Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 56]
| |
Di Kapal DjadajatGa naar voetnoot1.Setelah perjalanan lintas Kalimantan ini saya memutuskan akan menemui Bapak Hagenaar di perwakilan diplomat Belanda untuk menceritakan pengalaman saya. Ia menerima saya dengan wajah tidak senang. Di situ hadir pula Pekelharing, tenaga ahli yang diperbantukan di kedutaan. Saya mencoba mencari tahu apakah mereka mungkin sudah menangkap isyarat Bung Karno yang ditujukannya kepada negeri kitaGa naar voetnoot2.. ‘Mengenai apa yang Anda lakukan dengan kehadiran Anda di Kalimantan hendaknya Anda berdamai dengan perasaan hati Anda sendiri,’ demikian kata wakil ratu tahun 1957 di Jakarta. ‘Di samping itu saya tidak berharap bahwa Anda datang kepada kami untuk membicarakan urusan Anda sendiri. Berita apa yang akan Anda sampaikan kepada kami?’ ‘Bukankah kita semua, sebagai warga Belanda, hanya | |
[pagina 57]
| |
punya satu urusan di sini, dan itu adalah untuk mencoba membalikkan hubungan antara Indonesia dan Belanda yang makin jauh dan semakin tegang? Saya kemari dengan pikiran bahwa Anda mungkin ingin tahu akan tindakan Soekarno yang ditujukannya ke Belanda untuk berdamai,’ jelas saya. Hagenaar, ‘Seperti yang Anda tulis, Anda berpendapat bahwa kita tidak mau mengadakan pembicaraan yang jujur dan dilandasi kepercayaan dengan Indonesia.’ Saya berkata, ‘Anda tentu tidak akan mengatakan, bahwa Anda, atau pembantu Anda, bertukar pikiran dengan jujur dan terbuka dengan orang-orang yang pada akhirnya berkuasa di sini bukan? Itulah yang saya lakukan.’ Saya tidak mau bersikap keterlaluan dan melukai hati mereka dengan menyebut nama Soekarno, tetapi Hagenaar dan Pekelharing pasti mengetahui apa yang saya maksudkan. Tenaga ahli yang diperbantukan di kedutaan itu menengahi pembicaraan kami dan berkata bahwa misi menaruh perhatian kepada informasi yang dapat dimanfaatkan orang di Den Haag. Itulah untuk terakhir kalinya saya melangkahkan kaki ke arah yang ditempuh misi Belanda di Indonesia. Saya tidak mungkin lagi dapat bekerja sama dengan kacung-kacungnya si Luns. Pada saat itu Emile van Konijnenburg dari kelompok Rijkens muncul kembali di Jakarta. Kali ini bicaranya lain dan mengejutkan. ‘Indonesia hendaknya berhenti dengan meminta dunia internasional menyelesaikan masalah Irian Barat. Secara ekonomi negara ini tidak baik,’ katanya. ‘Pengaruh PKI berkembang amat pesat. Kalau saya bertemu | |
[pagina 58]
| |
dengan Bung Karno nanti, saya akan mencoba menjual gagasan saya kepada Bung Karno bahwa the New Life Movement, seperti yang belum lama ini dikemukakannya, harus punya tujuan yang pasti.’ Saya tidak dapat mempercayai telinga saya. Di sini ada seorang pengusaha terkemuka dari Den Haag, yang telah mengenal Soekarno selama bertahun-tahun dan cukup tahu tentang perkembangan di Indonesia. Apakah ia, seperti halnya Guy Pauker, juga melihat kaum komunis naik panggung? Demi Tuhan, apa yang mendorongnya sehingga ia menganggap presiden ini tidak sadar akan apa yang dilakukannya agar dapat memimpin proses revolusi tetap di jalurnya yang benar? Saya mencoba menjelaskan Pak KelinciGa naar voetnoot3., begitu ia disebut di istana bahwa saya lebih khawatir akan adanya ancaman langsung terhadap presiden, yang muncul dari lingkungan pejabat resmi yang paling dekat Bung Karno. Di samping itu saya menganggap pembelaan Belanda agar Indonesia tidak lagi mengajukan tuntutan yang tinggi, agak menggelikan, mengingat apa yang telah terjadi, dua peperangan dan termasuk juga satu tindakan khianat yang berkaitan dengan Irian Barat. Van Konijnenburg juga tidak mau mengerti bahwa tumbuhnya PKI disebabkan pula oleh sikap kepala batunya orang Den Haag dalam berpolitik, dilihat dari segi masalah Papua. Akhirnya ‘Pak Kelinci’ masih mengatakan, ‘Apabila nanti Anda mewawancarai Bapak, Anda harus mencoba menyuruh- | |
