Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 64]
| |
7
| |
[pagina 65]
| |
orang yang terpilih memerintah di negara ini selama 32 tahun sebagai boneka yang setia kepada Washington, sampai ia pun disingkirkan setelah ia tidak lagi bermanfaat bagi kepentingan Barat. Mobutu bukan siapa-siapa selain jenis orang Afrika yang menjadi badut konyolnya CIA, sama seperti Soeharto, yang - untuk beberapa waktu bersama dengan Lon Nol di Kamboja - menjadi kacung edisi Asianya Tim Rahasia di Washington.
Bahkan Dag Hammerskjold, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (1905-1961) kehilangan nyawanya di tahun 1961. Pesawat terbang yang membawanya, jatuh dalam perjalanan menjalankan misinya di Afrika, mencari jalan keluar bagi masalah Kongo. Tidak ada orang yang dapat membuktikan dugaan bahwa Hammerskjold dibunuh, atau oleh siapa. Ada laporan mengenai ditemukannya sesosok mayat tak dikenal di puing pesawatnya, dan tidak pula diketahui bagaimana korban ini bisa sampai ikut di dalam pesawat. Apakah orang itu yang menyebabkan jatuhnya pesawat? Kecelakaan yang menyebabkan kematian diplomat berkebangsaan Swedia ini tidak pernah terungkap, sama seperti halnya sangat banyak peristiwa yang diatur dinas mata-mata, yang tetap tidak terpecahkan. Hal ini bukan berarti bahwa tindakan jahat itu tidak mereka lakukan.
Tanggal 1 Oktober 1965, Jenderal Yani hilang. Bung Karno telah pergi ke Pangkalan Udara Halim dekat Jakarta. Ia memerlukan komandan baru bagi Angkatan Bersenjata segera, sampai Yani dapat ditemukan. Ia memerintahkan Jenderal Pranoto Reksosamudro untuk melapor kepadanya, karena ia bermaksud menunjuk jenderal itu sebagai pejabat sementara kepala komando Angkatan Bersenjata. Kebetulan Jenderal Pranoto sedang berada di markas besar KOSTRAD-nya Soeharto ketika ia menerima perintah Bung | |
[pagina 66]
| |
Karno. Soeharto mencegah Pranoto untuk pergi dan melapor kepada presiden ini di Halim. Saat itu pulalah ketidakpatuhan dan pengkhianatan Soeharto dimulai. Ketika pada tahun 1973 saya memakai istilah ‘pengkhianatan’ untuk tingkah laku Soeharto dalam buku ‘Den Vaderland Getrouwe’ (Bruna, Utrecht, 1973), segera pula saya dikunjungi Jenderal Mursid, mantan Dubes Indonesia untuk Filipina, yang dengan ramah menegur saya dan menyarankan, ‘di masa yang akan datang, Willem, lebih tepat bila Anda menggunakan istilah pengkhianatan-akbar untuk tindakan Soeharto melarang Pranoto melapor kepada Bung Karno’.
Jelas terbaca dalam berbagai berita, bahwa Bung Karno sedang menjalani masa yang mungkin terparah dalam hidupnya, sejak ia mulai memperjuangkan kemerdekaan negerinya di pertengahan tahun dua puluhan. Tetapi, ia masih hidup dan saya sangat yakin bahwa ia dapat bertahan setelah menghadapi begitu banyak masalah dari makar yang baru ini. Entah bagaimana, saya menolak dan bahkan tidak mau memikirkan peringatan Ujeng Suwargana di tahun 1961 itu di New York, bahwa para jenderal yang bersatu di sekeliling A.H. Nasution akan membiarkannya merana sampai mati seperti bunga yang tak diberi air.
Rincian mengenai drama tersebut, yang mengungkap peristiwa yang terjadi di tahun 1965 dan 1966 di Jakarta mulai muncul ke permukaan dan ke dunia luar. Tetapi, pembantaian masal yang dilakukan Soeharto, dan algojo yang paling disukainya, Sarwo Edhie, mulai dengan membunuh para petani, anggota partai komunis, dan terutama para patriot pencinta Bung Karno, masih menjadi misteri sampai puluhan tahun kemudian. Rezim Soeharto menyelenggarakan peristiwa banjir darah yang terbesar | |
[pagina 67]
| |
sepanjang sejarah Indonesia. Sesungguhnya, Soeharto bersalah atas pembantaian skala-besar itu, setara dengan kejahatan perang yang dilakukan Pol Pot di Kamboja. Koran Inggris ‘Economist’ memperkirakan bahwa 500.000 orang telah disembelih dalam pesta pembunuhan gila yang paling berdarah dalam sejarah Indonesia ini.
