Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 98]
| |||||||||
New York (1960)Tanggal 24 Juni 1960 saya bertemu dengan pengganti dr. Ali Sastroamidjojo, Sukardjo Wirjopranoto, mantan dubes Indonesia di Peking yang sangat dekat dan sahabat pribadi presiden. Saya minta pendapatnya apakah gagasan saya untuk sekali waktu bertemu dan berbincang-bincang dengan Dubes Cari Schurmann di PBB, merupakan tindakan yang baik. ‘Itu gagasan yang baik,’ jawabnya segera. ‘Baik Bung Karno maupun Mas Bandrio telah mengatakan kepada saya bahwa kita harus berbicara untuk mencari jalan keluar bagi Irian Barat, tanpa harus saling menembak. Tetapi ulah Den Haag di masa lalu juga telah selalu menjadikan kita lebih kuat, sebagai akibat kesalahan yang dibuat orang Belanda sendiri. Sekarang peristiwanya juga seperti itu.’ Pukul 14:15 saya -- yang dicap sebagai pengkhianat negara di De Telegraaf -- mengatur pertemuan dengan atase pers perwakilan tetap dari Belanda, Sjef van den Bogaert, di ruang pertemuan diplomat di gedung PBB. Saya sampaikan naskah | |||||||||
[pagina 99]
| |||||||||
saya yang berisi empat pokok, yang disusun atas dasar pembicaraan saya dengan Dubes Sukardjo Wirjopranoto.
Ketika saya meninggalkan kantornya, Dubes Indonesia itu mengatakan, ‘Ingat Wim, wartawan itu dapat membuat perang tetapi mereka juga dapat membantu menciptakan perdamaian.’ Memorandum saya diterima Van den Bogaert dengan wajah masam, sementara itu saya sudah makin terbiasa melihat wajah masam para keroconya Luns, lalu bergegas menghilang ke tempat misi Belanda di Third Avenue. Dua belas hari kemudian, tanggal 5 Juli 1960 saya bertemu lagi dengan Van den Bogaert. Ia telah dicaci maki oleh Luns terutama sekali karena telah berbicara dengan saya. Karenanya ia memberitahu saya bahwa ia sama sekali tidak mau bertindak | |||||||||
[pagina 100]
| |||||||||
sebagai trait d'union untuk pertemuan antara Dubes Schurmann dan Sukardjo. ‘Wartawan tidak layak bertindak sebagai pelobi,’ katanya. ‘Memang tidak,’ jawab saya, ‘dan para menteri dan diplomat itu lebih tidak layak lagi membungkam mulut wartawan, dan mencegahnya menulis untuk satu surat kabar mana pun. Saya tidak mau menjadi saksi mata akan cara konyol orang-orang pintar di Den Haag itu mempermalukan diri sendiri dan bahkan dengan selalu mencurigai saya. Saya akan terus mengupayakan apa yang Anda sebut sebagai kegiatan melobi, meskipun menteri-menteri Anda telah menutup pintunya rapat-rapat.’ Tahun 1991, berkat ketua Raad van State pula saya menemukan berpuluh-puluh telegram dan surat dinas rahasia yang berasal dari Van den Bogaert ini, yang selama bertahun-tahun di New York telah memata-matai saya untuk Luns, dan mengirimkan berita yang tidak senonoh tentang saya ke segala penjuru. Sementara itu, di Indonesia Presiden Soekarno sibuk sendiri dengan usahanya mewujudkan sistem politik yang lentur yang disebut ‘demokrasi terpimpin’. Dubes Sukardjo Wirjopranoto menyatakannya demikian, ‘Bila Bapak terlalu banyak berbelok ke arah Barat atau Amerika, maka kita akan menghadapi pemberontakan PKI. Apabila Bapak terlalu berpaling ke arah negara-negara sosialis, maka akan pecah pemberontakan di bawah pimpinan kaum Islam Masyumi. Betapa pun, kami akan teguh berpegang pada asas Pancasila.Ga naar voetnoot1.’ | |||||||||
[pagina 101]
| |||||||||
