Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 88]
| |
New York (1959)Kembali ke tempat pelarian saya menghindar dari Luns dan komplotannya di Kew Gardens, Long Island, saya mulai lagi dengan kesibukan saya di markas besar PBB. Saya melapor kepada wakil tetap Indonesia di PBB saat itu, dr. Ali S astroamidjojo.Ga naar voetnoot1. Kami berbicara lama dan terbuka, ‘Saya termasuk orang Indonesia yang paling awal dan paling mengenal Presiden Soekarno dari dekat, dan yang tahu betapa ia seorang manusia luar biasa. Saya juga mengenal ayah beliau, orang Jawa asli yang masih kuno. Barangkali Bung Karno mewarisi kegemarannya yang mendalam akan filsafat dari ayahnya. Ibunya seorang wanita Bali yang berseni. Sukarno sangat mengagumi ibunya. Saya sering menyarankan kepadanya, agar ada orang yang menulis buku tentang dirinya. Ia menyatakan bahwa ia bersedia, dan akan menyediakan waktunya satu jam per hari untuk berbicara dan merekam | |
[pagina 89]
| |
kenang-kenangannya dengan pita perekam. Tetapi saat itu saya berada di New York dan bertugas di PBB dan sejauh yang saya ketahui, belum ada yang menulis buku tersebut.’ Pak duta besar termenung. ‘Akan ada buku mengenai Bung Karno, yang ditulis oleh Anda bekerja sama dengan wartawan Indonesia, misalnya Sitor Situmorang.’ Persoalan apakah akan ada buku yang ditulis mengenai Soekarno, terus berkecamuk dalam pikiran saya sejak saya menemukan sendiri orang macam apa ia itu, dan cerita yang beredar di dunia, yang sedikit atau bahkan sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Tanggal 27 Mei 1959 malam, saya berkunjung ke tempat mantan perdana menteri itu untuk bercerita kepadanya mengenai pembicaraan di Kopenhagen. Pak Ali menekankan bahwa presiden, setelah dalam waktu yang cukup singkat melewati 16 kali pergantian kabinet, mencermati dan menganalisis situasi politik di Indonesia, dan karena alasan itulah ia mencari-cari penerapan model-Westminster yang sesuai dengan kenyataan di Indonesia. Kata Dr. Sastroamidjojo, ‘Ia melakukan hal ini, sama sekali bukan atas pertimbangan utama bahwa ia seorang pemimpin revolusi atau sebagai politikus, tetapi lebih sebagai dokter yang sedang mencari ‘pengobatan kejut.’ Pemecahannya akan terutama didasarkan atas sejarah revolusi dan budaya rakyat kami. Ia tidak mau meniru atau menyalin sistem politik barat atau yang bersifat sosialis. Ia kembali ke falsafah gotong royong, yaitu demokrasi yang merakyat dan berdasarkan kebersamaan yang digali dari sejarah kami. Lagi pula hal ini juga sudah tercantum dalam banyak kata di dalam Undang-Undang Dasar 1945, | |
[pagina 90]
| |
dan kami percaya akan demokrasi kami sendiri ‘dengan cara musyawarah dan mufakat’. Mantan perdana menteri itu selanjutnya mengatakan, ‘Buku kenang-kenangan Bung Karno hendaknya bersifat murni, didasarkan atas sejarah kehidupan yang nyata dan benar-benar dialami pemimpin kami. Ada buku yang ditulis orang tentang Nehru dan Nasser, yang kadang-kadang juga memuat kritik yang jelas terhadap tokoh tersebut. Misalnya, kita tidak dapat menggambarkan atau menulis tentang manusia yang bernama Soekarno itu tanpa benar-benar memahami kehidupan cintanya, meskipun sisi ini ditonjolkan untuk menunjukkan bahwa ia pun manusia biasa.’ Berikutnya ia menceritakan sebuah anekdot. ‘Ketika tahun 1927, saya bersama SartonoGa naar voetnoot2. menjemputnya keluar dari penjara Belanda, ada peristiwa yang menggambarkan sifat-sifat dasarnya sebagai manusia yang baik. Kami memasang bendera merah putih pada mobil kami, dan karena itu kami berurusan lagi dengan polisi kolonial. Pada saat akan berangkat, Bung Karno melihat seorang Belanda, yang juga baru dilepas dari penjara, tetapi tidak ada yang menjemput sehingga ia harus berjalan kaki. Bung Karno segera menyuruh kami berhenti dan katanya, ‘Kasihan orang itu. Marilah kita ajak dia ikut mobil kita.’ Begitulah reaksi yang ditunjukkannya, meskipun ia sendiri baru saja dipenjarakan Belanda. Pada hari-hari itu, lewat saluran rahasia saya menulis surat | |
