Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 10]
| |
Bonn (1956)Orang yang kurang ajar memiliki separuh dunia. Cepat seperti kilat saya berangkat dengan kereta api malam dari Venesia ke Amsterdam, dan menyerahkan laporan saya tentang Soekarno kepada W.G.N. de Keizer, Peminpin Redaksi Elseviers dan tanggal 20 Juni 1956 saya kembali bergabung dengan rombongan Indonesia, kali ini ke Duisburg, Jerman Barat, tempat kunjungan rombongan ke DEMAG-Aktiengesellschaft. Di Bonn, Luns juga mengajukan protes terhadap kunjungan kenegaraan Soekarno, tanpa hasil apa pun. Presiden Heuss dan Perdana Menteri Adenauer kurang menanggapinya dan tidak mau berurusan dengan Luns yang sok pintar itu. Tanggal 18 Juni 1956 Bung Karno disambut pasukan kehormatan dengan ucapan selamat datang secara berlebihan di Bandara Wahn dekat ibu kota Jerman Barat. Presiden Indonesia yang selama bertahun-tahun dipersalahkan karena tidak memperhatikan masalah ekonomi, mengadakan kunjungan kerja berturut-turut ke Krupp, Guttehoffnungshütte, Siemens, AEG, Mercedes-Benz Daimler dan misalnya ke Pelabuhan Ham- | |
[pagina 11]
| |
burg, tempat ‘pemancingan’ produk niaga Indonesia yang telah lucut dari tangan Belanda ketika masih berkuasa di Hindia Belanda dulu. Di Duisburg saya begitu saja menyelusup kembali ke dalam kereta api khusus Presiden Soekarno. Di Italia, bangsawan di San Damiano, kepala protokol, tidak terlalu mempermasalahkan kehadiran saya dalam rombongan Indonesia. Di Jerman Barat, kehadiran saya telah mengakibatkan keributan besar ketika mereka menemukan bahwa ada kelebihan satu orang di kereta api tersebut, orang Belanda pula. Masalah itu kemudian dipecahkan dengan gaya Jawa yang lembut. Pak Umargatab, kepala pasukan keamanan Bung Karno, mengundang saya ke gerbong restorasi untuk sarapan. Sepintas lalu ia menanyai saya mengenai latar belakang dan tujuan saya. Rupanya saya lulus dalam ujian ini, karena saya tetap berada di kereta dan ikut dalam perjalanan lintas Jerman. Saya juga melaporkan perjalanan ini di Elseviers Weekblad (mingguan) tanggal 30 Juni 1956. Sekali lagi terjadi kecemasan luar biasa di antara pembaca Elseviers. Juga di lingkungan keluarga dekat dan teman-teman saya, orang meraba-raba dalam gelap, mempertanyakan mengapa saya ‘tiba-tiba menyeberang ke pihak Soekarno’. Hal itu tentu saja tidak akan terjadi. Saya menganggap pemimpin Indonesia ini orang yang menyenangkan. Sebelumnya saya membayangkan ia sebagai orang yang menghina orang Belanda dan saya mengalami sendiri seperti apa orang yang sebelumnya dianggap istimewa oleh orang Belanda. Dengan perkataan lain: gambaran tentang Soekarno, seperti yang selama bertahun-tahun ini terbentuk dalam benak saya, sangat jauh berbeda dari apa yang saya alami sendiri, | |
[pagina 12]
| |
mula-mula selama seminggu di Italia dan selanjutnya selama lima hari di Jerman Barat. Yang agak nakal ialah pernyataan Henk Hoflands dalam bukunya yang terkenal Tegels LichtenGa naar voetnoot1., bahwa ketika saya berjalan-jalan dengan Soekarno di Pompei, saya telah ‘disihir’ oleh Presiden Indonesia itu. Mengenai pembicaraan ini saya hanya dapat mengatakan bahwa hal itu telah menjadi eye opener, pembuka mata bagi saya. Baru sekarang saya tahu, apa yang dibicarakan dan dipikirkan di tingkat tertinggi di pihak ‘lawan’ mengenai Belanda dan sengketa Irian Barat. Karena laporan saya sebagai wartawan mengenai pengalaman ini, selama empat puluh tahun berikutnya, di Den Haag saya mendapat sebutan ‘buruk laku’. Mantan Pemimpin Redaksi Algemeen Handelsblad, H.M. Planten juga memandang saya dengan ragu-ragu, sama seperti Hofland, ketika saya berceritra kepadanya tentang pengalaman saya. Ia menyimpulkan bahwa di Italia, Soekarno hanya ramah kepada saya agar saya menulis di Elseviers demi kepentingannya. Apabila saya bertemu dengan presiden di Jakarta, Bung Karno pasti akan menganggap saya angin lalu. Hal itu ternyata menimbulkan pemikiran pada diri saya untuk bepergian ke Indonesia. Setelah sepuluh tahun merdeka, Indonesia berada di persimpangan. Dengan sendirinya negara Islam terbesar di dunia ini tahun 1945 telah menerapkan model pemerintahan seperti Westminster. Sejak terbentuknya republik itu, empat puluh kelompok politik telah ikut membangun partainya masing-masing pada pengambil keputusan tertinggi di | |
[pagina 13]
| |
