonesia meninggalkannya dan mempertanyakan kepemimpinan Soekarno. Saya diterima oleh seorang bapak yang ramah dengan pakaian yang sesuai ukuran badannya, yang ternyata adalah Jenderal S. Parman. Dia bercerita bahwa ia harus memberi laporan 3 kali seminggu secara pribadi kepada presiden. Tidak ada satu alasan pun untuk mencemaskan kesehatan dan kepribadiannya. ‘Dia dalam keadaan yang sangat baik’ cerita | |
[pagina 170]
| |
Parman. ‘Saya mengenal Bapak sudah sejak saya baru berusia 16 tahun. Setelah peristiwa Oktober dalam tentaraGa naar voetnoot3., mula-mula Kolonel Lubis adalah pilihannya. Tetapi setelah Lubis kemudian melangkah ke jalan yang salah, yakni dengan melibatkan diri dengan pemberontakan (CIA) di Padang pada tahun 1958, hubungan antara Bapak dan saya baik kembali. Sebelum itu saya sama sekali tidak dikenal atau ditegur oleh Bapak. Dia membiarkan dua kubu itu saling berkelahi. Pada pertikaian untuk menang seperti itu ia tidak akan memberikan dukungan kepada kedua belah pihak. Ia tinggal memilih pemenangnya’ Jenderal Parman melanjutkan, ‘Bung menyuruh tiap orang berpikir seolah “dia adalah pangeran pewaris tahtanya”. Dia amat ahli dalam mengumpulkan bakat di sekitarnya. Kadang-kadang Subandrio sampai tercengang, bila dalam rapat presiden memberikan pendapatnya’. Dia (Parman) menandaskan bahwa ia termasuk penasihat dekat Jenderal Yani. Sambil mendengarkan percakapannya saya mencoba menemukan latar belakang yang sebenarnya di antara kata-katanya. Kolonel Sutikno pernah meyakinkan saya bahwa dia (Parman) juga mengenal Verrips. Dialah perwira Indonesia yang menangkap orang CIA itu ketika tertangkap basah membongkar Javasche Bank tahun 1950 di Surabaya dan karenanya dipenjara selama beberapa tahun di Indonesia. Saya benar-benar heran mengetahui bahwa ternyata Jenderal Parman | |
[pagina 171]
| |
merupakan teman pribadi Yerrips. Orang itu memang mengatakan kepada saya mengenai kontrak-kontraknya dengan Jenderal Nasution dan Yani serta Kolonel Panjaitan di Bonn, dan sekarang sekali lagi terbukti kebenaran informasi-informasi Verrips. Pembicaraan mengenai Verrips rupanya membuat dia emosional. Pertama dia berdiri dan kemudian berjalan mondar-mandir. ‘Jadi, Anda bersahabat dengan Verrips seperti yang dia katakan!’ tanyaku. ‘Memang saya mengenalnya sudah bertahun-tahun. Juga sejak dia berada di Indonesia. Dan dia orang hebat! Ketika terjadi krisis Irian Barat, ia berhasil mengantarkan beberapa politisi Belanda ke Belgia secara amat rahasia’, jawabnya. ‘Tahukan Anda bahwa Verrips mempunyai hubungan dengan Suurhoff dan Goedhart dari Partai v.d. Arbeid,’ ‘Tentu, saja, mereka berada di antaranya!’ Jenderal Parman menanyakan di mana dia bisa berhubungan dengan ‘Profesor’ Verrips, karena dia mau bepergian lewat Nederland. Saya angkat telepon dalam kamar hotel itu dan berhasil melokalisirnya. Dia sedang berkunjung ke Reindert Zwolsman di Wassenaar. Parman dan Verrips kemudian berbicara seperti teman lama dan membuat janji untuk bertemu minggu berikutnya di BelandaGa naar voetnoot4.. Dalam buku Tegels Lichten, Henk Hofland menggambarkan Verrips sebagai seorang tokoh dunia hitam yang selalu menceritakan fabel-fabel, selalu menyangkal dirinya sendiri | |
[pagina 172]
| |
