Indonesia Diobok-obok
(2001)–Willem Oltmans– Auteursrechtelijk beschermd
[pagina 7]
| |
Indonesia Diobok-obokSebagai akibat jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, di Indonesia sebenarnya akan dilaksanakan pemilihan umum pertama sejak tahun 1955. Saya memutuskan untuk pergi melihat keadaan. Pada tanggal 17 Mei 1999, di tengah hiruk-pikuknya kampanye, pesawat jumbo Garuda Indonesian Airways mendarat di Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta. Saat memasuki gerbang kedatangan, saya dengar seseorang memanggil ‘Om Wim’, Sukmawati Soekarnoputri (51) putri presiden Soekarno menjemputku. Saya merasa diistimewakan. Sejak kunjungan terakhir saya kepada ayahnya pada tahun 1966, saya merasa diterima dengan tangan terbuka oleh Indonesia. Apakah situasi sejak pengkhianatan Suharto pada tahun 1965, akhirnya benar-benar sudah berubah? Bagi pengamat luar, tampaknya seolah-olah dengan perginya secara tergesa-gesa diktator militer itu kartu sudah | |
[pagina 8]
| |
benar-benar terkocok. Dalam kenyataannya, Soeharto pada saat terakhir telah mengeluarkan siasat terakhirnya dari dalam kotak sulapnya. Petinggi pemerintahannya yang paling setia telah disumpahnya menjadi presiden. Dalam prakteknya, lewat B.J. Habibie, dia telah menjamin keselamatan dirinya dan keselamatan anak-anaknya yang korup itu. Dan, harta yang bermilyar yang telah dicurinya dari rakyat tidak dapat dituntut dan dikembalikan selama Habibie masih bercokol di Istana Merdeka. Sebetulnya, setelah tahun 1998 sama sekali belum ada yang berubah. Setelah pemilihan umum akan terpilih pemimpin-pemimpin baru yang akan menumpas habis pemerintahan diktatoris yang telah bertahan selama 32 tahun itu. Lebih dari seratus juta manusia akan memilih. Jarang harapan-harapan dipasang begitu tinggi, terutama oleh generasi muda yang sebelumnya belum pernah mengalami pemilihan umum. Bagi kaum muda, ini adalah masa karnaval. Media juga bergabung dalam suasana kemenangan ini, sebab baru pertama kali ini ada kebebasan pers. Selama perjalanan dari bandara ke ‘Hotel Indonesia’ terjadilah percakapan pertama dari serentetan percakapan yang akan terjalin dalam kurun waktu dua minggu berikutnya. Sukma mengherankan reaksi saya yang negatif mengenai pemilihan dengan 48 partai peserta. Saya bercerita kepadanya bahwa ayahnya, ketika dia sendiri masih berusia 9 tahun, mencatatkan nama saya sebagai tambahan pada daftar protokol istana, yang berarti saya pada tahun 1957 mengikutinya pada perjalanan kepresidenannya ke seluruh nusantara. Pada bulan Agustus tahun itu kami berada di kapal pemerintah ‘Djidajat’ bersama kapal pemburu torpedo ‘Gajah Mada’ yang dibeli dari pemerintah Belanda, menuju ke Ambon, Ternate dan Tidore. Di atas geladak kapal, kami duduk dalam satu lingkaran | |
[pagina 9]
| |
dan mengobrol, ada duta besar Iran dan Uni-Sovyet, Profesor Guy Panker dari Rand Corporation di California, seorang anggota think tank yang ada hubungannya dengan CIA, Olga Chechotkina dari Pravda dan saya sendiri. Presiden menguraikan bagaimana ia selangkah demi selangkah sejak kemerdekaan pada tahun 1945, harus bermanuver dengan sistem politik yang diimpor dari Barat, yang telah mengakibatkan keadaan pasca perang di Italia di mana bisa terjadi tiap tahun ganti kabinet atau ada suatu koalisi baru dengan rencana lain dan tuntutan baru. Warisan kolonial antara lain terdiri dari pengambilalihan penguasaan politik model Westminster yang terdiri dari 40 partai politik dengan laki-laki dan perempuan yang saling mencurigai. Sampai tahun 1955 negara tetap tidak dapat diperintah karena kekalutan politik, kataku kepada Sukmawati. ‘Sekarang Indonesia mau kembali ke situasi tanpa harapan dari tahun lima puluhan, sedangkan lebih dari separuh periode pemerintahan ayahmu menunjukkan warisan politik kolonial itu mencelakakan’. Saya bercerita kepadanya, bagaimana ayahnya pada tahun 1957 -- di atas geladak kapal ‘Djidajat’ itu -- menerangkan dengan sangat jelas kepadaku bagaimana ia masih tetap tidak mampu memberi tuntunan yang sangat dibutuhkan Indonesia sebagai negara berkembang yang paling penting. Dengan alasan itulah Bung Karno berusaha sekuat tenaga untuk kembali dari demokrasi bahwa suara terbanyak selalu benar, ke bentuk pencapaian keputusan Jawa autentik dengan usaha pencapaian konsensus demokratis. Pada sekelompok orang asing di kapal tadi Soekarno juga menjelaskan bagaimana bangsa Indonesia berabad-abad lamanya berinteraksi, yakni dengan melaksanakan ‘musyawarah’ (mempertimbangkan dan merundingkan) sampai tercapai ‘mufakat’ (kesatuan pendapat). Pada tahun 1964, | |
[pagina 10]
| |
kepada Cindy Adams dalam biografinya Bung Karno berkata, ‘Selama beribu-ribu tahun kepala-kepala desa memerintah dengan “duduk” bersama dan mempersilakan masing-masing untuk berbicara dan mendengarkan’. Bung Karno memperolokkan sistem Barat di mana sering satu suara amat menentukan yang menghasilkan 51 muka berseri dan 49 muka asam. ‘Di kita tidak seorang pun seratus persen benar, tetapi bersamaan dengan itu tidak seorangpun salah benar’, demikian penjelasan kepala negara, ‘kami cenderung memilih suatu sistem yang sesuai dengan setiap orang’.Ga naar voetnoot1) Bagi saya, hari di bulan Agustus 1957 di atas geladak ‘Djidajat’ itu menunjukkan dengan amat jelas, bahwa presiden mencari suatu modus vivendi, di mana demokrasi konsensus dari Jawa itu bisa diaktifkan kembali tanpa terlalu banyak mengasingkan Indonesia dari perkembangan demokratis di negara-negara lain di dunia. Saya menandaskan kepadanya (Sukma) bagaimana ayahnya selalu jauh mendahului masanya. Saya bercerita kepadanya bagaimana Nelson Mandela pada tahun 1994, dalam bukunya Long Walk to FreedomGa naar voetnoot2) meringkaskan dengan kata-kata yang hampir serupa, argumen yang sama. Mandela mengisahkan bagaimana dia sebagai Khosa muda, memperhatikan Chief Jonginktaba Dalinbyebo, yang sebagai bupati suku Themby dikelilingi amaphakati (penasihat-penasihat terdekat) dan bagaimana mereka berunding untuk memperoleh kompromi yang bisa diterima. ‘Dasar pemerintahan sendiri adalah bahwa semua orang bebas mengemukakan pendapatnya dan mereka mempunyai hak yang sama sebagai warga negara’, tulisnya pada tahun 1994. ‘Rapat ber- | |
[pagina 11]
| |
langsung terus sampai tercapai suatu konsensus... Demokrasi berarti semua orang harus didengar dan keputusan harus diputuskan bersama sebagai rakyat. Peraturan mayoritas adalah konsep asing. Minoritas tidak boleh tertindas oleh mayoritas.’ ‘Saya melihat ayahmu tidak hanya sebagai salah satu pemimpin politik terpenting setelah 1945’, kataku kepada Sukma, ‘tetapi juga sebagai pelopor para politisi, yang cepat atau lambat akan menyadari dunia ini tidak selalu dapat dipertahankan oleh demokrasi hitam-putih ala Barat, tetapi dengan merangkul demokrasi konsensus Asia-Afrika bisa mencapai tahun tiga ribu. Opsi lima puluh tambah satu, yang dijunjung tinggi oleh Barat hanya akan mengakibatkan serentetan konflik Kosovo yang tidak berkesudahan, itu pun dalam hal yang paling menguntungkan’. Sukmawati, yang berbeda dari Karina (32), putri Soekarno dengan Ratna Sari Dewi yang berasal dari Jepang itu, adalah dua orang anak presiden pertama Indonesia, yang tidak lelah-lelahnya bertanya mengenai ayahnya, apa saja yang dipikirkannya dan apa yang menjadi tujuan kepemimpinannya. Rasanya sudah tepatlah kedatangan saya di bumi Indonesia, pada jam-jam pertama saya berada disini. Ketika makan siang di Hotel Indonesia, percakapan kami lanjutkan. Pada tahun 1966, Hotel Indonesia adalah satu-satunya hotel modern untuk tempat tinggal para turis di Jakarta, yang sekarang ini kalah bersaing dengan Hotel Hyatt yang terletak di seberangnya, menjulang tinggi dan amat mahal. Saya lebih senang tinggal di hotel yang menyimpan berbagai kenangan manis bagiku’. Dalam periode pasca pemilu pada tahun 1955, Presiden Soekarno mengembangkan konsep ‘demokrasi terpimpin’ yang amat dicemoohkan itu, suatu bentuk pemerintahan demokratis yang lebih otoriter yang dapat menetralisir partaipartai yang saling bertikai dalam parlemen dan selanjutnya | |
[pagina 12]
| |
ihwal dinas dapat ditarik lebih sentral sehingga dapat ditentukan dari istana. Ini terjadi setelah mempertimbangkannya dengan beberapa partai politik yang terbesar seperti Masyumi dan Nahdatul Ulama yang Islam, PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Angkatan Bersenjata telah beberapa lama merupakan negara dalam negara, dan di dalam tubuhnya pun terjadi fraksi-fraksi yang dapat diklasifikasikan sebagai ‘kiri’ dan ‘kanan’. Tetapi selama Jenderal Yani menjadi komandannya dan Bung Karno panglima yang tertinggi, Presiden amat berhasil dalam mengendalikan ‘kandang’ yang penuh berisi dengan berbagai jenis binatang politik ini. Semula anggota orkes simfoni kenegaraan Indonesia ini masing-masing memainkan alat yang berlainan dan bersamasama mengeluarkan berbagai macam suara. Tetapi Bung Karno sebagai komponis dan dirigen yang mahir, berhasil memperdengarkan melodi-melodi yang amat harmonis dari komposisi-komposisi pribadinya. Pada tahun lima puluhan, Sukmawati masih sekolah dan masih terlalu muda untuk memahami apa yang terjadi secara politik di negaranya. Ayahnya hampir tidak ada waktu untuk anak-anaknya, saya ingat, bila presiden sarapan dengan tamu-tamunya -- di mana saya salah satunya -- di teras belakang istana, anak-anaknya datang untuk memberi ciuman kepadanya bila mobil untuk mengantarkan mereka sekolah sudah siap berangkat. Gadis kecil berkepang dua pada masa lalu, sekarang ini menjadi teman bicara saya, telah menjadi ibu dua orang putra dan seorang putri, saya mencoba menjelaskan kepadanya berbagai persoalan negara yang terjadi waktu itu -- yang telah banyak diketahuinya dari bacaan-bacaan -- lewat hal-hal yang saya alami. Karina juga tidak mengerti mengapa Bung Karno pernah dicap sebagai seorang komunis. Saya bercerita kepada kedua | |
[pagina 13]
| |
putrinya, petaka itu sudah dimulai sejak tahun 1957, ketika Bernard Kalb dari New York Times. Secepatnya ia memberitakan setelah ucapan pertama Soekarno mengenai diperlukannya tangan yang lebih keras un tuk memimpin Indonesia dan ingin membuat reportase-reportase lebih berarti dalam penyuguhannya kepada surat kabar pagi Amerika yang paling terkemuka, dengan tuduhan bahwa pemimpin Indonesia sedang berusaha untuk bergabung dengan blok komunis. Bekas pesuruh ANP di Jakarta, Hans Martinot, tentu melakukan hal yang sama dan dongeng merah mengenai Bung Karno mulai menjalani hidup sendiri. Pada sayap anti PKI dalam tubuh tentara, isapan jempol macam ini amat mudah masuk. Semua cerita itu tidak benar. Washington tentu saja dengan antusias bergerak mendengar cerita-cerita mengenai bertambahnya ancaman komunis di Indonesia, yang sebenarnya sama sekali tidak ada. Segera setelah itu pada tahun 1958, coup CIA -- diri di Sumatera dan Maluku. Sejarah telah membuktikan, di mana pun di dunia ini amatlah mudah menemukan perwira-perwira yang mau bekerja bagi Washington, apalagi bila imbalannya berupa cek dalam jumlah dolar. Ditambah lagi bila kita mengetahui mereka, dengan mengatakan bahaya ‘merah’ mengancam maka tokoh-tokoh yang mencurigakan dengan tipu muslihat amat mudah dijerat dan dipungut dengan upah dolar. Sukma terheran-heran ketika saya bercerita bahwa Duta Besar Amerika di Jakarta, John Allison, mengutuk perilaku Washington di Indonesia pada tahun 1958, sebagai perbuatan kejahatan serta tidak dapat menerima dan sebagai protes dia minta dipindahkan. Sebagai hukuman John Foster Dulles mengirimnya ke Polandia, negara satelit Sovyet yang pada waktu itu bukanlah merupakan pos diplomat yang menyenangkan untuk menjalankan tugas. | |
[pagina 14]
| |
