Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 148]
| |
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1961)Tanggal 26 September 1961 Luns membacakan pidato dua belas halaman di Sidang Umum PBB, delapan halaman berkaitan dengan masalah Irian Barat. Inti ceritanya ialah ia bermaksud hendak menitipkan masalah itu selanjutnya di tangan PBB. Enam belas tahun sejak diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, politik Den Haag masih selalu merasa ‘tertusuk duri ikan di kerongkongan’ dan tidak mampu mengatakan ‘sorry’ kepada Soekarno. Anda menang. Mereka masih selalu mencari cara yang tidak jujur, jalan elak untuk menghindar dari keharusan mengakui kekalahan mereka. Memang pada hakikatnya kita adalah jenis manusia angkuh dari Uber Germanen, merasa dirinya unggul sebagai orang Eropa dan boleh membenci yang lebih rendah, apa lagi bila menyangkut ‘pribumi’ dari dunia Timur. Inilah yang mengingatkan kita akan kata-kata Multatuli bahwa orang cukup melihat Bupati Lebak untuk segera yakin bahwa | |
[pagina 149]
| |
kebanyakan orang Eropa yang berhubungan dengan dia lebih banyak belajar dari dia daripada sebaliknya. Luns, dengan mulut besarnya terhadap orang Indonesia, tidak mengenal Max Havelaar-nya, tidak satu suku kata pun dipahaminya. Namun tahun 1961 ia masih juga berbicara lantang atas nama kerajaan, juga di gedung PBB. ‘Luns boleh saja bicara semaunya,’ tukas Dubes Sukardjo setelah pidato itu selesai dibacakan. ‘Akhirnya akan segera ada perundingan bilateral antara Belanda dan Indonesia dan Tuan Luns Anda akan terampok habis-habisan.’ Dan demikianlah yang terjadi. Kesibukan di New York bergema. Bung Karno mengirim orang kelas berat, seperti Sudjarwo Tjondronegoro ke Amerika Serikat memperkuat regu Indonesia. Profesor Muhammad Yamin yang paling jagoan itu membuat markas besarnya di Hotel Plaza. Dubes Zain pun selalu ada di sana. Mereka menyatukan semua pikiran mereka. Paul Rijkens sendiri dan dr. Emile van Konijnenburg juga muncul lagi di New York, ikut-ikutan tegang. Profesor Yamin minta saya segera membawa Pak Kelinci kepadanya, karena ingin tahu lebih banyak tentang pendapat orang di Den Haag dan apa yang dimainkan orang di balik layar. Dubes Sudjarwo berkata kepada saya, ‘Kami sungguh-sungguh mengira Luns akan mencari jalan keluar bagi sengketa kita. Tetapi rupanya tidak demikian. Nah, bila Belanda tetap menolak, kita akan berbuat sama, juga di Irian Barat. Maka kita akan menyelesaikan masalah ini tanpa bantuan Belanda.’ Dubes Indonesia untuk Kanada, Lambertus Palar, yang juga | |
[pagina 150]
| |
berada di New York, berkata kepada saya, ‘Luns membuat kebijakan putus asa’. Dubes Sukardjo, ‘Saya kasihan kepada orang Belanda’. Diplomat Yusuf Ronodipuro, ‘Pidato Luns dan informasi dari Rijkens dan Van Konijnenburg mendesak kita untuk menulis ulang pidato yang akan dibawakan dr. Soebandrio. Kita perlu kerja keras sepanjang malam, ‘bongkar terus.’ Dubes Zain menceritakan saya pembicaraannya dengan Menlu Amerika, Dean Rusk. Saya mengingatkan dia akan pembicaraan Bung Karno dengan JFK (Jhon F. Kennedy) di Gedung Putih, yang juga dihadiri Rusk. ‘Pada kesempatan itu Anda berkata agar lewat kontak tak resmi, harus terselenggara perundingan resmi antara Den Haag dan Jakarta, Kita selalu berharap, Mr. Secretary, barangkali Amerika Serikat mau berinisiatif membereskannya.’ Dr. Zain berkata bahwa Rusk tampak terkejut mendengar pernyataan ini, seakan ia tiba-tiba sadar telah melupakan suatu masalah yang genting. ‘Saya jelaskan kepadanya,’ lanjut Pak Dubes, ‘bahwa situasinya jadi makin gawat, Indonesia sekarang tidak sama dengan Indonesia dua puluh tahun yang lalu bukan? Dulu mungkin kita bodoh dan naif. Sekarang kita tidak mau dihina. Jenderal Nasution juga telah menegaskan hal ini pada hari angkatan perang. Persoalannya hanya apakah Washington masih mau direpotkan dengan masalah baru di Irian Barat, di samping kekacauan di Laos dan Vietnam.’ Diplomat Indonesia ini menjelaskan adanya perpecahan di Departemen Luar Negeri di Washington. ‘Ada kelompok yang memihak Chester Bowles. Kelompok lain memihak Chip | |
