Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 47]
| |
Samarinda (1957)Apabila Bung Karno telah jemu dengan berbagai intrik dan persekongkolan di antara para politisi dan pejabat pemerintahan yang saling tidak mau mengalah, maka ia merencanakan perjalanan ke daerah-daerah terpencil di negerinya. Seperti layaknya suatu upaya untuk meringankan tekanan psikisnya, ia selalu mencari hubungan dengan mereka yang memang menjadi perhatiannya yaitu; orang-orang, massa, rakyat Indonesia. Di antara merekalah ia betul-betul merasakan betah. Ia mempercayai rakyatnya. Dan rakyatnya percaya kepadanya. Niels Mulder menulis buku yang sangat bagus mengenai latar belakang budaya dan psikologi masyarakat Jawa.Ga naar voetnoot5. Di dalam bab berjudul ‘Hubungan Vertikal’ ia menekankan hal yang sangat penting bagi seorang pemimpin bangsa menurut | |
[pagina 48]
| |
pola pikir orang Jawa. ‘To motivate inferiors or followers positively a leader should be a “bapak”, aprotecting father-like figure who stimulates afeeling oftrust and dependence. He should make his followers feel that he cares and that he is superior indeed, making his “kebapakan”, his being a true “bapak”, felt.’ Untuk memotivasi rakyat, bawahan atau pengikutnya secara positif, seorang pemimpin haruslah seorang ‘bapak’, tokoh seperti ayah yang melindungi, yang merangsang timbulnya rasa percaya dan dapat diandalkan. Ia harus dapat membuat pengikutnya merasa bahwa ia memperhatikan mereka dan bahwa ia memang hebat, sehingga sifat kebapakannya, bapak yang sesungguhnya, dapat terasakan, (hal. 49) Soekarno memang sungguh-sungguh menyatu dengan perjuangan kemerdekaan bangsanya, ia terlibat dan ia tumbuh bersamanya. ‘Bapak’, bapak tanah air seluruh bangsa Indonesia, yang dipercayai oleh setiap orang di negeri ini, tetapi tidak termasuk kelompok para penipu dan pesekongkol di ibu kota. Perasaan ini timbal balik: dengan selalu bergerak di antara rakyatnya, presiden menggali kekuatan baru bagi kepemimpinannya karena ia sadar bahwa massa sangat mengandalkannya. Apabila Bung Karno kembali bepergian, tahulah orang-orang di dekatnya dan orang kepercayaannya, bahwa ‘bapak’, demikianlah semua orang di istana menyebutnya, memerlukan ‘suntikan vitamin’, yang diberikan oleh massa dan rakyatnya, khusus untuk kebapakannya. Tanggal 14 Juli 1957, saya tiba dengan presiden dan para pengikutnya di Banjarmasin di Pulau Kalimantan. Soekarno | |
[pagina 49]
| |
kembali berpidato di depan massa rapat raksasa. Seperti biasa, saya duduk di antara kerabat kerja istana, ajudan presiden, Sabur dan Sudarto, pembantu presiden, Tukimin, juru kamera, Silitonga, juru potret, Rochman dan penata suara, si indo Piet van Bel. Piet telah lama bekerja untuk presiden dan ia tahu dengan tepat cara mengatur kerasnya perlengkapan suara seperti yang dikehendaki. Ia mengenal Bapak luar dalam, dan sangat berbakti kepada tuannya. Bahkan putri Piet yang bernama Peggy selalu terlihat bermain-main di istana. Pada saat-saat itu Piet adalah orang Belanda satu-satunya yang dapat saya ajak berbicara dengan akrab mengenai hal-hal yang kami kagumi dari Bung Karno. Kami terus membicarakannya, berhari-hari, kadang-kadang berminggu-minggu. Di Banjarmasin presiden kembali berbicara mengenai pekerjaan saya sebagai wartawan. Van Bel menambah dengan berkata kepada saya ‘Pada saat ini Bapak sedang menggelitik bokong Anda dan Anda tidak mengerti.’ Tak lama kemudian saya dipanggil untuk naik ke mimbar. Saya ragu-ragu. Menteri Sudibjo memberi tanda bahwa saya boleh maju. Bapak meletakkan tangannya pada pundak saya dan memperkenalkan saya kepada ribuan massa rakyat dan berkata ‘Nih, saya menyalami kamu sebagai orang Belanda dan dengan ini saya juga bersalaman dengan Belanda.’ Tak lama kemudian terdengar rakyat bersorak-sorai penuh semangat. Presiden berbicara panjang lebar mengenai sengketa masalah Irian Barat dan mengakui betapa pentingnya mengakhiri permusuhan yang sia-sia di antara kedua negara kami ini, yang sebenarnya dapat diselesaikan dengan mudah. | |
[pagina 50]
| |
