Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 75]
| |
Perserikatan Bangsa-Bangsa (1958)Untuk kesekian kalinya terjadi percobaan pembunuhan terhadap Soekarno di Indonesia, kali ini di sebuah sekolah di Cikini, Jakarta Pusat yang menewaskan sejumlah anak dan ibu mereka. Mayor Sudarto, aide-de-campGa naar voetnoot1., yang menjatuhkan dirinya di atas presiden, juga terluka, tetapi kepala negara ini selamat dan tidak mengalami cedera apa-apa. Tahun 1995 saya menanyai seorang mantan jenderal dari dinas penerangan militer di Jakarta mengapa sampai terjadi lima kali percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno, tetapi tidak pernah sekali pun terhadap Soeharto? ‘Jadi Anda tidak mengerti? Soeharto sendiri kan orang CIA,’ demikian jawabnya jengkel. Bulan Desember 1957 Pemerintah Indonesia memutuskan akan mengusir 44.000 sisa warga Belanda yang masih berada | |
[pagina 76]
| |
di Indonesia, dan menasionalisasi semua sisa milik Belanda di kepulauan Indonesia. Dengan keputusan itu maka dua belas tahun sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, hubungan antara Jakarta dan Den Haag kembali memburuk. Di Washington, laporan Profesor Guy Pauker juga mulai membuahkan hasil. Soekarno sedang sibuk meyakinkan pihak kiri, dan untuk itu ia perlu dilenyapkan segera. CIA kemudian akan menjadi satu-satunya yang berhasil memancing di air Indonesia yang keruh pada tahun 1958. Tanggal 10 Februari 1958 diumumkanlah Pemerintahan Revolusi Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatra Barat. Amir Sjafruddin menjadi perdana menteri, Burhanuddin Harahap di bagian Hukum dan Pertahanan, Sumitro DjojohadikusumoGa naar voetnoot2. bertugas di bidang Perdagangan dan Komunikasi dan Kolonel Simbolon menjadi Menteri Urusan Luar Negeri. Itulah, yang paling tidak, diyakini mereka sendiri. Dalam waktu singkat pasukan Soekarno tiba di Sumatra dan menggulung seluruh komplotan orang Indonesia yang fanatik memuja Amerika itu. Hal yang sama terjadi juga dengan komplotan pemberontak yang menamakan dirinya Permesta di Sulawesi Utara. Duta besar Amerika Serikat saat itu, John M. Allison, yang oleh Eisenhower dan Dulles sepenuhnya dibiarkan dalam ketidaktahuan mengenai sejumlah gerakan CIA yang sah di Indonesia, memprotes hal ini dan akibatnya ia dikirim ke | |
[pagina 77]
| |
Polandia. Ia menulis buku yang mengasyikkan mengenai pengalamannya sebagai duta besar di Jakarta. Tanggal 18 Mei 1958 meriam pertahanan antiserangan udara Indonesia menembak jatuh pesawat pembom Amerika yang terbang di atas Ambon, yang sebelumnya telah membunuh dan menghancurkan banyak orang. Pilot pesawat itu, Allan Pope dari CIA, dapat menyelamatkan diri dengan parasut. Kolonel Pieters, yang sudah disebutkan di bagian terdahulu, membawa Allan Pope sendiri ke Jakarta. Sebagai serdadu bayaran, pilot itu diadili dan dihukum mati. Tetapi Soekarno pastilah bukan Soekarno apabila akhirnya ia tidak mengasihaninya. Di dalam Otobiografinya, Bung Karno bercerita kepada Cindy Adams, isteri Pope telah datang kepadanya dengan menangis. ‘Ia mengangis terisak-isak dan memohon agar suaminya diberi grasi. Saya menjadi lemah apabila berurusan dengan wanita. Setelah itu ibu dan saudara perempuannya Pope juga datang berkunjung. Dan air mata kedua wanita itu terlalu banyak bagi saya.’ Pope mendapat ampunan.Ga naar voetnoot3. Juru film Frans Glissenaar pasti akan menguraikan anekdot ini dengan jelas sebagai usaha Bung Karno untuk menjadikannya seolah-olah ‘orang suci’. Saya hanya ingin menggambarkan ia sebagaimana ia adanya, manusia yang terbuat dari darah dan daging, dan pada waktunya berhati kecil. Yang lain justru akan mengatakan bahwa ia berhati besar. Setelah saya menarik kartu merah di Den Haag, saya | |
