Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 120]
| |
Los Angeles (1961)Tanggal 21 April 1961, Hotel Beverly Hilis. Presiden Soekarno melihat saya ada di lobi dan berteriak ‘Wim, Wim’ lalu ia memperkenalkan saya dengan Dubes Amerika di Jakarta, Howard Jones. ’Willem Oltmans ini teman saya,’ katanya kepada pria Amerika itu. ‘Ia orang Belanda, tetapi ia mau agar Irian Barat kembali kepada kita.’ Saya jelaskan bahwa apa yang saya lakukan itu tidak saja demi kepentingan Belanda, tetapi juga karena pemecahan masalah Irian Barat akan mengurangi kesempatan kaum komunis untuk melompati pagar pembatas dan berperang untuk menghapuskan sisa terakhir kolonialisme Belanda di daerah bekas Hindia Belanda. Keputusan saya untuk membuat kelompok Rijkens, dengan Pangeran Bernhard sebagai pimpinan, menonjol di mata Gedung Putih sebagai kelompok pelobi Belanda yang andal, telah membuat tuan-tuan di dalam kelompok itu bersemangat lagi mencari jalan bagi penyelesaian sengketa Irian Barat. | |
[pagina 121]
| |
Rekan saya Henk Hofland belakangan menulis, ‘Tanpa memperhatikan apa akhirnya tujuan mulia mereka, tuan-tuan dalam kelompok Rijkens dan pemimpin mereka -- ini tentu Pangeran Bernhard -- sama sekali tidak terbukti telah membantu dalam pemecahan masalah Irian Barat.’Ga naar voetnoot1. Itulah akibatnya bila orang hanya mendengar bunyi bel dan tidak tahu di mana pemukul lonceng itu berada. Sampai sejauh ini Hofland benar, sampai saat itu, ketika tanggal 5 April 1960, tanpa dipikirkan terlebih dahulu saya sendirian pergi ke Gedung Putih, maka kelompok Rijkens masih dianggap orang di luar persoalan. Usul saya agar meminta pendapat sang pangeran, seperti yang saya sampaikan kepada Profesor Rostow, justru telah membawa pemimpin kelompok Rijkens dengan segera kepada JFK. Pendapat di atas harus diubah, orang yang akhirnya berhasil menyelesaikan sengketa Irian Barat hanyalah Pangeran Bernhard. Dan Pangeran ini justru adalah ‘pemimpin diam’ dari kelompok pelobi itu, yang karena tidak tahu, Hofland telah mengurangi jasanya. Kekeliruan itu juga tercantum dalam Tegels Lichten.Ga naar voetnoot2. Setelah kunjungan Pangeran Bernhard ke JFK maka kelompok Rijkens dapat bernapas kembali. Setidak-tidaknya orang telah meminta saya agar segera berangkat ke Los An- | |
[pagina 122]
| |
geles untuk memastikan bahwa dr. Emile van Konijnenburg (KLM) dan dr. Koos Scholtens (Shell) dapat diterima oleh Presiden Soekarno di Washington sebagai duta dari Rijkens. Sebenarnya, saya kembali menemui banyak kesulitan untuk menembus masuk menemui Bung Karno di Los Angeles. Suatu kali saya telah berada di lantai apartemen tempat presiden menginap, ketika musuh bebuyutan saya, Max Maramis, muncul di depan pintu dan berteriak, ‘Apa yang kau lakukan di sini? Tunggu di bawah!’ Jawab saya, ‘Baik,’ dan saya berjalan kembali ke arah lift. Saya tekan tombol lift dan keretanya sampai. Pintunya terbuka dan siapa yang tampak di hadapan saya? Soekarno, beserta ajudannya, Sabur dan Bambang Widjanarko. Segera saya bergabung dengan mereka ke apartemen presiden. Sudah ada banyak orang di ruang tamu. Kunjungan duta-duta dari kelompok Rijkens pada hakekatnya bersifat rahasia. Akhirnya Bung Karno menghilang ke kamar tidurnya tanpa saya berkesempatan membisikinya perihal misi Washington ini. Baiklah, risiko memang harus diambil untuk menghadirkan kedua tuan itu secara untung-untungan dan tinggal berharap saja bahwa semuanya akan berjalan lancar. Saya terbang dengan penerbangan malam ke Baltimore agar dapat tepat waktu menjemput Scholtens dan Van Konijnenburg tanggal 23 April 1961 di Hotel Manger di Washington dan membawa mereka ke tempat kediaman dubes dr. Zairin Zain. Ia memperingatkan saya bahwa menteri Soebandrio bersikap skeptis terhadap ‘diplomat-diplomat amatiran’ di lingkung Rijkens. Soebandrio selalu berkata, ‘Kita sekarang tahu bahwa kelompok Rijkens ingin berbicara | |
[pagina 123]
| |
dengan kita, tetapi yang menjadi masalah kita sekarang ini ialah politik Den Haag dan para politisinya,’ demikian ia mengutip kata-kata menteri itu. ‘Oleh sebab itu’, demikian lanjut dubes itu, ‘kini tiba saatnya yang baik bagi kita. Kita dapat memanfaatkan krisis Kuba dan invasi yang gagal di Teluk Babi. Kita menarik kesamaannya dengan Irian Barat yang dipersenjatai Belanda, dan sebagai orang Indonesia kita masih punya truf atau bukti andal yang akan kita sampaikan kepada JFK agar membantu melancarkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia.’ ‘Kami datang untuk membantu menyusun prosedurnya,’ demikian Koos Scholtens, ‘yang dapat kami jual kepada pemerintah kami, kaum politisi di Den Haag. Kami juga memerlukan wibawa lebih banyak, dan itu hanya dapat kita peroleh apabila kita berhasil berbicara dengan Presiden Soekarno di Washington ini.’ Untuk itu Dubes Zain menyampaikan usul yang menarik. ‘Menurut pendapat saya kita memerlukan pihak ketiga.’ Jadi, ini adalah untuk pertama kalinya kita berbicara tentang pihak ketiga. Lanjutnya, ‘Sayang, Belanda tidak lagi memanfaatkan pengetahuan kita akan masalah ini. Hal ini juga menyakitkan saya. Sebetulnya kita harus dapat memecahkan masalah ini secara bersama-sama. Bung Karno akan sangat terharu apabila akhirnya ia dapat melihat Belanda dan mengenali berbagai tempat yang dipelajarinya dari buku ilmu bumi semasa ia masih kecil. Jadi sama sekali tidak benar bahwa ia ingin membuat Belanda bertekuk lutut. Seperti yang berulang-ulang dikatakan Sukardjo Wirjopranoto, yang telah mengenalnya paling lama | |
[pagina 124]
| |
di antara kita semua di sini, Soekarno ialah produk kolonialisme. Soekarno sangat romantis dan sangat memperhatikan sejarah untuk tidak menyelami apa yang dilakukan dan dialaminya. Ia bukan orang yang hanya mendambakan cinta, seperti yang sering digambarkan orang Barat tentang dirinya. Kebesarannya sebenarnya belum diketahui orang sampai sekarang. Kebanyakan orang Indonesia pun bahkan belum mengenal wajah aslinya. Bung Karno betul-betul Indonesia. Saya semakin yakin akan hal ini setelah baru-baru ini saya datang dari Hawaii bersamanya, juga selama beberapa hari saya terus menerus bersamanya di Kalifornia. Oleh sebab itu saya sekarang berkata sebagai ahli sejarah, karena untuk itu saya telah dididik dengan sangat baik di Leiden.’ ‘Saya senang bahwa Anda berkata demikian,’ demikian Scholtens dari Shell. ‘Saya dididik pada saat Belanda diduduki Jerman,’ demikian pak dubes melanjutkan. ‘Saya ikut dalam bahasan mengenai perlawanan terhadap penjajah. Saat itulah saya belajar cara orang Belanda berunding untuk memecahkan masalah.’ Sementara itu kita sepakat bahwa kita akan berupaya sekuat-kuatnya, dengan dukungan kerja sama dr. Zain, bahwa meskipun mungkin ada perlawanan dari dr. Soebandrio, Van Konijnenburg dan Scholtens harus dapat berbicara dengan presiden. Kepada saya dr. Zain berkata, ‘Sebaiknya Anda di belakang layar saja hari-hari ini,’ yang dimaksudkannya ialah menghindari musuh-musuh seperti Maramis dan Soebandrio, | |