Tetapi putri Soekarno saya beri after thought mengenai Kalb dan Martinot. ‘Coba perhatikan ke mana beberapa jurnalis akhirnya terdampar’, kataku. ‘Bernard Kalb akhirnya muncul sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri, dibawah Menteri George Shultz, yang mencoba meluruskan kesalahan Ronald Reagan, seperti pengeboman Lybia yang bertentangan dengan Handvest PBB (Piagam PBB). Dan Tuan Martinot mengakhiri karier jurnalistiknya sebagai kepala pers di Philips. Penulis pemburu uang makan selalu dapat dijaring dengan uang dan di dunia jurnalistik amat banyak yang semacam mereka. Jadi, Sukma, kamu lihat sendiri kan, ke mana kedua orang yang paling gencar memfitnah ayahmu akhirnya mendapatkan tempatnya. Kakaknya, Megawati Soekarnoputri memimpin partai PDI-Perjuangan, pada tahun 1998 Sukmawati bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang telah dibentuk kembali. Di partai inilah ayahmu dulu bergabung dengan teman-teman politiknya. Inisiatif untuk mendirikannya kembali diambil oleh Ny. Supeni (81), mantan duta besar keliling Presiden Soekarno hanya setahun sebelum pelaksanaan pemilu sekarang ini. Sukmawati melaporkan diri kepadanya dan sejak itu bekerja sama dengan mantan diplomat wanita itu. Ny. Supeni, kami kunjungi sehari setelah kedatangan saya di Jakarta. Kami saling mengenai sejak pertemuan kita yang pertama di ruang lobbydiplomat di gedung PBB di New York pada tahun 1961. Secara rahasia Ny. Supeni mengatakan kepada saya bahwa dia menunjukkan jalan dan membimbing Sukma agar segera dapat mengganti mengambil alih pimpinan PNI dari padanya. Sukmawati Soekarnoputri mengundang saya agar pada 19 Mei 1999 ikut terbang dengannya ke Bengkulu di Sumatera, di mana dia harus berbicara dalam beberapa rapat pemi- | |
[pagina 15]
| |
lu. Dalam pesawat “Merpati” percakapan kita lanjutkan. Sukma kembali menanyakan alasan-alasan Bung Karno untuk mengencangkan kendali pemerintahan agar sebagai nation builder dapat bertindak lebih tegas. Apakah konsep demokrasi terpimpin tidak akan menyebabkan lebih banyak orang akan memusuhinya? “Sejak saat ayahmu sebagai pemuda dan mahasiswa menjadi penggerak dan otak gerakan merdeka masa Hindia Belanda, dia sudah mendapatkan musuh. Percayalah bahwa ia menyadarinya benar,” jawabku, “Kamu tentu tahu mengenai salah satu pidatonya yang paling terkenal pada 1 Juni 1945, ia mengatakan kepada Cindy Adams bahwa selama enambelas tahun, sebagian besar masa itu sebagai tahanan Belanda, dia telah memikirkan konsep Pancasila sebagai dasar awal untuk negara Indonesia yang akan datang. Demokrasi negara harus didasarkan pada nasionalisme, internasionalisme, demokrasi, keadilan sosial dan kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.Ga naar voetnoot3) Rezim Soeharto pun dengan sendirinya mengambil alih konsep ini karena setiap orang Indonesia bisa merasakan kecocokan dengannya’. Seperti yang dikatakan Soekarno kepada Cindy, ‘Saya tahu bahwa pembukaan undang-undang Amerika maupun manifest komunis tidak cocok untuk negara saya’.Ga naar voetnoot4) Tetapi, setelah dua peperangan dan terutama karena tekanan Amerika, ketika Den Haag pada tahun 1949 menyerahkan kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Soekarno, tidak sesuai dengan keinginannya ia mewarisi politik Belanda yang tidak hanya terdiri dari berpuluh partai, tetapi juga sejumlah orang Indonesia yang ingin membuat federasi dari | |
[pagina 16]
| |
negara ini, sekalipun dengan gerakan pemisahan. Saya sering mendengar ayahnya berbicara dalam berbagai rapat raksasa. Selalu yang diulang-ulangi ialah ‘satu bangsa, satu negara’, satu rakyat, satu negara. Bung Karno adalah Bapak dari negara kesatuan, seperti yang dikatakan dalam bahasa Belanda: Cendracht maakt macht (Bersatu membuat kita kuat). Alasan mengapa sekarang saya merasa prihatin melihat perkembangan akhir-akhir ini di negaramu adalah, akibat politik perpecahan akhir-akhir ini, Indonesia sebagai negara bisa bercerai-berai. Ini akan membuat kakakmu Megawati, menjadi seorang Michael Gorbachev dari Indonesia memenangkan pemilihan umum dan terpanggil untuk memimpin negara’. Sukma kaget mendengarnya. Saya menjelaskan, ‘Gorbachev terpanggil untuk mengubah diktator komunis yang telah berlangsung bertahun-tahun menjadi sistem multi partai model Barat. Ini pasti akan gagal, karena Uni-Sovyet yang dulu, baik secara psikologis maupun secara politik jauh dari siap untuk menerima perubahan seperti itu. Orang yang berpikir bahwa setelah 32 tahun diktator militer bisa mengubah Indonesia menganut demokrasi parlementer tanpa pertikaian, tidak belajar dari sejarah dan terutama lupa pada apa yang menyebabkan Bung Karno meninggalkan model Barat, mayoritas selalu benar dan selalu harus dibenarkan’. Kami mendarat di Bengkulu, Sukma ditunggu sejumlah penganut antusias dari PNI. Dia tampak cantik, langsing dan menarik dalam pakaian tradisional sarung dan kebaya berwarna gelap dengan motif merah. Sukma selalu berpakaian secara tradisional, kebalikan dari kakak-kakaknya Megawati dan Rachmawati SoekarnoputriGa naar voetnoot5). | |
[pagina 17]
| |
Kami mengunjungi benteng tua dan villa tempat Bung Karno bertahun-tahun ditahan. Kecuali buku-buku yang dibacanya, lambat laun akan hancur berantakan, masih ada sepeda tuanya yang boleh ditungganginya, bila ia pulang pada waktunya. Kami juga mengunjungi rumah keluarga Fatmawati, ibu dari Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Kembali di Jakarta kami mengadakan pertemuan yang sangat mengesankan. Lewat teman-teman, saya menerima pesan, salah seorang teman setia Soekarno yakni Marsekal Udara Omar Dani (75) ingin bertemu dengan saya untuk berbincang-bincang. Militer berpangkat tertinggi dalam periode Soekarno ini mendekam 29 tahun di penjara berkat Soeharto, baru mendapatkan grasi dan dibebaskan pada tanggal 16 Agustus 1999. Sama sekali diluar dugaan saya ketika melihatnya untuk pertemuan itu diundang pula Marsekal Udara Sri Herlambang, Jenderal Angkatan Udara dan baru-baru ini ditunjuk menjadi duta besar Indonesia untuk Kanada, B. Prawoto, sedangkan tuan rumahnya adalah Wisnu Djajengminardo, Komandan Lanuma Halim pada waktu insubordinasi Soeharto awal Oktober 1965. Walaupun Sukma dan saya telah berbincang selama beberapa jam pada siang itu, saya ingin mencatat puncak pembicaraannya bagiku pribadi. Omar Dani bercerita, di penjara dia menerima eksemplar foto kopian bukuku Mijn vriend SoekarnoGa naar voetnoot6) yang terbit pada tahun 1995 -- yang diperlihatkannya pula kepada saya -- dan yang telah dibacanya dengan penuh perhatian. ‘Anda adalah orang pertama yang telah menulis mengenai Bung Karno dari luar dan dari dalam, bagaimana dia sebenarnya,’ begitu kata marsekal | |
[pagina 18]
| |
tersebut, suatu pujian yang diiyakan oleh hadirin lainnya. Saya meminta untuk mengulanginya dalam Bahasa Indonesia. Di Belanda, ketika memoarku mengenai Soekarno terbit, orang berlomba untuk menertawakannya.Ga naar voetnoot7) Bagiku sangatlah penting agar putri Bung Karno mengetahui pendapat orang-orang penting senegaranya, yang rupanya amat mengenal ayahnya dan menganggap sangat serius reportase saya. Pembicaraan sore itu serta merta seputar kejadian-kejadian fatal dan sangat mengejutkan pada tahun 1965 itu. Mereka yang hadir memberitahukan bahwa secara bersamasama mereka telah menulis suatu buku mengenai tahun 1965 dan coup yang telah dilakukan oleh para perwira sekitar SoehartoGa naar voetnoot8). Selanjutnya yang tampak menonjol pada setiap pembicaraan di Indonesia ialah, setiap kali nama Soekarno disebut orang segera memasang telinga. Dan, bila selanjutnya kita bertemu dengan seseorang yang mengenalnya secara pribadi, segala sesuatu mengenai dirinya ingin diketahui dan pertanyaan bertubi-tubi dilancarkan. Dapat dimengerti, sebab generasi kedua setelah meninggalnya Soekarno pada tahun 1970, lahir pada rezim Soeharto yang selama bertahun-tahun berhasil menyebarkan kebohongan-kebohongan yang amat keji dan tuduhan yang palsu mengenai dirinya. Mengenai peranan CIA di Indonesia, barangkali secara selentingan sudah kita dengar, tetapi kebanyakan orang sama sekali tidak mengetahui bagaimana Amerika sebagai negara adikuasa setelah perang dunia kedua telah berbuat onar ke seluruh pelosok dunia. Dalam berbagai percakapan di media dunia pun menonjol nama-nama seperti Watergate, Irangate, Monicagate dan | |
[pagina 19]
| |
sejumlah skandal lain yang diketahui garis besarnya saja, tetapi bagaimana permainan mafia yang dijalankan Washington itu sebenarnya terjadi, strategi mana yang kemudian dijalankan setelah 1945, tidak pernah mendapat penjelasan. Toko-toko buku di Jakarta, seperti juga di kota-kota lain, sama sekali tidak dapat menyediakan apa-apa bagi pembaca di bidang ini. Perkembangan-perkembangan internasional misalnya, terutama hanya diberitakan pada halaman terakhir Jakarta-Post. Aspek kehidupan masyarakat Indonesia di tengah menggelegarnya globalisasi yang terjadi di bagian lain dunia, dapat dikatakan dramatis. Malah sama sekali tidak terperhatikan. Dan, memang rupanya tidak ada pembeli buku mengenai masalah ini. Selama kunjungan saya, terjadi affair mantan diktator Chili, Augusto Pinochet. Umum mengetahui dia ditangkap di London atas permintaan Spanyol, tetapi pers Indonesia tidak menyuguhkannya dalam kerangka historis yang sebenarnya. Apalagi menarik garis-garis paralel yang sejajar dengan kejadian akhir-akhir ini di Indonesia. Bukankah kejadian di Chili pada tahun 1972 merupakan pengulangan kejadian yang lebih keji ketimbang apa yang telah dibesarkan Washington pada tahun 1965 di Jakarta? Richard Nixon dan Henry Kissinger sebelumnya telah diberitahu bahwa Salvador Allende yang terpilih secara demokratis akan diserbu dalam istananya dan bila perlu dibunuh. Mereka antusias memberikan kata sepakat atas operasi jahat ini. Baru pada tahun 1999 dilepaskan 5.800 dokumen yang seluruhnya berjumlah 20.000 halaman mengenai Coup di Chili itu. 5.000 berkas datang dari State Department dan hanya 800 dari CIA, Pentagon dan FBI, pelaku yang sebenarnya bersalah dalam praktek Nazi yang dilancarkan Amerika di Chili tersebut. Menurut bahan bukti yang lolos, 3000 | |
[pagina 20]
| |
orang Chili dibunuh oleh Pinochet & Co. dan 200.000 orang disiksa. ‘Dari bahan-bukti yang nyata sekali’, demikian kata ‘De Volkskrant’, ‘CIA dan instansi pemerintahan Amerika sungguh mengetahui sampai hal-hal mendetail tentang kampanye pembunuhan dari Washington terhadap kaum kiri’.Ga naar voetnoot9) Soeharto-nya negara Chili itu, yang berperilaku seperti diktator Chili itu malah meminta Washington untuk mengirim orang-orang Amerika sebagai tenaga kerja untuk mengawasi dan mengelola kamp-kamp tahanan yang akan didirikannya. Richard Nixon telah tiada, tetapi Henry Kissinger masih merupakan tokoh terkenal dalam panggung negarawan internasional. Honorariumnya untuk satu kali bicara selama satu jam minimal 50.000 dollar. Dalam kejadian di Chili, yang terjadi atas inisiatifnya, keterlibatan Kissinger sudah cukup menjadikannya seorang tertuduh utama untuk diadili di Den Haag dinamika International Hof van Justitie sebagai penjahat perang. Masih bisa ditambahkan praktek-praktek pembunuhan yang dilakukan Amerika di Laos, Kamboja dan Vietnam, yang dapat mengakibatkan Henry dihukum selama 300 tahun. Tetapi Tuan Kissinger sebagai hadiah untuk pemboman massal pada Natal tahun 1972 di atas Hanoi -- untuk memaksa Vietnam Utara menyerah; suatu taktik yang baru-baru ini demikian sama dilancarkan di Kosovo -- akan menerima hadiah Nobel untuk Perdamaian, yang dalam prakteknya berarti bahwa selama hidupnya dia kebal hukum untuk semua pelanggaran hukum yang dia dukung dan pelecehan hak asasi manusia yang telah dilakukannya.Ga naar voetnoot10) | |
[pagina 21]
| |
