Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 66]
| |
Den Haag (1957)Dalam perjalanan pulang ke Belanda saya singgah di S'uez untuk menyalami teman-teman saya dari batalion Garuda I di PBB. Mereka akan pulang ke negerinya dengan kapal ‘Talisse,’ sebuah kapal Belanda. Paling tidak saya telah melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kepulangan mereka. Selama berada di Indonesia tahun 1956-1957, semakin jelaslah bagi saya bahwa pemerintah dan parlemen telah sia-sia dalam bersikeras melawan jalannya sejarah pasca 1945 di Asia Tenggara, dan bukannya menapaki langkah sejarah itu. Saya menjadi saksi mata dari apa yang ingin dijelaskan oleh Jaques de Kadt (PvdAGa naar voetnoot1.) dalam bukunya Het treurspel der gemiste kansenGa naar voetnoot2.. Yang sangat menjengkelkan saya adalah betapa setiap orang di Belanda dengan sengaja berbohong mengenai teman saya Soekarno. Lagi pula semua kebohongan itu ternyata merugikan diri sendiri. Bukannya secara ksatria | |
[pagina 67]
| |
mengakui bahwa pria itu telah memenangkan perjuangan kemerdekaannya -- dengan memanfaatkan serangan dari pihak Jepang -- Den Haag berbicara yang bukan-bukan mengenai Bung Karno, dan muncul dengan daftar panjang tentang segala hal yang menjelekkan pribadinya. Multatuli barangkali akan setuju dengan saya: boleh dikatakan semua hal yang diperbincangkan mengenai Soekarno di Belanda tidak benar. Walaupun demikian, tidak mungkin untuk menjelaskannya di depan umum, seperti halnya seratus tahun lalu pada masanya Max Havelaar, apakah pengungkapan masalah pelelangan kopi Perusahaan Dagang Belanda (VOC) masih merupakan usaha yang belum dimulai, menyampaikan kebenaran mengenai Hindia Belanda. Informasi disampaikan dari asisten residen ke residen, selanjutnya ke gubernur jenderal atau ke kabinet di Den Haag. Tahun 1957 Bung Karno masih tetap menjadi musuh bebuyutan pemerintah Den Haag dan tidak ada yang mempertanyakan hal itu. Lagipula, tidak ada yang peduli, apakah yang diceritakan orang tentang Bung Karno itu benar atau salah. Baru tanggal 13 Januari 1995, jadi setengah abad kemudian, kita baca tentang hal ini secara terinci mula-mula di majalah De Journalist,Ga naar voetnoot3. bagaimana kebohongan itu berkembang. ‘Wartawan Belanda, yang boleh masuk ke Indonesia tahun 1945-1950,’ demikian tulis profesor J.A.A. van Doorn, ‘semuanya disaring dengan ketat dan mereka dilatih dahulu oleh pejabat penerangan militer. Para wartawan | |
[pagina 68]
| |
itu selalu berperilaku sebagai orang yang “cinta tanah air”. Mereka tidak perlu petunjuk lagi. Mereka sadar akan tugas mereka, dan mereka menyesuaikan diri, dan barangkali tanpa sadar sepenuhnya, mereka menyensor dirinya sendiri. Mereka tahu berita apa yang ingin didengar di tanah air, dan mereka menyajikannya dengan penuh rasa dan warna.’ Max Havelaar ternyata berkunjung kembali setelah seratus tahun. John Jansen van Galen menambah di De Journalist, ‘Saya masih mengingat masa-masa itu. Kami, anak sekolah menyanyikan lagu. En wat doen we met Soekarno als-ie komt? We maken er kachelhoutjes van.’Ga naar voetnoot4. Jansen van Galen telah dicuci otaknya sejak ia masih kanak-kanak: Hidup Wilhelmina dan gantung Soekarno! Dalam tahun-tahun belakangan ini makin jelas adanya penyandian otak. Bagaimana cara kita menga-wasandikan segala omong kosong yang disensor itu dari otak orang dewasa, merupakan masalah neuro-fisiologi yang masih harus dipecahkan. Rimbaud pernah mengatakan, ‘Love has to be re-invented.’ Cinta harus diciptakan kembali. Di dalam buku Decoding thepasiGa naar voetnoot5., Peter Loewenberg menghunjamkan tombak bagi pendekatan psiko-sejarah atas masa lalu. Yang dimaksudkannya ialah penemuan ulang mengenai kebenaran pada masa lalu, juga atas dasar analisis psikologi modern. Bahkan usaha yang paling kecil ke arah ini, seperti misalnya artikel utama yang terbit di HP de Tijd tanggal 30 Juni 1995, ‘Merunut jejak Soekarno,’ telah menyebabkan gempa bumi | |
[pagina 69]
| |
kecil yang bersifat psikis di benak mereka yang berurusan dengan Indonesia. Di satu pihak para uskup Katolik Roma muncul dengan surat mea culpa (saya berdosa) dan di lain pihak juru film Frans Glissenaar menulis di De Volkskrant terbitan 12 Juli 1995 bahwa saya, dengan visi saya mau mencoba membuat Bung Karno tampak sebagai ‘orang suci’. Pada hakikatnya saya hanyalah seorang wartawan yang belum ‘disaring’, yang lolos dari siratan jejaring Den Haag, Luns, Dubes Boon dan Peminpin Redaksi Stokvis, sehingga tak terkendali dan dapat mengejar Soekarno di Italia. Di atas semua itu, perjalanan saya ke Indonesia juga menambah keyakinan Den Haag bahwa saya seorang pengkhianat, sehingga bagi sensor kalangan dalam, tanpa saya sadari, saya seolah-olah bom yang harus terus diwaspadai. Oleh sebab itu, ketika di bulan September 1957 saya kembali ke tanah air setelah petualangan saya di Indonesia dengan Bung Karno, rekan saya Henk Hofland memberi tahu saya, bahwa dinas rahasialah yang menjadi penyebab saya dipecat begitu saja oleh tiga surat kabar yang mempekerjakan saya di Jakarta. Para Peminpin Redaksi seperti A. Stempels (NRC), H.M. Planten (Algemeen Handelsblad) dan W. van Wijk (Het Vaderland) sebetulnya sangat tahu bahwa saya benar, tetapi mereka lebih mementingkan keselamatan perusahaan mereka sendiri. Bukankah Luns lebih populer dibandingkan Pangeran Bernhard? Siapa yang berani mengusik kemarahan menteri itu? Saat ini, terutama di lingkung wartawan muda, beredar desas-desus seakan pengaruh dari kalangan mapan di Den Haag tahun 1995 akan | |
[pagina 70]
| |
sangat berkurang apabila dibandingkan dengan lima puluh tahun yang lalu. Siapa yang berpendapat demikian, hendaknya memeriksakan dirinya sendiri dahulu. Dengan demikian, saya kembali dari Indonesia di musim gugur tahun 1957 dan tiba di wilayah kerajaan yang dapat saya persamakan dengan sebuah gua tempat tinggal seekor singa kolonial yang sekarat. Karena negara telah menutup pintu bagi saya untuk memasuki media, tidak ada jalan lain bagi saya kecuali mencoba mengadakan pembicaraan empat mata dengan sejumlah tuan dan nyonya yang bertanggung jawab atas masalah politik, untuk bercerita tentang pengalaman dan pembicaraan saya dengan Soekarno. Selama berminggu-minggu saya sibuk dengan hal ini. Saya berkunjung ke berbagai kota dan negeri (tentu saja atas biaya sendiri) untuk mengerjakan hal yang saya anggap penting bagi negara, yaitu mencoba dengan