[pagina 125]
| |
yang ikut dalam perjalanan Soekarno. ‘Nadanya seperti saya ini ditinggalkan begitu saja di tepi jalan, setelah apa yang saya lakukan di Gedung Putih untuk meniupkan napas segar dalam perkembangan ini,’ kata saya dengan kecewa. ‘Anda adalah orang kesayangan presiden, Tuan,’ demikian dr. Zain. Di mobil, dalam perjalanan kembali ke hotel, tuan-tuan dari kelompok Rijkens ini menghujani saya dengan puji-pujian bagi apa yang telah saya lakukan dalam mempersiapkan misi Washington mereka. ‘Tetapi apa yang kita lakukan sekarang,’ demikian Scholtens mengingatkan, ‘jarang dihargai orang’. ‘Penghargaan biasanya datang setelah Anda meninggal,’ timpal Van Konijnenburg. ‘Tetapi kita tidak boleh melupakan jasa Anda dalam hal ini,’ demikian Scholtens. Van Konijnenburg menghadiahi saya dua tiket keliling dunia dengan KLM setelah penyerahan kembali Irian Barat, namun diberikan di muka. Kita memang tidak memerlukan bukti bahwa setiap unjuk kesanggupan kita akan dihargai. Kedua tuan itu sudah mapan hidupnya. Usia saya baru 36 tahun. Saya masih harus menjalani kehidupan yang panjang sebagai wartawan. Van Konijnenburg memang memberi saya tiket untuk terbang ke Los Angeles dan mengunjungi Bung Karno untuk mempersiapkan kunjungan Washington ini, tetapi semua biaya yang terkait lainnya, termasuk hotel, saya bayar dengan uang saya sendiri yang saya peroleh dari kegiatan saya berceramah. Tujuan mulia dari kegiatan kita ini adalah untuk menjaga agar Luns dan konco-konconya tidak membawa kerajaan Belanda jatuh terperosok untuk ketiga kalinya karena perang dengan Indonesia. | |
[pagina 126]
| |
Van Konijnenburg terus menerus menceriterakan berbagai anekdot tentang Soekarno. Pada suatu hari di Bali, presiden akan berkunjung ke teman yang kita kenal bersama. Orang itu memiliki sebuang patung Bali yang sangat berharga. Untuk menjauhkan benda seni itu dari julat pandang Bung Karno, ia menyimpan patung itu di kamar mandi. ‘Dan yang terjadi adalah, Bapak ingin ke kamar mandi,’ demikian cerita Pak Kelinci, dan ia keluar dengan patung itu di tangannya dan berkata, ‘Orang yang menyimpan benda seindah ini di kamar mandi tidak layak memilikinya’ dan presiden pun membawa patung itu. Pada kesempatan lain Van Konijnenburg menanyai presiden tentang apa yang dapat dilakukannya untuk menyenangkan presiden. Jawabnya ialah, ‘Pergilah ke pelukis anu dan mintalah ia melukis untuk saya.’ Van Konijnenburg memesan sebuah lukisan yang besar. Lukisan itu menggambarkan suatu acara pemakaman dengan banyak orang, dan si pelukis juga menggambarkan Soekarno di tengah orang-orang tersebut. Ketika KLM kemudian menyerahkan lukisan itu ke istana sebagai hadiah, maka segera reaksi presiden adalah, ‘Saya tidak mau ada dalam lukisan itu, pelukisnya harus mengeluarkan saya.’ Tetapi Van Konijnenburg meyakinkan Soekarno bahwa ia tidak dapat berbuat seperti itu terhadap seniman besar ini, yang sangat bangga akan lukisannya, dan ia menghormati seniman itu. Tanggal 25 April 1961 kedua tuan itu berjumpa dengan presiden di kamarnya di Hotel Mayflower, dan seperti telah diduga sebelumnya, pertemuan itu juga dihadiri oleh | |
