Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 16]
| |
Jakarta (1956)Tanggal 31 Desember 1956, malam tahun baru. Batalion Garuda-I tegap berdiri dalam barisan rapi di lapangan rumput yang terpangkas licin di Istana Merdeka di Jakarta. Ke 600 perajurit pilihan berbaret hitam itu merupakan pasukan Indonesia yang diperbantukan ke pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan dikirim ke Terusan Suez, Mesir, dan Gaza. Terdengar aba-aba. Presiden Soekarno, didampingi Perdana Menteri dr. Ali Sastroamidjojo dan ajudannya Sugandhi, Sabur dan Sudarto, tampil keluar. Dari sebuah anjungan terdengar pidato singkat, dilanjutkan dengan inspeksi pasukan. Dengan demikian telah 26 hari saya berada di Indonesia dan saya telah menghindari kunjungan ke istana dengan alasan karena saya mengenal Soekarno. Lagi pula, saya ingin memanfaatkan beberapa minggu pertama ini untuk mengenal bumi tempat ayah dan kakek saya menikmati tahun-tahun yang | |
[pagina 17]
| |
paling indah dalam hidupnya. Di atas kapal ‘Willem Ruys’ saya berkenalan dengan Boes Suwandi, yang pulang setelah menyelesaikan pendidikannya di Nijenrode. Saya menghabiskan waktu bermalam-malam dengan keluarganya di teras rumah di Jalan Tanjung. Dr. Suwandi Mangkudipuro bekerja sebagai dokter di Perusahaan Minyak Stanvac. Boes akhirnya berkarir di Pertamina, perusahaan minyak nasional Indonesia. Saya hampir tidak menyimak pembicaraan yang berlangsung di sekitar saya. Pikiran saya melayang ke para pedagang yang lewat dengan keretanya yang berisi bahan makanan. Pedagang lain membawa keranjang yang berat berisi bebuahan dan sesayuran dengan pikulan di pundaknya. Saya melaporkan kesan dan lamunan saya yang pertama mengenai Indonesia ini ke NRC. Oleh sebab itu saya masih mempunyai banyak waktu untuk menemui Soekarno di kemudian hari. Setelah selesai memeriksa pasukan Batalion Garuda-I, presiden akan kembali masuk ke istana, ketika ia melihat saya di antara rekan Indonesia saya. Saya pasti terlihat, karena tinggi badan saya jauh melebihi mereka. ‘Apa yang kamu lakukan di sini Wim?’ teriaknya memanggil saya dalam bahasa Belanda yang apa adanya. Orang menyingkir memberi jalan. ‘Kapan kamu tiba? Apa acara kamu malam ini? Tinggallah di sini, kami akan memutar film.’ Siapa yang bisa membayangkan bahwa saya pada usia saya yang ke 31, dan tiga tahun menjadi wartawan, menjadi tamu pribadi presiden pada malam pergantian tahun di istananya? Apakah ini menggambarkan kebencian Soekarno | |
[pagina 18]
| |
kepada orang Belanda? Sejak masa ia berkuliah di Bandung, tempat ia menyelesaikan pendidikannya di Technische Hoge SchoolGa naar voetnoot1. tahun 1926 menjadi insinyur sipil, ia telah berjuang menentang kita. Lebih dari sebelas tahun ia diasingkan ke Bengkulu dan ke Flores. Bukankah kita, menurut sifat kita sebagai orang Belanda, menganggap bahwa pasti ia akan menghina orang Belanda? Dalam tahun-tahun ketika saya mengenalnya dengan sangat baik, semakin menjadi lebih jelaslah bagi saya bahwa kebenciannya hanyalah ditujukan kepada kolonialisme dan imperialisme dan sama sekali bukan kepada orang Belanda sebagai manusia. Dengan sendirinya malam itu saya ingat akan ramalan H.M. Planten, Peminpin Redaksi Algemeen Handelsblad, bahwa Bung Karno di Jakarta akan mengabaikan saya, seperti angin lalu saja. Yang terjadi justru sebaliknya: di tahun 1957 saya dimasukkan dalam daftar protokol istana dan sampai bulan September tahun tersebut, saya akan ikut dalam semua perjalanan yang dilakukan presiden di negerinya. Martino dari ANP, sebagai pesuruh dari Den Haag, dicoret begitu saja dari daftar tersebut. Ia akhirnya dianugerahi tanda jasa untuk pengabdiannya kepada negara. Ia sendiri belakangan menjadi kepala bagian pemberitaan dari Philips. Malam itu adalah malam yang unik. Seluruh anggota pasukan Batalion Garuda-I juga diundang. Di ruangan besar di istana diputar film mengenai kunjungan ke Amerika Serikat dan Uni Soviet yang dilakukan tahun itu. | |
