Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 27]
| |
New York (1957)Di Den Haag pembelaan kami, yang ikut ditandatangani oleh beberapa ratus orang Belanda yang tinggal di Indonesia, di antaranya ada profesor, pengusaha, pemilik perkebunan dan rohaniwan, telah mengakibatkan ledakan kemarahan yang amat sangat. Paling tidak kami menyadari tentang ketidakmungkinan kami mempertahankan Irian Barat dengan mempertaruhkan posisi kami sebagai negara dagang Eropa Barat di Asia Tenggara. Saya minta bantuan tuan-tuan di sekeliling Paul Rijkens. ‘Kita tunggu dulu komentar dari Het Parool’ teriak Emile van Konijnenburg lewat telepon yang gemerusuk. De Telegraaf memberi saya julukan ‘tikus pembuat onar’. Pengulas berita Johan Luger, alias Pasquino bahkan menulis: ‘Perselisihan politik telah membawa Johan van Oldenbarneveldt ke panggung hukuman mati. Di zaman dahulu orang tidak mudah mengampuni orang yang dituduh sebagai pengkhianat negara.’ Akhirnya, dikatakanlah apa yang sebelumnya orang tidak | |
[pagina 28]
| |
mau mengatakannya, dan tentu saja di De Telegraaf, suatu wadah yang lebih sering lupa memeriksa diri dan mengakui kesalahannya sendiri. Kita ternyata lima tahun terlampau pagi dengan permohonan kita yang ditujukan kepada Staten-Generaal. Pada tahun 1962, Luns dengan amat merendahkan dirinya telah menyerahkan bagian daerah di luar negeri itu kepada Soekarno. Sementara itu Menteri Luns mengirim pejabat dinas penerangannya kepada pimpinan redaksi de Nieuwe Rotterdamse Courrant, het Algemeen Handelsblad dan het Vaderland untuk menegaskan bahwa saya adalah ‘orang yang berbahaya bagi negara’, karena saya mendukung penyerahan Irian Barat atau Irian Barat itu kepada Indonesia. Dalam waktu yang sangat singkat dan pada hari yang sama pula, di Jakarta saya menerima tiga telegram yang menyatakan saya dipecat sebagai wartawan dari ketiga surat kabar tersebut di atas. Untuk kesekian kalinya, sebagai akibat campur tangan langsung dari yang berkuasa, dalam hal ini Kementerian Luar Negeri, saya menjadi penganggur. Sementara itu parlemen sendiri bungkam seperti kuburan. Boleh dikatakan tidak ada seorang pun anggota Tweede KamerGa naar voetnoot1. yang melibatkan diri keluar dengan cri de coeuiGa naar voetnoot2. (jeritan hati) kami dari Indonesia. Tengku D. Hafas, Peminpin Redaksi De Nieuwsgier, surat kabar berbahasa Belanda di Jakarta, meminta saya ke New | |
[pagina 29]
| |
York untuk menulis laporan bagi surat kabarnya mengenai perundingan dalam Sidang Umum PBB, yang akan membahas masalah Irian Barat. Tanggal 28 Februari 1957, Komisi Politik Sidang Umum tersebut membuat resolusi rencana dengan suara 40 lawan 25, hendak membentuk komisi yang akan menolong memecahkan sengketa Indonesia-Belanda tersebut. Pada saat itulah saya memulai perjalanan keliling dunia saya yang pertama. Dari Jakarta saya ke New York lewat Manila, Hawai dan San Francisco dan kembali ke Indonesia lewat Roma, Kairo, New Delhi dan Singapura. Selama beberapa minggu saya mengunjungi Pasukan Indonesia Batalion-Garuda I, yang sebagian bertugas di Gurun Sinai dan sebagian lagi di Gaza. Komandan pasukan, Kolonel Suadi, membawa saya ke mana-mana. Saya mengenakan seragam pasukan Indonesia dengan baret hitam. De Telegraaf pasti akan membayar mahal