Sebelumnya, Jenderal Nasution mencoba mencegah presiden berpidato di sebuah kongres PKI. Bung Karno tentu saja tetap pergi dan menekankan bahwa rakyat yang mendukung PKI juga rakyat Indonesia yang berkehendak mendapat pengakuan sebagai orang Indonesia dari presidennya, ‘PKI juga telah ikut memperjuangkan kemerdekaan kita,’ serunya. De Telegraaf menginformasikan pembacanya bahwa pidato Soekarno tadi sama artinya dengan ‘ungkapan cinta’ kepada kaum komunis Indonesia. Tanggal 12 Juli 1960 saya bersantap malam di Dobbs Ferry dengan pakar the New York Times yang pernah bertugas di Indonesia, Amold Brackman. Ia juga melihat berkembangnya ‘bahaya merah’ di Indonesia sebagai akibat pendapat Bung Karno bahwa dalam setiap penerapan demokrasi di mana pun, harus ada tempat bagi mereka yang menganut paham marxisme-leninisme. ‘Saya hanya berharap,’ kata Brackman, ‘bahwa apa yang dilakukan Mao di China, juga akan dilakukan D.N. Aidit di Indonesia, yaitu berupaya meraih kekuasaan. Dengan demikian, seperti peristiwa di Madiun tahun 1948, PKI akan menunjukkan wajahnya yang asli dan pemerintah paling tidak beroleh kesempatan untuk kembali menghancurkan kaum komunis.’ Dari kata-katanya itu saya menyimpulkan bahwa di lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa ada keyakinan bahwa betapa pun, PKI akan hancur. Tetapi, sepanjang yang saya ketahui tentang pimpinan PKI, saya amat yakin bahwa Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman dan Sakirman sangat cerdas dan sadar politik sehingga mereka tidak akan mengulang peristiwa seperti di Madiun itu. | |||||||||
[pagina 102]
| |||||||||
Pertumpahan darah yang terjadi tahun 1965 dan pada tahun-tahun berikutnya sebenarnya terjadi akibat ketidaksabaran pemerintah sehingga tergoda untuk bertindak, dan dikobarkan semangatnya oleh CIA. Itulah yang saya amati. Tanggal 30 September 1960, Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal, To Build the World Anew di depan Sidang Umum PBB. Saya hadir dan duduk di tribun pers, dan delegasi Indonesia juga di tempat yang sama. Di antara mereka terdapat D.N. Aidit, Sekretaris Jenderal PKI dan Jenderal Nasution.Ga naar voetnoot2. Ini tidak ada kaitannya dengan hal yang menjadi pilihan utama presiden secara pribadi, karena hatinya ada pada Partai Nasional Indonesia. Nikita Khrushchev segera berdiri dan menyalami delegasi Indonesia. Ia mulai dengan Jenderal Nasution, yang dikenalnya sangat baik. Tak heran, karena Nasution telah berkali-kali mengunjungi Kremlin untuk menangani masalah pengiriman senjata dari Uni Soviet bagi pembebasan Irian Barat. Tidak ada orang penting yang hadir di antara delegasi Amerika. Luns hadir sebentar, dan hanya meninggalkan satu orang sebagai wakil Belanda ketika Soekarno menyampaikan pidatonya yang bersejarah itu. Bung Karno berbicara pada rapat tersebut dengan mengenakan seragam putih bersih. Di belakangnya berdiri Kolonel Sabur, yang menerima setiap lembar pidato yang telah selesai | |||||||||
[pagina 103]
| |||||||||
dibacanya. Barang siapa yang ingin mengetahui jalan pikiran presiden pertama Indonesia ini, hendaknya mencermati benar-benar isi pidato tersebut.Ga naar voetnoot3. Siang hari di New York itu membuat saya sadar bahwa saya telah makin banyak memahami pemikiran politiknya. Ia mengutip kalimat-kalimat dari Alquran dan dari Injil. Ia berbicara mengenai ‘perhatian luar biasa’ yang ditunjukkan Indonesia bagi PBB. Ia memperjuangkan masuknya Peking ke PBB. Ia menunjukkan beberapa kenyataan baru sejak organisasi antarbangsa itu didirikan pada tahun 1945, seperti munculnya banyak negara baru