Dibalik keterlibatan CIA. Bung Karno Dikhianati?
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 53]
| |
6
| |
[pagina 54]
| |
terbatas pada Central Intelligence Agency (CIA) itu sendiri, meskipun CIA adalah jantungnya. Kedua penulis ini mengenali masyarakat intel AS itu sebagai berikut: National Security Council, Defense Intelligence Agency, National Security Agency, Army Intelligence, Air Force Intelligence, State Department's Bureau of Intelligence and Research, Atomic Energy Commission, dan Federal Bureau of Investigation. Secara menyeluruh, pemerintah bayangan di Washington inilah yang membentuk kehidupan 220 juta warga Amerika. Dan, sebagian besar dari warga itu sama sekali tidak sadar akan keadaan ini, apalagi orang Indonesia, Belanda, Zimbabwe, atau Cina. Pada tahun 1964 jaringan kerja mata-mata yang amat modern dan meliputi seluruh dunia ini mempekerjakan sekitar 200.000 orang.
Sementara orang menganggap bahwa semua keputusan kedinasrahasiaan AS, nasional atau internasional, dibuat di National. Security Council (Dewan Keamanan Nasional), Wise dan Ross mengajukan pertanyaan yang menantang: ‘Berapa jumlah warga Amerika yang pernah mendengar tentang “Special Group” (Kelompok Istimewa) atau “Secret Team” (Tim Rahasia). Kelompok ini merupakan kelompok kecil para pemimpin, nama mereka pun hanya dibisik-bisikkan saja di Washington. Tak seorang pun di mar lingkungan paling dalam pemerintah bayangan ini tahu akan namanya’, demikian tulis mereka. Segera setelah JFK terbunuh, McGeorge Bundy, sebagai pembantu utama Kennedy, membawa presiden yang baru, LBJ, ke Situation Room, yaitu ruang komando yang tidak boleh dimasuki sembarang orang, terletak di ruang bawah tanah Gedung Putih. Dan siapa yang dijumpainya di sana? | |
[pagina 55]
| |
John McCone, Direktur CIA. McBundy, yang saya wawancarai untuk NOS (Nederlandse Omroepstichting, Badan Penerangan Belanda) mengenai sengketa Irian Barat, telah saya kenal selama bertahun-tahun. Ia menjadi penghubung di antara JFK dan Kelompok Istimewa atau Tim Rahasia tersebut. Ia salah satu ‘orang dalam’ utama di Washington. Kadang-kadang saya diminta, bahkan di Moskow pada tahun tujuh puluhan, membawakan surat pribadi kepadanya oleh mitranya orang Soviet.
Sebagai wakil presiden, Johnson mengenal orang-orang yang termasuk Kelompok Istimewa ini. Tetapi, seperti diungkap Wise dan Ross, LBJ tidak pernah menyadarinya sampai McBundy membawanya ke ‘tempat suci’ di dalam tubuh kekuasaan dan pengambil keputusan tertinggi AS, tentang jangkauan luas dan rahasia-rahasia organisasi tersebut.
Saya menganggap buku itu sangat teramat penting, terutama bagi bangsa Indonesia dan Presiden Soekarno, yang telah menjadi sasaran tetap selama hampir dua puluh tahun, tidak saja bagi aneka kegiatan kedinasrahasiaan AS, termasuk upaya membunuhnya, tetapi juga bagi Kelompok Istimewa misterius yang berada di ruang bawah tanah di Gedung Putih. Saya segera memberitahu Bung Karno mengenai terbitnya buku ‘The Invisible Government’ ini melalui saluran pribadi kami, Jenderal Suhardjo Hardjowardojo. Segera ada perintah untuk mengirim 20 eksemplar buku tersebut langsung ke Menteri Luar Negeri Soebandrio di Jakarta. Pada awal bulan Desember CIA melapor bahwa Presiden Soekarno memesan buku tersebut (‘The Invisible Government’) untuk diedarkan di antara anggota kabinetnya (‘The American Police State’, Random House, | |
[pagina 56]
| |
New York, 1976, hlm. 199). Enam tahun setelah Bung Karno meninggal, ada sebuah terbitan di AS yang sebenarnya merujuk pada masalah ini, bahwa sayalah yang memberitahu Presiden Indonesia itu akan adanya buku ini, dan jelas dengan hasil seperti yang diharapkan.