untuk memperoleh satu dari sekian banyak foto saya bersama teman-teman pasukan Garuda saya yang dibuat di El-Kuntila, El-Nakl, dan El-Themed, untuk membuktikan bahwa saya sungguh seorang ‘pengkhianat’. Apa yang menjadi jelas bagi saya selama berada di Mesir, ialah bahwa penduduknya cenderung sangat memusuhi serdadu PBB, jadi termasuk orang Indonesia. Roda jip dilonggarkan sekrupnya agar terjadi kecelakaan. Seorang anggota pasukan Garuda tewas dalam peristiwa tembak-menembak. Saya mengirim serangkaian tulisan ke De Nieuwsgier dari Kairo, melaporkan apa yang terjadi dan kekhawatiran saya bahwa keadaan akan menjadi lebih buruk. Duta Besar Mesir di Jakarta, El Amroussi, bergegas menghadap ke Kementerian | |
[pagina 30]
| |
Luar Negeri dan mengajukan nota protes menentang laporan ‘seorang wartawan Belanda’. Ia bahkan menyebut saya sebagai ‘agen zionis internasional’ untuk alasan sederhana, yaitu karena saya menulis hal yang benar. Kembali ke Indonesia, saya menerima surat ancaman baru dari Mayor Sutikno Lukitodisastro. Kelompok bandit orang Mesir melawan pasukan Garuda bertambah besar. Para perajurit jadi patah semangat karenanya. Karena tidak seorang pun, Jenderal A.H. Nasution juga tidak, melaporkan perkembangan yang gawat ini kepada Panglima Tertinggi (Pangti) Soekarno, saya memohon agar dapat beraudiensi dengan presiden. Bung Karno tidak tahu apa-apa. Lagi pula, masalah ini berarti suatu perkembangan yang tidak menguntungkan dalam hal hubungan persahabatan yang secara pribadi dijalinnya dengan Gamal Abdel Nasser. Segera pula Presiden Soekarno mengutus dua orang kapten, Sugeng Djarot dan Hardi, ke Kairo untuk melaporkan keadaan di sana. Tak lama kemudian keluar pengumuman resmi bahwa Indonesia akan menarik kembali Batalion Garuda I di Timur Dekat dari keanggotaan sebagai Pasukan Perdamaian PBB. Dalam suatu kesempatan santap malam pada hari-hari itu, Duta Besar El Amroussi duduk di dekat Ruslan Abdulgani, orang kepercayaan Soekarno saat itu. Ia mulai menjelek-jelekkan saya, yang segera pula ditepis Abdulgani dengan bijaksana. Abdulgani menjelaskan kepadanya, Presiden Soekarno telah tahu, bahwa laporan yang saya tulis di De Nieuwsgier betul-betul berdasarkan fakta. Diplomat itu | |
[pagina 31]
| |
menyadari kekeliruannya. Saya diundang untuk menghadiri resepsi orang Mesir, sehingga ia dapat menunjukkan bahwa kita telah berdamai. Ini terlalu cepat bagi saya. Saya tidak datang. Sementara itu, Presiden Soekarno masih terus mencari penerapan demokrasi Barat model Westminster yang dapat diterima oleh semua partai, yaitu demokrasi yang mengakar lebih kuat pada budaya, sejarah, dan terutama psikis Asia. Tahun 1957 itu ia telah berjuang selama tiga puluh tahun untuk membangun negara yang merdeka dan sejahtera. Bagaimana caranya agar ia dapat menertibkan keadaan politik yang kacau-balau karena orang-orang politik yang selalu bertengkar itu? ‘Virus’ untuk bertindak dan mengubah keadaan ini telah merasuki benaknya. Ungkapan-ungkapan mengenai ‘demokrasi yang sesungguhnya’, seperti yang dibela oleh Thomas Jefferson, memudar di latar drama psikologi dan sosial yang teijadi di Asia setelah tahun 1945. Ia sampai pada suatu kesimpulan, bahwa pemerintahan bangsa-bangsa di dunia mungkin berubah secara teratur, kadang-kadang