[pagina 59]
| |
nya mengatakan bahwa kaum komunis dan kaum Islam tidak pernah dapat berjalan bersama-sama. Apabila ia mengatakan itu, maka bereslah semua. Pertumbuhan PKI telah mengejutkan dunia. Anda harus menjelaskan presiden, pernyataan seperti itu tidak dapat tidak harus keluar dari presiden, paling tidak untuk sedikit meredam kekhawatiran dunia akan tumbuhnya kekuatan komunis di Indonesia.’ Saya mendengarkan nada perkataan ‘Pak Kelinci’ ini dengan satu kecemasan. Van Konijnenberg tidak tahu apa-apa tentang cara seorang wartawan mewawancarai seseorang. Tidak dapat diragukan lagi maksudnya memang baik, tetapi bagaimana pendapatnya yang sebenarnya tentang presiden? Apakah sekarang ini ‘Pak Kelinci’ menganggap Bung Karno begitu bodohnya dan bisa dipermainkan begitu saja? Di samping itu, presiden memang seorang nation builder, seorang pendiri negara yang utama. Seluruh jiwa raganya diberikannya untuk mendamaikan dan menyatukan berbagai kekuatan yang saling bertentangan di dalam batas-batas kepulauan Indonesia. Apakah, hanya demi menyenangkan masyarakat luar negeri, ia harus menyiramkan minyak ke dalam api yang berkobar di dalam negeri? Tanggal 18 Agustus 1957 saya berangkat dari Tanjung Priok, naik kapal ‘Djadajat’ milik pemerintah dengan tujuan Surabaya. Di sana, sejumlah besar pengikut presiden akan bergabung untuk memulai perjalanan rombongan presiden ke Indonesia Timur lewat laut. Kepala negara bersama beberapa orang menteri dan duta besar akan berlayar dengan kapal torpedo bekas milik Belanda, yang sekarang diberi nama ‘Gadjah | |
[pagina 60]
| |
Mada.’ Kedua kapal itu akan berlayar berdampingan selama sepuluh hari. Profesor Guy Pauker juga ikut lagi. Setiap kali saya bertemu dengannya, pandangannya mengenai Bung Karno, dalam artian negatif, semakin meningkat. ‘Ia terlalu tinggi menilai kepopulerannya,’ begitu celotehnya kali ini. ‘Ia bermain-main dengan dinamit. Ia terlalu yakin akan dirinya sendiri. Orang-orang di negerinya bukan lagi massa yang dulu, yang tidak tahu apa-apa. Soekarno tidak lagi penguasa absolut di Indonesia. Semakin banyak tokoh lain muncul ke depan. Ia harus memikirkan bahwa apabila Moskow dan kaum PKI sudah menginjakkan satu kakinya di ambang pintu, maka sangatlah sukar mengeluarkan mereka kembali.’ Pria ini sudah seperti orang gila mengkhawatirkan bahaya merahGa naar voetnoot4. bagi Indonesia. Saya menghindarinya sebanyak mungkin, menganggapnya tidak ada. Saya tidak suka mendengarkan ocehannya. Juga di Ambon, Ternate dan Tidore, Bung Karno menarik saya ke mimbar dan menunjuk saya sebagai ‘wartawan dari Belanda: orang yang baik’. Saya selalu merasa tidak enak akan hal ini. Untung saja bahwa ia juga berbuat sama terhadap Olga Chechotkina dari Pravda, yang juga ikut dalam perjalanan ini. Bagi saya, pendapat saya mengenai masalah Irian Barat tidak perlu mendapat imbalan jasa. Saya hanya mengerjakan pekerjaan rumah saya lebih baik daripada kebanyakan rekan senegara saya. Dan saya tidak berdinas di kantor Joseph Luns, seperti halnya anggota staf diplomatik di Jakarta, yang berupaya agar menteri itu serta komplotannya | |