dari Asia dan Afrika, yang pada tahun 1945 itu masih merupakan jajahan. Untuk alasan itulah, Piagam PBB hendaknya disesuaikan. Imperialisme disebutnya sebagai the greatest evil, setan terbesar di dunia kita ini. Masalah pelucutan senjata nuklir merupakan urusan kepercayaan yang timbal balik di antara negara-negara superpower. Ia menjelaskan dengan panjang lebar mengenai falsafah Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Akhirnya, dan juga atas nama Ghana, India, Republik Persatuan Arab dan Jugoslavia, ia menyampaikan rencana resolusi yang berbunyi: Deeply concerned with the recent deterioration in International relations which threatens the world with grave con-sequences: Aware of the great expectancy ofthis world that this As- | |||||||||
[pagina 104]
| |||||||||
sembly will assist in helping to prepare the way for the easing of world tension: Conscious ofthe grave and urgent responsibility that rests on the United Nations to initiate helpful efforts: Requests, as a first urgent step, the president ofthe United States of America, and the Chairman ofthe Council of Ministers of the Union of Soviet Socialist Republics to renew their contacts interrupted recentlyGa naar voetnoot4. so that their declared willingness tofind solutions ofthe outstanding problems by negotiations may be progressively implemented. Tak dapat diragukan lagi, Bung Karno-lah di sini yang menjadi pemrakarsa utama bagi negara-negara Non-Blok, yang ia (dan bukan oleh orang lain siapa pun) gerakkan tahun 1955 pada penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Apa yang sebenarnya ingin disampaikannya di Sidang Umum PBB ini ialah: tuan-tuan di Barat dan di Uni Soviet, belajarlah dari kami mengenai cara kami menyelesaikan perselisihan di antara kami di Asia dan Afrika, yaitu dengan musyawarah dan mufakat. Penjelasan dan pembicaraan yang dilakukan dengan sabar adalah satu-satunya jalan keluar. Bukan dengan menciptakan pesawat pembom jarak jauh atau silo dengan roket jarak jauh atau peluru kendali, tetapi dengan perundingan dan penjelasan, seperti yang kami lakukan di Indonesia. Suatu siang saya berpapasan dengan D.N. Aidit di Hotel | |||||||||
[pagina 105]
| |||||||||
Waldorf Astoria. ‘Apakah Anda sibuk?’ demikian ia menyapa saya dalam bahasa Belanda. Ia ingin saya mengantarnya ke toko buku. Kami pergi bersama mencari buku di Manhattan. Ia juga menuliskan lima judul buku, yang harus saya belikan untuknya di Amsterdam.Ga naar voetnoot5. Dari obrolan saya siang itu dengan Sekretaris Jenderal PKI ini sambil berjalan-jalan menyusuri New York, saya menyimpulkan bahwa Aidit sangat setuju dengan isi pidato yang disampaikan Bung Karno di PBB. Ia bercerita tentang kunjungannya ke Peking baru-baru ini dan pertemuannya dengan Perdana Menteri Chou En-lai. Makna utama dari kesaksiannya ialah bahwa Indonesia akan mencari dan menemukan jalan keluar bagi masalahnya sendiri, tanpa harus mencari jalan keluar cara Cina atau cara Uni Soviet. Ia berbicara tentang ‘sosialisme a la Indonesia’. Saya tidak memperoleh indikasi sedikit pun bahwa ia meragukan atau mencela kepemimpinan Bung Karno, dengan cara apa pun. Terhadap saya ia menunjukkan sikap sebagai pengikut Bapak. Kami pun kembali bersama-sama ke Hotel Waldorf Astoria. Setibanya di hotel, saya menuju ke kamar Ajudan Presiden, Kolonel Sugandhi. Kami sedang menonton televisi bersama, ketika presiden masuk ke kamar. Ia didampingi seorang tuan yang tampak berotot kuat, yang ternyata seorang body-guard dari Secret Service atau Dinas Rahasia Amerika. Ia memperkenalkan saya kepada orang itu sambil berkata, Ia | |||||||||