[pagina 19]
| |
Saya berkenalan dengan para anggota militer, misalnya Letnan Sumarto, Letnan Machram Tjokrodimurti, Letnan Lamidjono, dan Mayor Sutikno Lukitodisastro, yang disebut terakhir ini adalah pembantu paling dekat Jenderal Soeharto dan kemudian menjadi duta besar di Selandia Baru. Ada pula beberapa wartawan yang hadir, yang telah saya kenal dalam perjalanan di Italia dan Jerman, seperti Djawoto, Sukrisno, Tom Anwar, Koerwet Kartaadiredja dan lain-lain. Beberapa di antara petinggi militer dan wartawan itu masih tetap menjadi teman pribadi saya ketika saya berkunjung ke Indonesia tahun 1995. Dengan sadar Soekarno memberi saya kesempatan untuk diterima di kalangan sahabat-sahabatnya. Sementara itu, boleh dikatakan saya tidak bisa bercerita kepada siapa pun di rumah mengenai apa yang saya alami di Indonesia. Sebagai orang Belanda saya merasa diperlakukan dengan ramah. Orang di rumah tidak akan mempercayainya. Pelajaran pertama yang saya peroleh sebagai wartawan dari pertemuan saya dengan Presiden Soekarno ialah, agar tidak pernah secara membabi buta menerima gambaran tentang pribadi orang terkenal di bagian lain dari dunia ini, seperti yang disajikan oleh media cetak,Ga naar voetnoot2. sebagai hal yang benar. Gambaran yang terbentuk dalam benak saya mengenai Bung Karno sebelum saya bertemu dengannya di Roma sangatlah berbeda, bak siang dengan malam, dengan kenyataannya. Saya mengamatinya di lingkungannya sendiri pada malam tahun baru itu. Putra dan putrinya juga tampak hadir. Ia bergerak ke | |
[pagina 20]
| |
sana kemari tanpa membedakan kedudukan tamu-tamunya dan menyapa semua militer itu, yang rendah maupun yang tinggi pangkatnya, seolah-olah mereka adalah bagian dari suatu keluarga besar. Untuk pertama kalinya saya mengetahui bagaimana rekan senegerinya, sesuai adat Jawa, memperlakukan presiden mereka sebagai Bapak negara, sebagai bapak yang tertinggi dari keluarga yang pada saat itu beranggotakan 100 juta orang.Ga naar voetnoot3. Dengan demikian, mereka semua memanggilnya dengan sebutan Bapak, tidak dengan sebutan Yang Mulia atau Paduka seperti di negara lain-lain. Kemudian, selama mengikuti Soekarno dalam sejumlah perjalanannya ke seluruh Nusantara, semakin dalam pemahaman dan pendapat saya tentang love affair di antara massa rakyat dengan bapak tanah airnya ini. Tanggal 1 Januari 1957, kami semua berkumpul kembali di istana untuk menghadiri jamuan tahun baru dan menyimak pidato Soekarno. Jamuan itu dihadiri seluruh anggota kabinet, demikian juga anggota Corps Diplomatique. Di sini saya melihat Duco Middelburg, yaitu diplomat yang disebutkan mewakili Belanda, ditempatkan di barisan paling belakang, di sebelah chargé d'affaires atau wakil dari Brazilia. Para duta besar dari Republik Rakyat Cina, Amerika Serikat, Uni Soviet, Italia dan Jerman Barat tampak saling mendahului maju di depan. Sangatlah memalukan bahwa kebijakan luar negeri kita setelah perang, dengan segala aturannya, telah memindahkan wakil kerajaan kita di Jakarta ke tempat pa- | |
[pagina 21]
| |
ling belakang. Untuk itu kita menimpakan kesalahan hanya pada Soekarno. Tetapi semua itu tidak benar. Di negeri kita ia digambarkan sebagai monster, makhluk yang menakutkan, karena kita termasuk bangsa yang paling tidak bisa menerima kekalahan di antara bangsa-bangsa dalam sejarah kolonial Eropa. Jalan paling sederhana untuk menutupi kegagalan kita ialah dengan menimpakan semua kesalahan kepada Soekarno atas segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita di Hindia Belanda dan Indonesia. Sebenarnya pagi itu saya merasa bangga karena saya, sebagai orang Belanda, berada di baris pertama di antara para wartawan, diapit oleh Bernie Kalb dari The New York Times dan Olga Chechotkina dari Pravda. Beberapa hari kemudian saya mengunjungi Middelburg di ruang kerjanya