Presiden mereka jelas-jelas hasil suatu komplotan, sangatlah mencolok. Karena saya telah tinggal di New York dari tahun 1958 sampai tahun 1992, saya tahu bahwa tidak ada yang dapat dilakukan orang untuk membuka mata masyarakat agar melihat kenyataan yang tidak ingin mereka lihat atau terima. Hal ini membawa saya kepada beberapa pengamatan mengenai pergantian rezim dari Pak Wahid ke Ibu Mega, yang seperti lompatan dari wajan penggorengan ke api yang menyala. Sayang sekali, seperti yang saya tulis di ‘Jakarta Post’ pada tahun 1999, putri sulung bapak bangsa ini telah masuk ke perangkap yang sudah dipasang baginya, karena satu-satunya kualifikasi untuk menjadi Presiden dari Republik Indonesia yang dimilikinya hanyalah nama keluarganya. Ayahnya, yang sangat saya kenal, pasti akan sangat sedih menyaksikan kejatuhan putrinya jauh lebih cepat dari kehancuran kepresidenannya Pak Wahid.
Patut kita cermati juga perbandingannya dengan situasi di Filipina. Di Manila, Gloria Macapagal Arroyo berusaha dengan sungguh-sungguh hendak menyelamatkan bangsanya, tetapi ia menikah dengan Miguel Arroyo, yang dituduh telah menerima suap sejumlah 2,5 juta dolar sehubungan dengan transaksi bisnis TELECOM yang besar. Sejauh ini, Senat Filipina belum mulai menyelidiki semua tuduhan tersebut, tetapi Gloria telah memasuki daerah yang berbahaya, enam bulan setelah ia menjabat. Suami Ibu Mega, Taufiq Kiemas, sudah banyak dibicarakan di Jakarta karena ia bukan seorang ‘Mr. Clean’. Sementara itu, Gloria dan Mega tidak ada kaitannya apa-apa dengan bisnis suami-suami mereka. Demikian juga halnya dengan Benazir Bhutto, suaminya juga dituduh dan dipenjara karena tindak korupsi, yang akhirnya membawanya (Benazir) melarikan diri ke luar negeri, mengakhiri