[pagina 78]
| |
bermigrasi ke New York tanggal 10 Juni 1958. Tetapi ternyata negara saya, yaitu dinas penerangan dan urusan luar negeri, masih terus memburu saya. Saya sebutkan satu contoh. Karena pers di Belanda tertutup bagi saya, saya menandatangani kontrak dengan W. Colston Leigh, sebuah kantor penceramah yang beralamat di 521 Fifth Avenue, untuk berceramah di Amerika Serikat masalah politik luar negeri. Den Haag sangat takut saya akan berbicara tentang Irian Barat atau tentang musuh negara nomor satu, Soekarno, sehingga dubes di Washington mendapat tugas dari Luns agar berusaha sekuat tenaga membatalkan kontrak saya. Setelah sebelumnya mengirim baron van Voorst tot Voorst ke ‘medan perang’, tibalah yang mulia duta besar dr. J.H. van Roijen sendiri ke kantor Colston Leigh di New York. Sambil lalu ia mengajukan dirinya sendiri en passant untuk berceramah mengenai Papua dan untuk itu ia membawa film tentang usaha pascakolonial dengan mission sacreeGa naar voetnoot4. menyejahterakan masyarakat di Biak. Manajer urusan ceramah, Bill Leigh, tidak tertarik mengontrak Van Roijen. Sementara itu, terlihat betapa dalam dan jauhnya jangkauan dendam kesumat orang di Den Haag terhadap pendirian saya yang ‘menyimpang’ dalam masalah Irian Barat atau pertemanan saya dengan Bung Karno.Ga naar voetnoot5. Sementara itu, di markas besar PBB saya mengikuti celoteh diplomatik tanpa keputusan yang terus berlangsung di antara | |
[pagina 79]
| |
Indonesia dan Nederland tentang Papua. Orang yang sungguh mengenal latar belakang persengketaan ini, baik di Den Haag maupun di Jakarta, seperti saya, kadang-kadang mempertanyakan apakah orang-orang di Algemene Vergadering (Sidang Umum) bersikap seperti di kelas taman kanak-kanak. Apabila wakil tetap Indonesia, dr. Ali Sastroamidjojo berbicara, maka Luns dengan sengaja akan pergi, dan begitu pula sebaliknya. Saya masih memiliki satu saluran ke Belanda lewat korespondensi di PBB untuk Vrij Nederland. Hal ini menjengkelkan Cari Schurmann, wakil tetap Belanda di PBB, sedemikian sehingga ia mengirimi Luns telegram rahasia dengan tulisan, ‘Sekarang ini sudah keterlaluan dan Vrij Nederland hendaknya diminta dengan sangat agar surat kuasanya diperbarui, dan mencabut sebutan wartawan bonafide (yang dapat dipercayai) dari Oltman.’Ga naar voetnoot6. Bukti tentang hal ini baru saya peroleh tahun 1991 lewat ketua Raad van State, Ratu Beatrix. Baru tahun 1991 itu pula saya mengetahui bahwa Duta Besar Van Roijen atas dasar perundingan dengan Luns telah menyewa jasa biro penyidik di New York untuk menyelidiki bagaimana ‘Soekarno mendanai Oltmans’. Tentu saja saya tidak pernah menerima satu sen pun dari Bung Karno, tidak pula meminta. Tak heran apabila Luns dan Van Roijen telah memboroskan uang pembayar pajak hanya untuk mencari bukti untuk membenarkan dugaan mereka yang tolol itu, yang sebenarnya tidak benar dan tidak pernah benar. | |
[pagina 80]
| |
