Bung Karno Sahabatku
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina xviii]
| |
PengantarMenulis buku tentang Presiden Soekarno, musuh bebuyutan kita yang nomor satu, tetap merupakan petualangan yang berbahaya biarpun seratus tahun sejak kelahirannya dan seperempat abad setelah kematiannya. Orang mengira saya dapat berbicara atau berpikir tentang ia, padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang pria ini. Orang tidak sadar bahwa mereka tidak memiliki ramuan informasi yang penting-penting, sehingga hanya mempunyai pendapat pedas saja yang tidak dapat dibenarkan. Emosi dapat memutarbalikkan kenyataan. Isapan jempol degil telah bertahun-tahun mengaburkan fakta tentang pendiri Republik Indonesia ini. Pada akhirnya ia adalah pemenang yang tak terbantahkan dan kita telah berulah sebagai pihak yang ogah menerima kekalahan. Tahun 1980, untuk ketiga dan terakhir kalinya saya berbicara dengan Perdana Menteri Indira Gandhi dari India. Saya bertanya apakah beliau mau menuliskan kenang- | |
[pagina xix]
| |
kenangannya. Tidak ada waktu. ‘Tetapi sekarang anda, dipuja setinggi langit, atau sangat dihinakan orang-orang, yang belum pernah anda temui dan sama sekali tidak mengenal anda’. ‘Ini memang kenyataan,’ jawab beliau, ‘belum pernah ada orang yang betul-betul mengenal saya telah menulis tentang saya.’ Saya menulis tentang Soekarno setelah selama sepuluh tahun (1956-1966) saya diterima dengan ramah olehnya. Saya berkesempatan mengenalnya dengan sangat baik. Oleh sebab itu laporan ini kenangan pribadi. Tulisan ini merupakan kenang-kenangan saya tentang teman saya, meskipun ia kepala negara Indonesia. Kami berdua berbicara dengan jujur dan akrab. Para pengritik, yang suka bertahan kepada pendapatnya sendiri yang salah, akan langsung meremehkan laporan ini dengan mengatakan, ‘lagi-lagi dokumen Willem Oltmans yang semau gue saja!’ Itu tidak akan menghilangkan kenyataan bahwa sayalah satu-satunya wartawan dari angkatan saya yang benar-benar turun mendekati Bung Karno, untuk mengumpulkan informasi dari tangan pertama, dengan niat membentuk pendapat yang bermakna mengenai lawan kita yang utama di Asia. Bagi banyak orang, laporan saksi mata ini akan terdengar seperti dongeng yang penuh emosi saja. Yang lain akan memahami bahwa informasi yang digalas ke sini dengan susah payah, yang didasarkan kepada catatan buku harian, menuturkan cerita yang betul-betul tidak dipalsukan. Buku harian saya sudah tersimpan sampai tahun 1980 di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag. Oleh sebab itu mencocokkan pengalaman yang saya tulis di sini dapat saja dilakukan. | |
[pagina xx]
| |
Namun, ini tidak akan menahan beberapa pengecam untuk bersikap seakan buku ini tidak ada, atau menulis resensi yang menghancurkan. Multatuli pun semula tidak dapat menghindari cercaan terhadap kisah saksi mata yang ditulisnya mengenai kenyataan di Hindia Belanda. Itulah harga yang harus dibayar orang untuk kebenaran, apalagi untuk kebenaran mengenai Bung Karno, pemenang yang dihinakan dan dicemooh. Pada tahun duapuluhan ia mulai pergulatannya untuk merebut kekuasaan orang Eropa yang bercokol tanpa diundang dan tidak sah di negeranya. Pemerintah kolonial saat itu telah cepat melihat bahwa pemuda Jawa, yang belajar untuk menjadi insinyur sipil di Bandung ini, adalah lawan yang berbahaya dan tangguh bagi wibawa Den Haag di negara koloni. Oleh sebab itu Soekarno diasingkan selama lebih dari sebelas tahun dan dipisahkan dari rakyatnya. Untuk membenarkan tindakan ini, di Belanda ia dihitamkan habis-habisan, yang sekurang-kurangnya menyiratkan bahwa ia juga ‘bangsat’ yang tidak dapat dipercaya. Bung Karno beruntung dapat dibebaskan Jepang. Semula ia mengundang saudara Asianya masuk, sebagaimana kita tahun 1945 menyambut orang Kanada. Sekutu itu membebaskan kita setelah lima tahun diduduki Jerman, sebagaimana Jepang membebaskan Indonesia setelah tiga ratus tahun dijajah Belanda. Tujuan pokok Soekarno ialah mem ‘berdikari’ kan rakyat Indonesia. Tahun 1955 pun berkali-kali ditekankan siaran dokumentasi televisi bahwa setelah Perang Dunia ke-2 Den Haag tidak lagi mau berurusan dengan Soekarno karena katanya ia | |