Jelaslah bahwa sekarang presiden memanfaatkan kehadiran saya untuk berkali-kali memberi tanda yang diarahkan ke Den Haag akan niatnya berdamai. Tetapi, orang-orang lamban di Den Haag itu tidak mengerti bahwa ia adalah orang yang terakhir dan satu-satunya Bapak dari Indonesia yang menganggap penting adanya pemulihan hubungan yang baik dengan bekas penguasa tanah air, dan dapat membawa seluruh bangsanya untuk keberhasilan pemulihan hubungan baik itu. Para penggantinya tidak akan ada yang peduli apakah Belanda masih dapat memainkan peranan yang penting di Indonesia. Sepanjang hidupnya Soekarno dikutuk oleh Belanda. Soeharto bahkan tidak mempedulikannya dengan sama sekali tidak berbahasa Belanda. Di lingkungan Staten-Generaal di Den Haag orang masih tetap salah mengerti. Mereka mengira bahwa mereka tahu orang seperti apa Soekarno itu. Pada kenyataannya, mereka sama sekali tidak mendapat gambaran, yang mirip pun tidak, mengenai siapa pria itu sebenarnya, dan bagaimana perasaan atau harapannya terhadap negeri kita. Bukankah atasan saya, pimpinan redaksi De Telegraaf di Roma bahkan telah melarang saya berbicara dengan Soekarno? Tindakan saya telah menyebabkan saya berkali-kali kehilangan pekerjaan. Bahkan sejak tahun 1956 sampai 1996 saya mendapat kartu merah dari Den Haag dengan cap persona non grata (orang yang tidak disukai), Jadi, selama empat puluh tahun saya diteror oleh penguasa yang menghalangi saya untuk terus melaksanakan pekerjaan saya. Malam hari tanggal 14 Juli Gubernur Kalimantan Barat | |
[pagina 51]
| |
berkenan menyelenggarakan acara santap malam. Karena saya tidak suka akan peristiwa semacam itu, malam itu saya pergi bersama teman saya, Wim Latumeten dari Kementerian Penerangan, makan di warung bami kuah di tepi Sungai Barito. Melihat perahu dan kapal yang hilir mudik, kelap-kelip lampu minyak di mana-mana, warung-warung terapung, kapal penuh bebuahan dan sesayuran, serta semua orang yang ada di sana, membentuk pemandangan yang tidak dapat saya* lupakan seumur hidup saya. Di tempat yang berjarak kurang dari satu kilometer dari tempat acara santap malam yang diselenggarakan gubernur, saya menyaksikan Indonesia seperti apa adanya. Ketika saya kembali ke penginapan, presiden mendekati saya dan ia ingin tahu apa saja yang telah saya lakukan. ‘Tahukah kamu bahwa Gubernur Milono di sini adalah teman sekelas ayahmu di HBS Semarang?’, katanya. Tak lama kemudian saya sudah berdiri di hadapan teman masa muda ayah saya. Ia bercerita bahwa ia pernah berbagi kamar dengan ayah saya ketika mereka berdua tinggal pada keluarga Tielenius Kruythoff di Semarang. Mereka berolahraga bersama-sama. Membuat pekeijaan rumah bersama-sama. Apa yang diceritakannya sangat menggugah perasaan saya. Belakangan, ketika saya kembali ke Huis terHeideGa naar voetnoot6., saya menceritakan hal ini kepada orang tua saya. Ayah memberi tahu saya bahwa ayahnya Milono adalah bupati di Jawa Tengah pada awal abad ini. Ia mengundang teman anaknya itu untuk | |
[pagina 52]
| |
berlibur ke rumahnya. Kakek saya mengizinkan ayah saya menginap di rumah keluarga Milono. Pada saat mereka akan kembali ke sekolah, pak bupati memanggil kedua anak laki-laki itu dan memberkati mereka. Masing-masing dihadiahi sebilah keris terbuat dari emas sebagai jimat orang Jawa. Setelah menceritakan kenangan masa kecilnya, ayah saya berdiri dan mengajak saya ke ruang kerjanya. Di laci meja tulisnya yang paling atas tersimpan keris Jawa itu, yang diterimanya sebagai hadiah dari ayah kawan sekamarnya saat menjadi siswa HBSGa naar voetnoot7.. Kata ayah, ‘Wim, saya selalu membawa keris ini ke mana pun saya pergi. Ketika saya bersekolah di Delft untuk menjadi insinyur kimia, dan selanjutnya di Utrecht mengambil gelar sarjana hukum, saya selalu membawa jimat ini setiap saat ujian.’ Saya tidak pernah melihat keris hadiah dari Pak Milono itu lagi. Dugaan saya, ibu saya memasukkan keris itu ke dalam peti mati saat ayah saya meninggal. Tanggal 16 Juli 1957 kami tiba di Kuala Kapuas dengan kapal air. Laki-laki CIA yang suka mencampuri urusan orang lain itu, Profesor Guy Pauker, ikut lagi dalam perjalanan dengan presiden ini. Saya mulai jengkel terhadapnya. Ia mengoceh terus. ‘Bila Bung Karno tidak berhati-hati, kaum komunis akan menang mutlak dalam pemilihan umum yang akan datang,’ katanya. ‘Teman Anda, ajudan Sudarto dianggap sebagai penghubung antara kekuatan kiri di negeri ini dengan istana. Hal ini tentu saja masih demikian, bahwa | |