bahkan ideologi politik juga berubah untuk masa tertentu -- seperti adanya tiga generasi marxisme dan leninisme di Rusia -- tetapi karakter suatu bangsa tidak akan berubah. Ia menyimpulkan bahwa Indonesia harus kembali ke modus operandi dari dahulu, yaitu adat Jawa dalam bentuk musyawarah dan mufakat. Secara singkat artinya ialah bermusyawarah sampai teijadai kesepakatan (mufakat). Dalam otobiografinya yang ditulis oleh Cindy Adams dari New York, ia berbicara mengenai hal ini secara mendalam. Ia mengejek | |
[pagina 32]
| |
model-Westminster, yang menyebabkan 51 orang pulang ke rumah dengan wajah berseri-seri, dan 49 orang lainnya pulang dengan wajah masam. Sejak orang mulai dapat berpikir, orang Indonesia telah mampu mencapai kompromi dalam hubungan kelompok, yang mengizinkan setiap orang ikut memasukkan air ke dalam minuman, dan tidak pernah berpikir dengan ketentuan bahwa setengah-tambah-satu yang benar dan sisanya dipersilakan tutup mulut Hal lain yang menarik perhatian saya tahun 1994 ialah terbitnya buku kenang-kenangan Nelson Mandela. Dalam buku yang berjudul Long Walk to Freedom ia juga berbicara panjang lebar mengenai jenis pengambilan keputusan secara demokratis yang lain dari model-Westminster. Ia teringat masa remajanya di Thembuland, bagaimana pemerintah setempat mengumpulkan para amaphakathi (penasihat berkedudukan tinggi). ‘Mereka adalah orang arif bijaksana yang mengenal benar sejarah dan adat suku. Pendapat mereka akan ditanggapi secara serius ... Setiap orang, yang ingin mengemukakan sesuatu, mereka beroleh kesempatan. Itulah demokrasi dalam bentuknya yang paling murni... Perundingan terus berlanjut sehingga tercapai suatu konsensus. Demokrasi berarti bahwa setiap orang berhak didengarkan pendapatnya dan bahwa akhirnya mereka bersama dapat mencapai kata sepakat, bersama-sama sebagai satu suku. Aturan siapa lebih banyak seperti setengah-tambah-satu, sangatlah asing bagi kita. Kekurangan satu orang tidak boleh dilindas oleh kelebihan satu orang.’ Soekarno dan Mandela menekankan hal yang tepat sama, | |
[pagina 33]
| |
yang ditujukan bagi telinga Barat. Mereka mengungkapkan cara Asia-Afrika mengenai cara bergaul dengan sesama, dengan nada yang memberi peringatan, mohon jangan memaksa kami menerapkan model Westminster yang membahagiakan semua orang dari kalian dalam pemerintahan kami. Tahun 1957, selama setahun penuh Bung Karno mencari cara yang berterima, agar bentuk demokrasi Barat yang sampai saat itu dipakai, dapat dikembalikan selangkah demi selangkah ke rencana politik pemerintahan yang cocok bagi Asia. Dalam sebuah pidato yang disampaikannya kepada mahasiswa, misalnya, ia berkata: ‘Semalam saya bermimpi mengenai semua kelompok politik yang berjalan bersama-sama, yang sepakat untuk secara suka rela mengubur organisasi politik mereka masing-masing.’ Ia ingin agar semua memikirkan pilihan lain dari sistem banyak partai (multipartai). Apakah kita dapat memimpin negara dengan organisasi politik yang sangat terbatas jumlahnya? ‘Saya berjiwa demokratis liberalis’, katanya kepada mahasiswa, ‘tetapi saya akan menerapkan sistem “demokrasi terpimpin” bagi negara ini’. Kata yang penting itu akhirnya terucap. Banyak orang Indonesia yang belum mengerti mengapa dan bagaimana presiden sungguh-sungguh berniat akan membedah sistem pemerintahan yang sekarang tidak berfungsi bagi satu di antara negara berkembang terbesar di dunia ini. Pada kenyataannya ia telah memberi tanda mulai bagi suatu tindakan operasi yang tampaknya akan sangat menyakitkan. Keputusan telah diambil. Pembahan harus dan akan terjadi. Pertanyaan yang belum | |