[pagina xxi]
| |
menjadi kolaborator Jepang. Baik Mohammad Hatta maupun Sutan Sjahrir yang semasa pendudukan Jepang adalah teman sekeyakinan Soekarno yang utama, selalu membantahnya. Tahun 1952 Profesor George McTuman Kahin dari Universitas Cornell telah menyatakan dalam kajiannya Nationalism and Revolution in Indonesia (hal. 104-106), ‘bahwa Soekarno menganggap Jepang itu fasis murni. Soekarno berpendapat bahwa ia dan kawan-kawan seperjuangan harus memilih cara berperang paling “halus” untuk menghindari bentrokan dengan penguasa Jepang. Mereka sepakat untuk berpura-pura saja berkolaborasi dengan orang Jepang.’ Sama seperti saya, Profesor Kahin telah menemui Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir dan banyak lagi di Indonesia untuk meneliti sendiri. Meskipun demikian, penonton siaran peringatan 50 tahun kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia) di televisi tetap saja dicekoki cerita bahwa Soekarno itu kolaborator Jepang. Kebanyakan wartawan pun tahunya cuma, bahwa ia, bersama dengan Hitler, merupakan lawan kita yang utama di abad ke-dua puluh ini. Akibatnya ialah bahwa 55 tahun setelah Soekarno membebaskan negara ke-empat terbesar di dunia dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme kita, kerja untuk menemukan kembali siapa dia sebenarnya -- dalam psiko-sejarah disebut to reinvent Bung Karno -- belum juga dilakukan. ‘Fakta sejarah pada hakikatnya adalah fakta psikologi,’ tulis Peter Loewenberg dalam Decoding the Past.Ga naar voetnoot1. Sejak dua | |
[pagina xxii]
| |
puluh lima tahun lalu di Amerika Serikat telah dicari hubungan antara pemikiran dan tindakan politik dengan motif dan perilaku psikologi yang melatarinya. Inilah pendekatan yang sejajar dengan cara bagaimana psikoanalis mencari akar permasalahan kejiwaan pada bangun kepribadian yang menyimpang. Dahulu orang tidak mempunyai pengetahuan cukup mengenai otak untuk melibatkan peranan emosi, pertimbangan kejiwaan pada pikiran dan tindakan pemain utama di ajang politik, pada kajian sejarah. Apa yang dahulu tidak terjangkau atau tidak dapat dijelaskan, kini diteliti secara psiko-dinamika.Ga naar voetnoot2. Di Eropa pun mulai dipakai pendekatan psiko-sejarah untuk mempelajari tokoh-tokoh politik masa kini dan masa lalu. Di Amerika Serikat sudah sejak tahun 1961 John F. Kennedy memanfaatkan regu antardisiplin pimpinan psikiater dr. Bryant Wedge sebagai persiapan pertemuan tingkat tingginya yang pertama dengan Nikita Khrushcshev di Wina. Selama sepuluh tahun bergaul dengan Soekarno saya menjadi sangat yakin bahwa andai kata Belanda tahun 1945 memiliki informasi yang benar dan sesungguhnya mengenai Soekarno, dan kitaGa naar voetnoot3. saat itu berlapang hati segera mengakui kemerdekaan Indonesia, Bung Karno pasti telah datang ke Den Haag. Hubungan erat antara kedua negara tahun 1945 itu juga niscaya dapat dijalin dan tetap bertahan sampai sekarang. Yang terjadi adalah bahwa kita menjadi korban kebohongan dan penipuan diri di mata Bapak Ttanah Air Indone- | |
[pagina xxiii]
| |
sia, bahkan juga dipandang dari perasaannya yang sesungguhnya terhadap Belanda dan orang-orang Belanda. Ia bukanlah musuh kita, melainkan teman kita nomor satu di Indonesia, pemimpin Indonesia yang pertama dan sekaligus juga yang terakhir, yang sesungguhnya menghargai dan lebih menyukai terjalinnya persahabatan dengan Belanda. Kita telah buta dalam menilai Bung Karno yang sesungguhnya dan dengan demikian kita telah menggali kuburan kita sendiri di Asia Tenggara. Yang mulia Ratu Belanda tahun 1995 memang mengunjungi Jakarta bersama delegasi dagang yang paling besar, tetapi nasi telah menjadi bubur. Amerika Serikat, Jepang, bahkan juga Jerman telah ‘memakan keju yang ada di atas roti kita’ di bekas koloni kita. Tidak seperti Inggris terhadap bekas jajahannya, kita tidak menata diri kembali pada waktu yang tepat. Bayangan kita yang keliru tentang