Bab 2 buku Wise-Ross ini membahas kegagalan JFK di pantai Teluk Babi di Kuba. Pada tanggal 15 April 1961, Gedung Putih telah menyepakati suatu tindakan terselubung untuk mendaratkan sejumlah prajurit upahan di pantai pulau tersebut dengan asumsi bahwa seluruh Kuba akan berontak menentang Fidel. Kenyataannya memang berbeda dengan apa pun yang pernah diimpikan oleh otak-otak cemerlang pilihan dalam tim Kennedy itu. Inilah alasan bagi para psiko-sejarahwan di New York dan California yang disebut di depan, untuk mengembangkan cara menganalisis bentuk kegilaan semacam itu, yang mereka sebut ‘analisis fantasi’. Castro segera melancarkan kegiatan sapu bersih besar-besaran terhadap tamu CIA yang tidak diinginkan itu dan CIA segera minta bantuan Gedung Putih untuk menggerakkan pesawat-pesawat pembom CIA yang telah disiapkan secara rahasia di Nikaragua apabila penyerangan itu terancam kekalahan.
Baru setelah adanya permintaan akan dukungan Angkatan Udara dengan pengiriman pesawat CIA secara rahasia, JFK dan kelompok lingkungan dalamnya menyadari, bahwa apabila mereka benar-benar membom Kuba, tanpa ada pernyataan perang, mereka melanggar semua prinsip yang diterima undang-undang internasional. Lagi pula, Kuba adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, jadi tidak boleh ada yang menyerang Kuba tanpa merapatkannya dahulu dengan Dewan | |
[pagina 57]
| |
Keamanan dan memperoleh persetujuannya untuk membom pulaunya Castro. Karena sudah pasti Cina dan Soviet akan memveto tindakan perang seperti itu, jalan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa juga tidak dapat dipilih. Tim Kennedy tidak cukup gila atau tak berakhlak untuk mengambil jalan yang bukan-bukan, dan sementara mesin-mesin pesawat pembom B-26 di Nikaragua sedang dipanaskan, datang perintah untuk membatalkan pemboman itu. Dengan sendirinya, para prajurit upahan itu kalah dalam perang dua hari tersebut, dan Castro menangkap lebih dari seribu orang penyerbu CIA itu. Di Padang pada tahun 1958, CIA memanfaatkan orang-orang Indonesia yang mau mengkhianati panglima besarnya di tanah Sumatra sendiri. Tiga tahun kemudian, penggulingan Fidel Castro di Kuba terpaksa dilakukan dengan mendatangkan prajurit perang dari luar. Kedua ekspedisi itu gagal.
Saya mengikuti hari-hari di bulan April 1961 itu, berbagai pertimbangan yang dibicarakan di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya mendengar bantahan Dubes Adlai Stevenson bahwa ada penyerbuan CIA ke Kuba. Sebenarnya, Stevenson tidak berbohong, karena tim JFK tidak memberitahu ia sebelumnya mengenai kegiatan itu. Tentu saja saya mendengarkan dengan penuh perhatian semua pidato para wakil dari Kuba, Soviet, Cina dan pidato anggota dewan yang lainnya juga (baca: ‘Memoires - 1961’, Willem Oltmans, In den Toren, Baarn, 1989). Masa selama kurang lebih dua belas tahun (1958-1970) saya bekerja di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, bahkan sering datang setiap hari, merupakan masa pendidikan bagi saya mengenai politik internasional. | |
[pagina 58]
| |
Wise dan Ross menyediakan Bab 8 bukunya untuk membahas masalah Indonesia: ‘Soldiers of Fortune’ (Prajurit yang Bernasib Baik). Mereka menelaah upaya makar yang diprakarsai AS pada tahun 1958 terhadap Bung Karno. Tim Dwight D. Eisenhower takut apabila Soekarno menjadi tawanan komunis. Lagi pula, kalau pun kup di Padang itu gagal menggulingkan presiden ini di Jakarta, demikian bantahan Washington, ‘masih ada kemungkinan bahwa Sumatra, penghasil minyak yang besar di Indonesia, akan melepaskan diri, dan dengan demikian melindungi usaha milik Amerika dan Belanda di sini’. Rakyat Indonesia tahun 2001 harus menyadari jalan pikiran kelompok di Washington ini, mula-mula di tahun 1958, dan kemudian tahun 1965, saat mereka merekayasa perbuatan makarnya Soeharto dengan tujuan hendak menjamin modal yang mereka tanam, rakyat Indonesia juga harus menyadari jalan pikiran mereka di tahun 2001 di Gedung Putih dengan George Bush II, yang pada dasarnya sama keadaannya dengan zamannya Eisenhower dan Johnson, keduanya menyetujui upaya kup CIA terhadap Bung Karno.