kepulauan yang terdiri atas beribu pulau ini. Kabinet demi kabinet berjatuhan. Dengan perselisihan politik dan pengambilan keputusan yang dilakukan dengan 51 suara setuju dan 49 suara tidak setuju, bagi otak orang Indonesia yang tidak mengenal sistem demokrasi politik untuk pengambilan keputusan, ia masih dapat membentuk pemerintahan yang efisien untuk salah satu negara berkembang terbesar di dunia ini. Keputusan penting-penting selalu digeser maju, sampai terbentuk suatu koalisi baru dan segera pula mereka bertengkar. Tentang hal itu kita perlu mempertimbangkan, misalnya informasi yang ditulis profesor George McTurnan Kahin dari Universitas Cornell dalam laporan penelitiannya tentang Indonesia bahwa tahun 1940, Hindia Belanda hanya memiliki 627 tenaga bangsa Indonesia yang berpendidikan perguruan tinggi, dan kebanyakan dari mereka adalah dokter. Soekarno mulai mempertanyakan apakah sistem demokrasi Barat dapat memberi jawab bagi masalah di negerinya. Tahun 1956 ia pergi ke Amerika Serikat, Eropa Barat, Eropa Timur, Uni Sovjet dan Cina, berusaha menyelami apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi keadaan yang genting di negerinya. Saya berupaya agar dapat menyertai perjalanan presiden Indonesia ini ke Uni Soviet bulan September 1956. Untuk itu saya terbang ke Teheran, Iran. Soekarno akan tiba di sana tanggal 27 Agustus dan selanjutnya, ia bersama para pengiringnya akan pindah ke empat pesawat Ilyusin, yang dikirim Perdana Menteri Nikita Krushchev untuk menjemputnya. Usaha saya untuk ketiga kalinya ikut dalam perjalanan Soekarno tidak berhasil, karena orang Soviet menolak memberi saya visa. Saya juga menduga bahwa di lingkungan Soekarno sendiri ada anggapan bahwa dalam | |
[pagina 14]
| |
perjalanan ke blok timur ini, membawa seorang wartawan dari Barat bukanlah hal yang baik. Pada perjalanannya pulang dari Moskow, Presiden Soekarno juga singgah di Belgrado, mengunjungi Marsekal Tito, dan ini pertemuan mereka yang pertama. Lewat Triest saya masih sempat ke Yugoslavia dan ternyata Duta Besar Belanda di sana, Baron van Ittersum, sudah cukup mengenal Indonesia sehingga ia tidak sepakat dengan kebijakan Luns. Karenanya ia mengadakan jamuan bagi Soekarno dan segera pula ia dicela di De Telegraaf untuk ‘perilakunya yang tidak dapat dibenarkan’. Stokvis menyebut hal ini sebagai ‘bersekongkol dengan musuh’. Sementara itu, oleh berbagai kebetulan saya dapat bertemu dengan tokoh pelobiGa naar voetnoot2. -Indonesia di Den Haag, yaitu bapak-bapak dari kelompok Rijkens. Paul Rijkens, mantan pejabat tinggi Unilever, kawan pribadi Pangeran Bernhard sejak masa peperangan di London, telah mengumpulkan sejumlah captains of industry yang mau mempertahankan Irian Barat dan menganggap masalah tadi bukan sebagai suatu hal yang penting. Di Nijenrode saya berkenalan dengan salah satu anggota pengurus, yaitu Slotemaker dari KLMGa naar voetnoot3.. Saya mendekatinya untuk memperoleh fasilitas terbang ke Teheran. Ia mengirim saya ke dr. Emile van Konijnenburg, Wakil Presiden KLM dan khusus ditugasi mengurus hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, seperti kerja sama dengan Garuda Indonesian Airways. Ia ternyata telah bertahun-tahun menjadi sahabat pribadi Soekarno. Bersama-sama mereka membangun | |
[pagina 15]
| |
perusahaan penerbangan Indonesia. Kelompok Rijkens tahu akan artikel saya di Elseviers. Sejak tahun 1956 sampai 1961 saya telah sangat berhasil bekerja sama dengan kelompok ini sampai dinas penerangan dan CIA merintanginya. Untuk kunjungan saya ke Indonesia saya mendekati de Nieuwe Rotterdamse Courant, Algemeen Handelsblad dan Het Vaderland. Perlu diketahui bahwa di tahun 1956 ada seorang wartawan di Jakarta, Hans Martino, yang bekerja untuk Her Majesty 's Voice, Algemeen Nederlands Persbureau (ANP)Ga naar voetnoot4.. Tiga surat kabar yang disebut di atas mau menerima setiap artikel saya dengan 150 gulden dan lagi pula mereka tidak mau ikut membayar sesen pun biaya perjalanan saya. Kali ini saya mendekati paman saya, A.F. Bronsing, Direktur Maatschappij Nederland dan mendapat tiket berlayar dengan ‘Willem Ruys’ ke Indonesia. Para pemimpin industri di Belanda saling mengenal dengan sangat baik. Paman Bronsing membukakan saya pintu kepada K.E. Zeeman, direktur Nederlandse Handelsmaatschappij, yang menawari saya tinggal di sebuah flat di Jakarta ditambah mobil dengan sopirnya, Pak Hussein. Dengan demikian, saya siap berangkat tanggal 6 November 1956 dari Rotterdam lewat Tanjung Harapan ke Tanjung Priok, tempat saya pertama kali menginjakkan kaki saya di bumi Pulau Jawa. Saat yang penuh emosi: ternyata sejak pertengahan abad yang lalu telah ada tiga generasi keluarga saya yang mengenal bumi Jawa. |
|