Noam Chomsky menulis dalam buku ‘Rogue States’, terbit tahun 2000, bahwa ‘tidak terdengar kutukan dari hadirin di sidang Kongres AS, tidak satu pun di antara organisasi pemberi bantuan yang besar di AS membantu meringankan penderitaan para korban. Sebaliknya, pembantaian (oleh Soeharto) itu, dibandingkan (bahkan) oleh CIA dengan kejahatan yang dilakukan Stalin, Hitler, dan Mao, menimbulkan perasaan senang luar biasa yang tidak ditutup-tutupi dalam episode yang sangat mencolok, dan lebih baik dilupakan. World Bank dengan cepat membuat Indonesia menjadi negara yang berhutang paling banyak nomor tiga di dunia, pemerintah serta perusahaan di AS dan negara Barat lainnya, mengikutinya.’(hlm. 144).
Chomsky benar dalam segala ceriteranya tentang hal ini. Di Belanda, yang tidak pernah berhenti membenci dan memandang rendah Soekarno, di seluruh negara juga terasa adanya semacam kelegaan karena orang yang telah memenangi imperialisme ini akhirnya bisa dijatuhkan, bahwa boleh dikatakan tidak ada seorang pun yang menyebutkan banjir darah luar biasa yang sebenarnya terjadi di Indonesia. Pemerintah Belanda bergegas membentuk perkumpulan IGGI yang anggotanya terdiri atas negara-negara Barat untuk mulai membiayai para jenderal yang terlibat kup tersebut seperti yang dikehendaki dan direncanakan Tim Rahasia di Washington ini. Bermiliar-miliar dolar perolehan pajak dari negara-negara kaya itu dipompa masuk ke rezim Soeharto selama 30 tahun, sama | |
[pagina 68]
| |
seperti yang dilakukan untuk Mobutu di Zaire, dan di berbagai tempat terjadinya makar yang lain-lain, yang dibuat seolah-olah dilakukan kaum komunis. Tentu saja tidak ada ancaman kup komunis di Indonesia pada tahun 1965 itu. Yang dianggap ancaman PKI di Jakarta adalah sebuah dongeng yang sengaja diciptakan oleh dinas rahasia di Washington untuk memberi CIA alibi yang bagus sekali, yang akhirnya berhasil menggulingkan Soekarno.
Pimpinan puncak di Gedung Putih sungguh menyadari bahwa Bung Karno bukan komunis dan tidak pernah akan berpihak dengan PKI untuk mencelakai para mitranya yang lain di dalam konsep demokrasi terpimpinnya. Di televisi, Averell Harriman, Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh, jengkel karena ada lagi yang bertanya mengenai Soekarno dan PKI. ‘Ia bukan komunis. Ia seorang nasionalis!’ demikian teriak Harriman, seperti diceriterakan oleh Roger Hilsman dalam ‘To Move a Nation’ (hlm. 378). Sangatlah jelas apa yang ingin dicapai oleh komplotan dari luar negeri ini di tahun 1965 dengan menggambarkan Bung Karno sebagai komunis. Namun demikian, berbagai media massa termasuk ‘New York Times’, segera memfitnah dirinya sebagai simpatisan PKI. Kelompok PutchistGa naar voetnoot1 ini menuduhnya mengelompok bersama dengan PKI untuk membuat marah masyarakat, terutama kaum Muslim, sehingga Soeharto dapat berpose sebagai pria yang telah menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh komunis. Pria ini rupanya telah siap benar, untuk menghujat presidennya sendiri secara licik, dan melanggar sumpahnya sendiri sebagai perwira untuk merebut kekuasaan bagi dirinya sendiri dan merampok untuk memperkaya dirinya. | |
[pagina 69]
| |
Sangatlah mengejutkan bahwa dalam bukunya yang terakhir, ‘Subversion as Foreign Policy’, Profesor Kahin secara acuh tak acuh menutupi peristiwa yang penting dalam sejarah Indonesia itu, bahwa Soeharto melakukan pengkhianatan tingkat tinggi. Ketika membahas peristiwa tanggal 1 Oktober 1965 (hlm. 227), Kahin hanya menulis, ‘Jenderal Soeharto, yang kedudukannya di jajaran komando berada di belakang Jenderal Yani... mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Bersenjata.’ Yang terjadi bukanlah demikian. Yani hilang. Bung Karno menginginkan Jenderal Pranoto untuk sementara menggantikan Yani. Soeharto - seperti telah saya ceriterakan di depan - mencegah Pranoto pergi menemui Bung Karno, karena ia menginginkan jabatan itu bagi dirinya sendiri.