Pada tahun tujuh puluhan saya berteman dengan Kolonel Angkatan Udara AS, L. Fletcher Prouty, dan kami masih berteman baik sampai sekarang. Selama bertahun-tahun ia menjadi perwira penghubung di antara Angkatan Udara, Pentagon, dan CIA, dan ia pula yang diminta oleh pemerintah JFK di Gedung Putih untuk menghentikan pesawat pembom B-26 lepas landas ke Kuba. Pada tahun 1973, Prouty menulis ‘The Secret Team’ dengan sub judul ‘The CIA and Its Allies in Control of the United States and the World’ (Prentice-Hall, New Jersey). Ini karena ia - tidak seperti | |
[pagina 59]
| |
Wise dan Ross - bertindak di dalam dinding-dinding bangunan kekuasaan Washington, maka sembilan tahun setelah buku ‘The Invisible Government’ sampai ke toko buku, tulisannya menyajikan banyak tambahan dan informasi orang dalam yang berharga mengenai cara bertindak AS yang sebenarnya di dunia internasional.
Prouty menulis tentang cara yang dipakai CIA pada tahun 1958 untuk menyusun kup di Padang, dengan mula-mula mendekati atase (militer) Indonesia di Washington. Ia menekankan bahwa cara ini bukanlah hal yang aneh bagi CIA, Pentagon, dan Departemen Luar Negeri. Apabila pemerintah bayangan memang bertindak seperti itu, jelaslah bahwa pertanyaan yang harus diajukan ialah, apakah kebijakan itu juga diterapkan pada tahun 1965? Teman saya, Kolonel Sutikno Lukitodisastro adalah atase militer di Washington pada tahun 1964, saat ia meminta saya mengunjungi Jenderal Parman di Hilton New York. Ialah orangnya yang pada tahun 1966 menyarankan agar saya kembali ke Jakarta dengan membawa tim televisi untuk merekam pengadilan dr. Soebandrio. Ia ternyata tangan kanannya Soeharto. Tidak terbukti bahwa Kolonel Sutikno sangat terlibat dalam kup CIA di tahun 1965 itu, tetapi isyarat bahwa ia dimintai nasihat oleh CIA jelas ada.
‘Aksi militer Indonesia tahun 1958 itu bukan perkara yang kecil,’ demikian ditulis Kolonel Prouty. ‘Peristiwa itu menandai masuknya CIA ke tingkatan yang paling tinggi. Kegagalannya juga menandakan awal karir yang paling tidak biasa bagi CIA. Tampaknya, semakin CIA gagal, semakin ia berkembang dan makmur.’ (hlm. 326). Setelah gagal di Teluk Babi, dinas rahasia AS tidak pernah menghentikan kegiatan- | |
[pagina 60]
| |
kegiatan gelapnya terhadap Kuba atau Fidel Castro. Tidak ada upaya pembunuhan sampai lima kali terhadap Castro, seperti yang dialami Bung Karno. Pemimpin Kuba ini selama bertahun-tahun selalu melapor kepada tokoh-tokoh penting Amerika yang mengunjunginya di Havana dengan rincian mengenai lusinan gerakan terselubung yang dilakukan Tim Rahasia terhadap negaranya dan terhadap dirinya. Barangkali AS tidak pernah menyatakan perang secara terang-terangan terhadap Kuba, tetapi yang pasti ialah kenyataan bahwa negara yang paling berkuasa di dunia ini telah berperang tanpa terlihat selama empat puluh tahun, yang dilakukan oleh kelompok bayangan terdiri atas para ‘apparatchik’Ga naar voetnoot1 yang tidak dapat digambarkan selain sebagai gangster atau bandit internasional.
Noam Chomsky, profesor bidang linguistik pemenang hadiah Nobel dari Massachusetts Institute of Technology di Boston baru-baru ini menulis: ‘Jenderal Soeharto yang haus darah dan tak berakhlak itu adalah “jenis yang seperti kita”’ demikian dijelaskan staf pemerintahan Clinton itu, karena ia telah tinggal di Amerika Serikat sejak pembunuhan besar-besaran gaya Rwanda pada tahun 1965 itu, yang menimbulkan kepuasan tak terbatas atau kepuasan euforia di Amerika Serikat. Oleh karena itu ia tetap tinggal, sambil menyusun catatan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang paling buruk di era modern ini, meskipun ia kehilangan jabatannya pada tahun 1997, ketika ia lepas kendali dan gagal melaksanakan program penghematan | |
[pagina 61]
| |
Dana Moneter Internasional (IMF). Profesor Chomsky mengemukakan lebih lanjut bahwa makar di Padang itu sebenarnya upaya Eisenhower untuk memecah-belah Indonesia, membongkar lembaga demokrasi dan menyusun panggung bagi teror besar-besaran selama 40 tahun berikutnya (di bawah Soeharto). (Lihat: ‘Rogue States: The Rule of Force in World Affairs’, South End Press, Cambridge, 2000).