di pos diplomatik Belanda. Ia seorang diplomat yang banyak pengalamannya di Timur Jauh. Ia mengenal Asia. Ia membuka laci mejanya dan membeberkan pandangannya atas dasar catatan pribadinya mengenai hubungan Indonesia-Belanda genap sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Tak dapat diragukan lagi bahwa ia tidak sepakat dengan kebijaksanaan pemerintahan Drees, dan dengan Luns sebagai Menteri Luar Negeri. Saya mencatat semua pembicaraan kami. Beberapa hari kemudian saya mengirim artikel saya untuk minta pendapatnya. Saya menulis tentang buah pikirannya dengan tujuan agar dapat diketahui pembaca de Nieuwe Rotterdamse Courant. Segera sesudahnya, Middelburg mengirim sopirnya dengan | |
[pagina 22]
| |
surat kepada saya, yang menyatakan ketidaksetujuannya bila pembicaraan kami itu diterbitkan. Sementara itu, diplomat Middelburg, dalam hal ini ia dibantu oleh bangsawan MrGa naar voetnoot4.. J.L.R. Huydecoper dari Nigtevecht, mencoba mengirim lewat memo internal kepada menteri di Den Haag, agar dalam politik mengenai Indonesia dapat dilaksanakan beberapa perubahan yang lunak. Tanpa banyak berpikir lagi, Luns membuang semua itu ke tong sampah. Middelburg bahkan dipanggil pulang. Pos tempat ia bekerja berikutnya ialah di Polandia. Sesungguhnyalah, sejak zaman Max Havelaar atau pelelangan kopi oleh Nederlandse Handelsmaatschappij, tidak ada hal baru yang muncul. Multatuli bahkan telah menulis bagaimana para pengawas melapor ke asisten residen, selanjutnya asisten residen ke residen dan residen ke pemerintah Hindia Belanda, yang isinya hanya berita yang menyenangkan saja. Dengan demikian, berita resmi dari para pegawai kepada gubernemen, dan dengan demikian juga laporan yang dibuat atas dasar berita itu kepada pemerintah di Belanda sebagian besar tidak benar adanya. Di mata Drees dan Luns tidak ada lagi tempat bagi Middelburg di Jakarta. Ia digantikan Hagenaar, yang sangat cocok dengan Luns. Baru tahun 1991 saya memperoleh bukti dari sejumlah berita yang memuakkan tentang saya yang ditulis Hagenaar ini, semuanya bercap rahasia. Setelah beberapa minggu berkeliling di Jakarta, saya tidak ragu lagi bahwa semua pihak, demikian juga mereka yang | |
[pagina 23]
| |
mengecam Soekarno, seperti mantan Wakil Presiden Hatta, dari lubuk hati mereka yang paling dalam semua sepakat dengan tuntutan kepada Den Haag agar penyelesaian penyerahan kedaulatan tahun 1949 itu juga mencakup penyerahan Irian Barat kepada Indonesia. Secara pribadi Hatta merasa diperdaya oleh Den Haag, karena kepadanya diyakinkan atas dasar keputusan Konferensi Meja Bundar bahwa dalam waktu satu tahun, jadi tahun 1950, Irian Barat akan diserahkan kepada Indonesia. Saya menulis tentang pendapat Hatta ini dalam sebuah wawancara untuk Vrij Nederland tahun 1957. Saya makan malam bersama ketua parlemen, Mr. Sartono, yang menjadi teman baik saya. Ia tamatan Leiden. Ia juga meyakinkan saya bahwa hubungan Indonesia-Belanda tidak mungkin dapat menjadi baik selama masalah Irian Barat belum terpecahkan, ini untuk menyebut beberapa contoh saja. Atas dasar berpuluh-puluh pembicaraan saya menulis artikel untuk NRC, dalam tulisan itu saya mengutip pernyataan sangat banyak pejabat tinggi Indonesia, sementara saya sendiri yakin bahwa diplomat tertinggi Belanda di Jakarta, Middelburg, juga berpendapat sama. Redaktur Indonesia pada saat itu, Hein Roethof, yang belakangan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat untuk PvdAGa naar voetnoot5. mengirim kembali artikel saya dengan surat bahwa artikel saya amat bagus, dan bercerita tentang fakta sebagaimana adanya. Tetapi, ia tidak dapat menerbitkannya karena ‘pembaca kita belum matang | |
[pagina 24]
| |