sabar, memberi gambaran lain tentang Soekarno kepada para politisi dan wakil rakyat. Beberapa di antara mereka cenderung mempersamakan orang lain seperti diri mereka sendiri, dan mengira bahwa tour d'horizon atau perjalanan yang saya lakukan itu adalah atas permintaan dan dibiayai penuh oleh Bung Karno. Bung Karno tidak tahu apa-apa. Rupanya masyarakat tidak dapat mengerti bahwa bagi saya, sebagai wartawan, penyampaian fakta dan informasi yang telah diselidiki kebenarannya dalam keadaan apa pun harus didahulukan, biarpun tindakan itu akan mengakibatkan saya menjadi person non g rata. Antara lain saya mengunjungi mantan Perdana Menteri Profesor Gerbrandy, yang dengan suaranya di Radio Oranje | |
[pagina 71]
| |
yang terkenal itu, berpendapat saya telah dihinggapi ‘rasa optimis yang membahayakan bahwa kita dapat bersantap bersama dengan Soekarno dengan aman.’ Mantan Perdana Menteri Profesor Beel bahkan berceritera dengan bangga -- sambil memasang wajah yang menjijikkan -- bahwa dialah yang memberi saran kepada Ratu Juliana untuk menyetujui aksi polisionil yang kedua melawan Soekarno. ‘Itu adalah keputusan saya,’ katanya, dengan tekanan pada kata ‘saya’. ‘Keputusan ini tidak dapat dihindari, baik oleh kita maupun Indonesia. Sudah tiba saatnya kita harus menerapkan disiplin kepada Indonesia ...’ demikian katanya. ‘Tetapi, mereka berjuang untuk kemerdekaannya, sama seperti kita pada tahun 1940-1945 itu,’ jawab saya dan dalam hati saya berpikir, ‘oh tuan, andaikata saja anda mau berusaha duduk bersantap semeja dengan Bung Karno, maka perang tidak akan terjadi’. Orang ini tidak ingin mendengar sepatah kata pun yang baik mengenai Soekarno. ‘Apakah anda pernah berjumpa dengannya?’ ‘Tidak, ketika saya berada di Jakarta, Soekarno ada di Yogyakarta. Kami tidak mempunyai hubungan dengan apa yang disebut republik yang telah berkedudukan di Yogyakarta.’ Pikir saya, ‘Andaikan saja Anda membawa sepeda!’ Semuanya menjadi jelas bagi saya: tidak seorang pun di Den Haag yang sebenarnya menyadari apa yang mereka katakan, kecuali mungkin mantan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Ia sudah menyadari sejak awal, bahwa hanya Soekarnolah yang memegang kunci untuk penyelesaian masalah secara damai. Untuk alasan itulah ia berbicara dengan | |
[pagina 72]
| |
Bung Karno, yang berakibat ia mendapat caci-maki keras dari Den Haag. Ia dipanggil pulang dan belakangan di-‘singkirkan’ oleh Willem Drees menjadi dosen di New York. ‘Itulah jabatan yang paling sesuai bagi anda,’ kata Drees ketika melantik Van Mook. Tanggal 11 November 1957 saya bersantap siang dengan Van Mook di New York. ‘Drees bahkan tidak berusaha menutup-nutupi kegembiraannya karena berhasil menyingkirkan saya. Apakah anda juga memperhatikan bahwa pemimpin masyarakat selalu dari kalangan menengah?’ Dosa Van Mook karena dua kali berbicara dengan Soekarno rupanya tidak dapat dimaafkan. Saya menjumpai anggota Raad van StateGa naar voetnoot6. seperti Joekes dan Meijer Ranneft, Profesor Oud, Tuan Jonkman, Jenderal Calmeijer, tuan-tuan Burger, Idenburgh, Vos, De Graaf, nona Wttewaal van Stoetwegen dan banyak lainnya.Ga naar voetnoot7. Demikian pula wartawan terkemuka yang saya temui pada masa itu, seperti P.J. Koets dari Het Parool, yang menunjukkan emosi berapi-api terhadap Soekarno, tetapi sebenarnya hanya mempunyai pengetahuan sebanyak nol koma nol mengenai hal ini. Kecuali dr. M. van Blankenstein, komentator dari Het Parool, yang telah mengunjungi Indonesia tahun 1952 dan menulis buku Indonesie Nu (Indonesia masa kini). Ia juga berhubungan akrab dengan Paul Rijkens. Ia ber-‘engkau-dan-aku’ saja dengan boleh dikatakan semua pejabat di Den Haag. Ia pernah bertemu dengan Soekarno, dan ini cukup baginya | |
[pagina 73]
| |
untuk memperoleh gambaran untuk menetapkan apa yang harus kita lakukan di Asia Tenggara. Selama bertahun-tahun saya terus berhubungan erat dengannya. Karena kenyataannya hanya tokoh-tokoh di dunia usahalah yang bisa berpikir jernih mengenai masalah Indonesia dan dapat mendekati persoalan Irian Barat yang sangat rumit itu, saya memutuskan akan mengatur pembicaraan di antara para wirausahawan ini dengan suatu choix atau pilihan politik. Tanggal 17 Oktober 1957 di Hotel de Witteburg diadakan pertemuan membicarakan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membantu mencegah makin parahnya permasalahan Irian Barat. Pertemuan ini dihadiri oleh para ketua dari Kamers van KoophandelGa naar voetnoot8. dari Amsterdam dan Rotterdam, Delprat dan Van der Mandele, yang didampingi Emile van Konijnenburg dari KLM yang sudah mengenal Soekarno di satu pihak, dan tuan-tuan Joekes, Meijer Ranneft, dan Idenburgh dari kemampuan politik di lain pihak. ‘Tampaknya politik Belanda tidak akan memberikan titik balik yang baru, yang segar, mengenai hubungan yang baik,’ begitu tulis Hofland berkenaan dengan informasi yang saya berikan kepadanya mengenai hal ini, karena ia sendiri berusaha agar selalu ‘bertabiat baik’ dan tidak melakukan apa-apa yang tidak berkenan bagi Den Haag.Ga naar voetnoot9. Barangkali hal ini harus ditekankan lagi. Menurut aturan, seorang wartawan tidak akan maju dengan ‘diplomasi diam’. | |
[pagina 74]
| |
Tetapi saya tidak mempunyai pilihan lain. Negara telah berhasil membungkam mulut saya secara efektif lewat para pimpinan redaksi yang loyo. Sebenarnya saya sangat marah, sehingga, kalau tidak ada cara lain, saya akan minta pengakuan dari kelompok sandiwara penguasa politik di negara ini. ‘Dengan kewaspadaan semacam itu, yang dikenal sebagai adat budaya dan sopan santun, maka praktis seluruh jajaran pers Belanda ambruk oleh Oltmans,’ demikian tulis Hofland lima belas tahun kemudian di dalam buku yang disebut di atas. ‘Oltmans langsung masuk tepat ke penggilingan belanda model kuno, tempat nama baiknya dihancurkan sampai lumat, dan segera pula ia dikenal sebagai pengkhianat negara,’ demikian tulis teman sekamar saya di Nijenrode di antara tahun 1946-1948 itu. ‘Ah,’ demikian keluh Perdana Menteri Ruud Lubbers tanggal 8 Agustus 1994, empat puluh tahun kemudian, dalam suatu kesempatan berbicara di kantornya yang termasyur itu. ‘Reputasi sebagai pengkhianat negara itu telah Anda sandang selama empat puluh tahun, dan anda tidak pernah akan lepas darinya,’ dan kata-katanya tepat menggambarkan cara berpikir orang Belanda. Karena pertemanan saya dengan Soekarno, kami jadi bernasib sama, dimusuhi sampai mati. |
|