Selama bertahun-tahun para jurnalis Indonesia ditahan, diteror atau dibredel medianya akibat sensor ketat yang diterapkan Soeharto. Dapat dimengerti jurnalistik Jakarta menunjukkan gejala-gejala ‘after-effect’setelah tiga dasawarsa disabotase untuk mencegah para jurnalis meluncurkan berita yang mungkin bisa membuka rahasia dan sifat kejahatan rezim Soeharto itu. Para jurnalis yang dilahirkan pada tahun 1965, sekarang berusia 34 tahun. Pengetahuan mereka mengenai apa yang terjadi pada hari-hari pertama di bulan Oktober tahun itu adalah nol koma nol. Saat itu, fakta ketidakberadaan Panglima Angkatan Darat yang tidak ada jejaknya, bagi Bung Karno ia (Pangad) sangat vital artinya, karena dialah yang melindungi Kepala Negara karena ia bertugas melindungi kepala negara dari serangan para-perwira tinggi yang bersekongkol dengan Amerika Serikat.Ga naar voetnoot11) Pada hakekatnya Presiden bermaksud mengangkat pengganti sementara Panglima Angkatan Darat dan memerintahkan kehadiran Jenderal Pranoto Reksosamudra di Pangkalan Udara Halim, tempat di mana kepala negara berada selama coup CIA terhadapnya dilancarkan. Kemudian tentang kenyataan bahwa Soeharto melarang Pranoto untuk pergi ke Halim, dan dengan demikian telah melakukan pengkhianatan (hoogverraad), suatu kejahatan yang di negeri Belanda pun akan diganjar dengan hukuman mati. Soeharto merebut kekuasaan, seperti yang diharapkan skenario Amerika. Duta besar Amerika, Marshall Green, menyerahkan suatu daftar yang berisi nama-nama pengikut Soekarno, anggota PKI dan para patriot Indonesia lain yang sama sekali tidak bersalah, ke markas besar jenderal yang meng- | |
[pagina 22]
| |
adakan coup. Sekarang dari Washington terbukti, para Yankee pada tahun 1972 melakukan hal yang sama pada Pinochet di Chili. Pada dasarnya Pinochet dan Soeharto merupakan komisaris negara yang disewa CIA untuk para penguasa Amerika, seperti halnya Hitler yang pada perang dunia kedua mengangkat A. Seyss Inquart untuk Negeri Belanda.Ga naar voetnoot12) Kuasa penuh Washington pada tahun 1965 untuk menyingkirkan orang-orang Indonesia yang dicurigai diterjemahkan oleh Soeharto dalam arti kata yang seluas-luasnya. Antara lain dibentuknya Komando Operasi Merapi dibawah pimpinan Sarwo Edhi, sejenis SS komandonya Hitler dan menurut perhitungan majalah Inggris Economist, selama perburuan terhadap kaum kiri yang diatur Amerika Serikat ini, telah jatuh 500.000 korban. Setelah mempelajari berbagai fakta secara adil dan saksama, tidak ada perbedaan antara ‘ethnic cleansing’ (pembersihan etnik) di Yugoslavia yang lama, yang banyak dibicarakan Clinton, Blair dan NAVO, dengan apa yang terjadi di Indonesia pada tahun 1965 dan di Chili pada tahun 1972, yang dilaksanakan atas perintah dari Washington. Kegemaran Sarwo Edhi ialah untuk memenggal kepala dan melemparkan mayat-mayat ke sungai. Dalam bukunya (1990) Soeharto sangat memuji jago kelahi dan pembunuh massal ini. Secara pribadi dia menulis -- Edhi mentaati perintah-perintah Soeharto -- dengan antusias dan menurutnya kolonel para ini ‘ahli dalam menumpas elemen yang dimusuhi,’ pendek kata dalam membunuh habis.Ga naar voetnoot13) Hampir semua lembaga internasional, termasuk universi- | |
[pagina 23]
| |
tas-universitas di Amerika Serikat, telah mencatat angka sementara yang mencapai ratusan ribu korban setelah mempelajari angka-angka yang diketahui sampai saat ini. Yang ditunggu ialah sekarang dibuka akses bebas oleh Washington dari dokumen-dokumen tentang persekongkolan terhadap Bung Karno, seperti yang terjadi pada perebutan kekuasan melawan Ellende, berkat terbongkarnya berkas-berkas yang sampai sekarang dirahasiakan. Disamping pembunuhan massal, Soeharto memerintahkan sesudah 1965 -- seperti Pinochet di Chili -- razia besar-besaran di mana Orang mengambil kesimpulan bahwa sekarang Pinochet di London khawatir, bila terbukti dia adalah Quisling Amerika, seperti halnya Soeharto saat itu. Disamping pembunuhan massal, setelah tahun 1965 Soeharto memerintahkan diadakan razia massal - - seperti yang dilakukan Pinochet di Chili -- yang mengakibatkan puluhan ribu orang di penjara dan lebih dari seratus ribu warga negara yang sama sekali tidak bersalah diasingkan dan ditawan di pulau Buru, sebuah pulau yang terpencil, di mana Soeharto telah mendirikan kamp tahanan yang paling besar di Asia Tenggara. Bila setelah sepuluh, dua belas tahun atau lebih sedikit demi sedikit orang tahanan itu dibebaskan, Soeharto memikirkan cara lain, seperti yang waktu itu dilakukan Hitler dengan orang Yahudi, yakni dengan menyuruh mereka memakai bintang kuning. Soeharto menyuruh memberi cap khusus pada kartu identitas eks-tapol untuk menjamin agar korban-korban tak berdosa ini tidak pernah lagi diterima di dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan dodenlijsten CIA untuk Indonesia, yang mendesak Soeharto agar menghilangkan lima ribu orang dengan cara menembaknya di kepala pada tahun 1990, secara terbuka diumumkan oleh Robert Martens, mantan mitra kerja Kedu- | |
[pagina 24]
| |
taan Besar Amerika di Jakarta.Ga naar voetnoot14) Konfirmasi mengenai ‘ethnic cleansing’ oleh Soeharto ini saja sudah cukup untuk menuntutnya di mahkamah peradilan internasional di Den Haag. Hari ini setengah abad yang lalu di Jenewa ditandatangani konvensi mengenai hak asasi manusia. Tetapi barang siapa lebih memperhatikan penampilan Hakim Louise Arbour di sidang sebagai Ketua di Kolese yang berada di Den Haag, sampai pada kesimpulan bahwa menurut keyakinannya, penjahat-penjahat perang hanya berdomisili di Yugoslavia yang dulu, seolah-olah kejahatan perang yang terjadi di Indonesia, Chili, Libia, Kamboja dan sejumlah negara Amerika Latin dilakukan oleh tokoh-tokoh tidak dikenal dari planet lain -- dan bukan oleh CIA dan Washington -- tidak mengherankan bila Professor Moam Chomsky dari MIT Boston menamakan negaranya ‘si penguasa teroris’ super di seluruh dunia. Soeharto juga belum tercatat dalam buku Ny. Arbour. Dia masih bisa berlindung dengan tenteram diantara sapisapinya di Tapos, Bogor.Ga naar voetnoot15) Jenderal Soeharto dan pemberi perintahnya yaitu Amerika pada tahun 1965 terlalu pengecut dan terlalu ‘pintar busuk’Ga naar voetnoot16) untuk segera membunuh Bung Karno, seperti yang terjadi di Chili dengan Salvador Allende yang langsung dibunuh di istananya. Musuh-musuhnya menyadari betul bahwa bila sehelai rambut saja yang diusik dari Bapak rakyat Indonesia, seluruh negeri akan memberontak. Dengan sadar pilihan yang diprioritaskan adalah untuk menyingkirkan Soekarno secara berangsur. Dia diasingkan di Wisma Yaso,Ga naar voetnoot17) villa istri | |
[pagina 25]
| |
Jepangnya di Slipi. Kaki tangan Soeharto, Jenderal Alamsyah yang mempunyai nama kurang baik, telah mengambil semua mobil yang masih ada di sana. Lagi pula ia masuk tanpa permisi untuk mengambil pesawat TV terakhir milik mantan presiden itu. Awal tahun enam puluhan saya mengetahui beberapa jenderal yang ada di Jakarta mempunyai niat jahat dan telah menyepakati untuk menggusur Bung Karno. Dari percakapan dengan Marsekal Omar Dani dengan teman-temannya yang saya sebut di atas ternyata, mereka tidak tahu menahu mengenai sesuatu detail yang terjadi atau mungkin sudah melupakannya. Pada tahun 1962, Uyeng Suwargana seorang mitra kerja terdekat Jenderal Abdul Haris Nasution bepergian keliling dunia dan juga datang ke Den Haag, New York dan Washington untuk memberitahukan fungsionaris-fungsionaris negara, politisi dan para jurnalis secara terbatas bahwa sedang dipersiapkan suatu coup terhadap Soekarno, untuk mana secara rahasia telah dibentuk suatu Dewan Jenderal, suatu kelompok yang terdiri dari para jenderal. Pada tahun 1962 saya masih mempunyai jalur rahasia ke Presiden Soekarno, sehingga saya masih bisa mengirimkan surat-surat dari New York tempat tinggal saya, ke rumah tangga presiden, yakni lewat Jenderal Suhardjo Hardjowardojo, yang menyampaikan surat-surat saya dari Amerika dengan aman langsung kepada Bung Karno. Bila presiden berada di New York atau Washington, oleh Duta Besar dr. Zairin Zein (Washington) atau Duta Besar Sukardjo Wirjopranoto (Perserikatan Bangsa-Bangsa) saya dibawa ke kamar presiden di Mayflower Hotel di ibukota atau Waldorf Astoria di Manhattan. Ini terjadi tanpa sepengetahuan dr. Subandrio, Menteri Luar Negeri waktu itu, yang juga atas desakan Den Haag, telah menghambat adanya hubungan antara saya dan | |
[pagina 26]
| |
Bung Karno. Kemudian Presiden mengatakan, berita-berita yang saya kirimkan selalu diterimanya. ‘Saya selalu menyimpannya, dan di malam hari saya membacanya di tempat tidur,’ katanya padaku suatu ketika. Setelah suruhan Jenderal Nasution yang mencurigakan memberitahukan kepada saya pada suatu undangan makan, mengenai adanya rencana jahat sekelompok jenderal yang bekerja sama dengan CIA, saya memutuskan untuk menginformasikannya kepada Bung Karno. Terutama tujuan akhir jenderal-jenderal subsersif inilah yang digambarkan dengan terinci oleh Pak Uyeng. ‘Presiden Soekarno akan diturunkan, diasingkan dan akan dibiarkan mati seperti setangkai bunga tanpa air’. Memang inilah yang dirancang dan dilaksanakan Soeharto dengan sekongkolannya pada presiden pertama Indonesia antara tahun 1965 dan 1970, dalam kolaborasi dengan Washington dan CIA. Presiden mengirim Kolonel Magenda dari dinas intel ke Washington untuk mengadakan penyelidikan. Saya memberitahukan pula bahwa ketika saya mengunjungi Duta Besar Zairin Zein di Washington, secara kebetulan saya melihat Pak Uyeng itu di ruang samping kantor Atase Militer Jenderal Surjo Sularso sedang menyelesaikan pengetikan laporan-laporan rahasianya kepada Jenderal Nasution. Pada tahun 1973 saya menulis tentang ini, dan selukbeluk di Den Vaderland GetrouweGa naar voetnoot18) berdasarkan buku harian yang amat cermat.Ga naar voetnoot19) Jadi, pada tahun 1962 Bung Karno telah mengetahui sampai hal yang terkecil, apa yang dirancangkan dipersiapkan beberapa jenderal terhadapnya, atas desakan | |
[pagina 27]
| |
orang Amerika. Perlu dicatat di sini, pada tahun 1961 Soeharto sendiri berada di Indonesia Timur sibuk mengurusi pengembalian Irian Jaya sehingga orang bisa berpendapat semula ia tidak terlibat dalam coup yang telah lama dipersiapkan itu. Dia lebih merupakan ‘anjing ketiga yang lari dengan tulang yang diperebutkan hewan-hewan lain’. Walaupun demikian, ia tetap harus bertanggung jawab atas pembunuhan Bung Karno dan dia memenuhi segala persyaratan sebagaimana yang sekarang akhirnya menjadikan Augusto Pinochet sebagai yang tertuduh. Bahwa Amerika Serikat di seluruh dunia bekerja dengan dodenlijsten sebagai dasar pemikiran kerja saat menentukan strategi luar negerinya, di Jakarta -- juga di kalangan atasnya -- hampir tidak diketahui, seperti halnya pada tahun 1990, pada mulanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin di Den Haag. Bukan saja negara-negara berkembang yang khusus menjadi sasaran Washington pun. Mitra NAVO dari Washington dengan amat terkejut harus mengakui bahwa apabila sesuatu akan menguntungkan para Yankee, segala sesuatu dihalalkan boleh dilakukan. Bagi CIA amatlah biasa untuk menyusun dodenlijsten juga bagi Belanda bila sewaktuwaktu Sovyet memutuskan untuk menyerbu masuk Eropa-Barat. Dengan sangat rahasia dari Amerika Serikat telah dibentuk organisasi teror dengan nama Gladio, yang nyata diberi kuasa bila sampai Sovyet menghantam negara-negara perserikatan barat -- seperti yang juga ditawarkan kepada Soeharto dan Pinochet di Indonesia dan Chili -- yakni tetap dengan jelas untuk mengeksekusi orang-orang yang dicurigai secara hukum. Orang-orang semacam Sarwo Edhi amat banyak berkeliaran dan berkelompok di seluruh dunia, seperti baru-baru ini lagi-lagi terbukti di Serbia, Kosovo dan Albania. Selama bertahun-tahun orang-orang Amerika di Eropa- | |
[pagina 28]
| |