[pagina 106]
| |||||||||
adalah seorang wartawan Belanda yang mendukung Indonesia dalam masalah Irian Barat. Setelah beberapa tahun memberikan ceramah di Amerika, saya tahu bahwa sangat banyak orang Amerika yang tidak tahu tentang negara Indonesia, atau letaknya, apalagi ‘gorila’ ini pastilah tidak tahu mengenai keberadaan Papua. Letnan Kolonel Sabur dan ajudan presiden dari Angkatan Laut, Kolonel Bambang Widjanarko, juga ikut bergabung dengan kami. Presiden segera pula duduk di depan noise box (televisi), yang pada saat itu menayangkan sebuah drama percintaan yang seru. Ceritera cowboy. ‘GunturGa naar voetnoot6. pasti suka film ini,’ kata saya. ‘Tidak, ia tidak lagi tertarik akan koboi,’ jawab presiden. Sementara itu Kolonel Sugandhi, yang pangkatnya paling tinggi di antara ajudan presiden, mengingatkan presiden bahwa ia harus bersiap-siap untuk pertemuan pribadi dengan Jawaharlal Nehru dari India. ‘Sudah jam berapa sekarang?’ tanya Bung Karno kepada Sugandhi. Dan kemudian terjadilah sesuatu yang saya anggap tidak mungkin teijadi di lingkungan sekitar presiden, seperti yang saya lihat sekarang setelah saya mengenalnya selama empat tahun. Jawab Sugandhi, ‘Anda sendirikan pakai arloji!’ Presiden sendiri tampaknya tidak merasakan kekurangajaran ajudannya ini. Apakah ini pertanda sesuatu yang gawat? Peristiwa itu mengingatkan saya akan pengamatan Emile van Konijnenburg belum lama ini di Den Haag, ‘Teman kita ini semakin pikun dan harus diawasi terusmenerus.’ | |||||||||
[pagina 107]
| |||||||||
Peristiwa yang saya saksikan itu menyusup jauh ke dalam tulang sumsum saya. Bapak jelas ingin mengetahui bagaimana akhir drama percintaan di televisi itu. Terlihat pasangan dalam drama itu akan berpelukan. Tangan-tangan saling merangkul. Wajah-wajah itu bergerak perlahan-lahan akan berciuman. ‘Ya, ya...’ teriak Bung Karno dan berakhir sampai di situ. Presiden berdiri untuk menjumpai Perdana Menteri Nehru. Di gang menuju ke lift kami bertemu dengan Menteri Soebandrio dan Dubes Sukardjo Wirjopranoto. Pak Sukardjo menyalami saya dengan ramah. Soebandrio bersikap seolah-olah saya angin. Ia pasti sangat jengkel, karena saya berhasil masuk lagi tanpa sepengetahuannya. Para ajudan militer presiden akhirnya tahu bahwa saya berteman dengan Bung Karno. Bandrio tidak dapat menerima hal itu, karena ia sadar, bahwa saya telah mencurigainya sebagai pembohong yang kronis. Saya tidak pernah dapat mengerti, bagaimana mungkin presiden terus-menerus sejak 1957 sampai 1967 memberi kesempatan kepada pembohong ini untuk menipunya. Presiden benar-benar buta akan keberadaan pria tak jujur ini di lingkungan resminya, yang manis seperti seekor kucing yang menjilat-jilat di dekat Soekarno dan di balik punggung ia akan mengancam jiwa Bung Karno, dan saya memiliki bukti kuat akan hal ini. Tanggal 3 November 1960 saya berbincang-bincang secara mendalam dengan dr. Zairin Zain, yang ditemani perwira yang setia kepada Soekarno, yaitu Kolonel Latif.Ga naar voetnoot7. Kolonel itu | |||||||||
[pagina 108]
| |||||||||