Setelah hampir lima puluh tahun berkecimpung di dunia jurnalisme internasional, saya menjadi orang yang selalu hendak menganalisis peristiwa masa kini, sementara mengkaji peristiwa masa yang lalu dengan cermat dahulu. Pada bulan Juni 2001, saya baru kembali dari Jakarta, menghadiri perayaan memperingati hari lahir Bung Karno pada tahun 1901, dan saya terus bertanya-tanya, apakah masyarakat Indonesia benar-benar sadar akan hal yang terjadi pada tahun 1958, tahun 1965, dan apa yang sebenarnya terjadi sekarang. Apakah rakyat Indonesia sadar sepenuhnya akan berbagai kekuatan dari luar yang sedang bergerak di dalam batas wilayahnya saat ini? Apakah mereka menyadari kenyataan bahwa pikiran Tim Rahasia itu sekarang berjalan dengan cara yang sama di tahun 2001 ini, seperti jalan pikiran para pendahulunya, yang mengatur gerakan rahasia di tahun 1958 atau 1965 menentang Indonesia? Saya menjadi warga kota New York dari tahun 1958 hingga tahun 1992. Kenyataan itu membuat saya lebih tahu ketimbang rakyat Indonesia mengenai apa yang memotivasi jenis pemain Tim Rahasia itu dan cara mereka memandang dunia di luar Washington. Selama bertahun-tahun saya telah bertemu, mewawancarai dan membuat film mengenai beberapa tokoh di antaranya. Saya mengamati mereka dari dekat lewat televisi. | |
[pagina 62]
| |
Indonesia, berhati-hatilah. Jalan pikiran di ruang-ruang kekuasaan di AS tidak berubah sejak CIA didirikan pada tahun 1947. Pemerintahan George Bush II dibanjiri para pemain Tim Rahasia yang berasal dari pemerintahan George Bush I. Harap diingat, Bapak Bush I sendiri pernah menjadi Direktur CIA.
Wise dan Ross dengan jelas menunjukkan betapa JFK merasa dijebak CIA dengan menyuruhnya menyerbu Teluk Babi. Sebenarnya, pemerintahan Eisenhower telah mengatur tindakan perang terhadap Havana tersebut. Kennedy memberhentikan Allen Dulles dari jabatannya dan menunjuk John McCone sebagai penggantinya. Namun hal ini bukan berarti bahwa macan tutul CIA telah berubah tutul-tutulnya. Kenyataan ini mendorong JFK untuk segera mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan Nikita Khrushchev. Tetapi karena ia sama sekali tidak tahu akan jalan pikiran pemimpin Soviet itu, maka kelompok yang terdiri atas 20 ilmuwan di bawah pimpinan Profesor Bryant Wedge, ahli psikiatri dari School of Law and Diplomacy di Universitas Tuft dekat Boston, menyusun laporan bagi presiden itu yang menjelaskan cara berhubungan dengan Khrushchev. Ilmuwan politik, psikologi, antropologi, kriminologi, sosiologi, dan sejarah menyampaikan sebuah buku pegangan ke Gedung Putih berisi cara menangani orang Soviet yang menjadi mitranya ini.
Saya mengunjungi Profesor Wedge dan menyadari bahwa orang-orangnya Kennedy tertarik kepada pendekatan psiko-sejarah dalam hubungan internasional ini. (Baca: ‘Den Vaderland Getrouwe’, Bruna, Utrecht, 1973). Saya teringat akan karya Profesor Wedge dan sarannya kepada JFK ketika saya mendengar ucapan George Bush II di CNN pada bulan Juni 2001, setelah ia pertama kali bertemu dan berbincang- | |
[pagina 63]
| |
bincang selama dua jam dengan Vladimir Putin, bahwa ia, Bush, langsung menatap mata lawan bicaranya tersebut dan yakin dapat mempercayainya. Hal ini menunjukkan bahwa Bush junior tidak saja menyadari bahwa ia telah berbicara seenaknya sendiri, tanpa berpikir dahulu, tetapi ada berbagai masalah serius sedang menanti seluruh dunia dengan pemimpin yang sekarang bertugas di Tim Rahasia di Washington. Mungkin saya perlu menambahkan perihal Pertemuan Tingkat Tinggi Wina antara JFK dan Khrushchev di bulan Juni 1961 yang gagal total, meskipun ada nasihat psiko-sejarah dari para pakar. Hal ini menunjukkan bahwa psiko-sejarah masih memerlukan waktu lama untuk berkembang. |
|