Barat sibuk membuat gudang-gudang senjata rahasia, seperti yang telah ditemukan di Gelderland dan di utara Limburg selatan, sementara kebanyakan para perdana menteri dan menteri pertahanan sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal itu. Baru pada tahun 1990 perdana menteri Julio Androti dari Italia berani berbicara dan membunyikan alarm. Segera setelah itu muncul ‘berbagai pengakuan’bahwa di mana-mana, seperti Perancis, Jerman Barat, Belgia dan Negeri Belanda telah dibentuk jaringan-jaringan organisasi-teror Amerika yang amat luas. Pada tanggal 18 November 1990 sebuah dodenlijst sampai ke tangan ‘Krant op Zondag’dengan nama sandi NATRES 486, yang memuat nama dan alamat dari 130 penduduk kota Dordrecht, yang harus dibunuh bila datang serangan Sovyet pada NAVO. Apa yang dilakukan para pelaku kejahatan Amerika di bidang ini tidak kalah hebat seperti yang dilakukan Slobodan Milosevic di Bosnia dan Kosovo. Bila Mahkamah Internasional untuk penjahat-penjahat perang di Den Haag memenuhi persyaratan persidangan yang paling elementer maka Ny. Arbour misalnya bisa mulai dengan Henry Kissinger dan menyebutnya sebagai salah satu penjahat perang Amerika dan ethnic cleanners yang patut mendapatkan satu kali perjalanan saja ke Den Haag. Tetapi Arbour tidak bertindak sesuai dengan aturan hukum yang bunyinya: hukum berlaku untuk semua orang, karena dia di dorong tampil kemuka oleh Washington dengan tugas, untuk hanya menyeret musuh-musuh CIA ke pengadilan. Pada saat kedatangan saya di Jakarta Mei 1999, pemboman yang dilakukan NAVO di atas Serbia dan Kosovo masih gencar berlangsung. Waktu pecah perang di sana pada tanggal 24 Maret, saya berada di Coral Gables, Florida. Pada hari itu juga, saya mengirim surat darurat kepada Perdana Menteri Wim Kok ke rumahnya di Amsterdam, di mana saya me- | |
[pagina 29]
| |
mohon kepadanya agar jangan mau terseret masuk ke dalam petualangan jahat ini, kalaupun Negeri Belanda merupakan satu-satunya negara anggota NAVO, yang dengan veto bisa menggagalkan seluruh aksi itu. Tetapi negarawan-negarawan Belanda masa kini juga tidak mempelajari sejarah mereka. Yang mengherankan adalah hampir semua orang yang saya temui di Jakarta, diantaranya para jurnalis, beranggapan Slobodan Milosevic-lah yang bersalah dalam semua problem ini dan tentu saja NAVO melawannya. Saya menjawab, sayapun tidak dapat melihat bagaimana seluruh affair rumit ini saling berkait. Tetapi dengan sangat prihatin saya menegaskan, sembilan belas negara NAVO dibawah pimpinan Amerika Serikat, mencemari piagam PBB dengan peperangan ini. Saya ingat bagaimana Hitler dan Mussolini di tahun tiga puluhan melakukan yang sama, yang saat itu menyebabkan hancurnya pelopor PBB, yakni Volkenbond di Jenewa. Pada tahun 1935 Mussolini menyerbu Abessinia. Raja Italia dinobatkannya menjadi Kaisar Etiopia itu. Hitler langsung membebaskan negara-negara minoritas Eropa. Pada saat itu tak seorangpun menyadari bahwa pada saat Italia dan Jerman sama sekali tidak mengindahkan peraturan-peraturan internasional yang telah disetujui bersama di Jenewa maka pecahlah sudah Perang Dunia kedua. Bom meledak empat tahun kemudian di Polandia. Analisa saya, pada saat NAVO dengan armadanya yang terdiri dari seribu pesawat canggih melanggar batas ruang angkasa Yugoslavia yang dulu, dan mulai menjatuhkan 23.000 senjata penumpas dalam batas-batas suatu negara berdaulat, keabsahan piagam PBB telah kehilangan arti dan pintu ke perang dunia ketiga telah terbuka lebar. NAVO mengikuti jejak Hitler dan Mussolini. Hanya soal waktu saja sampai bom akan meledak lagi. Setiap sumber kebakaran bisa berkembang menjadi konflik dunia, | |
[pagina 30]
| |
sebab piagam PBB tidak lagi merupakan penghalang atau hambatan menuju jalan bar-bar. Yang membuat saya sakit hati adalah di Indonesia ini hampir tidak ada seorangpun yang mempedulikan nasib Yugoslavia yang dulu itu. Pada tahun 1956 Bung Karno berinisiatif untuk mengunjungi Marsekal Tito. Saya menyaksikan sendiri pada tanggal 12 September 1956 itu, kedua kepala negara itu memasuki Belgrado berdiri dalam sebuah Rolls Royce terbuka.Ga naar voetnoot20) Sejak itu Indonesia dan federasi Yugoslavia menjadi negara yang bersahabat. Kemudian pada tahun 1961 Marsekal Tito bergabung dalam blok negara-negara Asia-Afrika yang didirikan Bung Karno pada tahun 1955 di Bandung, kekuatan ketiga di dunia ini, yang menurut konsepnya akan bisa memisahkan kedua jagoan Moskow dan Washington. Pada tahun 1955 Soekarno mengundang banyak pemimpin politik dunia ke Indonesia, seperti Chou-En-Lai (Cina), Jawaharlal Nehru (India), Abdel Gamal Nasser (Mesir), Pangeran Norodom Sihanouk (Kamboja) dan banyak yang lain. Yang sangat diinginkan Bung Karno adalah agar ‘musyawarah’ dan ‘mufakat’ ala Jawa bisa diterapkan dalam memelihara hubungan-hubungan internasional di panggung dunia. Dengan kata lain, pesannya berbunyi: gantilah ‘demokrasi mayoritas selalu benar menjadi demokrasi konsensus’, di mana setiap orang perlu mundur selangkah agar dapat sampai pada suatu keputusan yang sesuai bagi semua. Pada tahun 1961 Konferensi Bandung kedua diadakan di Belgrado di mana konsep Bung Karno untuk saling berhubungan ala Asia-Afrika, diuraikan lebih lanjut.Ga naar voetnoot21) Semakin besar berkembangnya perbedaan antara Barat | |
[pagina 31]
| |
dan Timur, semakin gila-gilaan bentuk perlombaan persenjataan, semakin besar pula perlunya dorongan menurut presiden Indonesia ini untuk memberikan pengaruh dan imbauan yang menenteramkan pada cara berpikir Barat yang hitamputih itu. Di Belgrado pada tahun 1961 itu, telah disetujui untuk mengutus Perdana Menteri Nehru (India) dan Nkawe Nkrumah Presiden Ghana mengunjungi Nikita Khurschev di Kremlin, Soekarno dan Presiden Modibo Keita dari Mali ke JFKGa naar voetnoot22) di Washington, untuk mendesak kedua pemimpin dunia itu agar mereka lebih baik saling mendengarkan ketimbang berprasangka atau apriori bahwa hanya salah satu pihak yang benar partai menang dalam ‘perang dingin’ ini. Saya mendapat kesan bahwa pada tahun 1999 ini, pendapat umum di Indonesia adalah pro-NAVO dan pro-Amerika terhadap apa yang terjadi di Yugoslavia dan Kosovo. Dalam suatu percakapan dibawah empat mata, saya bertanya kepada Menteri Luar Negeri Ali Alatas, mengapa blok negaranegara non blok, di mana juga Soeharto berada dalam arus pendahulunya ingin selalu memainkan peran yang penting, tetapi pada saat Belgrado dalam bahaya besar, dia membisu seribu bahasa. Dengan kata-kata yang dipilih dengan amat seksama, Alatas menjelaskan bahwa soal Kosovo benar-benar dibicarakan di belakang pintu tertutup di antara negara-negara kelompok Asia-Afrika dan Amerika Latin, tetapi setiap diskusi selalu diakhiri dengan perbedaan yang tajam. Negaranegara Islam sangat peduli dengan nasib yang menimpa Kosovo. Itulah sebabnya setiap usaha untuk menengahi dari negara-negara blok yang justru memelopori sikap untuk selalu berunding dalam mencari penyelesaian, dalam hal ini ditakdirkan pasti akan kandas. Mendengar penjelasan Alatas, saya menyadari dengan makin jelas bahwa konflik | |
[pagina 32]
| |
Kosovo sebenarnya adalah perang agama, sama seperti yang terjadi di Irlandia. Satu alasan yang seharusnya diketahui Tony Blair sebelumnya bahwa affair seperti itu tidak dapat diselesaikan dengan bom yang dijatuhkan pesawat-pesawat tempur dari ketinggian 4,5 km agar dirinya sendiri tidak terkena. Saya bercerita kepada Alatas, dulu saya pernah mengadakan percakapan dengan sekretaris jenderal PBB, U Thant dari Birma. Waktu itu perang Korea telah selesai. Dan perang Vietnam sedang berkecamuk. ‘Dunia kembali ke abad pertengahan’, kata U Thant, Umat Kristen Eropa berangkat berkuda ke Istambul untuk membunuh sebanyak mungkin orang Islam atas nama Tuhannya Yang Maha Esa. Amerika juga melakukan perang agama di Vietnam. Pesan Soekarno, seperti yang saya pahami adalah sama. Dunia akan hancur lagi bila negara-negara Barat yang kaya dengan alat-alat perang termodern yang menakjubkan, masih tetap berpegang pada demokrasi - kami - seratus - persen - benar. Tanpa malu-malu negara-negara Barat menulis, Kosovo sebenarnya adalah kebun percobaan untuk arsenal senjata NAVO yang paling baru. Contohnya, di atas daerah yang diperebutkan secara permanen ditempatkan selusin pesawat mata-mata berupa Robot Predator. Semula para militer Yugoslavia menyergap ke arah pesawat-pesawat terbang yang tidak berawak itu, sampai mereka menyadari setelah beberapa menit bahwa kehadirannya mengawali hujan bom yang jatuh. Milosovic telah menembak 24 pesawat seperti itu.Ga naar voetnoot23) Yang tidak dapat dimengerti adalah reaksi negara-negara NAVO dengan mereka menembakkan cruise-misileg NAVO. Pada waktu itu di negeri Belanda, setengah juta orang turun ke jalan untuk | |
[pagina 33]
| |
memprotes perencanaan ditempatkannya benda-benda ‘aneh’ tersebut dalam batas-batas kerajaan. Tetapi, pada tahun 1999 ketika proyektil-proyektil yang sama itu ditembakkan ke arah Yugoslavia, publik sama sekali tidak memberikan reaksi. Malah tidak lagi mendiskusikannya. Di Jakarta jam seolah-olah berhenti, informasi atau pendapat mengenai apa yang terjadi setelah tahun 1965 di negeri sendiri maupun di luar negeri hampir tidak ada. Biang keladi utamanya adalah sensor ketat yang diberlakukan rezim Soeharto dan antek-anteknya yang pro Amerika. Jutaan dolar dipompakan masuk ke dalam negeri ini. Korupsi merajalela. Hotel-hotel berbintang tumbuh bak jamur di musim hujan. Delapan puluh halaman buku telpon Jakarta dipenuhi nama dan alamat bank. Jakarta makin menyerupai Singapura dan Hongkong, dan kesan bahwa rezim militerlah penyebab kemakmuran dan kema-juan ini, tetap dipertahankan. Dalam kenyataannya golongan kaya makin kaya dan penduduk lain negara ini sebenarnya mengurus dirinya sendiri. Indonesia makin merupakan negara yang teramat sukses yang semu yang pada suatu saat pasti akan sadar dan diktator yang fasis harus lengser. Mengenai peranan Amerika di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah tahun 1965, sama sekali tidak diketahui orang-orang Indonesia. Kalau saya memberitahukan bahwa tentara sewaan Albania, UCK, dipersenjatai dan dibiayai CIA untuk sengaja mengganggu stabilitas Propinsi Kosovo dari Yugoslavia itu maka reaksinya selalu adalah, ‘rasanya tidak mungkin Amerika Serikat melakukan itu’. Dan saya sadar 210 juta orang Indonesia, juga mereka yang menyibukkan diri dengan masalah-masalah internasional, sebagian besar hidup dalam kehampaan informasi, mengenai bagaimana sebenarnya dunia ini menjelang terbitnya melenium ketiga. | |
[pagina 34]
| |
Di Indonesia orang rupa tidak mengenai doktrin Amerika pre-emptive agression, coup tahun 1965 di Jakarta itu adalah contoh sederhana titik tolak jahat politik luar negeri Amerika. Gregory Clark diplomat Australia menulis ‘Gerakan-gerakan preemptive biasanya dibenarkan atas dasar pendapat bahwa pihak yang lain adalah jahat.’ Tetapi masalah-masalah dunia jarang begitu hitam-putih. Kosovo adalah contohnya. NAVO mengatakan mereka pergi ke sana untuk mencegah pembersihan etnik oleh orang-orang Serbia, tetapi pembersih yang sebenarnya adalah Kosovo Liberation Army yang menggunakan perang gerilya dan pembunuhan yang membabi buta untuk mengusir minoritas Serbia.’Ga naar voetnoot24) Sejak diketahui bahwa dari Albania telah beroperasi orang-orang sewaan di Kosovo, sudah jelas bagi mereka yang mempelajari sejarah, untuk kesekian kalinya Amerika Serikat ikut campur tangan di bagian dunia ini yang sebenarnya sama sekali bukan urusan mereka. Di Korea dan Vietnam masih dikirim para G.I. untuk menangani berbagai keruwetan, tetapi lambat laun di Washington berkembang skenario untuk menggunakan serdadu-serdadu bayaran saja, yang sekaligus di dukung dengan bom-bom seperti yang dikendalikan oleh proyektil-proyektil JDAM (Joint Direct Attack Munition), yang dikendalikan lewat sejumlah kunstmanen dan sanggup menemukan sendiri sasarannya. Banyak percakapan di Jakarta sampai pada kesimpulan untuk memberikan informasi tentang sejarah paling mutakhir perihal bagaimana Amerika Serikat telah tumbuh berkembang menjadi satu-satunya super power yang paling mematikan di dunia. CIA didirikan pada tahun 1948 untuk menumpas komunisme. Pemerintah Eisenhouwer telah merencanakan suatu coup terhadap Fidel Castro. JFK semula menyetujui pendarat- | |
[pagina 35]
| |