Sejumlah peneliti peristiwa makar tahun 1965 menulis dalam laporan mereka bahwa Presiden Soekarno telah menanyakan pada Jenderal Yani di awal tahun 1965 itu, apakah rumor tentang Dewan Jenderal yang sedang merencanakan kup itu benar atau tidak. Selanjutnya diketahui pula bahwa hubungan Bung Karno dengan Yani sangatlah dekat. Menurut dugaan, Jenderal Yani menjawab bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena ialah yang memegang komando di Angkatan Bersenjata dan tidak seorang pun dapat melangkahinya. Oleh sebab itu, agar Soeharto dapat menjadi yang nomor satu maka Jenderal Yani perlu dilenyapkan.
Tetapi, bagi saya, menulis mengenai makar tahun 1965 ini tetap merupakan perkara yang sangat rumit. Siapa saja yang menganggap telah dapat memecahkan tindakan intelijen itu pasti sudah menipu dirinya sendiri. Peristiwa ini mirip dengan pembunuhan Kennedy di Dallas. Memang kita memiliki landasan pijak filmnya Zapruder, seorang penonton di antara massa yang kebetulan mengarahkan kameranya ke mobil limousine kepresidenan ketika | |
[pagina 70]
| |
tembakan-tembakan itu dilepaskan. Semua ahli yang menclaah masalah ini sepakat bahwa JFK ditembak dari dua arah. Tetapi, Komisi Warren (dalam komisi ini bos CIA Allen Dulles yang paling keras suaranya) tetap mengatakan bahwa Oswald adalah satu-satunya penembak, meskipun buktinya menyatakan hal yang berlawanan.
Setelah menghadiri upacara penguburan JFK pada tahun 1963 - Jenderal Nasution hadir mewakili Presiden Soekarno - saya mengunjungi nyonya Marguerite Oswald, ibu dari pria yang dituduh membunuh, di Fort Worth, Texas. Kemudian saya tahu bahwa Lee, sekembalinya dari USSR - dengan istrinya Marina yang berkebangsaan Rusia - berteman dengan tokoh minyak terkemuka dari Dallas yang keturunan Rusia, yaitu bangsawan George de Mohrenschildt. Pada tahun 1964 saya membuat film wawancara saya selama satu jam dengannya, yang belakangan secara misterius lenyap dari berkas NOS TV Belanda di Hilversum. George menjadi sahabat saya selama bertahun-tahun sampai pada tahun 1977 ia minta bantuan saya untuk membawanya ke Eropa agar aman, karena ia dicurigai oleh banyak peneliti sebagai orang CIA yang mengasuh Lee Harvey Oswald. George berkata kepada saya bahwa ia yakin akan dibunuh.
Saya menemani Mohrenschildt ke Amsterdam dan di sana ia mengatur pertemuan dengan penerbit setempat untuk menceriterakan segalanya tentang pertemanannya dengan pria yang dituduh membunuh JFK itu. Keesokan harinya ia diculik dan dibawa kembali ke Amerika Serikat, dan di bulan Maret 1977 ia diduga bunuh diri di mmah putrinya di West Palm Beach, Florida. George, seperti lainnya, meninggal sebelum waktunya dan ia membawa rahasia hubungannya dengan Oswald bersamanya ke | |
[pagina 71]
| |
liang kubur. Tentu saja saya memiliki rekaman dalam kaset, surat-surat dan catatan pembicaraan saya dengannya selama kurun waktu sepuluh tahun, semuanya itu tersimpan bersama buku harian saya di Royal Library di Den Haag. Pada tahun 1967 saya menerbitkan ‘Reportage over de Moordenaars’ (Bruna, Utrecht). Saya menyiarkan beberapa catatan saya dan salinan surat-surat Mohrenschildt bagi pembaca, tetapi saya tidak menyajikan teori mengenai pembunuhan JFK, karena tidak seorang pun dapat menyajikan bukti yang ‘kedap air’ mengenai perancangan dan pelaksanaan kegiatan intelijen. Saya teringat akan hal yang dikatakan Profesor Arthur Schlesinger mengenai bukunya ‘The Thousand Days’. Ia bekerja selama 1000 hari di lingkungan sangat dekat dengan Gedung Putih di masa JFK. Ia menyajikan kepada pembaca, catatannya mengenai hal yang didengar dan dilihatnya, sebagai sumbangan bagi analisis sejarah secara umum mengenai masa kepresidenan Kennedy.