untuk membacanya!’ Saya bungkam karena tercengang. Bukankan saya ke Jakarta dengan tugas mengirimkan berita kepada pembaca kita dan menghubungkan mereka dengan kenyataan baru di Asia? Saya mengunjungi atase pers perwakilan NRC,R.C. Pekelharing dan mengeluarkan unek-unek saya. Pembicaraan saya dengan ketua Palang Merah, Jo Abdurachman, atau dengan Presiden Direktur Garuda Indonesian Airways, Ir. Sutoto, segera muncul di NRC. Tetapi, apakah kedatangan saya ke Indonesia ini hanya untuk menulis cerita LibelleGa naar voetnoot6. saja? Hubungan di antara Jakarta dan Den Haag sudah tenggelam semakin dalam. Sebelumnya, di Roma saya disensor oleh De Telegraaf. Hal yang sama sekarang terjadi pada de Nieuwe Rotterdamse Courant. ‘Apabila seorang Belanda tidak sepakat dengan kebijakan pemerintahnya, apa yang dapat dilakukannya?’ tanya saya kepada Pekelharing. ‘Setiap warga dapat mengajukan permohonan kepada Staten-GeneraalGa naar voetnoot7. dan menyatakan keberatan kita kepada wakil rakyat," begitu bunyi jawabnya. Malam itu pun saya berkunjung ke rumah teman saya, Profesor Mr. Dr. P.N. Drost, dosen tamu dalam bidang ilmu hukum internasional. Ia tidak saja sepakat dengan pendapat saya, ia juga mengerti apa yang saya kehendaki, dan segera pula ia menulis naskah yang ditujukan kepada Staten-Generaal di Den Haag. Tulisan itu siap pada keesokan harinya. Di KLM, naskah itu | |
[pagina 25]
| |
saya perbanyak beberapa ratus eksemplar, dan saya telah mengambil keputusan bulat. Tanggal 27 Januari 1957, Presiden Soekarno akan berpidato di hadapan massa dalam rapat raksasa di Bandung. Ia mengajak saya ikut dengan pesawat Convair yang disewa dari perusahaan penerbangan Garuda. Berlaksa manusia datang berkumpul di suatu lapangan yang luas. Baru sekali ini saya menyaksikan tanya-jawab dalam skala besar antara sang pemimpin dan rakyatnya. Saya tidak dapat berbahasa Indonesia, dan oleh sebab itu saya tidak akan dapat memahami apa yang dikatakannya. Walaupun demikian, saya sependapat dengan apa yang pernah ditulis seorang Amerika bernama John Scott dari Time dalam bukunya berjudul Democracy is not enough. ‘Gaya bahasanya dan gerakan anggota badannya begitu sederhana dan meyakinkan, sehingga saya dapat memahami jalan seluruh pembicaraannya tanpa mengenal satu kata pun bahasa yang dipakainya.’ Scott juga menambahkan, ‘Sangatlah mengasyikkan melihat pria penting ini, dengan bakat berpidatonya yang luar biasa, berbicara dengan rakyatnya, yang sangat jelas mengaguminya.’ Saya telah menyimpulkan hal ini pada tahun 1957. Scott baru pada tahun 1960. Semua mata tertuju kepada Bung Karno. Ungkapan perasaan yang tercermin di wajah orang-orang itu berbicara banyak. Anda harus menyaksikannya dengan mata anda sendiri untuk membuktikan betapa massa menunjukkan rasa cinta mereka kepada Bapak mereka. Pada penerbangan pulang ke ibu kota, saya memohon kepada Sudarto, Ajudan Presiden, apakah saya dapat | |
[pagina 26]
| |
memperlihatkan surat permohonan kami kepada Staten-Generaal, yang akan dibuka untuk diketahui umum pada keesokan harinya. Soekarno duduk di balik meja di bagian belakang pesawat. Saya menyerahkan kedua lembar surat permohonan itu. Ia mempersilakan saya duduk di hadapannya. Saya memandang ke luar, melihat bayangan bukit-bukit Jawa Barat. Ketika saya kecil, saya sering mengamati lukisan di ruang kerja ayah saya, yang menggambarkan pemandangan sawah di Jawa. Lukisan itu dibuat oleh C.L. Dake Jr. Ayah saya memperolehnya dari kakek saya, dan ia memberikannya kepada saya pada hari ulang tahun saya yang ke-40. Dengan demikian saya sekarang berada di negara yang ada dalam impian masa kecil saya. Saya duduk di hadapan presiden dari republik ini, dengan sekilas memandang matahari yang mulai terbenam di atas Jawa. Seorang pramugari datang membawakan teh. Bung Karno melanjutkan membaca dengan penuh perhatian. Diletakkannya petisi kami itu di atas meja dan sambil mencopot kacamatanya ia berkata seperti seorang nabi, ‘Wim, kamu telah menunjukkan baktimu yang bermanfaat bagi negaramu. Tetapi saya khawatir bahwa mereka di Den Haag tidak mau mengerti.’ |
|