an orang-orang bayaran di Teluk Babi, sampai staf mengingatkannya akan ikatan yang telali diikrarkan lewat konvensi PBB bahwa negara-negara berdaulat tidak akan boleh menjadi korban operasi militer, di luar pengetahuan Dewan Keamanan, sekalipun oleh sekelompok tentara bayaran. Pada saat-saat terakhir Kennedy menarik kembali dukungan udara Amerika dan tentara yang didaratkan dihancurkan Castro. ‘Tidak heran kalau dia (Kennedy) banyak musuhnya, terutama di kalangan CIA, sehingga di Dallas dia ditembak di jalan,’ kataku kadangkala kepada rekan di Jakarta. Kebanyakan dari teman bicara saya ternyata masih menganggap JFK sebagai pahlawan Amerika, yang merupakan pendapat sebagian besar dunia. Dan bila saya tambahkan bahwa ‘Kennedy adalah penjahat biasa dan anak seorang pedagang whisky yang menjadi kaya,’ maka kata-kata itu menyebabkan kegemparan. Karena affair Monica Lewensky masih hangat dibicarakan, saya mengingatkan teman-teman bicara di Indonesia bahwa ada pendahulu Monica yakni Judith Exner yang terkenal, yang menjadi pendamping Presiden Kennedy bila Jaqueline Kennedy berolah raga kuda atau mempunyai tugas-tugas lain. ‘JFK bertindak lebih tegas ketimbang Bill Clinton, yang menganggap JFK sebagai idolanya. Clinton puas dengan hubungan kilat di kamar samping Oval Office yang terkenal itu. JFK membawanya ke kamar tidur. Lama setelah itu terbukti presiden terutama menggunakan Ny. Exner sebagai kurir ke tokoh-tokoh mafia di Chicago. Di sana ia menyampaikan surat-surat presiden Amerika Serikat untuk membantunya membunuh Castro. ‘Tentunya harus dirahasiakan bahwa JFK adalah pemberi perintah,’ cerita saya ini berdasarkan fakta. Bila seorang Indonesia di tahun 1999 ini mendengar informasi berdasarkan fakta semacam itu, reaksinya biasanya adalah rasa heran. Kadang-kadang saya tambahkan cerita | |
[pagina 36]
| |
lebih terinci yang agak ‘pedas’, ‘jelaskah sekarang bagi anda mengapa Presiden Soekarno pada tahun 1961 setelah kunjungan resminya ke Presiden Kennedy di Gedung Putih langsung terbang dari Washington ke Havana? Sebagai pemimpin blok negara-negara yang tidak terikat (bebas) Bung Karno ingin menunjukkan rasa peduli etentik terhadap Fidel Castro, yang saat itu telah dua tahun menderita akibat bloka-de jahat Amerika.Ga naar voetnoot25) Bung Karno ingin menunjukkan kepada Kuba bahwa dunia Asia-Afrika merasa solider dengan orang-orang yang tinggalnya 150 km dari pantai Florida.’ Tindakannya itu tidak diterima dengan baik oleh Washington. Baru 25 tahun kemudian Fidel Castro sendiri menjadi pimpinan kelompok negara-negara grup Bandung. Di Havana juga diselenggarakan rapat kekuatan dunia ketiga, yang saya hadiri, dan dalam ruangan rapat tidak tergantung potret Bung Karno, sedangkan ia notabene adalah pendiri dari gerakan ini. Para diplomat yang bekerja untuk Soeharto telah bertahun-tahun berusaha untuk menghapus hormat dan kebanggaan kita kepada Soekarno. Pers dunia pun telah bertahun-tahun lupa untuk mencantumkan Bung Karno sebagai pendiri dari blok negara-negara yang tidak terikat ini. Bagi kebanyakan jurnalis, Nehru, Tito, Nasser dan nkrumah masih selalu dianggap sebagai pengambil inisiatif aslinya, yang tidak betul dan tidak benar menurut sejarah. Berbicara soal JFK dan mengetahui betapa hausnya orang-orang Indonesia akan berita mengenai kepala negara pertama mereka, saya kadang-kadang menambah beberapa anekdot. Perkenalan dengan keluarga Kennedy terjadi tanggal 24-25 April 1961 di Gedung Putih. Dengan hadirnya Jaqueline Kennedy suasana menjadi kaku. Duta Besar Zairin Zain telah memberikan informasi relevan sebagai latar | |
[pagina 37]
| |
belakang kepada para mitra kerja presiden, antara lain bagaimana mempersiapkan Bung Karno untuk membawa dalam suasana dan mood yang cocok. Kemudian, saat percakapan diadakan di Oval Office Kennedy bertanya kepada tamunnya, ‘Di mana anda berdiri di antara pertikaian Sovyet Uni dan kami?’. Menyadari akan kemungkinan adanya penyadap yang dipasang di ruangan itu, Bung Karno menjawab bahwa ia pasti akan menjawabnya, ‘tetapi di kamar tidur anda’. Pada tahun 1966 Presiden ingat kembali peristiwa kunjungan itu. ‘Jadi Wim, percakapan saya yang paling penting yang pernah saya lakukan dengan Presiden Kennedy terjadi di kamar tidurnya. Kami berdua duduk di tepi tempat tidur, kau tahu tempat tidur kuno dengan kaki yang tinggi’.Ga naar voetnoot26) Tetapi pada tahun 1973 saya tidak menulis apa yang saya publikasikan itu, yakni Presiden mengatakan sesuatu yang artinya kira-kira: ‘bagaimana anda bisa mempergunakan tempat tidur semacam ini bila kau mau menikmati malam panjang bersama seorang wanita?’. Bung Karno bercerita bahwa dia mempunyai hubungan sangat dengan John dan Robert Kennedy. Pada tahun 1970 saya membuat film untuk NTS (televisi Belanda) tentang delapan orang mitra kerja paling dekat JFK dan RFK, yang kadang-kadang memberi komentar kurang baik mengenai mantan Presiden Indonesia ini. Sebaliknya hal seperti itu tak pernah dilakukan Soekarno. Soekarno justru ingin mengetahui segala sesuatu mengenai penembakan di Dallas itu. Saya dapat memberikan berita yang agak mendalam, karena saya kebetulan meliput kejadian itu secara intensif atas tugas Carel Enkelaar dari televisi NTS.Ga naar voetnoot27) Presiden memahami betul Kennedy -- seperti yang juga | |
[pagina 38]
| |
dibenarkan mitra kerjanya yang paling dekat Theodor Sorensen waktu itu -- berniat menurunkan kegiatan dan menghentikan perang di Vietnam setelah terpilihnya kembali di tahun 1964. Soekarno juga mengetahui bahwa dekrit rahasia pertama yang ditandatangani Lyndon B. Johnson di Gedung Putih justru adalah mengenai Vietnam. CIA berhasil meyakinkan LBJ bahwa Vietnam-Utara lah yang seharusnya pihak yang kalah. Orang Texas ini mendukung dan berhasil untuk menambah jumlah militer dari 26.000 menjadi 600.000 orang. Dalam skenario ini tentunya tidak cocok adanya tentara Indonesia yang kuat dipegang tentara Amerika, yang makin jauh tenggelam dalam rawa-rawa delta Mekong. Washington tahu Bung Karno bersimpati dengan perang kemerdekaan Ho Chi-Minh, jadi di mata CIA, dia harus disingkirkan. Sebab itulah terjadi coup-nya Soeharto. Karena itulah ada dodenlijst Marshall Green. Dan, karena itulah terjadi banjir darah paling keji yang dimotori Washington dalam sejarah kepulauan Indonesia. Pada tahun 1994, 1995 dan 1999 saya mengunjungi Indonesia, kadang-kadang untuk waktu yang lama. Dari tahun 1958 sampai 1992 saya pernah tinggal di New York. Saya yakin mengetahui betul, jenis manusia apa yang saya hadapi berhubung dengan pelaksanaan beleid internasional Washington dan berjenis dinas rahasianya. Sebab itu menurut saja opini umum yang pro-Amerika baik di Jakarta maupun di Den Haag, benar-benar tidak bisa dipahami. Orang tidak mengenai sejarah mereka. Bila tindak-tanduk internasional Amerika Serikat setelah 1945 lebih kita teliti, akan sampai pada kesimpulan bahwa sejak dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, kinerja penalaran di belakang pembentukan keputusan militer di Washington sesungguhnya tidak berubah. Jenderal Curtis Le May staf utama Ang- | |
[pagina 39]
| |
katan Udara pada tahun 1963 menyarankan kepada LBJ, agar Washington berhenti mengejar lalat di Vietnam Utara,’Ga naar voetnoot28) yang seharusnya kita kejar adalah bukit tahi sapinya. ‘Jenderal-udara Thomas Power menandaskan bahwa bila ia mendapat izin untuk mengerahkan pesawat-pesawat pembom B-52, ia akan menghancurleburkan Vietnam Utara.Ga naar voetnoot29) Mentalitet tahun enam puluhan juga masih mendominasi di tahun 1999, hanya metode untuk ‘membom lawan-lawannya ke zaman batu’ (Jenderal Le May) lebih terinci dan telah lebih disempurnakan. Bill Clinton menganggap JFK sebagai idolanya. Tetapi, Kennedy menyadari benar bahwa mengirimkan orang-orang bayaran ke Kuba adalah perbuatan yang berlawanan dengan konvensi PBB. Clinton -- dan temannya Tony Blair -- tidak mempedulikan PBB dan Dewan Keamanan. JFK justru menarik dukungan udara saat melawan Kuba, Clinton -- dan Blair -- mengorganisir sebuah armada udara yang terdiri dari pesawat-pesawat ala gagasan Jenderal-Jenderal Le May dan Power pada awal perang Vietnam, yang akhirnya membuat Amerika Serikat kalah. Tetapi yang juga secara kukuh tidak disetujui Bung Karno, tetapi yang harus ditenggang dan ditanggung seluruh rakyat Indonesia, ketika mereka harus menekan mentah-mentah peristiwa Soeharto. Pemimpin-pemimpin Amerika, -- Reagan, Bush, Clinton -- mempunyai kebiasaan untuk memperlakukan lawan-lawannya dengan memberi mereka etiket ‘Hitler’, untuk mengalihkan perhatian dari perilaku mereka sendiri yang fasistis. Tertembaknya sebuah pesawat komersial Iran dengan hampir 400 orang warga didalammnya oleh sebuah roket yang ditembakkan dari sebuah kapal penjelajah Amerika di laut terbuka, | |
[pagina 40]
| |
tidak pernah dibicarakan lagi. Menurut laksamana yang bertugas, itu merupakan suatu kesalahan. Ketika sebuah pesawat PANAM ditembak di atas Skotlandia dan meledak, sebagai balas dendam atas kejahatan perang itu, gegerlah dunia, karena Washington dan London berpendapat bahwa hidup warganegara mereka jauh lebih berharga ketimbang orang-orang yang berkewarganegaraan Irak Argentina (Falkland), orang-orang Sudan cruse russites, orang-orang Panama (dikirim 36.000 marinir untuk menculik kepala negaranya), orang-orang Granada (Mourice Bishop, perdana menterinya dibunuh lewat suatu coup CIA, bersama separo dari anggota kabinetnya) orang-orang Kamboja (Pangeran Norodom Sihanouk diturunkan, diganti marsekal pengkhianat Lon Nol), Che Guevara dibunuh di Bolivia oleh para Yankee berbaret hijau). Patrice Lumumba di Kongo, dibunuh dan mayatnya disimpan dalam lemari es, ya malah mantan Sekretaris-Jenderal Dag Hammerskjold dari PBB yang akan menyelidiki kasus Lumumba, secara misterius mendapat kecelakaan di Afrika. Baru-baru ini Bill Clinton menyampaikan ‘permohonan maaf yang sedalam-dalamnya’ kepada Guatemala untuk kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan tentara bayaran CIA pimpinan dan rencana Amerika, di negaranya. Bagaimana bisa melupakan tim IKON yang di El Salvador ditembak mati sebagai bagian dari kejahatan perang Amerika ditembak mati? Tidak dapat diragukan lagi, Clinton dan Blair merupakan pemicu perang-Balkan pada tahun 1999. Anggota lain dari NAVO ikut terseret ke dalam petualangan yang terpuji ini. Setelah pemboman selama 78 hari menurut resep Jenderal Curtis Le May yang gila itu tidak membawa hasil apapun, kedua tuan itu menyulap istilah baru dari topi CIA, ‘suatu perang’. Jenderal Wesley Clark, panglima tertinggi semua angkatan perang NAVO, termasuk yang dari negeri Belanda, | |
[pagina 41]
| |
kemudian memberitahu para duta NAVO di Brussel, bahwa untuk pertama kali dilakukan cara berperang ‘hig-tech’ yang digunakan sebagai ‘senjata diplomatik’ akhirnya membawanya ke kemenangan’. Bila cabang Eropa NAVO belum juga paham setelah kejadian di Balkan itu, bahwa NAVO -- setelah robohnya tembok Berlin dan bercerai-berainya USSR -- telah kehilangan hak berdirinya dan kita seharusnya melepaskan diri dari orang-orang seperti Clinton, Clarke dan kalau perlu Blair, maka ‘orang-orang sakit jiwa’ di Amerika Serikat lambat laun akan membawa kita ke suatu perang dunia ke tiga. Clinton dan Blair malah sudah menjanjikan jutaan untuk kepala Slobodan Milosevic tanpa membicarakannya dahulu dengan ‘sekutunya’. JFK masih berusaha bersembunyi di balik tokoh-tokoh mafia Chicago untuk melakukan praktek-praktek gangster seperti itu. Tetapi Clinton dan Blair tidak lagi melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Mereka tampil di panggung dunia sebagai orang nekat. Bila tokoh ini bisa mewakili negara-negara seakan mereka tidak bersalah dalam sektor kejahatan perang atau merusak hak asasi manusia, bisa dibayangkan bila sejumlah uang dijanjikan atas otak kepala negara sejawat yang dianggap melakukan kejahatan. Tetapi kemudian setelah 25 tahun nanti, dari dokumen-dokumen akan terbukti bahwa Milosevic hanya bereaksi terhadap invasi CIA dengan VCK-nya dari Albania dan memerangi para teroris itu seperti mereka memeranginya, dan seperti yang dilakukan Fidel Castro pada tentara bayaran di Teluk Babi (Bay of Pigs). Barangkali yang paling menarik perhatian adalah, Paris, Bonn, Roma, Brussel dan Den Haag -- yang sangat kami harapkan belum terpengaruh oleh cara berpikir Le May - Clark dari Amerika--tidak menegur Clinton dan Blair, bahwa dengan menjanjikan jutaan untuk kepala pemimpin Serbia, me- | |
[pagina 42]
