Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 1]
| |
Roma (1956)Tanggal 10 Juni, pukul empat petang hari. Di Bandara Ciampino terhampar sebuah permadani merah. Presiden Italia Giovanni Gronchi, para anggota kabinet, dan korps diplomatik mengikuti gerakan pesawat DC7B yang menggelinding perlahan. Pesawat itu disewa Pemerintah Indonesia dari Pan American Airways. Hari itu cuaca cerah di musim panas. Seragam yang berwarna-warni dari barisan kehormatan caribinieri tampak menonjol di tengah jas kelepak para pejabat tinggi. Pintu pesawat terbuka. Didahului oleh juru potret istana Rochman dan juru film kepresidenan Silitonga, Presiden Soekarno keluar dari pesawat. Ia memakai seragam abu-abu, sederhana, tanpa pita-pita kehormatan atau hiasan istimewa lainnya, dan seperti biasa rapi terawat oleh Tukimin, pembantunya. Dengan demikian, untuk pertama kali dalam hidupnya, Soekarno menapakkan kakinya di daratan Eropa. Akhirnya ia dapat mengunjungi bagian dunia yang tiga abad lebih telah | |
[pagina 2]
| |
menerakan cap tidak terhapuskan di negaranya. Tidak seperti Hatta, Sastroamidjojo, Sartono dan pejuang revolusi lainnya, Soekarno belum pernah mengunjungi Belanda. Di sekolah ia banyak belajar mengenai kita. Ia selalu ingin tahu tentang pemandangan alam Belanda dan orang-orangnya, tetapi Den Haag, dengan kebijaksanaan yang tak tergoyahkan, selamanya akan menolak kehadiran musuh negara nomor satu itu di bumi kita. Orang Belanda termasuk pendendam tersengit di antara bangsa-bangsa yang kalah dalam sejarah kolonial Eropa. Harus kita ketahui bahwa Inggris lebih berhasil dalam mengekang kebanggaannya yang terluka. Yomo Kenyatta, pemimpin Mau Mau yang tadinya jadi buron Inggris kabarnya akan diterima Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham setelah negaranya merdeka. Secara sadar dan sengaja Soekarno takkan pernah diberi kesempatan, kita mengaku secara ksatria bahwa ia menang melawan penjajahan Belanda di Indonesia. Namun bertamu ke Belanda akan tetap menjadi dambaan Soekarno yang tidak pernah akan terpenuhi. Ia berharap agar suatu waktu dapat berdiri mendampingi Ratu Juliana di balkon istana di Amsterdam sebagai kepala negara yang setara. Namun, rupanya keinginan ini tidak pernah dipenuhi oleh mereka yang telah dikalahkannya. Tahun 1956, dari Italia saya menulis untuk De Telegraaf. Kala itu boleh dikata saya tidak pernah berurusan dengan Indonesia. Ayah dan kakek saya kelahiran Semarang. Kakek buyut saya, Alexander Oltmans, adalah ketua komisi Jawatan | |
[pagina 3]
| |
Perkeretapian Hindia Belanda. Kakek saya dari pihak ibu adalah salah seorang pendiri pabrik kina Maarssen, sekarang perusahaan besar ACF di tempat itu. Saya berasal dari keluarga kolonial yang adati, dan lahir di Huizen, Setelah tamat dari Baarns Lyceum (sekolah menengah), saya melanjutkan studi ke Nijenrode dan Universitas Yale di Amerika Serikat. Henk Hofland, teman saya sekamar di Nijenrode, tahun 1953 menarik saya ke Algemeen Handelsblad. Maka jadilah saya wartawan. Tahun 1955 saya bertugas sebagai koresponden di Roma. Italia adalah sekutu Belanda yang penting, baik dalam kaitan dengan NATO maupun dengan MEE. Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Joseph Luns, minta Duta Besar Belanda untuk Italia, dr. H.N. Boon, agar pergi ke Palazzo Chigi untuk memprotes Italia karena telah mengundang mahamusuh kita untuk suatu kunjungan kenegaraan. Roma ingin memperkuat hubungan dagangnya dengan Indonesia. Industri militer Italia siap memproduksi kapal perang jenis fregat untuk Angkatan Laut Republik Indonesia. Kita dapat menduga bahwa Soekarno akan minta dukungan Italia meyakinkan PBB bahwa Irian BaratGa naar voetnoot1. (Irian Jaya) adalah bagian tak terpisahkan dari bekas Hindia Belanda, sehingga dengan sendirinya harus masuk ke Republik Indonesia. Di masa itu saya menulis beberapa artikel untuk De Telegraaf. Dengan sendirinya sangatlah wajar apabila kunjungan Soekarno ke Roma dijadikan berita. Untuk maksud itu saya menemui Duta Besar (Dubes) Sutan M. Rasjid dan | |
[pagina 4]
| |