[pagina 91]
| |
kepada presiden di Jakarta, menanyainya apakah ia setuju dan mau bekerja sama dalam penulisan biografinya, yang akan saya tulis bersama wartawan Indonesia Situmorang. Ia tidak pernah menjawab usulan saya. Dubes Indonesia di Washington, dr. Zairin Zain, bersama Pak Ali Sastroamidjojo juga berulang kali menyampaikan hal ini kepada Soekarno. Akhirnya, Dubes Amerika di Jakarta, Howard Jones, yang berhasil membujuk Bung Karno agar menuliskan kenang-kenangannya bersama Cindy Adams, kolumnis dari New York. Tanggal 8 Juni 1959, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan kabinet baru, yang ke-18 sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Dalam kabinet itu, selain menjadi presiden, ia juga menjadi Perdana Menterinya. Ir. Djuanda beralih posisi dari Perdana Menteri menjadi Menteri Utama dan juga merangkap Menteri Keuangan. Dr. Soebandrio tetap menjadi Menteri Luar Negeri. Chaerul Saleh untuk pembangunan dan perkembangan. Risiko untuk susunan kabinet baru seperti ini adalah, bila tidak terjadi perbaikan dalam situasi ekonomi dan politik di negerinya, maka Bung Karno sendirilah yang harus bertanggung jawab. Saat itu usianya telah 58 tahun. Selama dua puluh tahun ia telah memimpin rakyatnya dalam perjuangan kemerdekaan. Ia pun telah menjadi Presiden Republik Indonesia selama empat belas tahun. Tanggung jawabnya makin bertumpuk. Pada saat-saat itu Emile van Konijnenburg bertemu dengan mantan Wakil Presiden dr. Mohamad Hatta, yang mengatakan, ‘Celakanya, Soekarno sekarang tidak bisa bicara banyak. Lingkaran yang mengungkungnya pada hari-hari ini sangatlah kedap.’ | |
[pagina 92]
| |
Apa arti jabatan rangkap presiden-perdana menteri itu sebenarnya? Apakah ini berarti bahwa dunia politik yang baru di Indonesia saat ini, dengan nama Bung Karno masih tercantum sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini, tetapi pada kenyataannya kekuasaan berada di tangan ‘orang lain’, dan bila memang benar, di tangan siapa? Apakah jalan masuk ke istana, terutama bagi teman-teman dan orang kepercayaannya, akan dipersulit? Bila demikian, maka segala informasi yang sampai kepadanya akan sudah disaring, sehingga pada akhirnya ia mungkin akan kehilangan informasi yang penting-penting yang diperlukannya untuk mengambil keputusan. Sementara itu saya menerima informasi dari teman-teman yang bekeija di Konsul Jenderal di New York, nama saya tercantum dalam daftar orang asing yang tidak diharapkan kehadirannya di Indonesia. Dalam surat saya kepada presiden hari-hari itu, saya menulis, ‘Saya sadar bahwa banyak orang memusuhi saya, tidak saja di Belanda, tetapi juga di Indonesia. Saya memang bisa bertahan terhadap sodokan demikian. Tetapi, apa yang telah saya lakukan, sehingga saya tidak dikehendaki di Indonesia?’ Siapa tahu bahwa ia juga tidak menerima surat apa pun juga yang masuk lewat Jenderal Suhardjo Hardjowardojo. Untuk surat saya tadi, saya tidak mendapat balasan apa pun sebab itu saya memutuskan akan pergi ke Wina, tempat yang akan dikunjungi Bung Karno dalam bulan April mendatang. Mula-mula saya singgah di Bad Godesberg di tempat Dubes Indonesia untuk Jerman Barat, dr. Zairin Zain. Ia | |
[pagina 93]
| |