| |
reka telah menurunkan seluruh NAVO ke tingkatan kepala gangster di Chicago. Bila di Indonesia saya membicarakan hal-hal yang menurut mereka amat jauh berhubungan dengan mereka, tampak sekali mereka tidak memiliki informasi dukungan yang cukup untuk bisa memahami betapa pentingnya perkembangan di Eropa dan di dunia akhir-akhir ini, seolah-olah dalam hatinya mereka bersyukur bahwa mereka berada di belahan bumi lain dekat khatulistiwa. Jika kita berkunjung ke Indonesia, yang sama sekali tidak boleh kita lupakan, ialah bahasa Ibukota Jakarta bukanlah Jawa dan cermin Indonesia. Sumber asal negara ini terletak di bekas kerajaan-kerajaan Jawa Tengah di Surakarta dan Yogyakarta. Saya selalu membawa beberapa buku sejarah negeri ini untuk dibaca, misalnya dalam kereta api cepat ke Bandung atau dalam pesawat terbang ke Bali. Dalam perjalanan ke Surakarta saya membaca ulang buku Wulfften Palthe. ‘Bila kita mendefinisikan peradaban sebagai kondisi mengatur dalam suatu masyarakat selama itu berarti mendukung perkembangan mental manusia sebagai pribadi dan manusia sebagai anggota masyarakat, maka peradaban demikian ini terdiri dari dua elemen: kehalusan dan budaya.Ga naar voetnoot30) Buat saya, Jawa Tengah selalu membuatku seolah-olah berada di negeri lain. Di sana berpandangan lain dari bila berada di Jakarta, kami berperilaku lain, kami menghayati hidup ini secara lain. Seolah-olah kita bernapas dengan lebih dalam. Juga Jawa Timur dan Bali mencerminkan bagaimana negeri itu dahulu pernah seperti itu. Pada 30 Mei 1999 saya diundang Pangeran Puger untuk minum teh sore hari itu di ‘keraton’Ga naar voetnoot31) Yogyakarta. Saya | |
[pagina 43]
| |
membaca karangan BHM Vlekke, Nusantara: A History of IndonesiaGa naar voetnoot32). Pertemuan ini serasa kita berada di dunia lain, yang akan menyebabkan kita melupakan sejenak gerombolan korup di Jakarta. Saya mempelajari silsilah Yogya di bawah ini gambaran silsilah Yogya menyadari bahwa dua ratus dan tiga ratus tahun yang lalu para nenek moyang kita memahami dan mengajarkan tradisi bentuk dan pola pergaulan yang halus dan subtil dari Jawa. Pangeran Puger (67) adalah kakak Sultan Hamengku Bu- | |
[pagina 44]
| |
wono IX, yang meninggal beberapa tahun lalu. Ketika saya memasuki ruang tamu dan duduk berhadapan dengan tuan rumah, reaksi rahasia pertamaku adalah, ‘beginilah perasaanku dahulu, bila saya berbicara berdua dengan Bung Karno, identik sama’. Perasaan ini demikian juga melanda saya ketika saya bersama Sukma mengunjungi Marsekal Omar Dani. Ada suasana yang meliputi kedua orang itu yang mengingatkan saya pada rumah orang tuaku ‘De Horst’ di Bosch Duin, Ayah dan kakek saya lahir di Semarang, di mana kakek buyut saya, Alexander Oltmans dari tahun 1864 sampai tahun 1889 bekerja di perkeretaapian, dan tahun-tahun terakhir sebagai presiden Komite Pengurus Den Nederlands Indische Spoorweg Maatschappy atau MIS. Latar belakang saya, juga dari pihak ibu adalah dari keluarga Indisch yang panjang. Sejak 12 Juni 1956, saat saya pertama kali bertemu Presiden Soekarno di Kedutaan Besar Indonesia, di Roma, saya merasakan antara kita ada perasaan mengenal dan mempercayai, seperti yang dirasakan kita berada di lingkungan keluarga. Rupanya ‘Indie yang lama’ telah merasuk ke da-lam gen-gen saya. Apa yang mengena perasaan saya di kamar yang tenang di Yogya adalah oase kebudayaan yang menyentuh kalbu dan ketenangan jiwa yang memancar dari tuan rumah yang disayang itu. Dia merupakan personifikasi hidup yang ditulis Professor Wulfften Palthe. PangeranGa naar voetnoot33) Jawa ini, keturunan dari keluarga yang berusia seribu tahun, sepercik pun mustahil akan berpikir untuk membujuk kepala-kepala mafia Chicago untuk menembak mati Fidel Castro atau memasang jutaan untuk kepala Milosevic. Demikian juga mustahil seorang Bung Karno bisa memikirkan dan tidak akan berpikir untuk membunuh seseorang dengan cara ‘tidak memberi air pada tangkai bunga’ bila orang itu tidak sependapat dengannya. | |
[pagina 45]
| |
Pertengahan abad yang lalu Amerika Utara dan Selatan terlibat perang yang dahsyat, yang menghasilkan Amerika Serikat seperti sekarang. Pada saat itu Eduard Douwes Dekker sedang berbincang dengan RadenGa naar voetnoot34) Adhipati Karta Natta Negara, Bupati Lebak. ‘Dia adalah seorang tua yang sopan dan santun yang dapat berbicara mengenai banyak hal dengan keberpihakan dan pendapat sendiri. Cukup dengan melihat sosoknya saja kami sudah yakin bahwa kebanyakan orang Eropa yang pernah berhubungan dengan dia lebih banyak belajar dari dia ketimbang sebaliknya dia dapat belajarGa naar voetnoot35) Ketika negara mahakuasa saat ini, dengan banyak tingkah sedang sibuk, walau dengan banyak saran yang belum dipertanyakan tetapi perlu segera saran tentang bagaimana membangun segera negara kaya dari hutan belantara, Edward Douwes Dekker duduk berhadapan dengan seorang di Lebak. Multatuli terkesima oleh bupati dari Jawa ini, seperti yang juga saya alami pada tahun 1999 ini ketika mengunjungi Yogya. Di berkas surat-surat berharga keluarga milik kakek buyut saya di Semarang, saya menemukan beberapa kartu berhiaskan mahkota dari raja-raja Jawa, terkadang dilampiri beberapa foto. Kakek buyut saya memang seangkatan dengan Douwes Dekker, yang pada tahun 1856 menjabat asisten-residen di Bantam, bagian Lebak. Satu setengah abad kemudian, sebagai buyut Alexander Oltmans, saya sendiri berbincang dengan seorang pangeran dari daerah ini. Dalam khayalan saya mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di negeri ini sepeninggalan tuan-tuan pelelang kopi dari Nederlandse Handel Maatschappy | |
[pagina 46]
| |
dengan blue print asli mengenai orang Jawa. Pangeran Puger bercerita bagaimana dia sebagai seorang anak umur dua tahun dititipkan pada sebuah keluarga Belanda, karena keraton Yogya berpendapat pentingnya keturunan raja, sejak buaian sudah harus diperkenalkan dengan bahasa penjajah Hindia Belanda. Berhubung dengan ini saya bercerita kepada Pangeran Puger suatu kejadian pada tahun 1957 ketika presiden Sukarno berkunjung ke Kalimantan. Di Banjarmasin presiden memanggil saya, ‘Wim, Wim’ -- dia selalu memanggil dengan memanggil nama saya dua kali -- ‘tahukah kamu bahwa gubernur daerah ini pernah duduk bersama ayahmu di HBS Semarang?’ Ternyata, Gubernur Milono, putera seorang bupati Jawa, ketika bersekolah di HBS oleh ayahnya dititipkan pada keluarga Belanda, Tillenius Kruithoff. Akibat proses perceraian yang sedang berlangsung antara kakek-nenek saya, ayah saya dititipkan kepada keluarga yang sama. Ayahku dan Milono berbagi kamar. Mereka membuat PR bersama. Main sepakbola di kesebelasan yang sama, pendeknya mereka bersahabat. Ketika saya pulang ke rumah, saya bercerita bagaimana Bung Karno mempertemukan saya dengan Pak Milono. Ayah membawaku ke kamar kerjanya, sambil becerita ten-tang masa kecilnya di Jawa sebelum perang dunia pertama. Ayah menghabiskan liburannya yang lama di keluarga temannya. Sebelum kembali ke HBS di Semarang, Pak Bupati (ayah Milono) memanggil kedua anak laki-laki tersebut, merestui persahabatan mereka dan memberikan kedua anak itu masing-masing sebuah keris emas sebagai ‘jimat’. Kemudian, ayahku membuka laci teratas dari meja tulisnya dan disanalah terletak keris pemberian ayah | |
[pagina 47]
| |
sahabat Jawanya itu.Ga naar voetnoot36) ‘Ketika ayah belajar kimia di Delft, saya tak pernah mengikuti ujian tanpa membawa keris ini’, kata ayah. Begitu pula ketika belajar hukum di Utrecht, ‘saya tak pernah mengulang test apapun’. Dari ayah, kedua kakak laki-laki saya dan saya memperoleh pengertian celaka, yang berarti, ‘jangan menantang para dewa, karena berbuat tidak benar membawa celaka; berbuatlah selalu yang benar.Ga naar voetnoot37) Apa yang dinamakan sociobiologie modern ‘bisikan dari dalam’ telah kuperoleh di Jawa sejak kecil. Saya dibesarkan dengan sambal dan kecap. Bila sebelum Perang Dunia II, kapal laut dari Indonesia, sering ada anggota keluarga yang akan menginap di rumah kami. Seorang sinting dari Belanda menulis, saya disihir oleh Bung Karno setelah saya berjumpa dengannya. Bukan begitu sebenarnya. Walaupun dia seorang kepala negara Indonesia, saya merasakan dan menganggap dia sebagai seorang keluarga dari (waktu) dahulu. Dia pernah berkata kepada saya, ‘Wim, kamu bukan orang Belanda,’ dan saya jawab, ‘Bapak-kan tahu saya datang dari Bojonegoro, sebuah kota kecil yang nyaman di Jawa Timur, yang pernah kami kunjungi bersama.Ga naar voetnoot38) Sejak tahun 1956 dengan Willem Ruys merapat di Tanjuing Priok, saya selalu merasa betah di Indonesia, terlebih pada tahun 1999 ini, ketika Soeharto sudah menghilang. Selama hidupku, saya mendalami mimpi-mimpi dan as- | |
[pagina 48]
| |
pirasi orang Indonesia, yang setelah berabad-abad dijajah orang-orang Eropa harus membayar mahal haknya untuk merdeka. Karena itu saya selalu bersikap melawan pada orang-orang sok pinter dan orang-orang dungu di Den Haag, yang tidak pernah berhubungan dengan rice roots Asia, atau pernah menunjukkan usaha untuk menyelidikinya, misalnya siapa sebenarnya Soekarno itu. Mengapa saya satu-satunya jurnalis Belanda di saat itu yang melakukan jurnalisme investigasi dan pergi ke Jakarta untuk menyelidiki siapa Soekarno itu sebenarnya dan apa yang diinginkannya secara nasional maupun internasional. Bahwa selanjutnya saya berbenturan dengan para penguasa Belanda yang cara berpikir neo-kolonialis masih bercokol, yang tidak dapat mencerna kehilangan Belanda dan dengan demikian termasuk dekolonisator paling cacat di dunia, adalah sesuatu yang telah bisa diduga sebelumnya. Setelah kunjungan saya ke Yogya, pada tanggal 1 Juni saya bergabung kembali dengan Sukmawati Soekarnoputri di Helmi Hotel, Surabaya, yang baru datang dari Sulawesi setelah selesai mengadakan pidato-pemilihan. Saya bercerita kepadanya mengenai kunjungan ke Pangeran Puger, yang juga seperti ayahnya dan Bung Hatta, yang bersam sama telah memproklamasikan kemerdekaan (17 Agustus 1945), amat prihatin tentang hilangnya nilai-nilai fundamental dalam kehidupan masyarakat, seperti yang juga dirasakan (1999) di keraton Yogya. Seperti biasa Sukma ingin tahu. Bung Hatta prihatin mengenai bertambah hilangnya perasaan ‘malu’ yang dalam masyarakat Jawa telah ditanamkan ke dalam jiwa sejak kecil. Belakangan ini orang bertindak sangat tidak sopan terhadap orang tua, yang sampai tahun 1965 merupakan sesuatu yang tabu. Dalam analisa kebudayaannya, Niels Mulder menulis, malu adalah salah satu mekanisme | |
[pagina 49]
| |
prinsipil dalam pendidikan dan pelatihan, sebagai ‘sikap jiwa yang begitu mendalam untuk memupuk penyesuaian dan pada saat yang sama berfungsi sebagai semacam kata hati karena seharusnya ia mengendalikan kelakuan.’Ga naar voetnoot39) Di dalam percakapan kita, Hatta melengkapinya dengan mengatakan malu terutama berfungsi sebagai penghalang terhadap ketidakjujuran di masyarakat. Mantan wakil presiden itu menganggap perkembangan pasca tahun 1965 sangat menyedihkan, karena dari segala penjuru negeri ini ia menangkap tanda-tanda, nilai-nilai fundamental lainnya yang selama ingatan manusia sudah dijunjung tinggi tidak lagi dipedulikan. Saya ingin menambahkan, jika kita memasuki kamar kerja Bung Hatta di Jalan Diponegoro, dengan kursi tamu yang bertaplak putih bersih, kita memahami mengapa tidak pernah ada kecocokan antara dia dan Bung Karno. Hatta tetap merupakan ilmuwan sejati didikan Rotterdam, yang menganggap keadaan rumah tangga matriarkal sebagai normal dan bisa diterima. Soekarno dididik di Bandung untuk menjadi insinyur, tidak pernah ke negeri Belanda -- salah satu keinginannya yang tak pernah terkabul -- berusia 55 tahun ketika dia untuk pertama kali menemui Dwight D. Eisenhouwer dalam rangka kunjungan kenegaraan, Soekarno dan Hatta adalah dua kutub bertentangan. Bung Karno adalah seorang bon vivant yang menyukai wanita dan seperti diketahui, Hatta sama sekali tidak dapat disebut sebagai seorang yang dikuasai istrinya. Soekarno tetap orang Jawa -- orang Indonesia. -- Seperti lazimnya orang Jawa, ia lebih senang makan nasi dengan tangan seperti yang dilakukannya pada akhir pekan yang dilewatkannya dengan Ibu Hartini di Bungalow dekat istana Bogor, yang sering saya kunjungi pada tahun 1966. Pada saat itu Bung Karno berkeluh kesah tentang hilang- | |