[pagina 151]
| |
Bohlen. Keputusan terakhir memang ada di tangan JFK. Tetapi rupanya ia tidak berhasil menyatukan aparatnya.’ Sementara itu Zain bertemu dengan diplomat Belanda C.D. Barkman. ‘Mana idealisme yang kalian pakai ketika berperang melawan Jerman?’ katanya kepada diplomat Belanda itu. Apa yang kita sepakati waktu itu? Ketika Barkman kemudian berdalih munafik yang didasarkan atas perintah Luns, maka saya jawab, ‘Sekarang ini Anda cuma jadi kawulanya si Luns.’ Dalam buku kenang-kenangannya yang terbit tahun 1993, Barkman menggambarkan Zain sebagai ‘orang Batak yang sangat cerdas, galak dan tidak sabaran, tetapi halus perasaannya tentang politik dan sangat paham hukum tata negara’.Ga naar voetnoot1. Yang saya herankan ialah penegasan Dubes Zain bahwa sekarang, Profesor Muhammad Yamin-lah yang langsung bertanggung jawab kepada Bung Karno sebagai penasihat utama dalam masalah Irian Barat, dan bukan lagi yang saya duga sebelumnya, dr. Ruslan Abdulgani. Sementara itu pembicaraan Rijkens dan Emile van Konijnenburg dengan petinggi diplomasi Indonesia di New York itu bocor juga ke Belanda. Dengan sikap pengecutnya yang sudah saya kenal itu, Paul Rijkens berkilah bahwa ia ‘kebetulan saja’ ada di New York. ‘Kebetulan’ ia bertemu dengan para pembantu utama Soekarno, tetapi ‘kebetulan’ pula mereka tidak membincangkan masalah Irian Barat. Di parlemen Den Haag sebenarnya ada suara-suara yang menyarankan agar menarik | |
[pagina 152]
| |
paspor Rijkens dan Van Konijnenburg! Kedua orang itu kembali terkencing-kencing, takut ancaman itu akan terlaksana, sehingga bohongnya berlebihan. Rasa hormat saya akan tuan-tuan kelompok Rijkens saat itu anjlok sampai di bawah ukuran Amsterdam. Maka saya menulis surat kepada Rijkens bahwa saya akan membuka kebohongannya di ANPGa naar voetnoot2. dan berupaya meralatnya dengan berbagai cara. Tahun 1965 Paul Rijkens menulis kenangannya dalam buku peringatan Handel en Wandel.Ga naar voetnoot3. Di situ ia menulis, bahwa ia menelepon dr. Zain di ‘Hotel Plaza’. Maka ia diundang pak dubes dan Profesor Yamin. Mereka mengatur pertemuan bersama dengan Soebandrio, dan di sini Rijkens bersumpah di depan petinggi Indonesia itu, dengan tidak terlalu mencolok ia akan menanggapi dendam kesumat Luns sehingga sengketa Papua tidak jadi makin parah. Di tahun 1965 memang semua orang sudah lupa bahwa dia, pada tahun 1961 ‘kebetulan’ berada di New York. Andaikata para wirausahawan kelompok Rijkens, atau anggota parlemen dan wartawan di tanah air lebih punya nyali memutar haluan sikapnya terhadap Indonesia segera setelah penyerahan kedaulatan, maka negara kita di tahun 1995 tidak akan ditempatkan di deretan paling belakang di negeri ‘macan baru’ yang terkuat dari Asia Tenggara ini, seperti yang telah terjadi. Ketika itu Dubes Zain menceritakan kepada saya jalannya pertemuan yang tujuannya akan berdamai di antara Luns dan | |
[pagina 153]
| |
