| |
| |
| |
Untuk Putra Putri Bung Karno
Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, Guruh, Taufan, Baju dan Karina
| |
| |
| |
Kata Pengantar
Ternyata bukan hanya H.J.C. Princen yang mengalami tindakan pahit dari pemerintah dan sebagai masyarakat Belanda berkenaan dengan keberpihakan kepada kemerdekaan Republik Indonesia. Aoh K. Hadimadja dalam bukunya ‘Manusia dan Tanahnya’ merangkaikan proses keberpihakan Princen, waktu itu serdadu K.L. Belanda, yang kemudian menerima Bintang Gerilya R.I. kepada bangsa Indonesia yang merebut kemerdekaanya. Pongky begitu disapa sahabat-sahabatnya, sempat dianggap pengkhianat, karena menyerang, memilih berpihak kepada yang dianggapnya benar. Ia tahu betapa beratnya dianggap sebagai disertir. Tapi seperti dikatakan dalam bukunya ‘Iedereen is vrij om te kiezen’ setiap orang berhak untuk memilih. Bayaran yang ia terima, bukan saja dirinya yang diancam, tapi juga faimilinya di negerinya.
Sekarang dari buku harian yang dirawat sejak remaja, Willem Oltmans, wartawan Belanda yang semula tidak tahu apa-apa tentang negeri dan perjuangan bangsa kita, sejak
| |
| |
bertemu dengan Presiden Soekarno di bulan Juni 1956, secara terhitung cepat ia menjadi sahabat Presiden R.I. Pertama, dan malahan menjadi -- seperti dirasakan sendiri -- sahabat karibnya, kemudian digambarkan di dalam buku ini. Maka bayaran yang ia terima dari penguasa di tanah airnya ditutup pintu untuk bisa bekerja, dipersona-non-gratakan,terpaksa harus pindah ke negeri orang. Tidak ubahnya ia dianggap seperti berpenyakit sampar.
Pada tahun 1952/1953 saya pernah menemui orang tua Princen di tempat tinggalnya di Belanda, sewaktu Pongky dalam keadaan diancam oleh pihak berkuasa di Den Haag, karena hati nuraninya berbicara. Waktu itu saya merasa tidak berbuat salah menemui orang tua Princen. Tetapi kemudian, setelah orang lain berbisik tentang bahaya yang bisa menimpa saya, barulah bulu kuduk saya berdiri. Saya bisa membayangkan betapa resah atau gemasnya perasaan Oltmans waktu ia diteror oleh para penguasa dengan aparatnya di tanah airnya sendiri semata karena ia berpihak kepada Bung Karno, pemimpin bangsa yang melawan penjajahan Belanda, yang dianggapnya patut didekati dan diajak bicara untuk mengenal yang sebenarnya, bukan diancam dan dianggap musuh bebuyutan.
Kalimat pertama sebagai pembukaan bukunya yang ditujukan kepada orang-orang Belanda, Willem Oltmans menggebrak pembaca dengan, ‘Menulis buku tentang Presiden Soekarno, musuh bebuyutan kita (kita di sini adalah masyarakat Belanda) yang nomor satu, tetap merupakan petualangan yang berbahaya biar pun seratus tahun sejak kelahirannya dan seperempat abad setelah kematiannya’.
| |
| |
Jadi, Oltmans sadar benar ia melawan arus, ingin mendobrak sesuatu yang sudah berdiri berakar kukuh. Sebab ia merasa telah menemukan yang lain yang sudah melekat di kepala banyak orang. Dan ia yakin, bahwa penemuannya itu: diri Soekarno yang sebenarnya. Benar Soekarno adalah yang melawan. Melawan imperialisme Belanda, tetapi ia bukan musuh orang Belanda. Buktinya, Bung Karno bisa menerima dirinya, Oltmans, dengan baik dan ramah, dan dapat jadi sahabat Belanda jika Belanda bersikap lain dari yang sudah dijalankannya. Kebodohan dan keangkuhan Belanda (waktu itu: sejak Proklamasi R.I. sampai dengan penyelesaian Irian Barat) dinilai Oltmans sebagai kesalahan besar Belanda dalam memasuki zaman baru sesudah Perang Dunia ke-2.
***
Di Amerika, tempat ia berhijrah, Oltmans bertemu dengan Wakil tetap Indonesia di PBB Ali Sastroamidjojo, yang menceritakan bahwa ia pernah menyarankan kepada Bung Karno, agar ada orang yang menulis buku tentang dirinya (Bung Karno). Kepada Oltmans Ali Sastroamidjojo memberikan sugesti. Agar Oltmans menulis buku tentang Bung Karno bersama seorang penulis Indonesia, yang ditunjuknya Sitor Situmorang.