dan kata-katanya tak pernah dapat dipahami dan yang selalu dibicarakan oleh Frans Goedhait dan saya dengan ‘rasa sayang yang romantis’. Fenomena Verrips ini digambarkan oleh Hofland dengan terlalu ringan dan mudah. Saya mengenalnya sudah sangat lama dan mengetahui benar bahwa ia terlalu malas untuk menyelidiki sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sebagian besar masa kerja jurnalistiknya dihabiskan di sekitar Nieuwezijds. Dalam Tegels Lichten, Hofland menggambarkan Ujeng Suwargana sebagai ‘seorang yang ramah, banyak tersenyum, seorang pendengar yang baik serta menguasai bahasa Belanda dengan sangat baik’. Tujuh tahun setelah coup-CIA di Indonesia, Hofland mempublikasikan bukunya itu, rupanya tanpa pernah menyadari bahwa Pak Ujeng yang ramah itu adalah pengkhianat nomor satu, yang menjadi kurir Jenderal Nasution pada CIA di Washington. Hofland sama sekali tidak menyebut-nyebut CIA dalam hubungannya dengan Indonesia, Soekarno, Nasution dan kelompok Rijkens dan apa yang diperdebatkannya dengan saya sama sekali tidak disinggung. Hal ini dapat disamakan seperti coup di Chili tahun 1973 terhadap Presiden Salvador Allende Gossens yang menggambarkan seolah CIA, Richard Nixon dan Henry Kissinger sama sekali tidak tahu-menahu mengenai hal itu. Sementara itu pada waktu memberikan ceramah-ceramah di universitas-universitas di sini, saya mendapat kesan bahwa para dosen amat menganjurkan dibacanya yang saya terbitkan setahun setelah terbitnya Tegels Lichten, tidak dikenal sama sekali. Hofland dan saya bersama-sama mulai bekerja pada koran | |
[pagina 173]
| |
yang sama, yakni tahun 1953. Dia tidak menarik kartu merahnya Luns dan Dinas Penerangan. Saya melakukannya. Bagaimana bisa terjadi? Sore itu di Hotel Hilton di New York saya bertanya kepada Jenderal Parman, apakah dr. Subandrio masih berhasil menghalangi Presiden Soekarno memperoleh penerangan dan berita-berita penting, karena rupanya ia makin lama makin ‘dilindungi’ pada tahun-tahun terakhir ini. ‘Bapak setiap minggu bertemu dengan kepala-kepala staf’, jawab Jenderal Parman. ‘Saya berusaha supaya tidak terjadi hal-hal yang Anda sugestikan’. Nama Duta Besar Sukardjo Wirjopranoto disebut-sebut, yang sementara itu sekonyong-konyong meninggal karena serangan jantung. ‘Tahukah Anda bagaimana terjadinya itu?’ tanya Pak Jenderal. ‘Anda tentu kenal Ibu Supeni, Duta Besar Keliling yang ditunjuk Bung Karno? Dia ditugaskan ke PBB yang sebenarnya merupakan ‘daerah’Ga naar voetnoot5. Pak Kardjo. Dalam hal seperti ini, kami orang Indonesia, sangat formal. Semua partai berpendapat yang sama.’ ‘Terjadilah perselisihan paham antara duta besar dan duta besar yang berkunjung mengenai soal protokoler yang sederhana,’ kata Jenderal Parman selanjutnya, ‘Ibu Supeni menyusun sebuah telegram yang ditujukan kepada Presiden Soekarno, untuk melaporkan perlakuan Pak Kardjo. Tetapi seorang perwira-sandi yang loyal terhadap Sukardjo dan ditempatkan secara permanen pada delegasi Indonesia di PBB, meletakkan pesan itu di meja | |
[pagina 174]
| |
kerja duta besar untuk disetujui. Pulang makan siang Pak Kardjo menemukan telegram-sandi yang ditujukan kepada presiden itu, yang membuatnya demikian marah, sehingga ia meninggal mendadak. Maka tidak ada pilihan lain lagi bagi Bung Karno kecuali memilih Ibu Supeni’. Jenderal Parman rupanya menyampaikan argumentasi dari laporan CIA kepada Verrips dan Ujeng Suwargana dengan menekankan bahwa dr. Subandrio ‘memberi pengaruh yang merusak pada Presiden Soekarno’. Jenderal melanjutkan, ‘Saya akan ceritakan kepada Anda, bagaimana Bandrio ini melaksanakan intrik-intrik istananya. Anda tentu masih ingat konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi pada tahun 1963 itu. Untuk mencegah keadaan menjadi lebih memburuk Duta Besar Malaysia untuk Indonesia berhasil membujuk Tunku Abdul Rahman mendesak raja Malaka untuk menulis surat pribadi kepada Bung Karno dan untuk mengundangnya mengunjungi Malaysia dalam suatu kunjungan negara. Dengan perasaan lega dan gembira duta besar kembali ke Jakarta. Merasa amat gembira dengan hasil yang diperolehnya, duta besar ini langsung ke istana untuk menyampaikan undangan resmi raja kepada sekretariat presiden. Anda pasti mengenal orang itu, yaitu Djamin. Tetapi secara protokoler duta besar tadi telah membuat kesalahan. Surat tadi seharusnya disampaikan kepada presiden lewat Menteri Luar Negeri. Ditambah lagi Subandrio telah menempatkan mata-matanya di mana-mana. Surat dari raja Malaka itu segera digelapkannya sebelum dapat disampaikan kepada Presiden. Akibatnya, Bapak tidak pernah tahu | |
[pagina 175]
| |
tentang undangan resmi dari kepala negara Malaysia itu’. Dia melanjutkan, ‘Anda tentu mengetahui bagaimana Bapak menyukai dan mementingkan hal-hal protokoler seperti pertukaran resmi seperti ini, juga karena Bapak ingin memperkenalkan negara kita kepada dunia luar. Saat itu hal tersebut belum terlambat untuk dilakukan. Bila Presiden saat itu jadi pergi ke Kuala Lumpur, kita tidak bakal mengenal kampanye ‘Ganyang Malaysia’Ga naar voetnoot6.. Saya bertanya kepada Jenderal apakah Bung Karno pernah mengetahui tentang intrik-intrik yang dilakukan Subandrio seperti yang telah digambarkan ini. ‘Ya, tetapi Anda juga harus tahu bagaimana Presiden mengetahuinya!’ lanjut Jenderal Parman. ‘Ibu Supeni, duta besar keliling mengetahui benar tentang adanya surat undangan Raja kepada Bapak tersebut, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa pada presiden. Tak seorang pun berani mengadukan Subandrio kepada Bung Karno. Sementara itu Duta Besar Malaysia mulai mengadakan tekanan, sebab dia juga harus bertanggung jawab terhadap rajanya. Baru setelah Ibu Supeni berbeda pendapat dan berselisih dengan dr. Subandrio, Ibu Supeni memberitahukan kepada Bung Karno tentang adanya undangan resmi raja kepada presiden. Tetapi saat itu tentunya sudah terlambat’. Beberapa hari setelah percakapan saya dengan Jenderal Parman saya ditelepon Werner Verrips dari Belanda. ‘Mengapa kamu menghubungkan aku dengan Parman?’, katanya | |
[pagina 176]
| |
dengan marah. ‘Sebabnya sederhana sekali. Bukankah kalian berdua berteman?’, jawabku. ‘Terus terang sajalah! Apa yang kau sembunyikan dariku? Aku di sini diancam’, teriaknya dari seberang sana. Buat saya ini agak keterlaluan, sebab sejak saya mengenal orang ini, dia selalu mengancam dan menakuti saya, misalnya dengan mengatakan bahwa saya akan dihilangkan dari jalanan oleh sebuah truk barang bila saya masih tetap mengganggu kelompok Rijkers. Rupanya sekarang sebaliknya yang terjadi. Agak sukar bagi saya di Long Island untuk membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Sementara itu, ia menelepon Hofland dengan berita bahwa ‘ada orang-orang yang ingin membunuhnya’. Menurut Hofland,Verrips hari-hari itu mengalami kesukaran finansial yang cukup parahGa naar voetnoot7.. Pengadilan sedang mencarinya, sebab sang ‘profesor’ telah berselisih berat dengan para tokoh sekitar Paul Rijkers yang juga tidak menepati janji-janji pemberian uang kepadanya. Dia juga telah mengancam Pak Kelinci, yang pada gilirannya telah melaporkannya kepada Pengadilan Tinggi di UtrechtGa naar voetnoot8.. Hofland menggambarkan seolah-olah Verrips sudah berada pada akhir riwayatnya. Dugaan itu ternyata benar. Tanggal 4 Desember 1964, pagi sekali ia telah pergi dari bungalownya di Huis ter Heide menuju Amsterdam dalam | |