Tekanan Luns bahkan telah berhasil memasang sejumlah besar rekan wartawan di depan kereta negara. Tentu saja saya mempercayai P.M. Smedts, Peminpin Redaksi Vrij Nederland secara membabi buta, karena ia satu-satunya orang yang bersedia menjadikan saya wakil resmi PBB di New York. Saya juga memberitahukan segala sesuatu yang saya ketahui kepadanya dengan teratur, juga tentang apa yang saya dengar dari kawan-kawan saya di kedutaan Indonesia. Smedts langsung meneruskan surat-surat saya kepada Luns, yang kemudian mengirimkannya dengan sandi telegram ke New York dan ke Washington. Bukti mengenai hal ini juga baru saya peroleh tahun 1991. Pengertian solidaritas di antara sesama wartawan rupanya tidak terdapat di dalam ‘buku pintar’ wartawan tanah air. Untuk menyebutkan satu contoh saillant (mencolok), ialah yang terdapat di lingkungan majalah Trouw, sebuah majalah kristen yang bagus. Di New York majalah Trouw ini diwakili oleh sebuah potret, yang bernama Floris Cante. Pada saat itu saya tidak tahu bahwa orang itu ada. Tahun 1991 saya mendapat bukti dari intrik berikutnya, rahasia yang disimpan dengan baik di Kementerian Luar Negeri, semacam Orts Commandatur dari kegiatan ilegal terhadap warga yang jujur yang tidak ikut berkorupsi. BuZa telah mendengar adanya kemungkinan saya akan menulis untuk Christian Science Monitor di Boston. Cante langsung menerima surat permohonan resmi lewat komplotannya Luns agar ia menyurati Peminpin Redaksi Monitor memberitahukan bahwa Willem Oltmans adalah bajingan pinter, | |
[pagina 81]
| |
pengkhianat negara dan teman Soekarno. Dalam tempo 24 jam, orang-orang Trouw memenuhi permohonan ala mafia itu. Edwin Canham, Peminpin Redaksi majalah tersebut, bahkan berterima kasih lewat surat karena telah diingatkan oleh Cante terhadap seorang penipu seperti Oltmans. Ia berjanji kepada Cante, tidak sehuruf pun tulisan Oltmans akan muncul di halaman majalah Monitor. Cante telah mengibarkan benderanya. Den Haag mengiriminya pita tanda jasa pada hari ulang tahun ratu. Saya menunggu dengan sia-sia surat permohonan maaf dari Peminpin Redaksi Trouw yang keren, itu Jan Greven. Tanggal 24 April 1959, Bung Karno mendarat di bandar udara di Ankara, dengan kawalan pesawat Angkatan Udara Turki. Tanggal 25 April diselenggarakan sebuah perjamuan resmi untuk menyambut Soekarno di Hotel Ankara Palas, yang diikuti dengan undangan santap siang Perdana Menteri Adnan Menderes dan Menteri Luar Negeri Fatin Rustu Zorlu. Tiba-tiba saja ajudan presiden yang orang Ambon, Mayor Nanlohy, berdiri di dekat saya. ‘Bapak ingin bertemu dengan Anda,’ katanya. Saya dibawa ke tempat ketinggian, dan di sana, selain Presiden Celal Bayar dan Menderes serta Zorlu, terlihat Bung Karno dan Menlu dr. Subandrio. Kami berbicara sebentar. Saya senang bertemu kembali dengan Bung Karno setelah satu setengah tahun berpisah. Kami berjanji akan bertemu dan melanjutkan pembicaraan kami pada bulan Mei yang akan datang di Kopenhagen. Belakangan saya paham, di antara para tamu juga terdapat | |
[pagina 82]
| |
Duta Besar Hagenaar, si ‘buah masam’ yang saya kenal di Jakarta tahun 1957. Ia pasti sangat jengkel, karena Presiden Soekarno tidak mempedulikannya dan secara khusus hanya berbicara dengan saya. Adalah Willem, bangsawan dari Rappard, dan anggota Dewan Pimpinan dari Nederlands Opleidings Instituut voor het Buitenland (lembaga pendidikan Belanda untuk urusan luar negeri), yang menyarankan saya mengikuti kursus bagi diplomat di Nijenrode. Saya menyadari benar seusai menuntut ilmu di Yale tahun 1950, bahwa saya tidaklah berbakat menjadi diplomat dengan segala pernak-pemik penipuan yang selalu menyertainya. Sejak abad ke-16, diplomat Inggris Henry Wotton telah mengingatkan bahwa diplomat dikirim keluar negeri untuk berbohong demi negaranya. Mereka yang setelah berdinas di luar negeri kembali ke ‘Bukit Monyet’ di Den Haag tentu sangat tahu akan hal ini. Di Denmark, Soekarno menginap di Hotel Angleterre di Kopenhagen. Di Ankara, secara khusus ia telah meminta agar saya membawa istri saya pada saat itu, Frieda Westerman. Kami harus menemuinya pukul 07:00. Presiden mengutus ajudannya, Kolonel Rachman Mashur, menjemput kami. Saat memasuki ruang tamu, Bung Karno menyapa istri saya, ‘Nah, sayalah yang bernama Suki.’ Rupanya ia teringat apa yang pernah saya ceritakan kepadanya bahwa isteri saya menjulukinya demikian. ‘Duduklah, Wim,’ sebab ia telah menyilakan Frieda duduk di sebelahnya pada sebuah bangku. ‘Mengapa kalian belum dikaruniai anak?’ begitu bunyi pertanyaannya yang pertama. Ia telah memilih topik yang sangat tepat untuk membuka pembicaraan dengan isteri saya. | |
[pagina 83]
| |
Saya telah menyusun sebuah album berisi foto yang saya ambil pada saat kunjungan kenegaraan Indonesia ke Ankara. Ia membolak-balik album tersebut. Pertanyaannya yang pertama ialah, ‘Mengapa kamu tidak mengambil foto masyarakat Turki?’ ‘Itu sudah saya lakukan. Lihatlah di bagian selanjutnya, saya mengambilnya ketika Anda berkunjung ke mausoleumGa naar voetnoot7. Kemal Ataturk.’ Soekarno memang people oriented, ia selalu memikirkan rakyat, dan hal ini sangat jelas bagi saya. Psikosejarawan masa mendatang tidak boleh melupakan salah satu sisi kepribadiannya itu. Kami mengobrol tentang perkembangan yang terjadi sekitar masalah Irian Barat. Saya bertanya kepadanya, apakah kepala-pembantu-presiden, Pak Tamzil, telah menyampaikan buku yang membahas masalah ini, yang saya berikan kepadanya di Ankara. Ternyata ia tidak tahu apa-apa. Kecurigaan saya terhadap Tamzil meningkat. Saat kami pamit, Bung Karno berkata kepada Frieda, ‘Wim itu orang baik. Apakah ia juga suami yang baik?’ Jawab Frieda, ‘Kadang-kadang saja, yaitu apabila ia tinggal di rumah dan tidak selalu bepergian.’ Sementara itu, Menteri Chaerul Saleh memasuki ruangan dan pintu apartemen itu tertutup lagi. Saya bertanya, apakah ada yang mau menolong saya membukakan pintu, sehingga kami benar-benar dapat pergi. Presiden agaknya mendengar ucapan saya dan berkata, ‘Wim, kamu tahukan, cara membuka semua pintu.’ | |
[pagina 84]
| |
Tanggal 7 Mei 1958, kami sarapan bersama dengan Tuan dan Nyonya Van Konijnenburg yang baru tiba. Pengawal Presiden, Kolonel Sabur, datang mendekati kami. Ia sedang tidak berdinas dan hanya ingin bertemu kawan lama. Ketika kami tiba di lantai ruangan tempat Bung Karno menginap, kami melihat di sana sudah ada dr. Soebandrio, Perdana Menteri Denmark H.C. Hansen dan yang agak mengejutkan saya, Ir. Frits Philips dari Eindhoven. Kolonel Mashur keluar dan mengundang suami-isteri Van Konijnenburg, Frieda dan saya sebagai orang-orang pertama yang memasuki ruangan. Pernyataan Soekarno yang pertama-tama ketika menyapa nyonya Van Konijnenburg adalah, ‘Apakah Anda selalu pergi ke salon untuk merawat kecantikan anda?’ Sekali lagi Bung Karno meminta Frieda duduk di bangku di sebelahnya. Van Konijnenburg tiba-tiba saja mulai bercerita bahwa suasana di Belanda sekarang ini cenderung mendukung penyerahan Irian Barat kembali ke Indonesia. ‘Itulah yang saya tunggu,’ kata Bung Karno. ‘Kita tidak dapat terus bicara, bicara, bicara ins blauen hinein’Ga naar voetnoot8., lanjutnya. ‘Anda tahu syaratnya, yaitu penyerahan tanpa syarat kepada kami.’ Pak Kelinci mengatakan sesuatu yang menggambarkan sifat kepala batu yang khas Belanda. ‘Saya juga bisa berkepala batu,’ demikian presiden. ‘Tetapi sesudahnya, apabila masalah ini sudah terselesaikan maka sayalah yang pertama yang akan berkunjung ke Belanda.’ Seorang pejabat Denmark datang melapor, bahwa Ir. Frits | |
[pagina 85]
| |