Sitor sendiri berkata, kemungkinan besar benar Ali Sastroamidjojo menyebut dirinya untuk penulisan buku tentang Bung Karno; ia percaya. Tapi hal itu tidak sampai terlaksana disebabkan waktu saja yang jadi penghalangnnya. Cindy Adam yang kemudian menulis memoir Bung Karno.
| |
| |
Kata-kata yang seperti anjuran Ali Sastroamidjojo kepada Oltmans ternyata jadi obsesi bagi wartawan ini, dan pada bulan Agustus 1995 rampunglah tulisan mengenai pengalamannya dengan Bung Karno itu, berupa buku yang dihidangkan sekarang di Indonesia dalam bentuk terjemahan.
***
Oltmans sebenarnya mendapat didikan diplomatik dan pernah menjalankan dinas itu. Tetapi ia terpikat oleh lapangan lain, yakni dunia jurnalistik, karena faktanya sendiri wartawan termasuk jenis pengamat yang mengutamakan kebebasan berpolitik dan membawanya ke dalam praktek. Akibat alasan itulah pada tahun 1948 ia keluar dari kedinasannya sebagai diplomat.
Saya tidak berbakat menjadi diplomat dengan segala pernak-pernik penipuan yang selalu menyertainya’, katanya. Oltmans mengutip pendapat diplomat Inggris Henry Watton yang mengingatkan diplomat dikirim ke luar negeri untuk berbohong demi negaranya, ia malahan dianggap sebagai pengkhianat. Dan diulangnya sendiri itu karena ia bersahabat dengan Bung Karno’.
***
Sejak pertamuannya pertama kali dengan Bung Karno pada tahun 1956 dan kemudia ia merasa tertarik untuk mengenal dengan benar pemimpin Indonesia itu, sementara tulisan-tulisannya disisihkan oleh banyak pemimpin redaksi yang bekerjasama dengan pusat pemerintahan di Den Haag.
| |
| |
Oltmans mencari kesempatan dan mendapatkan sehingga ia berkali-kali meliput aktivitas Presiden Soekarno, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Dengan begitu ia bisa menangkap kejadian-kejadian penting yang berkenaan dengan Indonesia dan buah pikiran pemimpinnya waktu itu: sengketa Irian Barat, persoalan daerah yang melahirkan PRRI, Permesta, ‘Demokrasi Terpimpin’, sampai terjadinya tragedi nasional G-30-S PKI ‘To Build The World a News’ dan meninggal sahabatnya yang amat dihargai: Bung Karno.
Dengan naluri kewartawanannya ia membuat catatan-catatan, dan menuliskan laporan-laporannya. Mengetahui bahwa banyak tulisannya disisihkan dari meja-meja redaksi, tambah sengit ia bekerja melawa arus informasi yang direkayasa oleh pihak yang berkuasa di Den Haag.
Mengikuti Bung Karno berulang kali berpidato, Oltmans tidak merahasiakan, ia kadang-kadang tersentuh hatinya karena kata-kata yang dipakai oleh Bung Karno waktu itu. Ia mencatat ‘Kadang-kadang Bung Karno dihanyutkan oleh gaya pidatonya sendiri dengan cara yang tidak dapat saya terima, walaupun secara garis besar ia benar. Saya mengeluhkan perasaan sesak di hati saya ini kepada Wim Latumeten, petugas di Kementerian Penerangan RI waktu itu atau Piet Van Bel yang mengerti keadaan saya dan mereka berkata: Orang tua itu memang manusia juga’.
Waktu terjadi sengketa mengenai Irian Barat, di Amerika Oltmans giat membantu pihak R.I. Bukan saja karena ia bersahabat dengan Bung Karno dan mengerti jalan pikirannya, melainkan juga karena Oltmans mengharapkan hubungan In- | |
| |
donesia dengan Belanda janganlah sampai patah arang seperti apa yang pernah terjadi. Ia, dalam bukunya ini, menggambarkan bagaimana langkah-langkah usahanya turut serta menyelesaikan soal sengketa Indonesia-Belanda waktu itu. Yusuf Ronodipuro, yang ada disebut di dalam buku ini, mengatakan benar Oltmans telah berjasa bagi R.I, sedikitnya ada jasanya sampai ia melakukan lobby di kongres dan ikut bergerak di sidang-sidang PBB, turut serta di pihak R.I. memperjuangkan Irian Barat.
Membaca buku ini bisa-bisa kita menjadi ngeri, karena tergambar orang-orang CIA dan mereka yang dibayarnya gentayangan di mana-mana. Dan Oltmans tidak bertedeng aling-aling menyebut sejumlah nama orang yang berperan sebagai CIA dan yang bekerjasama dengannya, termasuk orang-orang Indonesia. Bisa jadi orang Indonesia yang dituduh Oltmans dan masih hidup pada waktu ini dan membaca buku ini akan bereaksi. Tetapi Oltmans mungkin tidak akan menjilat ludahnya.