[pagina 50]
| |
nya nilai-nilai moral dan etis tradisional Jawa. Dia sangat terganggu oleh sekelompok mahasiswa (KAMI) yang dihasut dan dibiayai tentaranya Soeharto, yang tiap berdemonstrasi terhadap presiden sambil meneriakkan slogan-slogan yang sangat menghina dan menjijikkan yang telah ditanamkan oleh para perwira sekitar Soeharto, seolah-olah pengertian ‘malu’ tidak pernah mereka kenal. Maka sangatlah ironis Suharto, baru pada tanggal 21 Mei 1998, hilang dari panggung karena perlawanan mahasiswa. Bedanya, pada tahun 1965 para mahasiswa meneriakkan slogan-slogan yang telah dikunyahkan oleh para pengkhianat yang bekerja sama dengan CIA, sedangkan pada tahun 1998 para mahasiswa secara massal turun ke jalan, karena rakyat muak dengan perlakuan rezim. Pada tahun 1998 para mahasiswa mewakili suara rakyat. Pada tahun 1966 yang sangat menyentuh saya adalah, bertambahnya kesepian dan isolasi yang melanda presiden Soekarno. Pada tahun lima puluhan saya mengenal dia di istana yang selalu dikelilingi teman-teman dan keramahtamahan. Sekarang makin sedikit orang berkunjung ke istana dan kebanyakan mereka telah memilih mengikuti bandwagon (kereta kemenangan) Soeharto. Bila kami berbicara berdua, Soekarno secara jelas menganggap malam tanggal 30 September - 1 Oktober 1965 itu sebagai malapetaka nasional. Selama empat puluh tahun ia bekerja untuk mencapai keseimbangan antara kekuatan-kekuatan politik kiri dan kanan di negeri ini.Ga naar voetnoot40) Tetapi pembunuhan terhadap enam jenderal dan seorang letnan, telah melenyapkan ‘harga-hidup’ Bung Karno dalam sekejap. Soeharto dan tentaranya memilih ke kanan, menarik semua kekuatan ke arahnya dan melenyapkan golongan kiri dengan sepucuk surat bebas dari Washington dan CIA. | |
[pagina 51]
| |
Saya sangat heran melihat betapa tawakalnya dia menerima nasibnya. Pada suatu pagi dia minta saya untuk berjalan bersama dari teras di sebelah belakang istana melewati kebun istana menuju ke gedung di samping istana, di mana dia akan mengunjungi dokter gigi. Sambil berjalan ia bersenandung. Setelah itu saya bertanya kepada Jenderal Suhardjo Hardjo-wardojo yang ikut berjalan dengan kami, apa kira-kira ‘bisikan dari dalam’ yang berkecamuk dalam diri Bung Karno. ‘Dia bersenandung mengenai Ratu Sinta yang mendapat pesan dari suaminya’, kata Pak Hardjo, ‘Sinta dicuri oleh raja raksasa. Si monyet Hanoman bertengger di atas pohon. Hanoman adalah seekor monyet yang gagah perkasa dan pemberani’. Sinta menyapanya, ‘Apakah anda benar-benar utusan suamiku?’ Si monyet memperlihatkan sebentuk cin-cin. Bila cincinnya kebesaran, itu berarti bahwa Sinta menjadi lebih kurus tanda setia kepada suaminya.’ Ketika presiden dikhianati dari segala penjuru, dia menyenandungkan kesetiaan sejati Sinta dari ‘Ramayana’Ga naar voetnoot41) Kadang-kadang amarahnya meletus, mengenai apa yang terjadi di sekitarnya. Pada suatu hari, surat kabar ‘Merdeka’, di halaman depan memuat berita Menteri Adam Malik mengatakan kepada para mahasiswa di Tokyo, Soekarno yang bersalah atas pembunuhan massal terhadap kaum kiri, karena dia menolak mengadili PKI atas terbunuhnya enam jenderal dan satu letnan. Saya hadir ketika presiden menyuruh ajudan kolonel Bambang Widjanarko memanggil dengan segera B.M. Diah. Tidak lama kemudaian ajudan melaporkan bahwa B.M. Diah berhalangan datang karena ada kunjungan dari ambasador Argentina. Dalam bahasa Belanda yang kasar presiden berkata, ‘Saya tidak peduli, dia harus datang’. Sepuluh menit kemudian berhentilah sebuah mobil di | |
[pagina 52]
| |
bagian belakang istana, di mana seperti biasa selalu tersedia sarapan di atas meja. Soekarno melemparkan surat kabar ke atas meja dan bertanya kepada Diah, ‘Bagaimana omong-kosong seperti ini bisa dimuat dalam surat kabarmu?’ Contoh asli bagaimana perasaan ‘malu’ ini melanda redaktur utama ‘Merdeka’ tampak jelas. Dia menundukkan kepalanya penuh rasa malu dan hanya berkata, ‘Ya, susah Pak,’ yang kira-kira berarti ‘saya mengaku salah, saya mohon maaf.’ Rasanya pada saat itu saya menyaksikan rasa ‘malu’ Indonesia itu sebagai suatu pengakuan. Jurnalis itu mengaku, seharusnya hal itu tidak boleh terjadi dan dengan demikian urusan sudah selesai. Pada pagi itu dibuat foto-foto para tamu dengan presiden, yang menampakkan wajah B.M. Diah tersenyum lebar. Di dunia Barat kejadian semacam itu tidak akan berakhir semudah itu. Tetapi lain halnya di Indonesia. Dengan cara yang agak aneh saya terlibat dalam usaha keras dari kubu Soeharto agar pada tahun 1966 itu bisa mendesak Bung Karno membubarkan PKI atas dilancarkannya coup tahun 1965. Pada tahun 1957 ketika mengunjungi Batalyon Garuda Indonesia di Mesir yang ditempatkan di sana atas tugas PBB dalam krisis Terusan Suez, saya berkenalan dengan Mayor Sutikno Lukitodisastro. Di tahun enampuluhan, Sutikno yang sementara itu telah naik pangkat menjadi Kolonel, ditempatkan di Washington sebagai Atase Militer. Kami meneruskan perkenalan karena sejak tahun 1958 saya telah tinggal di New York sebagai jurnalis. Pada tahun 1966 saya menerima surat dari Pak Tikno, yang setelah kembali ke Jakarta menjadi tangan kanan dan penasihat jenderal - coup Soeharto. Dia mengusulkan agar saya membuat film dari proses pengadilan mantan menteri luar negeri, Dr. Subandrio. Televisi NTS dan Carel Enkelaar melengkapinya dengan surat tugas dan saya berangkat dengan tim televisi ke Jakarta. | |
[pagina 53]
| |
Karena itulah saya bertemu lagi dengan Kolonel Sutikno. Dia sering pagi-pagi sekali ke Hotel Indonesia sebelum saya berangkat ke istana menghadiri sarapan pagi. Orang harus mempunyai antena khusus -- apalagi orang yang datang dari ‘negeri kelom’ -- untuk dapat menangkap maksud-maksud tertentu orang-orang Indonesia, bila dengan cara ber-‘putar-putar’Ga naar voetnoot42) mereka mencoba menerangkan sesuatu. Lama-kelamaan saya sampai pada kesimpulan bahwa Sutikno berharap saya dapat menyakinkan presiden, Soeharto sama sekali tidak berambisi untuk menjadi presiden, sebaliknya, yang dia inginkan hanyalah agar Bung Karno tetap berada di istana, asal dia mau menuduh PKI yang mengadakan coup tahun 1965 itu. Ketika Soeharto sendiri pada tahun 1990 menulis mengenai peristiwa itu, dengan jelas ia mengatakan Bung Karno -- yang masih tetap menjadi panglima tertinggi -- ‘saya tidak mudah diperintah, saya mempunyai pendirian sendiri.’Ga naar voetnoot43) Soeharto bercerita, ‘sementara itu saya keluar masuk istana dalam seragam lapangan’, tetapi dia berpendirian tetap dalam tuntutannya, Kepala Negara akan membubarkan dan melarang PKI. Bukankah itu yang menjadi penyebab perebutan kekuasaan pada tahun 1965 ini? Saya tiba awal Oktober 1966, dan lambat laun secara tersamar saya memahami Kolonel Sutikno mencoba mempengaruhi saya untuk sekali lagi meminta Bung Karno mempertimbangkan kembali usulan Soeharto. Saya pikir, saya tidak hanya mengenal Presiden Soekarno dengan lebih baik dibandingkan mengenal Soeharto dan Sutikno, tetapi saya yakin saya lebih memahaminya. Semilimeter pun kepala negara tidak akan menyimpang (dengan kata-katanya sendiri): ‘Nas | |
[pagina 54]
| |
berarti nasionalisme non-komunis: A untuk agama berarti kaum religius yang anti-komunis; dan Kom berarti partai Komunis: PKI’Ga naar voetnoot44) Soekarno menambahkan, para komunis ikut berjuang untuk kemerdekaan negaranya dan pada tahun 1965 juga merupakan patriot yang selalu mendukungnya. ‘Apakah (negara-negara) Barat menyarankan agar saya membunuh mereka, sedangkan pada waktu yang sama sayap kanan yang fanatik mencoba membunuh saya?’ Yang dimaksud adalah CIA dan tokoh-tokoh seperti Jenderal Nasution dan mitra kerjanya Uyeng Suwargana. Semula saya memang menyinggung persoalan yang pelik ini dengan presiden. Tetapi karena reaksinya, saya makin percaya bahwa Soekarno benar dan bahwa insubordinasinya Soeharto akan berdampak jauh dan buruk. Soekarno yakin seratus persen, juga setelah D.N. Aidit dan pemimpin-pemimpin PKI lainnya segera setelah coup pergi ke Halim di mana presiden pada hari-hari itu berada, untuk meyakinkan dia bahwa mereka tidak terlibat pembunuhan para perwira itu. Omar Dani baru-baru ini bercerita, bahwa Soeharto meneleponnya di Halim untuk melaporkan sebaiknya berangkat dari sana, ‘karena dia berada pada tempat yang salah’. Sukmawati dan adiknya, Guruh telah mengunjungi ayahnya di Halim. Istrinya, Ratna Sari Dewi dengan menyamar berhasil menyelinap melewati penjagaan dan telah berbicara dengan suaminya di Halim. Sampai sekarang Dewi merupakan pembela suaminya yang paling gigih, karena dia pun tahu yang terjadi di Jakarta itu didalangi dari Washington. Ditambah pula, jika Soekarno mendengarkan usul Soeharto dan menuduh PKI sebagai pihak yang bersalah, tidak dapat dikenai hukum, maka tentara tidak akan membuat | |
[pagina 55]
| |
50.000 korban, mungkin malah menjadi dua juta korban. Karena kolonel Sutikno biasanya muncul pada pukul 07:00 di Hotel Indonesia untuk mengobrol, pada suatu hari saya katakan kepadanya, ‘Mengapa bukan anda sendiri ke istana untuk menyampaikan pesan busuk itu’ Dia menjawab, dia hanya bisa ke Istana Merdeka dengan dua cara: kalau disuruh Soeharto atau bila dipanggil Bung Karno. Yang kedua itu segera saya urus. Ajudan Widjanarko mendapat perintah untuk menjemput kolonel Sutikno Lukitodisastro. Pertemuan berlangsung pada tanggal 11 Oktober 1966. Mula-mula kami berkunjung bersama beberapa undangan untuk menikmati sarapan di teras belakang istana, ketika presiden mendadak berkata, ‘Wim, Tikno, ikut aku’. Kami memasuki istana yang nyaman menuju kursi-kursi rotan mengelilingi sebuah meja. Apa yang terjadi kemudian, tidak mungkin dilupakan.Ga naar voetnoot45) Sutikno menyampaikan kepada presiden, suatu cerita yang jelas-jelas pro Soeharto. Jenderal tersebut tidak mau menyelahi peraturan atau memberi tekanan, akan tetapi situasi akan menjadi jauh lebih mudah bila Bung Karno menyalahkan dan menyatakannya tidak sah, Soeharto sendiri pada tahun 1990 menulis, dia pribadi telah berkata kepada presiden. ‘Saya masih menjunjung tinggi anda, seperti saya menjun-jung tinggi orangtua saya. Untuk saya, anda bukan saja pemimpin bangsa, saya menganggap anda seperti ayahku sendiri.’ Setelah mendengarkan, kemudian presiden bertanya, jika kata-kata Soeharto itu benar, maka dia harus mentaati perintah yang diberikan Soekarno, yakni menghentikan segera demonstrasi mahasiswa KAMI. Apa jawab hipokrit-Soeharto dengan kata-katanya sendiri? Ia hanya akan melak-sanakan perintah panglima tertingginya itu bila presiden me- | |
[pagina 56]
| |
nyatakan PKI tidak dapat dikenai hukum.Ga naar voetnoot46) Soeharto, si dungu menyatakan insubordinasinya hitam di atas putih. Pagi itu Sutikno mengajukan pembelaan seperti itu, yang di dengarkan dengan tenang oleh Presiden. Saya sudah mengenal Soekarno demikian baiknya untuk tidak mengetahui dengan tepat betapa dia menganggap rendah para perwira yang mengikuti Soeharto. Tetapi dia bersikap seperti Kepala Pemerintahan (bupati) Lebak tahun 1966. Saya menunggu ‘ledakan’ yang pasti akan datang. Benar saja. Mula-mula presiden menandaskan kepada Kolonel Sutikno, sudah berapa lama CIA melakukan subversi di Indonesia. Dia mengingatkan pada ucapan JFK yang kemudian menjadi masyhur, bahwa Kennedy dapat membayangkan kecurigaan Soekarno kepada Amerika Serikat setelah terjadinya beberapa coup dan percobaan pembunuhan terhadapnya dilancarkan dari Washington. Disamping sebagai atase militer di Washington yang mengetahui betul segalanya sampai sekecil-kecilnya, Sutikno secara pribadi mengalami dari dekat percobaan coup pada tahun 1950 oleh seorang Belanda, Werner Verrips, yang bekerja untuk ICA. Pada tanggal 20 Desember 1950, Verrips dengan teman-temannya menjebol Javasche Bank di Surabaya, dan berhasil membawa empat juta rupiah, -- jumlah yang sangat besar untuk masa itu, -- untuk dapat membiayai orang-orang bayaran.Ga naar voetnoot47) Justri Sutikno, sebagai perwira Polisi Militer yang bertugas, menangkap Verrips dan kemudian menjebloskannya untuk beberapa tahun ke penjara di Indonesia. Sekembalinya di Nederland, dia melanjutkan prakteknya sebagai tenaga bayaran dan akhirnya pada tanggal 4 Desember 1964 dije- | |