[pagina 34]
| |
berjawab ialah: apakah ia akan berhasil membawa semua orang kepada perubahan yang menjadi tujuannya? Banyak hal akan tergantung kepada bakatnya sendiri, bagaimana ia memasukkan gagasannya kepada rakyatnya. Bagi saya, sangatlah jelas ke mana arah yang diambilnya. Saya mendampinginya terus-menerus apabila kadang-kadang suaranya sampai benar-benar parau ketika ia menjelaskan apa yang ingin dilaksanakannya. Perlahan-lahan saya mulai mengenalnya dengan sangat baik, dan saya mengerti bahwa ia sama sekali tidak bermaksud akan membentuk kekuasaan sebagai diktator untuk memimpin negaranya, tidak pula untuk kepentingannya sendiri. Pada tahun terakhir ia menjabat sebagai presiden, ada kabinet yang beranggotakan lebih dari seratus menteri. Ia sama sekali tidak berniat memutuskan sendiri untuk segala sesuatu menurut kehendaknya sendiri. Yang menjadi persoalan ialah ada perselisihan terus menerus di antara mereka dan masing-masing bertahan bahwa merekalah yang benar, dan Bung Karno ingin bertindak membatasai hal ini. Itulah tujuannya yang paling utama pada tahun 1957-1958. Di luar negeri segera terjadi kecemasan luar biasa setelah Bung Karno mengungkapkan gagasan awalnya mengenai upayanya menumbuhkan suatu bentuk ‘demokrasi terpimpin’ atau demokrasi dengan tangan yang kuat. Dengan ini ke-40 kelompok yang ikut mengatur, misalnya, akan dikembalikan menjadi empat kelompok saja. Berni Kalb, yang selama beberapa tahun menjadi koresponden The New York Times di Jakarta, dan sebetulnya ia bisa lebih tahu masalahnya, mulai | |
[pagina 35]
| |
mengoceh di surat kabar Amerika yang berwibawa itu mengenai Soekarno, yang katanya akan menempuh jalan menjadi komunis. Saya melihat bagaimana dugaan liar seperti itu dapat membuat presiden marah. Di dalam otobiografinya ia mengulas hal ini, ‘Pers Amerika segera membalikkan punggungnya menentang saya. Inilah saat yang mereka manfaatkan, untuk menempelkan cap tebal orang komunis bagi saya, yang sangat mengagungkan Allah.’ Pada setiap pembicaraannya dengan kami, setiap minggu kami menyertainya bepergian ke mana-mana, dengan sabar ia menjelaskan, misalnya, bagaimana ia menganggap ‘kepemimpinan’ sebagai unsur utama dalam melaksanakan demokrasi dengan tangan yang kuat. ‘Pemimpin, apakah ia seorang kepala desa, atau menteri, atau saya sendiri, harus menempatkan dirinya seperti semacam koki. Untuk mencapai konsensus yang berterima, kita perlu memasukkan sesendok pendapat dari Tuan A ke dalam piring Tuan B yang penuh berprasangka, lalu Tuan C juga menambah dengan pendapatnya dan akhirnya, seperti layaknya garam dan bumbu untuk sayur yang sedang dimasak, kita memperoleh campuran dan dalam campuran itu setiap orang dapat menemukan dirinya. Itulah yang saya usulkan. Kalau ini disebut komunis, maka sebutan itu tidak masuk akal. Kita hanya kembali ke sumber asal otentik dari kebudayaan kita sendiri dan pengalaman hidup kita sendiri.’ |
|