Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 138]
| |
Belgrado (1961)Tanggal 14 Juni 1961 di Amsterdam untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Pak UjengGa naar voetnoot1. Suwargana, teman dekat Jenderal Nasution. Saya telah banyak mendengar desas-desus tentang dirinya bahwa ia bepergian ke Eropa Barat dan ke Amerika Serikat untuk menggulingkan kekuasaan di Jakarta. Menurut saya militer Indonesia itu tunduk di bawah pemerintahan yang sah dan karena itu pada hakikatnya mereka bukan lawan bicara yang cocok. Saya menapaki jalur yang diambil Soekarno, Soebandrio, Zain (Washington) dan Sukardjo Wirjopranoto (PBB). Tidak sulit menemui orang Indonesia yang bernama Ujeng ini, dan pertemuan ini menarik, karena ia adalah pengikut Jenderal Nasution. Sampai di sini saja cerita saya mengenai Ujeng Suwargana. Orang Belanda yang lain, seperti penerbit Geert Lubberhuizen atau rekan Hofland memperlakukan seolah- | |
[pagina 139]
| |
olah ia duta istimewa dari pihak yang melawan pemerintah Indonesia.Ga naar voetnoot2. Tanggal 15 Juni 1961 saya mengunjungi Duta Besar Zairin Zain di Hotel Metropole di Brussel. Ia bergegas terbang ke Belgia karena mencemaskan keonaran di kelompok Rijkens, yang disebabkan oleh saya. Ialah orangnya yang mendorong saya ketika di Washington ia mengatakan bahwa harus ada ‘letupan’ untuk berhasil menyelesaikan masalah Irian Barat. Ketika saya berusaha mengatur letupan itu, ia menilai yang saya lakukan itu terlalu cepat. Gaduhnya luar biasa. ‘Saya berbicara dengan Anda sebagai abang dengan adik,’ demikian dr. Zain. ‘Kita telah menyulut permainan ini bersama-sama. Saya selalu melatih Anda. Saya ingin agar Anda punya karir yang bagus di bidang jurnalistik, tetapi dengan tindakan anda sekarang, Anda telah melewatkan kesempatan itu. Sebagai langkah awal, berdamailah dengan Emile van Konijnenburg.’ Saya sama sekali tidak mau berhubungan lagi dengan kelompok Rijkens. Mereka perlu ditangani secara psikologis dan dibedah agar sadar bahwa mereka tidak dapat berperanan penting lagi. Pater Beaufort telah menyatakan hal itu dengan gamblang. ‘Wim’, kata pak dubes malam itu, ‘Anda harus jadi orang Minangkabau. Anda harus bermain pencak. Si pesilat memukul balik, melompat ke samping, sedemikian sehingga lawannya payah. Apakah Anda tidak takut andaikata Philips | |
[pagina 140]
| |
menyuruh beberapa orangnya meninju Anda?’ ‘Tidak, saya tidak takut. Kalau mereka mau mengambil haluan lain, silakan saja,’ kata saya. Pak dubes mengeluh, bahwa karena tindakan yang saya lakukan sendiri itu -- seperti layaknya orang yang turut ambil bagian dalam proses ini -- telah menempatkannya pada posisi yang sulit, apakah ia harus memilih kelompok Rijkens atau saya. ‘Dilema yang Anda hadapi itu tampak sederhana bagi saya,’ kata saya. ‘Anda hanya perlu sependapat dengan pihak yang ingin mencegah kepura-puraan di masa yang genting ini. Waktu yang tersisa bagi kelompok Rijkens sudah dapat dibilang. Mereka sebaiknya kembali berurusan dengan Unilever, Shell dan KLM saja. Jalan keluarnya, berkat Pangeran Bernhard, terletak pada kedua negara, dengan kemungkinan melibatkan negara ketiga, yaitu Amerika Serikat, sebagai penengah.’ Jenderal Nasution bertindak di pinggir pemerintahan Indonesia untuk atas nama angkatan bersenjata dan konco Amerikanya di CIA, mencari tahu perkembangan yang sedang berlangsung. Hari-hari itu ia tiba-tiba muncul di Paris dan sempat tampil di televisi Belanda. ‘Tidak saja pertanyaan tetapi juga jawaban (dari Nasution) semuanya ditulis oleh seorang wartawan Belanda, dengan pertimbangan dapat sebanyak mungkin mempengaruhi penonton televisi (Belanda).’Ga naar voetnoot3. Siapa ghost writer untuk jenderal itu tidak diungkap oleh Hofland. Pada masa itu orang berkeyakinan | |