minta bantuannya agar saya dapat menemui presiden. Pak dubes merasa heran bahwa dari sembilan wartawan Belanda di Italia hanya sayalah yang mengajukan permohonan mewawancarai Soekarno. Yang tidak saya ketahui adalah bahwa Dubes Boon telah mencamkan kepada ke-delapan rekan saya, bahwa memberi perhatian terhadap Soekarno tidak dihargai di Den Haag. Ketika itu Luns menempatkan dua orang duta di Roma, yakni Tuan Boon tadi, dan bangsawan Marc van Weede sebagai duta di Vatikan. Dengan Marc ini saya selalu mempunyai hubungan baik sampai beliau meninggal pada usia lanjut. Pernah saya satu kali mengunjungi Boon, dan nyatalah bagi saya bahwa dia itu pendekar Luns. Makanya sejak itu dengan was-was saya menghindarinya. Keruan saja saya tidak tahu-menahu tentang keinginan Den Haag untuk mencuekkan Soekarno. Karena ketidaktahuan itu saya mengirim telegram rutin kepada J.J.F. Stokvis, pemimpin redaksi saya, bahwa saya akan mewawancarai Presiden Indonesia itu. Langsung saja tiba Italcable 666, berisi larangan dari Stokvis untuk brtemu Soekarno. Pada masa itu saya belum mengerti bahwa semua pemimpin redaksi Belanda, melalui perhimpunan Pemimpin Redaksi, terbiasa mengabulkan semua ‘permohonan pemerintah’. Saya lebih tidak tahu lagi akan adanya hubungan erat antara J.G. Heitink (dari Pemimpin Redaksi De Telegraaf) dengan dinas mata-mata. Ya sudah, saya melapor ke Agence France Presse saja di Roma, lalu menerima tugas dari AFP untuk menyusun laporan kunjungan kenegaraan dari Indonesia tersebut. Tanggal 12 Juni 1956 diadakan upacara penyambutan di | |
[pagina 5]
| |
taman Kedutaan Besar Indonesia. Dubes Rasjid memegang janjinya. Ia memperkenalkan saya sebagai wartawan Belanda kepada presiden. ‘Anda orang Belanda?’ adalah pertanyaannya yang pertama, sambil mengamati saya dengan teliti, seolah-olah memeriksa saya akan kebenaran hal tersebut. ‘Anda besok ikut dengan kami ke Pompei?’ lanjutnya. Ia menoleh, memanggil Sugandhi, ajudannya, dan menyuruhnya mengatur agar saya dapat ikut dengan rombongan Presiden Soekarno dalam seluruh perjalanannya di Italia keesokan harinya. Untuk keperluan itu, pemerintah Italia telah menyediakan kereta api khusus, termasuk gerbong restorasinya. Setelah bermalam di Sorrento, tanggal 14 Juni 1956 kami memasuki Pompei. Soekarno mengenakan baju safari dan topi yang sesuai. Hari itu udara panas dan pengap. Saya memotret dari tempat yang lebih tinggi. Ia melihat saya dan memanggil saya dengan isyarat. Kami berjalan bersama di depan anggota rombongan lainnya. Ia mengatakan bahwa ia senang saya ikut dalam perjalanan itu. ‘Sayang, hubungan dengan Belanda saat ini sangat buruk. Kamu tahu, saya telah berulang-ulang mengatakan bahwa apabila masalah Nieuw-Guinea dapat diselesaikan, jalan ke arah persahabatan dapat terbuka.’ Sementara itu Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani dan Joseph Borkin, pengacara Jahudi terkemuka dari Washington, yang telah bertahun-tahun menjadi penasehat Pemerintah Indonesia dan penasehat pribadi Presiden Soekarno, telah menyusul kami. Kami berempat terus berjalan. Menteri Abdulgani menambahkan: ‘Apabila Belanda mau menyerahkan kedaulatan atas Irian Barat kepada Indonesia, maka | |
[pagina 6]
| |
presiden akan menjadi orang pertama yang akan pergi ke Den Haag untuk secara pribadi mengusahakan agar hubungan kedua negara dapat terjalin kembali dengan baik.’ ‘Itu benar,’ tegas Soekarno. Dengan sendirinya saya memasang telinga, tetapi saat itu saya belum sadar bahwa pemimpin Indonesia itu telah menyatakan dambaan hatinya. Sewaktu aksi polisional pertama, saya masih berada di Nijenrode. Ketika perang kedua melawan Soekarno saya tinggal di Yale, di New-Haven, Connecticut. Dengan anggapan bahwa Den Haag tentu tahu apa yang dilakukannya, sebagai pemimpin Yale International Club saya mengundang para diplomat seperti F.C.A. Baron van Pallandt, Robert Fack dan Leopold Quarles van Ufford ke Yale untuk menjelaskan kepada mahasiswa, bagaimana pendirian Belanda mengenai Indonesia. Di antara tahun 1948 dan 1950 di Amerika Serikat saya tidak bersungguh-sungguh mendalami proses dekolonisasi. Saya masih juga begitu ketika menjadi redaktur luar negeri untuk Algemeen Handelsblad di bawah dr. A.L. Constandse, tokoh yang tidak dapat saya lupakan, yang beberapa bulan sebelum kematiannya menulis surat perintah khusus kepada saya. ‘Andalah satu-satunya di negeri ini yang tahu banyak mengenai hal itu. Luns, juga di bawah pemerintahan Drees, telah menjalankan politik yang amat buruk. Jadi, jalankan tugasmu dengan baik. Salam, Anton Constandse.’Ga naar voetnoot2 Ketika saya bekerja padanya, saya membatasi | |