***
Membaca bagian-bagian ini yang tersebar di pelbagai halaman, boleh jadi kita akan dihinggapi perasaan, betapa tidak amannya di sekeliling kita karena banyaknya agen-agen dan mata-mataku. Ngeri juga kita dibuatnya. Tapi yang pasti, mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan patut selalu waspada, sadar betapa banyaknya bahaya yang ada di seputar mereka. Maka yang dicatat oleh Oltmans hendaknya menjadi lampu kuning bagi kita, terutama bagi mereka yang tahu
| |
| |
banyak dan sering berhubungan dengan pusat-pusat politik, supaya bersikap hati-hati.
Banyak tokoh politik dan tentara, juga pembantu-pembantu Presiden Soekarno disebut oleh Oltmans, sampai perawat pakaian Bung Karno, Tukimin waktu itu diabaikan di dalam buku ini.
Barangkali sebagian besar dari mereka yang disebut Oltmans ini sudah tiada. Dan mereka yang masih ada pun mungkin masih akan mengerutkan keningnya, berpikir kembali, apa benar ia bersikap dan berkata seperti yang dituliskan Oltmans. Maklumlah jarak waktu menyebabkan kita bisa lupa akan apa yang sudah pernah kita perbuat atau ucapkan tetapi Oltmans telah bekerja untuk penulisan buku ini dengan mempergunakan 800 buah buku harian dan catatan yang sempat disimpanya di Koninklijke Bibliotheek di Den Haag, hal yang membelalakkan mata saya yang jauh dari pandai menyimpan dokumen.
Ada beberapa orang yang dinilai oleh Oltmans cukup banyak mengetahui kepribadian, sikap dan kebiasaan seperti cara berpikir Bung Karno. Antara lain Zairin Zain (almarhum) yang menaruh hormat kepada Bugn Karno. Panjang keterangan dari alm. Zairin Zain tentang diri dan jalan pikiran Bung Karno yang dimuat di dalam buku ini. Sayangnya tokoh yang sudah tiada ini belum sempat meninggalkan memoimya. Yang ada buku peninggalan saudaranya, Harun Zain. Sementara itu, yang terasa agak ganjil adalah keterangan, sepertinya Zairin Zain ini berakar Batak, padahal yang benar ia keturunan tokoh Sumatera Barat.
| |
| |
Ada bagian-bagian yang mengherankan bagi saya, pandangannya mengenai Soebandrio yang sama sekali tidak terduga. Perkiraan saya semula, wartawan seperti Oltmans mestinya berhubungan baik dengan tokoh yang semat amat dipercaya oleh Presiden Soekarno. Tetapi catatan yang dihidangkan pada kita tentang Soebandrio adalah pahit dan getir dengan kata-kata yang jauh dari terpelihara.
Dengan siapa dari pihak wartawan-wartawan Indonesia Oltmans mengadakan kontak ada disebut olehnya, antara lain Djawoto, Sukrisno, Tom Anwar, Koerwet Kartaadiredja. Tetapi tidak ada disebutnya Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, atau Aristides Katoppo. Membaca ini orang condong bisa menerka buah pikiran penulis buku ini. Namun kita boleh bertanya juga, mengapa Oltmans tidak menyebut nama Ita Samsudin misalnya, padahal wartawati kantor berita Indonesia ini kedengarannya amat disukai Presiden Soekarno dan ia biasa meliputi di istana waktu itu.
Menyebut nama wartawati Ita Samsudin, jadi terpikir, mengapa ia tidak menulis buku tentang Bung Karno, seperti halnya wartawan Belanda ini, padahal ia tahu banyak tentangnnya. Semoga buku ini menjadi cambuk baginya, dan bagi sekian wartawan kita lainnya, supaya wartawan kita tidak kalah oleh wartawan negeri lain.
***
Jarang saya mendapatkan buku yang berisikan kekecewaan yang amat sangat tentang negerinya sendiri seperti yang ditulis
| |
| |
Oltmans ini. Dan semua itu pangkalnya disebabkan informasi yang salah yang dibentuk oleh penguasa Belanda waktu itu, dan dicoba ditutupnya dengan informasi lain yang berbeda dengan pandangan yang berkuasa setempat.
Oltmans telah mencurahkan emosinya di dalam buku ini dengan tidak tanggung-tanggung. Ia membuka dadanya menghadapi sejumlah orang Belanda, baik yang bekerja di pemerintahan maupun di dunia pers di negeri itu pada masa itu, dengan melontarkan kata-kata yang lebih daripada tajam.