[pagina 141]
| |
bahwa ia-lah ‘penulis siluman’ itu. Sangatlah tidak mungkin apabila Bung Karno, Soebandrio, Zain atau Sukardjo Wirjopranoto membolehkan seorang wartawan dari Belanda menuliskan naskah sandiwara baginya. Angkatan bersenjata di Jakarta sudah tegang dan ingin memainkan peranannya sendiri, padahal anak kecil pun dapat menghitung dengan jarinya bahwa sekarang kita tinggal menunggu pencapaian suatu kesepakatan dari diplomasi yang profesional kedua negara. Tanggal 27 Juni 1961 Jenderal Nasution akan menyelenggarakan konferensi pers di Hotel Koningshof di Bonn. Saya ke sana bersama mantan Peminpin Redaksi Elseviers Weekblad, H.A. Lunshof, dan sekretarisnya, J.H. Barkey Wolff. Nasution didampingi Kolonel Pandjaitan, yang belakangan mati terbunuh, dan saat itu menjadi atase militer di Jerman Barat. Jenderal itu menyebut pentingnya menetapkan pendapat yang mengharuskan Belanda menarik diri dari Irian Barat, baik di Den Haag maupun di Biak. Tekanan dari massa Indonesia sudah makin kuat sehingga konflik bersenjata dapat segera terjadi. Sofar, so good. Selama Nasution berpidato di ruangan yang terutama dipenuhi oleh wartawan yang datang dari Belanda, tidak sekali pun ia merujuk pemerintah atau presiden Republik Indonesia. Ia berbicara seakan ialah orang yang paling menentukan di Jakarta. Ini memang demikian, bila menyangkut angkatan bersenjata. Selebihnya, ia berdinas kepada pemerintah. Oleh sebab itu saya bertanya kepadanya, apakah benar presiden sudah memastikan tidak menginginkan sengketa masalah Papua ini berlangsung berlama-lama. | |
[pagina 142]
| |
Nasution membenarkannya tanpa ragu-ragu. Tanggal 1 September 1961 saya ada di Belgrado, Jugoslavia, untuk menghadiri KTT Negara-Negara Non-blok yang kedua, yang mendukung gagasan Soekarno tahun 1955 di Bandung. Dengan kehadiran begitu banyak kepala negara, maka keamanan dijaga ketat. Sangatlah sukar untuk menemui anggota delegasi, meskipun Kolonel Sabur telah membawakan saya surat bagi presiden. Dari tribun pers di ruang sidang saya mengamati perilaku Bung Karno dan Jawaharlal Nehru yang duduk berdampingan di meja konferensi. Bapak selalu mengenakan seragam panglima besarnya yang berwarna putih, Nehru selalu menyematkan bunga mawar pada baju seragamnya. Mereka berdua sangat berbeda, seperti dikatakan orang banyak. Nehru menggambarkan pengalamannya di penjara Inggris dengan ‘saya selalu bermimpi dalam bahasa Inggris’. Bung Karno berkata lain, ‘Saya menyumpah dalam bahasa Belanda’. Kadang-kadang Nehru dan Soekarno merokok bersama, yang disodorkan Presiden Indonesia ini dari tempat rokok yang terbuat dari emas. Soebandrio dan Chaerul Saleh duduk tepat di belakang Bapak. Dr. Ali Sastroamidjojo dan Ruslan Abdulgani duduk di belakang mereka. Di Belgrado diputuskan, Perdana Menteri Nehru dan Presiden Kwame Nkrumah dari Ghana akan pergi ke Moskow, Presiden Soekarno bersama presiden Modibo Keita dari Mali ke Washington untuk mengimbau Nikita Krushchev dan John F. Kennedy dengan sangat agar mengurangi ketegangan di dunia ini lewat perundingan tingkat tinggi. Kelompok Asia- | |
[pagina 143]
| |