[pagina 7]
| |
diri pada berita-berita mengenai hancurnya kekuasaan Perancis di Dien Bien Phoe dan berkobarnya peperangan di Korea. Pada saat perundingan resmi terakhir antara Jakarta dan Den Haag di Jenewa pada musim dingin tahun 1955-1956, saya sudah tinggal di Roma. Kejadian itu juga lepas dari pengamatan saya. Luns, dengan keangkuhannya yang bodoh, lagi-lagi telah melecehkan kesempatan terakhir bagi pemecahan yang damai. Dengan demikian pembicaraan dengan Soekarno di Italia mengenai masalah Papua sedikit banyak telah menyerkap saya. Saya mulai sadar, bahwa Irian Barat atau Irian Jaya merupakan kunci bagi pulihnya hubungan baik. Hari-hari selanjutnya, dari Pompei kami meneruskan perjalanan ke Florence, Milan, Turin, dan Venesia. Tanggal 23 Juni 1956 saya melaporkan pengalaman saya di Elseviers Weekblad. Reaksi pembaca kebanyakan sangat luar biasa, kasar, dan menghinakan, seperti misalnya seorang ibu dari Zutphen yang menulis: ‘Orang Jawa yang sudah mati tidak dapat berbohong.’ Bagi saya, sangatlah mengejutkan bahwa di tahun 1995 di acara BrandpuntGa naar voetnoot3. dari siaran televisi KRO saya masih harus mendengarkan seorang jenderal yang belum juga dapat menerima terlepasnya Hindia Belanda. Sementara saya merasa pertemuan saya dengan Soekarno sebagai peristiwa bersejarah yang amat bernilai, yang telah memperkaya saya dan memberi saya banyak gagasan dan sudut | |
[pagina 8]
| |
pandang baru mengenai perselisihan masalah Irian Jaya, Luns dan duta besar menganggap saya sebagai pengkhianat yang kurang ajar dan tidak taat kepada ‘instruksi’. Boon sendiri menyempatkan diri untuk menyatakan kedengkiannya dengan menulis dua pucuk surat kepada Stokvis, Pemimpin Redaksi De Telegraaf. Kata Boon, dia tidak mengerti bahwa harian pagi paling laris di Belanda masih mau berurusan dengan wartawan yang menghina dirinya lewat pergaulan dengan orang rendah seperti Soekarno. De Telegraaf lalu memutuskan hubungan kerja dengan saya. Sampai tahun 1991 saya tidak dapat membuktikan bahwa hal tadi telah terjadi. Baru kemudian, atas permohonan saya, Ratu Breatix minta agar Dewan Negara (Raad van State) bertindak atas dasar Undang-Undang Keterbukaan NegaraGa naar voetnoot4 dan memerintahkan Kementerian Urusan Luar Negeri menunjukkan kepada saya sekitar seratus dokumen. Barulah saya memergoki dua surat yang ditulis Boon kepada De Telegraaf. Pejabat tinggi Den Haag memang pengecut yang tidak ketolongan. Apa yang mereka ketahui dan lakukan, yang mereka anggap tidak patut atau melanggar hak asasi warga atau wartawan, enak saja mereka cap dengan kata rahasia. Empat puluh tahun yang lalu Joseph Luns dan kaum penghasut yang menghamba di kementeriannya memberi saya kartu merah, karena saya kebetulan bertemu dengan Bung Karno di Roma dan punya nyali menulis hal yang benar mengenai dirinya. Pada akhir masa jabatannya di bulan | |
[pagina 9]
| |
Agustus 1994, Perdana Menteri Ruud Lubbers memanggil saya ke menaranya dan menjelaskan antara lain, bahwa apa yang menimpa saya di negeri ini memang ‘tidak nyaman’. Telah empat puluh tahun saya disudutkan di tempat terkutuk tanpa pernah dapat keluar dari situ. Perkara memutar kembali empat dasawarsa perlakuan jahat dari penguasa terhadap saya sebagai warga dan wartawan sampai kini telah lima tahun dipermainkan kantor pengadilan Den Haag, sembari menguras hasil pajak dari warganya untuk mencoba menyelesaikan masalah dengan mengakali langkah sesatnya dengan sepatu dobol. Dan semua ini terjadi karena Soekarno telah menjadi teman saya. |
|