[pagina 61]
| |
di Den Haag mendengar apa yang ingin mereka dengar. Memang benar, saya telah mencabut ‘kartu merah’ sebagai wakil dari ‘mimbar bebas’ dalam demokrasi tanah air yang bebas, tetapi ini untuk menutup mulut saya rapat-rapat bila saya tidak mau mati terbunuh oleh mereka. Hal itu sebenarnya tidak perlu, karena sensor pemerintah penguasa terhadap apa yang mungkin akan saya ceriterakan, bagaimanapun juga ceritera itu tidak akan muncul, karena ada sistem yang ‘cerdik’, untuk mengekang setiap perbedaan pendapat, yaitu pendapat yang berbeda dengan yang ‘ingin’ didengar oleh penguasa di Belanda. Dalam hal ini Den Haag berhak menerima Hadiah Nobel untuk keberhasilannya membungkam semangat yang terlalu bebas, sehingga menjadi semangat yang ‘tidak berguna’. Dalam perjalanan ini kadang-kadang Presiden Soekarno menggerutu mengenai Belanda dan bekas kolonialisme sampai sedemikian rupa sehingga darah saya mulai mendidih. Kadang-kadang ia membiarkan dirinya dihanyutkan gaya pidatonya sendiri dengan cara yang tidak dapat saya terima, walaupun secara garis besar ia benar. Saya mengeluhkan perasaan sesak di hati saya ini pada Wim Latumeten atau Piet van Bel, yang mengerti keadaan saya dan mereka berkata, ‘Orang tua itu memang manusia juga.’ Pada kesempatan yang lain Menteri Chaerul Saleh misalnya berkata kepada saya, ‘Bung Karno telah selama berminggu-minggu ini memanfaatkan Anda untuk mengirim isyarat mau berdamai dengan Belanda. Bukankah ia sebenarnya tidak ingin berhadapan langsung dengan kalian mengenai Irian Barat? Dan apa yang dilakukan pemerintah | |
[pagina 62]
| |
Anda?’ Setelah pernyataan tentang pengamatan semacam itu saya betul-betul tak tahu lagi apa yang akan saya kerjakan. Saya tidak berdaya. Di Pulau Morotai rakyat Papua menari di hadapan presiden. Saya berkenalan dengan Zainal Abidin Sjah, gubernur yang diangkat pemerintah Indonesia untuk Irian Barat. Den Haag selalu menginformasikan bahwa rakyat Papua tidak mungkin jadi bangsa Indonesia, karena mereka berambut keriting halus dan mempunyai raut wajah yang sama sekali berbeda. Sementara itu saya melihat, bahwa di semua tempat di Indonesia timur yang kita singgahi dalam peijalanan ini, penduduk setempatnya lebih mirip orang Papua dibandingkan dengan orang Jawa atau Sumatra. Alasan bawa orang Papua itu bertipe negroid dan ‘oleh sebab itu’ daerahnya tidak dapat diserahkan kepada Indonesia, merupakan pernyataan yang tampaknya berarti tetapi sebenarnya kosong. Alasan itu dibuat, hanya untuk dapat mengganggu Soekarno agak lebih lama lagi, karena belum dapat menerima kekalahan kita sehingga kehilangan Hindia Belanda, dan kita menimpakan kebencian kita kepadanya meskipun tidak secara terang-terangan. Pada malam hari kunjungan ke Samarinda, diselenggarakan malam kesenian untuk menghibur presiden dan rombongannya. Dalam kesempatan seperti ini, presiden selalu mengajak tamunya menari. Raja dari Yogyakarta, Paku Alam, ikut dalam rombongan kita. Soekarno memintanya sebagai pasangan yang pertama menemaninya menari. Menteri Chaerul Saleh melihat raja tersebut berkenan memenuhi ajakan | |
[pagina 63]
| |