[pagina 177]
| |
mobil mercedesnya. Kepada istrinya ia mengatakan bahwa ia akan datang tepat waktu untuk merayakan pesta St. Nicolaas bersamanya dan anak-anak. Pada pukul 14:15 seorang polisi memberitahukannya bahwa Web Verrips mendapatkan kecelakaan fatal dengan mobil sport SL 180-nya di suatu viaduk. Beralasanlah bila Hofland mengeluhkan bahwa Rijkers dalam kenang-kenangannya sama sekali tidak menyinggung keterlibatannya dengan Werner VerripsGa naar voetnoot9.. Saya, sebagai seseorang yang telah lama dan secara luas dan mendalam berhubungan dengan orang-orang di sekitar Rijkers, tidak merasa heran. Saya mengenal pengikut-pengikutnya sebagai manusia-masnusia yang tidak memiliki keberanian murni dalam kelakuannya, terkecuali Koos Scholtens (Shell) dan Van Konijnenburg (KLM). Kelompok Rijkers mempunyai sifat Belanda asli yang selalu ingin duduk di baris terdepan dengan uang sesedikit mungkin. Verrips mengancam kelompok itu dengan alasan tersebut. Saya membungkam, tetapi mempunyai pendapatku sendiri. Filsuf Kant berpendapat bahwa kebanyakan manusia tidak dipahat dari kayu yang baik; tidak berperangai baik. Van Konijnenburg sajalah yang rupanya dipahat dari kayu jatiGa naar voetnoot10., tetapi dia lupa untuk mengusahakan agar arsip Soekarno-Irian Barat yang mempunyai nilai historis yang amat berharga itu tersimpan dengan baik. Ahli-ahli warisnya telah memusnahkannya. Rupanya sepak terjang Pak Kelinci juga tidak sepenuhnya baikGa naar voetnoot11.. | |
[pagina 178]
| |
Paul Rijkens dalam kenang-kenangannya menyebut saya sebagai ‘sumber keruh yang tak dapat dianggap serius’. Dia bersembunyi di belakang teman sejawatnya Mr.G.B.J. Hilterman, orang yang selama seminggu menunggu telepon dengan sia-sia dalam sebuah kamar hotel di Roma, yang akan mengizinkannya menemui kepala negara Indonesia. Rijkens menyuruh Hilterman mengatakan, bahwa saya sebagai perantara dalam ‘kasus Irian Barat’ sama sekali tidak berperan apa pun. Jadi Hilterman juga tidak mengetahui bagaimana duduk perkara kunjungan Pangeran Bernhard kepada JFK tahun 1961. Maka Paul Rijkers hendak membalas dendam kepada Hiltermann dkk. lewat tulisan-tulisan yang tanpa dasar kebenaran dan tanpa kendali: itu pun dalam kenang-kenangannya yang resmi, karena saya acapkali membuka kedoknya sebagai seorang yang tidak memiliki kejujuran, keberanian dan kekuatan. Orang sebetulnya jangan menyuguhkan suatu kenang-kenangan, daripada membebani ahli warisnya dengan kebenaran-kebenaran yang masih diragukan. Paul Rijkers menyuguhkan sesuatu yang gagal yang kemudian hancur berkeping-keping. Kedelapan ratus buku harian saya dari 1940 sampai 1980 tanpa disensor telah tersimpan dengan baik di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag. Dengan mudah Luns menyuruh melenyapkan sejumlah peti yang berisi dokumen yang tak dapat dirinci, ketika akhirnya ia dipecat sepuluh tahun kemudian. Lagi pula ia bercerita kepada Michiel van der Pias bahwa ia telah membakar juga secepatnya sejumlah dokumen yang | |
[pagina 179]
| |
diperlukan. Rijkers sebetulnya tidak perlu buka mulut sama sekali. Mereka semua ‘tuan-tuan dari Den Haag’ yang berperangai dan bertingkah laku sama. |
|