Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 36]
| |
Surabaya (1957)Hal yang paling mencelakakan, dan sebagai sesuatu yang sangat menguntungkan bagi kampanye anti-Soekarno yang dilancarkan orang Barat mengenai konsep ‘demokrasi terpimpin’, Marsekal Kliment E. Voroshilov, kepala negara Uni Soviet yang saat itu berusia 74 tahun tiba di Kemayoran untuk kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Bung Karno bertindak hati-hati mengingat bahwa ia dipersalahkan untuk hal yang sama sekali tidak benar, yaitu bahwa ia akan berbelok ke arah marxisme-leninisme. Hanya orang-orang gila di CIA-nya Amerika yang dapat menarik kesimpulan mengenai perkembangan di Indonesia, bahwa pria yang memimpin negara yang berpenduduk Islam terbesar dan terpenting di dunia ini bermaksud akan bersekutu dengan masyarakat komunis internasional. Tanggal 6 Mei 1957, dengan mobil Lincoln-Zephyr yang terbuka, Voroshilov dan Soekarno berdiri dalam kendaraan yang membawa mereka dari lapangan terbang ke Istana | |
[pagina 37]
| |
Merdeka. Marsekal Rusia itu datang untuk kunjungan balasan. Soekarno juga mengundang Presiden Dwight Eisenhower, tetapi ia tidak datang dan ia tidak punya waktu. Setelah beberapa hari di Jakarta, meletakkan karangan bunga dan menghadiri jamuan makan, rombongan beristirahat di Puncak. Di sini, Presiden Indonesia juga memperkenalkan Marsekal Rusia tersebut kepada wartawan. Sesudah itu mereka melanjutkan perjalanan ke Bandung, Yogyakarta, Candi Borobudur, Bali, Surabaya dan beberapa tempat di Sumatera. Soekarno dan Voroshilov terbang dengan pesawat Ilyushin buatan Rusia, Dolok Martimbang, yang merupakan hadiah Uni Soviet kepada kepala negara Indonesia dan dikemudikan oleh pilot yang simpatik, Sri Muljono Herlambang. Anggota rombongan Uni Soviet yang lain terbang dengan tiga pesawat Ilyushin lainnya, yang didatangkan khusus dari Uni Soviet untuk maksud ini. Untuk para pembantu Bung Karno serta pers, tersedia empat pesawat Convair dari Garuda Indonesian Airways. Bagasi diangkut oleh dua pesawat Dakota milik AURI. Agak berlebihan kiranya, apabila kunjungan kenegaraan itu diceriterakan kembali secara rinci di sini.Ga naar voetnoot1. Tetapi ada kejadian luar biasa yang perlu diceritakan karena menggambarkan betapa dalamnya hubungan batin yang ada di antara massa rakyat dengan Bapaknya yang menjadi kepala negara. Kardinal De Retz pernah menulis bahwa sangatlah meng- | |
[pagina 38]
| |
harukan melihat ia di tengah rakyat yang mengelilinginya. Apa yang terjadi tanggal 16 Mei 1957 di lapangan olah raga raksasa di Surabaya, lebih menggetarkan hati daripada yang diceriterakan tadi. Terdapat keharuan yang timbal balik di antara presiden pertama Indonesia itu dan rakyat negerinya. Marsekal Rusia itu akan berpidato di hadapan setengah juta rakyat Indonesia dengan tersendat dan terbata-bata, lewat penerjemah orang Rusia. Setelah setiap dua kalimat, pidatonya terhenti. Sungguh tidak enak mendengarkannya. Orang-orang tampaknya tidak tertarik pada apa yang diceriterakan Voroshilov. Mereka datang untuk Bung Karno. Publik jadi semakin resah dan tidak sabar, Bila Soekarno berbicara, anda masih bisa mendengar bila ada jarum yang dijatuhkan. Keadaan menjadi semakin kacau. Beberapa pramuka ditugasi untuk menguasai kelompok orang yang mengelilingi panggung tempat kedua presiden serta pengikutnya itu. Tiba-tiba terjadi kegaduhan luar biasa. Beberapa orang terhimpit karena desakan, beberapa yang lain jatuh pingsan. Kekacauan segera semakin parah. Presiden Voroshilov berhenti berpidato karena kaget. Merasa tak berdaya, ia berpaling dan menatap Bung Karno dengan wajah yang menyiratkan pertanyaan, apa yang akan terjadi sekarang? Lamartine pernah menggambarkan pemimpin berkharisma sebagai panglima yang ‘dapat menyentuh sampai ke sumsum tulang’. Inilah yang terjadi apabila Soekarno berbicara di depan rakyatnya. Itu juga yang dilakukannya hari itu di Surabaya. Ia maju mendekati mikrofon yang didayai baterai | |