membenarkan kekhawatiran saya, tampaknya kita akan semakin sukar mendekati Bung Karno. Pertemuan ramah tamah yang santai di antara sahabat seperti yang kami alami tahun 1958 di Kopenhagen, tampaknya tidak mungkin dapat terjadi lagi. Jadi memang benar ada perubahan yang mencengkam. Bahkan semua saluran resmi ke kepala negara telah digrendel dan diawasi. ‘Anda dapat bekerja sama dengan Nahar, seorang wartawan, untuk dapat mendekati presiden. Ia ikut dalam rombongan presiden dan Anda telah mengenalnya dengan baik. Kemungkinan lain ialah melalui Ibu Hartini.Ga naar voetnoot3. Ia berangkat sendiri ke Eropa dan pada saat ini ia menjadi tamu Nyonya Tito di Yugoslavia. Rencananya Bung Karno dan Hartini akan seolah-olah kebetulan bertemu di Wina. Presiden menginap di Hotel Ambassador. Hartini di Hotel Imperial, demikian kata dubes tersebut, dan ia pun akan hadir di Wina. Wina, 19 April 1960. Saya menelepon ajudan presiden, Kolonel Sugandhi, di kamarnya di Hotel Ambassador. Segera pula ia mengundang saya ke kamarnya. Di bawah empat mata saya jelaskan kepadanya, perihal informasi yang saya terima, bahwa nama saya sekarang sudah tercantum dalam daftar hitam, dan hal ini sudah diberlakukan oleh diplomat Indonesia di Den Haag, Max Maramis dan Sudjoko Hudyonoto. Terutama yang disebut terakhir ini, ia menaruh dendam karena saya langsung berkomunikasi dengan Menteri Soebandrio dan telah menga- | |
[pagina 94]
| |
cuhkannya. Tidak ada kemungkinan lain, karena Sudjoko mempunyai hubungan yang erat dengan pers Belanda. Saya kurang suka mendengar bocoran yang mengganggu ini. Karena Sudjoko-lah hal ini teijadi melalui Het Parool. ‘Saya ingin bertemu dengan Sudjoko Hudyonoto dan menghajarnya,’ demikian kata kolonel yang menjadi ajudan Bung Karno, sambil memasangkan pin yang bergambarkan lambang negara Republik Indonesia di baju saya. Sementara Sugandhi berjalan ke kamar presiden sambil membawa berbagai surat khabar dan bahan yang saya bawakan kepadanya, masuklah Kolonel Kretarto, Sekretaris Militer Presiden. Ketika saya juga berkeluh kepadanya akan ketidakmengertian saya mengapa saya ‘tidak dikehendaki’ di Indonesia, kalimat pertama yang dikeluarkannya ialah, ‘Si busuk Soebandrio...’ Hal ini menyebabkan saya berpikir keras. Jadi rupanya Soebandrio-lah yang sedang berulah mengungkung presiden dan menahan segala informasi yang tidak berkenan menurut menlu itu. Sugandhi kembali sambil berkata ‘Presiden menunggu.’ Kolonel Kretarto menyela, ‘Saya dapat merasakan betapa senangnya Anda.’ Memang demikianlah keadaannya. Bapak telah sampai ke suatu tahapan kepemimpinan, yang menyebabkannya sangat memerlukan bantuan sahabat-sahabatnya yang sejati. Bung Karno duduk di bangku. Ia mengenakan pakaian berwarna gelap dan ia tidak mengenakan peci seperti biasanya. Kami hanya berdua dan dapat bercakap-cakap dengan bebas. Pembantu pribadi presiden, Tukimin, ada di sana andaikata | |
[pagina 95]
| |
presiden memerlukannya. Maka saya katakan kepadanya akan kecurigaan saya terhadap dr. Soebandrio sebagai orang yang telah memasukkan nama saya ke dalam daftar hitam. ‘Tidak,’ demikian presiden, ‘hal itu mungkin dilakukan oleh pejabat-pejabat lain yang lebih rendah, bukan Pak Bandrio.’ Jawaban ini memperkuat kesan saya, yang sudah ada pada saya sejak tahun 1957 di Indonesia bahwa Soebandrio-lah orang yang berada di balik semua ini. Kala itu saya sudah memperoleh bukti dan saya juga sudah mengatakannya kepada presiden.Ga naar voetnoot4. Oleh satu dan lain sebab, presiden telah memiliki blind spot untuk dapat melihat apa yang dimainkan oleh monyet tampan Soebandrio itu. Soekarno memang ahli dalam mengikuti intuisinya. Tetapi bertindak berdasar intuisi itu sangatlah berbahaya, karena ia mengandung suatu pendapat tanpa penelitian atau pertimbangan lebih dahulu. Pada awal tahun enam puluhan orang tidak akan dapat diyakinkan bahwa Soebandrio merupakan salah satu faktor utama yang akan menjadi penyebab kejatuhan Soekarno. ‘Tunggulah sampai saya kembali ke Jakarta,’ demikian kata presiden hari itu di Wina, ‘dan tulislah surat langsung kepada saya. Kamu tinggal mengalamatkannya kepada Presiden Republik Indonesia.’ Dengan Tamzil sebagai direktur kepala rumah tangga istana, maka akan lebih tidak menyakinkan lagi Bapak akan menerima surat dari saya. Atas pertanyaan saya apakah ia menerima surat-surat yang saya | |
[pagina 96]
| |
sampaikan lewat Jenderal Suhardjo Hardjowardojo akhir-akhir ini, presiden menjawab ragu-ragu, ‘Dua atau tiga, kukira’. Tarikan napas sekarat terdengar lagi hari-hari itu di Den Haag akibat suatu pemikiran tolol, yaitu ketika diumumkan bahwa kapal induk ‘Karel Doorman’ akan dikirim ke Irian Barat untuk pamer kekuasaan. ‘Di Nederland sekarang ini rupanya mereka takut bahwa kita akan menyerang,’ begitu tanggapan Soekarno. Ia juga mengulang kata-katanya, ‘Wim, kamu pernah mengatakan bahwa kamu setuju dengan penyerahan Irian Barat kepada Indonesia, karena menurut kamu tindakan itu akan menguntungkan negaramu. Saya sangat menghargai pendapatmu itu.’ Dan ini memang ternyata benar. Saya juga ikut membela Daniel Maukar, pilot Indonesia, yang telah menembaki Istana Merdeka ketika ia terbang menukik dengan pesawat MIG, dan karena itu ia diancam hukuman mati. ‘Maksudmu, kami tidak boleh menghukum mati ia?’ demikian Bung Karno. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, sebagai isyarat untuk menyatakan bahwa hal itu tidak akan terjadi, dan Maukar memang akhirnya beroleh grasi. Sesudah pertemuan itu, saya minum teh bersama kedua kolonel, Sugandhi dan Kretarto. Kami berfoto bersama. Saya bertanya mengenai kunjungan Perdana Menteri Soviet Nikita Krushchev ke Indonesia. Presiden sangat marah, demikian kata Soegandhi, ketika orang Soviet itu mulai berbicara tentang marxisme dan leninisme di depan massa rakyat di Surabaya. Bapak berdiri, mendekati mikropon dan berkata, ‘Saudara, | |
[pagina 97]
| |
saudara, Bapak Nikita Krushchev ini pahlawan kaum komunis. Sistem komunis itu bagus, tetapi tidak cocok untuk kita, tidak! Kita di Indonesia ingin bertahan kepada kepribadian kita sendiri dan cara kita sendiri dalam bergaul. Coba bayangkan bila kita berkata kepada orang Soviet, agar mereka lebih baik menerapkan sistem “gotong-royong” Indonesia di negaranya!’ Sementara itu media Barat, dengan The New York Times di depan, tetap mempersalahkan Soekarno yang dikatakan akan menyeberang ke pihak komunis. Saya ceritakan kepada Bung Karno bahwa De Volkskrant hari-hari itu juga menulis, bahwa ia membenci Nederland. ‘Ah, mereka cuma omong kosong,’ jawabnya dengan prihatin. Sementara itu, lewat saluran resmi saya minta agar dapat berbicara dengan dr. Soebandrio. ‘Ia sudah mau menerima Anda,’ demikian kata Dubes Zain belakangan kepada saya, ‘tetapi ia mendengar bahwa Anda telah bertemu presiden sebelumnya’. ‘Lalu, mengapa?’ tanya saya. ‘Hanyaorang yang tidak bersih hati nuraninya, yang mengambil sikap demikian dan tidak mau bertemu dengan saya.’ Zain, ‘Anda selalu berpikir dengan cara Barat. Anda tidak memahami perasaan orang Indonesia untuk tidak melangkahi tokoh-tokoh tertentu secara itu.’ ‘Soekarno adalah teman saya, saya tidak mempercayai Soebandrio, jadi saya tidak merasa rugi.’ |
|