Phillips menunngu di luar. Pemerintah Denmark-lah yang mengatur pertemuannya dengan Soekarno. Tetapi pembicaraan akrab kita terus berlangsung. Van Konijnenburg membujuk presiden agar mau diwawancarai oleh G.B.J. Hiltermann, ‘Karena sesudah wawancara itu, ia dapat menyiarkan pandangan yang lain mengenai Irian Barat lewat obrolan radionya.’ Jawab Soekarno, ‘Bila saya mendengar kata interview, saya sudah tidak bergairah lagi.’ Van Konijnenburg tidak putus asa dan menyarankan akan membawa Hiltermann bersamanya ke Roma, pada saat presiden berada di Italia untuk kunjungan ke Vatikan. ‘Tuan Van Konijnenburg, lebih baik anda datang sendirian ke Roma,’ kata Bung Karno dengan tegas. ‘Saya pun bepergian tidak dengan istri.’ ‘Saya telah menikah, dan perkawinan kami sangat membahagiakan,’ kata Pak Kelinci untuk mengalihkan pembicaraan. ‘Ya, hal itu tampak dari sinar wajah istri Anda,’ demikian Soekarno. Van Konijnenburg berkeras dengan keinginannya. Ia membawa Hiltermann bersamanya ke Roma, dan wartawan radio itu terpaksa tinggal di kamar hotelnya dengan sia-sia, menunggu telepon persetujuan Bung Karno yang tidak pernah ada. Peristiwa di Roma ini akan berdampak negatif terhadap obrolan radionya Hiltermann. Di tangga, saya bertanya kepada presiden, apakah saluran telepon saya lewat kepala rumah tangga istana, Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, masih tetap terbuka. ‘Tentu saja,’ jawabnya. ‘Saya membaca surat-suratmu di tempat tidur pada malam hari, saat saya dapat memusatkan perhatian saya tanpa terganggu.’ Sebagai penutup yang mengejutkan, ia masih | |
[pagina 86]
| |
berkata kepada Frieda, ‘Cepat-cepatlah punya anak.’ Setelah kami, masuklah Ir. Frits Philips. Kami masih berada di gang, bercakap-cakap dengan dr. Soebandrio, ketika Philips keluar dari ruangan Bung Karno. Ia tampak gugup dan melihat ke sekelilingnya dengan agak takut-takut. Ia mengajukan usulan agar empat orang Belanda dan empat orang Indonesia secara terbuka berunding mengenai cara yang terbaik dan tercepat yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah Papua ini. ‘Rundingkanlah hal itu dengan Van Konijnenburg saja,’ kata Bung Karno. Belakangan saya mendengar dari Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, bahwa presiden jengkel karena salah satu pernyataan Philips, yaitu, bila masalahnya berkait dengan dunia usaha di Belanda, besok pun Irian Barat sudah dapat diserahkan kepada Indonesia. ‘Hal itu tak usah Anda ceritakan kepada saya,’ demikian presiden, ‘tetapi lebih baik Anda mengatakannya kepada Perdana Menteri Jan de Quay’. Demikian akhir audiensi seorang industriawan besar. Sesudah itu Philips mencoba menutupi tindakannya. Ia sama sekali tidak ingin pertemuannya dengan Soekarno diketahui umum. Bukankah di tahun 1959 itu, berbicara dengan Soekarno masih dianggap sama dengan berkhianat terhadap negara? Saya mengupayakan agar kunjungan rahasia tuan ini ke Kopenhagen tanggal 8 Mei 1959 muncul di halaman depan De Volkskrant.Ga naar voetnoot9. Telah berbilang tahun saya tidak dapat lagi bekerja sebagai wartawan, karena saya | |
[pagina 87]
| |
mendekati Soekarno. Bagi Philips, sebagai pengusaha yang tidak usah menggantungkan diri pada orang lain dalam masalah keuangan, hal itu bukanlah menjadi masalah. Bersikap berani untuk bebas menyatakan pendapat bukanlah sifat yang menonjol pada para pengusaha di tanah air, paling tidak seperti saya amati dari dekat selama bertahun-tahun di lingkungan sekitar dr. Paul Rijkens. Tahun 1976 Ir. Philips mengungkapkan di dalam buku kenang-kenangannya 45 tahun bersama Philips, bahwa kunjungannya kepada Soekarno di Kopen-hagen telah menyebabkannya mendapat teguran keras dari JosephLuns. |
|