Waktu itu Oltmans, yang biasa dipanggil Wim oleh Presiden Soekarno, melawan arus. Tapi ada kemungkinan besar, di permulaan milenium baru ini, mega gelap tentang seseorang yang bernama Soekarno itu, di Belanda telah mulai terkuak. Generasi baru di negeri kincir itu telah lahir dan mereka mendambakan informasi yang benar, seperti halnya di negara-negara lain. Lembaga seperti Yayasan Soekarno yang diketuai Prof. Bob Hering rasanya akan yang bergerak tambah giat ke arah memberi pengertian yang benar tentangnya.
Bagaimanapun, kita pantas memuji keuletan penulis buku ini, atas keyakinannya bahwa pikirannya dan perasaannya benar dan tepat mengenai Bung Karno, serta tidak patut dialangi orang seperti yang pernah terjadi, baik oleh pemerintah Belanda waktu itu maupun oleh atasan-atasannya di bidang pekerjaannya sebagai wartawan. Ia juga beringasan menemukan mereka yang mengalang-alangi opininya mengenai Bung Karno.
| |
| |
Saya tidak pernah berkenalan dengan Willem Oltmans, tapi sempat mendengar namanya disebut orang sebelum tahun 1966 dan sesudahnya. Ada yang memujinya, ada yang lebih dari pada mengejeknya. Tapi yang pasti adalah, saya selalu ingin membaca apa yang ditulisnya dengan saringan sendiri yang ada pada saya. Sementara itu saya tahu siapa yang suka kepada tulisan Oltmans dan siapa yang tidak. Dengan adanya perubahan zaman di negeri kita, tidak mustahli terjadi perubahan penilaian orang terhadap Oltmans.
Disuguhkannya buku Oltmans ini sekarang -- dalam bentuk terjemahannya di negeri kita -- pada waktu peringatan ulang tahun Bung Karno yang ke-100, dan berbarengan dengan pencaharian bentuk pemerintahan kita yang diharapkan bakal menyenangkan kita, tentunya akan bermanfaat sebagai cermin apa yang telah terjadi di belakang kita sekarang.
Buku ini dipersembahkan oleh penulisnya kepada putera puteri Bung Karno, dengan pertimbangan kemungkinan besar mereka tidak mengenal benar pribadi ayah mereka, karena waktu yang pernah ada pada Bung Karno kebanyakan dipergunakannya untuk kepentingan perjuangan dan pengabdian kepada bangsanya. BungKarno tidak mempergunakan banyak waktunya untuk putera-puterinya. Itu sebabnya Oltmans ceritakan pengalamannya dengan Bung Karno ini kepada mereka yang dirasakannya patut mengetahuinya, termasuk pembaca buku ini. Tinggallah kepada pembaca untuk mempertimbangkannya kembali zaman yang belum terlalu lama lewat dari kita. Mungkin ada bagian dari tulisan ini yang anggukkan, mungkin ada juga yang kita tolak, mungkin ada
| |
| |
yang menjadikan kita paham mengapa kejadian itu tampil seperti apa yang pernah kita lihat dan rasakan.
***
Suasana di tahun permulaan milenium ke-3 ini sungguh sudah amat berubah dalam soal kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat di negeri kita, dibandingkan dengan keadaan pada seputar tahun '60-an. Kita tahu betapa kejam hujatan yang terjadi terhadap Bung Karno pada seputar tahun 1965-1967. Sekarang, sewaktu berjalan sidang DPR pada tanggal 30 April 2001, kita telah mendengar kumandang pujian dan sanjungan terhadap kenegarawan Bung Karno di ruangan gedung penting dan terhormat itu sewaktu para politisi Indonesia membicarakan nasib Presiden Abdurrahman Wahid. Wakil Partai Persatuan Pembangunan yang mengumandangkan penghargaan tinggi kepada Presiden Soekarno di gedung DPR-MPR itu.
Di antara kita yang pernah mengalami empat kali kepemimpinan negara kita, Soekarno, Soeharto, Habibie dan Gus Dur, banyak yang membanding-bandingkan presiden-presiden kita itu. Maka karena sekarang sudah ada bandingan, banyak yang berupah pikiran tentang Bung Karno. Yang tadinya pada akhir 50-an dan permulaan 60-an membencinya atau menjelek-jelekkan Presiden kita yang pertama itu banyak yang bergeser tempat, kalau tidak jadi memujinya, sedikitnya tidak lagi menjelek-jelekkannya. Apa lagi mereka yang selama periode '45-67 memujinya tentunya terus dan bertambah menghargainya.
| |
| |
Tidak diragukan lagi Willem Oltmans akan tambah mengumandangkan pendiriannya mengenai sahabatnya: Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia.
Jakarta, 9 Mei 2001
Ramadhan K.H.
|
|