[pagina 39]
| |
dan hanya tiga kali mengucapkan Diam! Diam! Diam!, dengan nada perintah yang tegas. Suaranya bergema sampai ke sudut lapangan yang paling jauh. Ketika mendengar suaranya yang meyakinkan, beribu-ribu kepala segera berpaling ke arah mimbar, seakan-akan kena sengatan aliran listrik. Sungguh sangat menakjubkan melihat betapa kata-kata Soekarno dapat cepat menenangkan keadaan yang kacau itu. Kemudian Soekarno mulai bernyanyi dan dalam waktu singkat beribu-ribu orang ikut bernyanyi bersamanya. Akhirnya suasana kembali menjadi tenang dalam waktu yang sangat singkat. Pada saat seluruh peristiwa itu berlangsung, saya duduk dekat di belakang kedua presiden itu di panggung kehormatan. Saya mengikuti seluruh peristiwa itu. Voroshilov tampak sangat terpana dan tidak dapat menyembunyikan kekagumannya melihat cara rekannya orang Indonesia mengatasi hal tersebut. Setelah itu setiap orang merasa tenang kembali, karena Bung Karno mulai berpidato. Dalam lingkup internasional banyak komentator seperti misalnya Arnold Brackman, yang menulis bahwa perjalanan Voroshilov mengelilingi Indonesia telah sangat berpengaruh dan menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Pemilihan Umum tahun 1957. Perkembangan selanjutnya ialah bahwa Bung Karno sengaja mengatur perjalanan orang Rusia itu untuk membantu kaum komunis Indonesia. Saya telah mengenal Brackman ketika ia masih bekerja untuk The New York Times, tetapi setelah bertahun-tahun ia semakin mengembangkan diri sebagai ahli yang khusus memperhatikan | |
[pagina 40]
| |
masalah komunis di Asia Tenggara, dari Pakistan sampai dengan Indonesia. Di dalam buku Indonesian CommunismGa naar voetnoot2. misalnya, ia menulis bahwa Soekarno dan Voroshilov tampil bersama dan masyarakat bersorak sorai menyambutnya, ‘terutama kaum komunis’. Jelaslah bahwa Soekarno sedang berusaha memutuskan hubungannya dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI)Ga naar voetnoot3. dan bergabung dengan PKL’ Belakangan terbukti bahwa penerbitan tulisan Brackman diam-diam didukung dan didanai oleh CIA, tetapi sementara itu salah seorang dari ahli paling terkemuka yang menelaah masalah Indonesia mengungkapkan kebohongan seperti diceritakan di sini. Dengan cara itu para pejabat pemerintah Washington jadi semakin yakin bahwa Bung Karno sedang berupaya mengubah dirinya menjadi komunis. Tanggal 24 Mei 1957 sekali lagi saya memohon audiensi kepada presiden. Saya tiba tepat waktu di istana, tetapi beberapa tamu yang datang sebelumnya, telah pergi meninggalkan istana. Profesor Muhammad Yamin serta istri akhirnya ikut ke luar. Saya memasuki sebuah mangan tempat Bung Karno menunggu. Excusez-moi que je suis un peu en retard (maaf, saya agak terlambat), katanya sebagai pembuka dalam Bahasa Perancis. Saya selalu merasa enak berada di dekatnya. Berkunjung kepadanya mengingatkan saya seolah-olah saya berkunjung ke keluarga. | |
[pagina 41]
| |
Saya ingin berbicara mengenai Irian Barat. Saya bercerita, ketika saya berjumpa dengannya setahun lalu di Roma, dan sama seperti kebanyakan orang Belanda lainnya, saya meragukan maksudnya. ‘Anda tahu betapa memuakkannya cerita yang ditulis orang tentang anda di media kita selama bertahun-tahun ini. Hal itu ada pengaruhnya, betapa pun tidak benarnya. Oleh sebab itu banyak orang di Belanda sampai sekarang masih berpendapat bahwa bila Irian Barat pada akhirnya kembali ke tangan Indonesia, Anda benar-benar akan melempar semua Belanda keluar dari negeri ini.’ Mula-mula ia tampak jengkel. ‘Kamu tahu benar Wim, dan saya sering mengatakan hal yang sama kepada Van Konijnenburg, bahwa tanpa penyelesaian masalah Irian, hubungan dengan Belanda tidak dapat diperbaiki kembali. Bila masalah itu telah terpecahkan, saya akan ke Den Haag.’ ‘Saya tidak ingin Anda mengira bahwa saya menyetujui penyerahan Irian Barat ke Indonesia dengan cepat untuk mencoba mengambil hati Anda,’ kata saya lebih lanjut. ‘Saya menganggap penyerahan itu adil, karena Irian Barat memang selalu menjadi bagian dari Hindia dan Hindia Belanda akan menjadi Indonesia. Oleh sebab itu, hal ini merupakan upaya mementingkan diri sendiri, seperti yang kami cantumkan dengan jelas dalam surat kepada Staten-Generaal.’ ‘Itu sebabnya kamu bekerja keras menangani hal ini,’ demikian kata presiden. ‘Ya, tetapi demi negara dan ratu saya sendiri,’ jawab saya. Ketika saya mohon diri, ia mengundang saya agar hadir | |
[pagina 42]
| |
pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1957, pukul 06:00 untuk merayakannya bersama keluarga. Saya penuhi undangan ini dan kami semua berpotret bersama di tangga istana. Tanggal 9 Juni 1957 presiden akan berpidato di depan 600 pejabat pemerintahan dan militer di Serang, di pantai barat Pulau Jawa. Di tempat inilah, Cornelis de Houtman menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Pulau Jawa tahun 1596. Kami meninggalkan ibukota dalam iring-iringan mobil yang panjang. Beberapa orang menteri, yaitu Chaerul Saleh, Hanafi dan Sudibjo juga ikut, demikian pula beberapa duta besar dan anggota Corps Diplomatique. Pidato itu akan disiarkan langsung oleh Radio Republik Indonesia. Tanpa diduga, Soekarno menunjuk saya. ‘Di situ ada seorang Belanda, ia wartawan,’ katanya. ‘Ia benar-benar orang Belanda. Saya ingin berterima kasih kepadanya untuk dukungan yang diberikannya bagi tuntutan kami atas Irian Barat, Saya bertanya kepada tuan Willem Oltmans ini, mengapa ia mendukung perjuangan kami. Ia menjawab demikian.’ Presiden kemudian berbicara kepada saya dalam bahasa Belanda dan mengulang dua kali apa yang telah saya katakan kepadanya, ‘Saya melalukannya untuk negara dan ratu saya.’ Semua orang bertepuk tangan. Saya sebenarnya merasa sangat tidak senang. Saya juga bertanya kepada diri saya sendiri apakah keyakinan saya mengenai sengketa Irian Barat ini layak mendapat pujian presiden. Sukarno melanjutkan pidatonya, ‘Saya menganggap itu sungguh jawaban yang tepat. Saya menganggapnya benar justru karena Willem Oltmans ini tidak menjual kepribadiannya dan | |
[pagina 43]
| |
kedaulatannya sendiri. Ia tahu apa kepentingan negaranya. Sebab, bila pada akhirnya Belanda melepas Irian Barat, bukankah hal ini merugikan Belanda? Setelah itu ia berseru dua kali, ‘terima kasih Willem Oltmans!’ Surat kabar-surat kabar Indonesia melaporkan pujian bagi saya ini secara panjang lebar. Times of Indonesia terbitan 11 Juni 1957 memuatnya di halaman depan di tengah-tengah dengan judul Soekarno Juli of praise for newsman. Tanggal 4 Juli 1957, PNI yang didirikan Bung Karno telah berusia tiga puluh tahun. Kami terbang dengan pesawat Garuda ke Bandung untuk merayakan peristiwa itu. Ia berpidato selama dua jam. Negara saat ini telah hampir dua belas tahun merdeka. Ia beijuang untuk mengembalikan semangat revolusi, untuk membangun kehidupan yang adil dan makmur bagi setiap orang, seperti yang menjadi visi PNI tahun 1927. Ia juga berbicara mengenai kuda tunggangnya yang mutakhir, bagaimana ia dapat berbalik dari model Westminster ke bentuk demokrasi yang benar-benar berasal dari Indonesia, yaitu gotong royong, yang telah dikenal rakyat Indonesia selama berabad-abad. Ia memperjuangkan berdirinya suatu Dewan Nasional, tempat semua kelompok fungsional terkemuka berunding bersama-sama. Ruslan Abdulgani ditunjuk menjadi ketua lembaga penasihat negara yang tertinggi itu. Presiden Soekarno masih terus berjuang mencari jalan keluar bagi masalah dalam kepemimpinannya ini, dan dapat diterima. Tanggal 9 Juli 1957 kami pergi bersama presiden ke Jawa Timur. Di Bojonegoro, di samping mengunjungi keluarga, presiden juga akan berpidato. Inilah pertama kalinya seorang | |