presiden dan berkata kepada saya, ‘Lihatlah, demokrasi telah sangat maju di negeri kami.’ Saya sendiri mengajak seorang gadis cantik setempat berdansa. Soekarno menari dengan wanita setengah tua yang gemuk, istri pejabat (bupati) setempat. Pada suatu saat saya merasakan sebuah tangan menekan pundak saya. Bung Karno ingin bertukar pasangan dengan saya. Ketika pada keesokan harinya kita berlayar di laut luas, saya melihat gadis cantik itu berjalan-jalan di geladak kapal ‘Gadjah Mada.’ Kepala negara ini rupanya telah mengajaknya ikut dalam perjalanan ini begitu saja. Ia memang sukar meninggalkan kebiasaannya. John Lie, kapten kapal dan komandan kapal perang, berceritera bahwa sebagai orang kristen, ia mengundang para tamunya di malam hari ke kamarnya untuk berbincang-bincang dengan Bung Karno dan beberapa menteri serta diplomat luar negeri, mengenai kitab suci. Ia bercerita kepada saya bahwa terjadi perbincangan yang hidup, ‘dan tahukah Anda apa yang menarik’ katanya, ‘ialah bahwa pada saat berpisah, presiden adalah orang satu-satunya yang menyalami saya dan berterima kasih untuk acara malam itu.’ Saya mengenal egard-nya itu dengan baik. Kadang-kadang kami pindah dari kapal ‘Djadajat’ ke kapal ‘Gadjah Mada’ dan kami duduk dalam lingkaran di geladak kapal, di kursi santai yang terbuat dari rotan. Suatu petang, saya sedang mengobrol dengan Olga dan dengan Presiden, ketika dubes Uni Sovjet, Iran, dan kuasa usaha dari Irak ikut bergabung dengan kami. Tiba-tiba saja Bung Karno mengusulkan agar kami menyanyikan lagu daerah kita masing- | |
[pagina 64]
| |
masing. Ia sendiri mulai menyanyikan bait-bait awal lagu Wilhelmus.Ga naar voetnoot5. Saya menyesal karena tidak membawa alat perekam saya. Dubes Zukov dan Olga Chechotkina menyanyikan Internationale dengan suara keras dan untunglah Presiden melompati giliran saya. Pada pendaratan di Djalolo, sebuah pulau kecil, penduduk pulau itu telah menyiapkan joli yang akan menandu Bapak seolah-olah seorang raja. Untuk penghormatan semacam ini, ia menyampaikan terima kasih dengan senang. Ia tidak mau menerima penghormatan yang diberikan panitia penyambut itu dan berkata, ‘Sini, kalian harus menghormati sang Merah Putih, dan bukan saya.’ Maka, dengan gembira berbarislah rombongan dengan ‘singgasana’ yang sedianya disiapkan untuk Bapak, yang diisi dengan bendera dwiwarna. Tanggal 30 Agustus 1957. Perjalanan saya ke Indonesia ini sudah hampir berakhir. Kami terbang kembali ke Makasar, di sana Presiden akan bertemu dengan Ventje Samual, perwira yang memberontak. Di dalam pesawat juga ada Kolonel Pieters, orang Ambon yang menjadi komandan militer di Indonesia Timur. Katanya kepada saya, ‘Dengan kehadiran Anda di sini, Anda telah beijasa bagi negara Anda.’ ‘Saya khawatir bahwa orang di Den Haag menafsirkannya lain’, jawab saya sambil mengingat wajah tidak puas yang diperlihatkan diplomat Hagenaar dan Pekelharing di Jakarta. Saya mengaduk-aduk berkas saya. Kolonel Pieters melihat foto kenegaraan presiden di antara berkas saya. ‘Anda harus | |
[pagina 65]
| |
memintanya menandatangani foto itu,’ katanya. Pikiran itu tak pernah terlintas dalam benak saya. Saya selalu ingat dan amat berterima kasih kepada Pieters karena telah mendorong dan mengingatkan saya. Saya segera berjalan ke bagian paling belakang pesawat Convair ini, yang dilengkapi dengan kursi malas dan sebuah meja untuk Presiden. ‘Oke,’ katanya segera. Ia pun menambah dengan tulisan, ‘Untuk Willem Oltmans, banyak terima kasih, 4 September 19-57.’ Saya menduga bahwa saya adalah orang Belanda satu-satunya, yang mendapat kehormatan menerima ucapan terima kasih pribadi dari Presiden Pertama Indonesia. Tidak ada harganya, demikian kata seorang rekan, ketika ia melihat potret tersebut di rumah saya, dan yang sudah saya beri pigura perak. |
|