[pagina 127]
| |
Soebandrio dan Duta Besar Zain. Belakangan, dengan agak malu-malu, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena memasuki ruangan. Menurut Koos Scholtens, Bung Karno berbicara dengan nada menyenangkan dan presiden juga mendesak agar hubungan dengan Belanda dinormalkan seperti halnya dengan negara lain-lain. Ia tidak saja mengulang bicaranya akan kemungkinan dirinya,berkunjung ke Belanda, tetapi juga tentang kemungkinan kunjungan Pangeran Bernhard ke Indonesia. Presiden Indonesia ini tahu dengan pasti peranan penting yang telah dimainkan pangeran ini dalam meyakinkan JFK, yang berakibat tibanya marching orders bagi Luns untuk angkat kaki dari Irian Barat. Sebenarnyalah, ada beberapa petunjuk bahwa Pangeran Bernhard, yang berangkat ke Amerika Serikat untuk membicarakan hak mendarat bagi KLM di Kalifomia, secara sangat rahasia telah bertemu dengan Bung Karno.Ga naar voetnoot3. Hasil terpenting yang diperoleh dari pertemuan itu ialah presiden sekali lagi menyetujui usaha untuk mengatur perundingan resmi di antara dua negera ini. Untuk itu Dubes Zain ditunjuk sebagai penghubung utama. Semalam sebelumnya Scholtens masih percaya akan ocehan yang beredar di Belanda bahwa ‘Soekarno merupakan bencana ekonomi bagi negerinya’ dan ia juga menyatakan keyakinannya bahwa berbicara dengan Soekarno merupakan usaha yang sia-sia, tetapi setelah pertemuan tanggal 25 April itu, Scholten yang orang Shell itu sangat lain bicaranya. | |
[pagina 128]
| |
Sebelum meninggalkan Washington kami masih berbicara dengan Dubes Zain. ‘Sayalah yang menjadi penghubung sekarang,’ demikian diplomat itu. ‘Seperti yang anda buktikan sendiri, saya tidak membual. Sekarang Anda harus berusaha meyakinkan pemerintah Anda di Belanda, bila tidak, orang di Jakarta pun tidak akan mempercayai saya. Sekarang Anda harus menunjukkan pada presiden bahwa Anda dapat mempengaruhi politik. Dalam hal ini Anda dapat meyakinkan sendiri perihal kejujuran Bung Karno. Bukankah ia segera menyetujui usulan Anda tanpa prasyarat? Ia orang yang paling mudah di antara yang lain-lain. Saya bisa berbicara dengannya dengan sangat baik, bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan Bandrio. Dalam hal ini Leimena juga bagus. Soebandrio, sebagai Menlu, juga telah memainkan peranannya dengan sangat baik. Ia menguasai bidangnya. Ia dapat mengemukakannya dalam bahasa Inggris dengan amat baik. Ia selalu memanggil saya ‘dikke’ (si gendut). Seusai pertemuan tadi, ia menanyai saya, ‘Apakah mereka masih marah kepada saya?’ karena rupanya ia selalu menentang untuk berunding dengan kelompok Rijkens. Apa yang dibicarakan dengan Soekarno pagi tadi bukan saja hal yang penting, tetapi juga perkembangan yang menggembirakan.’ Saya melambaikan tangan saya ketika Scholtens dan Van Konijnenburg berangkat ke Belanda. Pak Kelinci menggunakan nama Frijthof dalam penerbangan ini, untuk menghindari paparazzi yang mungkin menunggunya di Schiphol. |
|