[pagina 53]
| |
pasukan tentara dengan tegas mengatakan agar kaum komunis tidak berbuat yang aneh-aneh, karena pasukan tentara akan bertindak.’ Saat itu saya belum sadar bahwa saya berhadapan langsung dengan mata-mata CIA. Saya bercerita kepada Pauker akan kesan saya bahwa sebenarnyalah secara bersistem semakin banyak yang terjadi di lingkungan yang paling dekat dengan presiden. Hal yang menarik perhatian saya ialah para pejabat pembantu presiden yang mengabdi presiden, satu demi satu telah digantikan oleh orang lain. Misalnya kepala kabinet presidensial di istana, A.K. Pringgodigdo yang tidak diragukan lagi kesetiaannya, digantikan oleh Tamzil, pria yang saya beri tanda tanya. Apa yang saya amati merupakan peringatan, seperti yang pernah dikatakan Profesor Drost sebelumnya kepada saya pada awal tahun, bahwa ia khawatir presiden akan semakin diasingkan oleh musuh-musuhnya, sampai akhirnya ia hanya menjadi kepala negara yang resmi saja di ‘istana tanpa saluran telepon’. Pauker berkata lebih lanjut, ‘Sebetulnya Anda harus bertanya kepada diri Anda sendiri apakah Anda masih dapat dianggap sebagai wartawan yang profesional. Pada saat Anda secara terbuka menyatakan pendapat Anda mengenai masalah Irian Barat, bagaimanapun juga, rekan-rekan Anda mulai bertanya-tanya apakah mereka masih dapat mempercayai Anda.’ Yang dimaksudkannya ialah surat kepada Staten-Generaal yang ditulis berdasar atas prakarsa saya, yang berisi imbauan agar Irian Barat diserahkan kembali secara damai. Saya jelaskan kepadanya bahwa baru setelah saya dihalang- | |
[pagina 54]
| |
halangi oleh media seperti De Telegraaf, Nieuwe Rotterdamse Courant, Algemeen Handelsblad dan Vaderland untuk menulis tentang fakta yang sebenarnya agar diketahui pembaca Belanda, saya memanfaatkan hak saya sebagai warga agar informasi tersebut dapat tersaji saat itu juga. Hanya itu. Profesor Pauker menegaskan pendapatnya bahwa saya harus ke Den Haag dan mendirikan partai politik, pokoknya saya harus berkecimpung dalam masalah politik. Itulah guetapensGa naar voetnoot8. (perangkap) yang paling akhir dapat menjebak saya. Pada usia ke-70 ini, saya masih dapat menyatakan secara jujur bahwa saya tidak pernah akan menyetujui, atau merasa terikat baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi dengan kelompok politik mana pun. Wartawan termasuk jenis pengamat yang mengutamakan kebebasan berpolitik dan membawanya ke dalam praktek. Karena alasan itulah pada tahun 1948 saya telah melepaskan keinginan saya untuk memasuki dinas kediplomatan meskipun saya dididik di Nijenrode untuk bidang itu. Sebagai diplomat profesional Anda akan berjumpa dengan orang yang mutlak gila seperti menteri urusan luar negeri, lagi pula ia adalah eksponen dari salah satu partai politik. Gambaran masa depan seperti itu bukan untuk saya. Henk Hofland sangat memahami saya dan oleh karenanya ia membawa saya ke redaksi bidang luar negeri surat kabar Algemeen Handelsblad agar saya bisa masuk ke dalam kelompok knights ofthe plume (pendekar pena). Tanggal 19 Juli, dengan pesawat Catalina yang terbang di | |
[pagina 55]
| |
atas Sungai Kutai, Bung Karno dan saya tiba di Samarinda, tempat yang indah dekat pantai timur Kalimantan. Sekali lagi presiden memanggil saya naik ke mimbar pada saat ia berpidato di depan massa. ‘Ketika saya bertemu dengan Willem Oltman,’ katanya, ‘saya kira, orang Belanda ini ingin bergurau dengan saya. Belakangan saya mengerti bahwa is bersungguh-sungguh.’ Sorak sorai dan tepuk tangan. Kadang-kadang saya berbagi kamar dengan ajudan Bung Karno. Malam itu saya tidur sekamar dengan Wim Latumeten. ‘Jelaslah bahwa dalam perjalanan ini, presiden juga memanfaatkan kehadiran anda untuk menenangkan perasaan anti Belanda di negeri ini’, katanya. ‘Andai saja orang di Den Haag menyadari apa yang dilakukan Bung Karno!’ Ia menasihati saya, ‘Jalanilah jalanmu sendiri, seperti apa yang anda lakukan sekarang. Itu yang di sini kita sebut pukul terus.’ |
|