berjanji akan menyampaikan surat saya kepada Bung Karno. Zain datang dari Bonn ke PBB untuk berdebat masalah Irian Barat. Pak dubes ini bercerita panjang lebar mengenai apa yang sedang dilakukan presiden. ‘Ia mencoba membebaskan kita dari mati lemas. Dalam kurun 1945-1960 kami telah menerapkan model Westminster dan gagal total. Adalah salah menerapkan sistem pemerintahan suatu negara seperti kalian begitu saja. Bukankah kita ini negara Asia yang sedang berkembang? Apa yang sebenarnya dikatakan Bung Karno saat ini ialah bahwa kita harus mencari dan menemukan kembali diri kita sendiri sebelum kita dapat memulai hal yang lain-lain. Negara-negara Asia-Afrika mengalami dan menyaksikan kebangkitan dan perkembangan yang luar biasa. Adat kita memang lain dan berbeda dari kalian di Barat. Anda tidak dapat mengalihkan cara hidup dan tingkah laku Amerika atau Eropa begitu saja ke Asia dan Afrika. Bangun sosial kita memang berbeda. Orang Australia atau Amerika akan menganggap biasa mengangkat kakinya ke atas meja, seperti yang dilakukan seorang dubes yang sowan di kantor saya di Bonn. Saya menganggap perbuatannya itu kurang ajar.’ Dr. Zain melanjutkan, ‘Pengaruh kebudayaan Asia kita membuat kita berbeda dalam pandangan dan tingkah laku dengan orang dari Barat. Kalian orang Belanda sebenarnya hanya berhasil mempengamhi sekelompok kecil rakyat Indonesia. Massa rakyat yang besar masih tetap menggali kekuatannya dari kebudayaan kita sendiri. Ada sangat banyak perbedaan yang halus di antara kita, bahkan dalam penggunaan | |||||||||
[pagina 109]
| |||||||||
kata-kata tertentu, yang dapat menyebabkan penafsiran makna yang berbeda. Kami mencoba merumuskan perbedaan-perbedaan itu secara lebih baik, khusus agar dapat diterima telinga Barat. Soekarno adalah ‘nabi’-nya, pejuang perang suci. Ia menggugah gagasan-gagasan baru dan menguarkannya ke mana-mana. Seperti yang selalu dikemukakannya kepada kami, ‘Kalianlah orang muda-muda yang harus melaksanakan dan mengembangkan lebih lanjut semua gagasan dan usulan saya.’ Dr. Zain, ‘Sayalah orang pertama di lingkungannya -- tetapi tolong rahasiakan hal ini -- yang mengingatkannya bahwa demokrasi Barat imporan itu tidak akan berhasil diterapkan di negeri kita. Sistem setengah-plus-satu tidak akan berfungsi di negara berkembang. Kita tidak suka membuat orang lain malu. Kita cukup beradab untuk mengambil suatu pendirian, yang dapat disepakati kedua belah pihak. Bung Karno ingin kembali ke sistem yang asli berasal dari kita sendiri, yaitu berunding bersama untuk pemecahan masalah. Tampaknya cara demikian memang memerlukan waktu lebih lama, tetapi sebenarnya kita dapat bekerja sama lebih cepat dan mencapai hasil. Cara Barat untuk bekerja sama dengan sesama, bila diterapkan di Indonesia, hanya akan selalu berakibat banyak orang kehilangan muka. Keberhasilan Bung Karno, meskipun hal itu dilakukannya tanpa sadar, ialah membawa D.N. Aidit dan PKI untuk memikirkan Indonesia first, jadi mengutamakan nasionalisme.’ Pak dubes melanjutkan, ‘Orang-orang tolol di Washington itu tidak dapat memahami bahwa kita kadang-kadang | |||||||||
[pagina 110]
| |||||||||
setuju dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kadang-kadang dengan Uni Soviet, karena kita kadang-kadang menemukan gagasan kita sendiri pada pihak Amerika, dan kadang-kadang di pihak Uni Soviet. Sebagai langkah awal, kita tidak berpikir dengan konsep pro atau kontra. Kami yakin akan diri kami sendiri. Inilah yang sering tidak ada, terutama dalam cara berpikir orang Amerika. Padahal, inilah senjata kami yang paling kuat yang ada pada kami, atau pada kepemimpinan yang lahir dari gagasan Bandung mengenai kebebasan berpolitik di panggung dunia.’ |
|