Soekarno telah menjerat kita sesudah 1945. Pada saatnya nanti pasti akan dilakukan penelitian psiko-sejarah mengenai pendiri Republik Indonesia ini. Tetapi hal ini baru ada artinya apabila rejim adikara sekarang serta segenap kaki tangannya diganti oleh wakil-wakil rakyat yang benar, dan terutama apabila sisa dari sumber dan bukti otentik dapat disediakan. Bahkan di Indonesia sendiri, penerusnya telah berupaya nekad untuk menghitamkan Bung Karno, misalnya dengan ‘memperkenalkannya’ kepada rakyat pada tahun 1965 sebagai orang yang diam-diam bersekutu dengan komunis. Tahun 1989 Jenderal Suharto bahkan menulis dalam buku kenangannya bahwa ia tahu benar Soekarno tidak pemah menjadi seorang komunis, tetapi semua itu berhuruf kecil saja | |
[pagina xxiv]
| |
dalam buku sejarah, yang biasanya tidak dibaca orang, juga karena kejutan pada tahun 1965 dan dusta bahwa yang terjadi adalah coup PKI, hingga kini belum reda. Namun apa hendak dikata, bila akhirnya dilakukan juga penulisan mengenai Soekarno seperti apa ia sebenarnya, kebanyakan orang Indonesia yang betul-betul mengenalnya mungkin telah lama meninggal. Kesaksian mereka, yang sampai saat ini belum dicatat, akan hilang dari sejarah. Karena itu kita kembali ke keluhan Indira Gandhi bahwa mereka yang mengenalnya tidak pernah menulis tentang dirinya. Di sini saya mencoba menulis, agar tidak terlambat, sebagai sumbangan bagi pertimbangan akhir sebuah sejarah. Mengenai judul buku ini, berikut ceritra saya: penulis Jef Last adalah teman saya selama bertahun-tahun. Pada tahun 1966 ia memberi saya satu eksemplar buku Mijn vriend Andre Gide (Temanku Andre Gide).Ga naar voetnoot4. Pada saat itu saya mempertanyakan mengapa ia memakai judul seperti itu untuk buku tentang seorang teman. Selain itu, Jef juga pernah tinggal lama di IndonesiaGa naar voetnoot5. sehingga dapat melihat negara itu dengan mata lain dari rata-rata orang Belanda. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh Bung Karno. Kami merundingkan bersama, perihal bagaimana kita dapat menyumbang agar gambaran tentang Soekarno dapat lebih sesuai dengan kebenaran. Kata Jef, perlu waktu yang sangat lama bagi orang di Tanah Air agar bersikap ‘dewasa,’ yaitu tidak terlalu emosional dan mau | |
[pagina xxv]
| |
mengupas tokoh sejarah ini dengan lebih objektif. Teman saya Jef Last memang tidak lagi berkesempatan melihat terbitnya buku Mijn vriend Sukarno (Bung Karno Sahabatku). Sekarang saya juga berpikir bahwa mungkin Jef benar juga dengan menyebut Gide pada sampul buku sebagai ‘teman saya’. Ada anggapan bahwa wartawan profesional hendaknya tidak mempunyai ‘teman’ selama menjalankan tugasnya. Bahwa saya melanggar aturan itu ada kaitannya dengan kenyataan sebenarnya yang saya jumpai mengenai pria ini.Ga naar voetnoot6. Anak-anak Bung Karno, kepada siapa buku ini saya persembahkan juga, mencintai pria ini sebagai ayah mereka, tetapi mereka tidak benar-benar mengenalnya. Ia boleh dikatakan tidak punya waktu untuk memperhatikan anak-anaknya. Apalagi saat itu mereka masih duduk di bangku sekolah, dan tidak tahu apa yang terjadi di lingkungan istana. Pada tahun tujuh puluhan Sukmawati dan Guruh telah datang mengunjungi saya di Amsterdam untuk berbicara tentang ayah mereka. Guruh tinggal beberapa waktu di rumah saya, sebagaimana saya tahun 1995 tinggal selama tiga bulan di rumahnya di Jakarta. Dalam buku ini saya juga akan bercerita kepada mereka mengenai pengalaman saya bersama ayah mereka. Terutama untuk Karina, yang tahun 1967 lahir di Jepang dalam pembuangan dan tidak pernah mengenal ayahnya. Saya masih ingat, ketika masih anak-anak, ia tinggal di tepi Danau | |
[pagina xxvi]
| |
Geneva, membuat gambar-gambar untuk ayahnya dan bertanya tentang ayahnya kepada saya dalam bahasa Perancis. Karina kemudian menuntut ilmu di sekolah terbaik di Perancis, belajar Communications di Universitas Boston dan bekerja selama tiga tahun di Tokyo untuk televisi Jepang. Tahun 1995 ia pulang ke New York dan merasa senang dapat kembali ke dunia barat.
Willem Oltmans |
|