Profesor Yamin serta dirinya. ‘Sepuluh menit pertama Luns bersikap marah dan tampak gugup. Yamin dan saya memahami hal itu dan menenangkannya. Ia mulai menjelaskan bahwa di tahun 1955 ia ditugasi berkunjung ke Indonesia tetapi Presiden Soekarno menolak menerimanya secara khusus. Goblok benar,’ demikian dr. Zain, ‘hanya karena membesarkan soal sepele itu ia telah menghinakan dirinya sendiri. Dengan kulit badaknya Luns bahkan tidak menyadari hal ini. Maka ia pun memberitahu bahwa orang Papua bukan orang Indonesia dan Irian Barat sama sekali bukan milik Indonesia. Waktu itu saya katakan kepadanya: ‘Kalau begitu kita dapat membagi-bagi Indonesia menurut suku bangsa, itukah yang Anda maksudkan?’ Apabila ia sudah merasa berdiri di bara panas, maka ia menoleh kepada Schuurtje, dan berkata: ‘Betul ‘kan begitu, Pak Dubes?’Ga naar voetnoot4. Maka Schurmann mulai mengocehkan pendapatnya sendiri sebagai dubes betulan di depan menterinya. Saya sendiri menukasnya dengan suara lantang: ‘Nah sekarang Schurmann mulai berputar-putar.’ Saya tidak berniat mencemburui Schurmann ini, di tempat kami, negara muda di Asia, duta adalah penyusun kebijakan juga. Saya tidak akan berbicara begitu terbuka di depan Profesor Yamin.’ Zairin Zain melanjutkan, ‘Lagi pula, suatu saat Profesor Yamin berkata kepada Luns,’ Anda juga berpendapat bahwa kedua negara kita bisa bersepakat lebih baik bukan?’ Tetapi Luns kemudian mulai melantur lagi dengan mengatakan betapa | |
[pagina 154]
| |
jeleknya kita, orang Indonesia, karena telah melanggar kesepakatan Unie dan karena itu tidak punya dasar untuk membicarakan masalah Irian Barat. Apa yang selalu dilewatkan ialah bahwa Unie Indonesia-Belanda justru dilanggar karena Den Haag secara psikologi tidak dapat menerima kehilangan Hindia Belanda. Pihak Indonesia menanyai Luns apakah setelah ia menjelaskan resolusinya tentang masalah Irian Barat di Sidang Umum PBB, ia dapat mencapai dua per tiga suara lebih, seperti yang diharapkannya? ‘Apa yang kita lakukan sesudah itu,’ demikian Profesor Yamin, ‘terutama bila rakyat Indonesia tidak menyetujui resolusi Anda? Dan apa yang akan terjadi, apabila kita dapat menyepakati resolusi Anda? Maka keadaan genting ini akan terus berlanjut. Masalahnya hanya bisa selesai bila ada perundingan bilateral di antara kita.’ Luns tetap berputar-putar dari inti masalah. ‘Saya katakan terus terang kepadanya,’ demikian Dubes Zain, ‘itu tidak benar, Yang Mulia, kita bisa berunding dengan baik’. Tetapi Luns bersikukuh bahwa titik tolak berpikir kita memang berbeda, karena Belanda tetap akan memegang teguh haknya sendiri atas Papua. Ia sama sekali tidak dapat menjawab mengapa kita tidak segera saja membuka hubungan tak resmi dan mulai berunding. Profesor Yamin adalah orang satu-satunya yang dapat mempertanggungjawabkan hubungan langsung dengan Belanda ini kepada Bung Karno. Saat itu saya langsung berkata kepada Luns, ‘Anda tidak akan dapat mencapai dua pertiga lebih di Sidang Umum PBB,’ suatu hal yang sebetulnya ingin dikatakan Profesor Yamin secara tidak | |
[pagina 155]
| |
langsung. Inilah titik lemah Luns, sebab ketika saya tanyakan kepadanya apa yang akan dilakukannya bila hal itu terjadi, ia menjawab, ‘Saya tidak bisa mengatakannya kepada Anda. Saya tidak mau menyulitkan diri saya sendiri.’ Suasana pembicaraan diplomatik yang sangat penting ini cukup menyenangkan, dibumbui dengan guyonan khas Belanda. ‘Sesudahnya kami pergi ke hotel tempat Menlu Luns menginap,’ demikian Pak Dubes, ‘dengan itu kita tunjukkan bahwa kita selalu bersedia menempatkan diri. Menlu Soebandrio juga sadar, pertemuan dengan Luns agak berisiko bagi wibawa kita, tetapi kita tetap menunjukkan kesediaan kita. Kita tidak takut, Luns takut. Kita yakin akan posisi kita dan karena menyangkut urusan genting, kita bersedia menerjang bahaya.’ Dr. Zain juga menyadari betapa Schurmann terlihat enggan mengikuti permainan menterinya. ‘Untung saya tidak berada dalam posisi demikian,’ katanya. ‘Kadang-kadang saya merasa sangat senang. Para Dubes Belanda sama sekali tidak dapat memberikan saran positifnya kepada menteri ini. Saya tidak mau berbicara banyak, tetapi di new emerging nations kita ini, dengan munculnya angkatan muda yang cerdas, kita telah bertugas dengan baik sebagai dubes.’Ga naar voetnoot5. Sampai Oktober 1961. |
|