Oliver Stone adalah teman saya sejak awal tahun tujuh puluhan, ketika ia kembali dari Vietnam dan belajar tentang perfilman di New York. Dugaan saya mengenai pemuda ini tinggi, dan kami terus berhubungan selama bertahun-tahun. Kami selalu berencana akan membuat film bersama mengenai JFK dan Dallas. Pada awal tahun 1990, saya bekerja di Johannesburg, Afrika Selatan mengenai pengalihan kekuasaan dari orang berkulit putih ke yang berkulit hitam. Kolonel L. Fletcher Prouty memberitahu saya bahwa Oliver sedang membuat film tentang JFK dan memintanya menjadi penasihat dekatnya. Saya segera terbang kembali ke California tetapi saya terlambat. Skenario film itu sudah siap dan tidak mungkin diubah. Stone menawari saya untuk memerankan George de Morenschildt dalam filmnya berjudul | |
[pagina 72]
| |
‘JFK’. Hal ini merupakan pengalaman unik bagi saya berada di lingkungan film Hollywood di Dallas. Pihak Jepang menanamkan modal sekitar 40 juta dolar untuk pembuatan film versi Oliver ini, mengenai apa yang terjadi di Texas pada tahun 1963. Saya lebih suka tidak ikut tampil di layar lebar, tetapi membantu teman saya ini dengan mencoba melindunginya dari serangan kritik dan usaha yang akan membuatnya kelihatan tolol, amatiran, dan tak masuk akal setelah filmya diluncurkan. Itulah yang sebenarnya terjadi, tentu saja, karena Stone juga kurang memperhitungkan kenyataan bahwa dengan menulis atau membuat film ‘JFK’, ia menyiapkan dirinya berperang dengan komplotan sangat rahasia, yang menghabisi mula-mula JFK dan kemudian adiknya, Robert F. Kennedy pada tahun 1967. Oliver tidak pernah lagi dapat bekerja sebagai bintang film setelah ia membuat ‘JFK’.
Untuk dapat mengumpulkan fakta dan kebenaran mengenai kup tahun 1965 di Jakarta, diperlukan perspektif yang lebih luas tentang peristiwa pengkhianatan ini, kemudian dengan bertanya, apa yang kelihatannya masih dilakukan banyak orang di Indonesia, ‘mana buktinya!’ Kegiatan intelijen dirancang untuk melindungi pembunuhnya dan mencegah agar kebenaran tidak pernah dapat terungkap. Tentu saja hal ini tidak selalu seperti yang diharapkan. William Blum, mantan petinggi di Departemen Luar Negeri, menulis pada tahun 2000 mengenai Jakarta di tahun 1965 dalam ‘Rogue State’, misalnya, ‘akhirnya diketahui bahwa Kedutaan Amerika di Jakarta telah menyusun daftar orang-orang ‘komunis’, dari eselon tertinggi sampai ke kader desa, sebanyak 5.000 nama, dan menyerahkan daftar itu kepada ABRI (Soeharto) yang kemudian memburu orang-orang tersebut dan membunuh mereka.’ Blum mengutip berita dari Associated Press mengenai mantan diplomat | |
[pagina 73]
| |
AS di Kedutaan Amerika di Jakarta, yang maju ke depan pada tahun delapan puluhan dan mengaku, ‘Tangan saya barangkali berlumuran darah. Tetapi hal ini tidak terlalu buruk. Ada masanya ketika Anda harus memukul keras-keras pada saat yang menentukan.’ (hlm. 141).
Soeharto, Sarwo Edhie, dan konco-konco mereka tampaknya setuju dengan Washington, Tim Rahasia, dan CIA, akan perlunya mengalirkan darah beribu-ribu rakyat Indonesia yang tidak berdosa, yang mengubah mereka menjadi sejenis pelanggar hak asasi manusia yang paling jahat di abad ke dua puluh. |
|