Afrika kembali akan menunjukkan negara-negara Barat dan sosialis di Eropa Timur, cara satu-satunya mengatasi masalah yang juga diterapkan di lingkungan internasional, yaitu dengan musyawarah dan mufakat. Dalam komentarnya, The New York Times memberitakan bahwa JFK segera menyatakan keengganannya untuk berunding dengan Krushchev, tanpa melihat manfaatnya terlebih dahulu. Menurut Gedung Putih, masih cukup banyak saluran diplomatik yang dapat dipakai untuk membicarakan masalah yang masih menggantung di antara kedua negara. Timur adalah Timur dan Barat adalah Barat. Kita tidak dapat berharap bahwa JFK, putra pedagang wiski yang sukses dari Boston, dan para penasihatnya di Gedung Putih, benar-benar dapat memahami latar psikologi dan budaya yang mendorong negara-negara Asia dan Afrika merumuskan imbauannya kepada Moskow dan Washington di Belgrado. Seperti ular ia mengelakkan permohonan tersebut bahkan sebelum menyimak pesan yang disampaikan Soekarno dan Keita. Peserta KTT Negara Non-Blok di Belgrado dibiarkan berteriak-teriak di ajang Perang Dingin yang semakin parah antara kedua negara adikuasa itu. Sementara itu Soekarno memanfaatkan kunjungannya yang kedua ke Gedung Putih ini untuk membicarakan masalah Irian Barat dengan JFK. Tanggal 16 September 1961 Dubes Zain mengabari saya akan hal ini di kamarnya di ‘Hotel Waldorf Astoria’. Katanya, ‘Kennedy benar-benar memahami Bung Karno. Dengan tegas dan tanpa basa-basi, ia menyatakan pendapatnya tentang permohonan yang dirumuskan di | |
[pagina 144]
| |
Belgrado. Ia mau berunding dengan Krushchev, tetapi ia tidak mau gagal dalam perundingan tingkat tinggi itu. Jadi, keadaan diplomatik di garis depan perlu diteliti dahulu. Ini dapat dipahami, mengingat pertemuan tingkat tinggi tahun 1961 di Wina yang gagal. Didirikannya tembok Berlin memang berkaitan langsung dengan the non meeting ofminds di Wina.’ Saya ceritakan pada dr. Zain bahwa JFK telah mempersiapkan perundingan dengan Nikita tahun 1961 itu dengan segala daya, hal yang belum pernah dilakukan dalam sejarah, ia membentuk regu yang terdiri atas pakar-pakar psikologi, sosiologi, antropologi, dan psikiatri menyusun tampang pemimpin Soviet itu. Regu ini diketuai oleh Profesor Bryant Wedge dari Universitas Tuft dekat Boston, seorang psikiater. ‘Kita mengingatkan JFK misalnya,’ demikian cerita Profesor Wedge belakangan kepada saya, ‘untuk tidak bersilat lidah atas dasar demokrasi, karena Krushchev buta huruf tentang tata laksana demokrasi Barat’. Profesor Wedge dari School for Law and Diplomacy di Tufts ini meyakinkan saya lebih lanjut bahwa setelah diteliti dengan cermat, Nikita Krushchev tampil dengan tampang simpatik. Saya tanyakan kepadanya, mengapa pertemuan Wina gagal, meskipun Presiden Amerika itu mempunyai buku pintar berisi cara beradu pikir dengan Krushchev. ‘Kegagalan itu disebabkan karena Kennedy kurang berpengalaman. JFK terlalu berhati-hati sehingga keliru mengesankan Krushchev sebagai Presiden Amerika yang lemah dan peragu,’ demikian Profesor Wedge. ‘Bayangkan,’ kata saya kepada dr. Zain, ‘andaikata Schermerhorn, Beel, Drees, Luns dan de Quay sejak 1945 | |
[pagina 145]
| |
sampai sekarang punya informasi yang dapat dipercaya tentang siapa Bung Karno sebenarnya, alangkah berbedanya jalan sejarah! Paling tidak ada hubungan yang baik antara Den Haag dengan Jakarta dan Bung Karno sudah berdiri mendampingi Juliana di balkon istana Soestdijk di Amsterdam. Dengan anggapan dasarnya yang hitam-putih, kaum politisi kristen Den Haag tidak mawas diri untuk memahami gawatnya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kesalahan diri sendiri ditutup-tupi dengan menghitam-legamkan satu Soekarno. ‘Kami bersedia berunding dengan siapa saja,’ kata Drees dan Luns selalu di Tweede KamerGa naar voetnoot4. , tetapi tidak dengan Soekarno. ‘Mereka tidak sadar tengah menggali kuburan raksasa untuk Belanda di bekas Hindia Belanda.’ Dubes Zain menjawab, ‘Oleh sebab itu bangsa Amrika dapat memainkan peranan perantara yang bermanfaat bagi Belanda dan Indonesia. Mereka juga tidak memahami Asia, tetapi saat ini paling tidak mereka tidak punya beban berat masa lampau kolonial secara langsung. Presiden Kennedy jelas tidak melihat untungnya bertanya kepada Bung Karno, ‘Apa saran Anda dalam hal ini?’ ‘Justru itulah kalimat yang tidak pernah akan terucapkan oleh Schermerhorn, Beel, Drees, Luns dan De Quay. Itulah sebabnya hubungan di antara negara kita benar-benar hancur’, kata saya. Dr. Zain, ‘Suatu saat Bung Karno menarik tangan Presiden Kennedy dan mereka memisahkan diri untuk berbicara empat mata. Mungkin Bapak mau menjelaskan masalah Irian Barat | |
[pagina 146]
| |
dengannya dan mengatakan andaikata masalah ini terpecahkan maka hubungan dengan dunia Barat akan pulih kembali.’Ga naar voetnoot5. Tanggal 17 September 1961. Hotel Waldorf Astoria, New York. Waktu menunjukkan pukul 06:55. Dubes Zain menyelundupkan saya lewat gang ke apartemen presiden. Dr. Soebandrio sama sekali tidak boleh tahu bahwa saya dipertemukan dengan Soekarno. Ajudan Sabur dan Bambang Widjanarko telah siap berangkat dan keduanya menunggu dekat lift. Dubes Sukardjo Wirjopranoto meninggalkan ruangan tempat presiden dan berkata kepada saya, ‘Cepatlah ke sana, Anda akan berdua saja dengan Bapak.’ Soekarno sedang di kamar mandi. Saya menunggu. Ia mulai dengan berkata, ‘Saya berterima kasih untuk segala sesuatu yang telah anda lakukan, juga artikel dan surat-surat yang Anda kirim lewat Sabur’. Kami bicara singkat tentang Belgrado, kunjungannya baru-baru ini ke Gedung Putih dan kerusuhan di Belanda tentang Irian Barat. Saya perlihatkan juga kepadanya daftar ceramah saya yang akan saya sampaikan di Amerika Serikat. Pukul 07:15 Soekarno dan Sukardjo Wirjopranoto berangkat naik Cadillac, duduk di kursi belakang dan dr. Zain pada strapontinGa naar voetnoot6.. Saya kembali ke studio saya di Long Island lalu saya tidur. Saya bermimpi mendengar Luns berkata, ‘Teleponlah saya’. Saya jawab, ‘Anda sudah dapat teman baru’. TraumdeutungGa naar voetnoot7. saya serahkan | |
[pagina 147]
| |
saja pada psikolog penganut Freud. Siang harinya saya kembali ke ruang diplomat di PBB dan mendapati Dubes Sukardjo Wirjopranoto, dr. Ali Sastroamidjojo dan diplomat Masfar dan Yusuf Ronodipuro dalam ruang tertutup. ‘Tahukah Anda apa yang dikatakan Bung Karno tadi pagi dalam mobil?’ demikian Pak Kardjo. ‘Sayang, masih ada orang Indonesia yang tidak mempercayai si Wim.’ Terdapat kecemasan ui gedung PBB, karena berita kecelakaan Sekretaris Jenderal Dag Hammerskjold saat bertugas di Kongo. Teman saya, diplomat Soviet Mike Polonik mengatakan kepada saya, ‘Kami menggerutui Hammerskjold. Kalian membunuh dia.’Ga naar voetnoot8. Saat meninggalkan gedung saya berpapasan lagi dengan Dubes Sukardjo di tempat menitipkan mantel. Bergandengan kami mondar-mandir di ruangan besar gedung itu. ‘Nanti akan saya ceritakan lebih banyak, tetapi Anda tetap dengan Bung Karno.’ Pulang ke rumah saya segera membuka Kamus Inggris susunan E. Pino dan T. Wittermans.Ga naar voetnoot9. Tetap dalam bahasa Indonesia berarti konstan, kuat, berani, pasti, permanen, tahan (lama), berakar, kekal, tidak berubah dan lestari. Perasaan itu timbal balik dan tumbuh makin mendalam selama lima tahun saya mengenalnya. Saya tahu akan hal ini. Perasaan itu tetap ada, meskipun teman saya telah meninggal dua puluh lima tahun yang lalu. |
|