[pagina 44]
| |
profesor Amerika bernama Guy Pauker, bergabung dengan rombongan kami. Orang ini selalu berada di dekat saya dan saya bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya dikehendakinya. Kami membicarakan sengketa antara Indonesia dan Belanda karena masalah Irian Barat, dan tampaknya ia setuju apabila Indonesia menuntut secara resmi bagian tanah air ini. Keesokan harinya, kebetulan kami berdua bangun pagi-pagi sekali. Ia minta saya memperkenalkannya kepada presiden. Kami menjumpai presiden pukul 06:15 ketika ia sedang duduk sendirian di beranda rumah pejabat setempat. Bung Karno bertanya kepadanya dengan berolok-olok, Kamu tentunya bukan kerabat Anna Paukar ‘kan?’Ga naar voetnoot4. ‘Saya pernah ditanyai mengenai hal itu, tetapi belum pernah oleh seorang kepala negara,’ jawab orang Amerika ini. Presiden berbicara mengenai masalah yang ringan-ringan saja pagi itu, ia memperbincangkan film Tea and Sympathy, yang ditontonnya belum lama ini. Cerita itu mengingatkannya akan perjalanannya ke Kalifornia. Beberapa tahun kemudian baru saya menyadari bahwa saya telah dimanfaatkan oleh profesor yang ramah itu. Ia ternyata mempunyai hubungan dengan Rand Corporation, yaitu think tank-nya CIA. Selama beberapa tahun ia selalu muncul sebagai penganut yang bersemangat dari kaum militer Indonesia yang pro-Amerika, dan ia sangat erat terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Soekarno. Tahun 1957 itu saya masih | |
[pagina 45]
| |
sangat naif dalam masalah seperti ini. Di Bojonegoro itu, sama sekali tidak terlintas dalam benak saya akan kemungkinan kegiatan spionase seperti itu, yang secara cerdik dapat mengakibatkan penelanjangan diri seorang presiden. Bagaimana caranya sehingga orang itu bisa masuk ke dalam rombongan perjalanan kepala negara ini? Tentunya tahun 1957 itu sudah ada pengkhianat yang berkolaborasi dengan CIA, yang bekerja di lingkungan yang paling dekat dengan Soekarno. Mungkin presiden juga sudah menyadari hal ini karena tampaknya ia secara sadar selalu menjaga jarak dengan Pauker. Belakangan, dalam perjalanan ke aula tempat Bung Karno akan berpidato, tiba-tiba saja iring-iringan mobil tersebut berhenti di suatu jalan yang panjang dan lurus. Seperti yang biasa saya lakukan, saya duduk bersama rekan wartawan dari Indonesia di atas atap bus yang disediakan untuk pers. Kendaraan pada tahun 1957 itu belum berpendingan, belum air-conditioned. Kami dapat melihat dari kejauhan, bagaimana kepala negara itu keluar dari Cadillac-nya dan berjalan melintasi parit ke arah sebuah pohon yang besar dan dengan seenaknya ia buang air di situ. Para menteri, duta besar, pejabat tinggi, semuanya menunggu dengan tidak sabar dalam mobil mereka masing-masing, yang panas menyesakkan. Sementara itu, sejumlah perempuan yang sedang bekerja di sawah telah mengenali ‘Bapak’. Mereka segera menghampirinya. Terjadi pembicaraan yang ramai antara presiden dan rakyatnya, yang memang selalu menjadi perhatiannya. Ajudan presiden Mayor Sudarto keluar dari mobilnya dengan | |
[pagina 46]
| |
membawa payung hitam, payung biasa untuk di rumah, untuk berkebun atau bekerja di dapur, yang biasa dibawa Bung Karno untuk melindungi dirinya dari sengatan matahari. Sementara itu kawan-kawan seperjalanannya duduk di dalam rangkaian panjang mesin pemanas dengan perasaan sangat jengkel. Begitulah Soekarno. Perasaan yang sekonyong-konyong timbul tidaklah ditekannya, tetapi justru dijalaninya, dan dengan itu ia sangat sering memberikan tambahan ‘peluru’ percuma secara kepada lawan-lawannya untuk mencela tingkah lakunya. |
|