[pagina 57]
| |
bak oleh kantor penerangan Belanda dan Indonesia untuk dihabisi nyawanya dekat jembatan di Sassenheim. Sehari sebelum coup di Jakarta, Verrips dianggap sebagai faktor-berisiko tinggi karena dia bersahabat dengan beberapa Jenderal yang sedang mempersiapkan coup tersebut, seperti Jenderal D.I. Panjaitan dan Jenderal S. Parman. ‘Pencak’Ga naar voetnoot48) antara panglima tertinggi dan perwira tinggi yang berlangsung pagi itu dilakukan dalam bahasa Belanda dan diakhiri dengan kekalahan knock-out untuk kolonel Sutikno. Akhirnya, Bung Karno menghabisi Sutikno yang dengan perlahan menundukkan kepalanya karena malu dan menitikkan air mata, isyarat klasik menunjukkan malu. Presiden berkata, ‘ Apakah kalian mengira aku ingin sekali untuk tetap menjadi presiden?’ Bagaimana Soeharto dan antek-anteknya bisa mengira Bung Karno pada usianya yang ke-65 masih akan mengkhianati tugas hidupnya untuk mengganti kedudukannya sebagai presiden? Apa yang dikehendaki para perwira dungu itu ialah, agar Soekarno meiepaskan posisi tengah tradisional dalam perang dingin ini, baik di tingkat nasional maupun dalam arena internasional, dengan berdiri di satu sisi saja yakni, di sisi barat dan Amerika Serikat. Bagaimana orang-orang sinting ini bisa berpikir bahwa Bung Karno akan mengorbankan harga dirinya pada perwira-perwira pengkhianat ini atau akan berpihak ke pihak CIA untuk tetap menjadi presiden. Soeharto dan antek-anteknya menyerahkan diri kepada keinginan Washington, tetapi hal ini tidak akan menguntungkan mereka. Ketika saya masih di Indonesia, pada tanggal 24 Mei 1999 Majalah ‘Time’ menurunkan reportase sebanyak tiga belas halaman yang isinya amat sangat buruk. Selama empat bulan sekelompok jurnalis membuat inventaris | |
[pagina 58]
| |
mengenai kekayaan Soeharto dan anak-anaknya, yang ditaksir sebanyak 15 milyar dolar. Kekayaan keluarga yang telah dicurinya dari rakyat itu dicari ke sebelas negara. Keluarga Soeharto mempunyai kepentingan bisnis di 564 perusahaan di Amerika Serikat, Belanda, Nigeria dan malah di Uzbekistan. Terbitan Time yang memuakkan itu pada awalnya tidak dapat diperoleh di Jakarta, tetapi kemudian berkas-berkas foto kopian banyak diperjualbelikan di perempatan jalan dan setopan lampu lalu-lintas. | |
[pagina 59]
| |
Di Surabaya, Sukmawati Soekarnoputri membicarakan reportasi ‘Time’ itu. Dia memiliki eksemplar aslinya. Berhubung dengan itu saya bercerita kepadanya, bagaimana ayahnya menyelesaikan urusan keuangannya, seperti yang saya lihat dan alami di istana waktu itu. Emile van Konijnenburg, wakil presiden KLM adalah teman istimewa Presiden. Mereka telah mendirikan Garuda Indonesia Airways bersama-sama, ‘Pak Kelinci’, seperti lazimnya ia dipanggil, mendapat kepercayaan sepenuhnya dari Soekarno. Ketika ia tiba pagi itu, ia menyampaikan enam buah kemeja dari Saks Fifth Avenue-New York, kepada presiden yang memang memesannya. Ketika Bung Karno mau membayar, Konijnenburg berkata itu merupakan hadiah darinya. Presiden menolak, walaupun itu hanya berharga beberapa ratus dolar. Van Konijnenburg disuruh masuk ke kamar tidurnya, di mana dalam lemari pakaian ada koper kecil berisi dolar. Ia disuruh mengambil sendiri uangnya dari dalam koper, yang memang dilakukannya. Setelah kejadian itu, ketika saya tinggal berdua dengan presiden, saya mengingatkannya apakah tidak ada kemungkinan terlalu banyak orang bisa mengambil uang seenaknya dari kluis (tempat penyimpanannya). Sesuai perangainya dengan lugu ia menjawab, ‘kalau itu kosong, saya akan minta Om Das.Ga naar voetnoot49) untuk mengisinya kembali.’ Dalam auto-biografinya dengan Cindy Adams, Bung Karno bercerita ketika dia dilepaskan dari penjara Belanda, seorang bapak yang tidak dikenal memberinya 400 gulden; karena tahu bahwa Soekarno tidak punya uang. ‘Saya masih selalu pinjam uang darinya,’ katanya Presiden (hal. 120). | |
[pagina 60]
| |
Rapat-rapat pemilihan/kampanye yang diadakan Sukmawati di Surabaya banyak dikunjungi, terutama oleh kaum muda. Tanpa mengecilkan usaha baik anak-anak Bung Karno, saya menangkap bahwa tidak satupun dari mereka mendekati suaranya yang begitu menggelegar dan membangunkan inspirasi, yang dipakai ayahnya selama puluhan tahun untuk membangunkan semangat dan mengajak rakyat mengikutinya serta mempercayai kepemimpinannya. Anaknya yang paling besar, Guntur, adalah seorang pengusaha. Megawati memimpin PDI-Perjuangan dan memenangkan pemilihan tahun 1999. Rachmawati Soekarnoputri telah bertahun-tahun mencoba untuk membuka Universitas Bung Karno, yang akhirnya terkabul karena pada tahun 1999 B.J. Habibie memberikan izin.Ga naar voetnoot50) Sukmawati menyibukkan diri dengan PNI-Soekarno yang telah dibangun kembali, Guruh anak kelima dari perkawinannya dengan Fatmawati, hanya kadang-kadang saja memasuki politik. Perhatian utamanya adalah musik, tari dan seni. Akhir-akhir ini dia juga merancang motif-motif ‘batik’.Ga naar voetnoot51) Dari perkawinan Soekarno dengan Ny. Hartini lahir dua orang anak laki-laki: Taufan dan Bayu. Taufan belajar di Kalifornia, tetapi meninggal pada usia muda akibat kanker. Ketika saya bertemu dengan dia di rumah ibunya, Bayu bekerja di Sekretariat Negara Soeharto di istana. Dan akhirnya Karina, anak perempuan dari Ratna Sari Dewi, Karina dilahirkan dalam pengasingan di Tokyo dan mendapat pendidikan yang baik dan lengkap. Dia bertahun-tahun tinggal di Paris, di ma- | |
[pagina 61]
| |
na dia bersekolah di sekolah eksklusif, bersama anak perempuan Pangeran Bernhard, Alexia baroness Le Jeune yang selama ini tetap tidak dikenal orang. Setelah itu, ia belajar di Boston University, bekerja selama tiga tahun pada televisi Jepang dan sejak tahun 1999 tinggal secara permanen di New York, seperti ibunya. Sejak beberapa waktu dia melakukan tugas-tugas tertentu di Unesco atas nama pemerintah Indonesia. Sudah jelas, anak-anak Bung Karno di Indonesia banyak dipuja, selain itu mereka sering tampil di televisi. Saya paling sering bepergian dengan Sukmawati, yang dikenal dan disalami di mana-mana, kadang-kadang malah dielu-elukan, ditunjuk dan dipandangi dengan tercengang. Begitu pula bila saya bersamanya dan bersama anaknya nonton di bioskop, di Jakarta. Sukma menjadi terbiasa menghadapinya. Pada tanggal 21 Mei 1999 saya menghadiri ‘rapat umum’Ga naar voetnoot52) di Bandung di mana Megawati Soekarnoputri berbicara di hadapan seratus ribu orang yang datang dari jauh dan dekat untuk mendengarkannya. Dia datang naik bus carteran satu jam terlambat, tidak tinggal lama dan hanya berbicara sebentar, karena masih ditunggu di Sukabumi dan Bogor. Betapa seringnya saya pada tahun 1957 menemani ayahnya ke rapat-rapat umum seperti itu. Melalui mikrofon kadang-kadang meminta pada orang-orang yang berdiri di bagian depan untuk ‘duduk’. Dia meminta dengan nada yang ramah, sama sekali bukan sebagai perintah. Mungkin itu bukan hari baik Mega, tetapi nada yang disertai gerak tangan seakan merupakan perintah untuk duduk, menyinggung perasaan saya. Hal ini jelas ia tidak belajar dari Bung Karno. Saya mendapat kesan pada hari itu, Megawati sebagai seorang wanita untuk mencapai suatu kedudukan kalau bisa sebagai presiden, melewati tugas pemilihan. | |
[pagina 62]
| |
Pada bulan Mei 1957, kepala negara USSR, Marsekal Kliment Vorosilov (74) mengunjungi Indonesia secara resmi. Bung Karno sebelumnya telah mengundang Presiden Dwight Eisenhouwer, tetapi dia tidak memberikan reaksi. Buat Eisenhouwer, Indonesia tidak penting. Pada tanggal 16 Mei 1957, sekitar setengah juta orang berduyun-duyun ke sebuah lapangan olahraga di Surabaya, untuk mendengarkan Soekarno berpidato. Vorosilov mendapat giliran pertama untuk berbicara. Pembicaraannya tidak lancar, dan bahasa Rusianya pun masih harus diterjemahkan. Massa kehilangan kesabaran. Di tribune, saya duduk tepat di belakang kedua kepala negara itu dan dapat melihat jelas apa yang terjadi. Pandu (sekarang Pramuka) ditempatkan antara panggung dan massa, yang makin gelisah. Kekacauan terjadi, Marsekal Sovyet berhenti berbicara dan memandang Bung Karno seolah bertanya apa yang harus dia lakukan. Presiden berdiri dan berbicara lewat mikropon, tiga kali dia mengucapkan, ‘diam, diam, diam’, yang berarti harus berdiam. Mendengar suara Bapak - ayah - bangsa yang sudah mereka kenal, seperti tersengat listrik beribu-ribu kepala serempak menengok ke arah mimbar. Keadaan tertib kembali. Sungguh menakjubkan, melihat reaksi yang ditunjukkan orang-orang dari suara Bung Karno yang sudah dikenal setiap orang Indonesia lewat radio dan bioskop. Vorosilov amat heran melihat kejadian itu, dan menyatakan kekagumannya. Dalam sejarah negeri ini belum seorangpun yang layak mendapatkan dan benar-benar memperoleh kepercayaan yang tulus secara massal kecuali Soekarno. Tidak dapat disangkal lagi Soekarno adalah pahlawan mereka. Dalam berbagai buku, saya telah melukiskan dengan panjang lebar apa yang telah saya alami dengan Soekarno selama sepuluh tahun. Saya tidak hanya melihat hubungan timbal | |
[pagina 63]
| |
balik antara pemimpin dan rakyat, tapi juga mendapatkan kepercayaannya penuh. Barangkali saya datang dari suatu keluarga yang super kolonial, tetapi saya juga mengalami pendudukan Nazi dan mengikuti kuliah di Yale University di Amerika Serikat, yang menyebabkan saya memahami dengan jelas bahwa negara saya setelah tahun 1945 seharusnya sudah harus mengubah arah. Tetapi orang-orang seperti Willem Drees, Joseph Luns, L.J.H. Beel dan selusin orang Belanda yang menjengkelkan tidak dapat digoyahkan dari keangkuhan Den Haag itu. Setelah perang dunia kedua di Indonesia -- seperti juga di Suriname dan Afrika Selatan -- orang-orang Belanda bersikap sebagai pecundang pendendam yang licik. Kami tetap menjadi dekolonisator yang paling canggung dalam sejarah dunia ini, yang harus dicari dalam tabiat bangsa kita yang secara mendasar arogan yang kami peroleh dari tetangga kita di Timur. Yomo Kenyatta, yang pernah menjadi pemimpin Mau-mau di Kenya, dan telah dinyatakan di luar hukum oleh London, -- malah selangkah lebih jauh dibandingkan apa yang kami (Belanda) lakukan dengan Bung Karno, -- oleh Ratu Elezabeth II dinaikkan dalam Rolls Roys ketika hendak ke Buckingham Palace, saat kedaulatan telah diserahkan kepada Kenya. Orang Belanda tidak mampu menanggung beban psikologis semacam itu secara terbuka. Dendam yang sekali pernah tertanam dalam benaknya, tidak akan pernah dilupakan. Karena itu, yang amat sangat mengherankan di negeri ini, ketika melihat bahwa di Afrika Selatan tidak terjadi perang saudara yang mengerikan tetapi melihat komisi kebenaran bekerja saat penyerahan kedaulatan dari negeri ini ke mayoritas hitam. Ketika di parlemen Belanda, Drees dan Luns berteriak dari mimbar, ‘kami mau bicara dengan Jakarta, tetapi tidak dengan | |
[pagina 64]
| |
Soekarno’, saya melakukan kerja lapangan di Jawa untuk bisa memahami siapa sebenarnya ‘musuh’ kami di Indonesia ini. Setelah dikurung selama 28 tahun, para petard di Afrika Selatan baru akan menyadari, siapa sebenarnya Nelson Mandela. Orang-orang Afro-Asia tidak dapat melarikan diri dari rasa dendam orang-orang Barat. Dalam hal ini orang-orang Amerika memberikan contoh yang khas dalam cara mereka memperlakukan Fidel Castro yang menggelikan itu. Orang-orang Afro-Asia menafsirkan otaknya, kehidupan, dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya dengan cara yang sama sekali berlainan dengan kami. Mereka menuangkan rasa iba dan tenggang rasa dalam hubungan antarmanusia, dengan cara yang sama sekali lain. Redaktur utama B.M. Diah menundukkan kepalanya penuh rasa malu. Kolonel Sutikno benar-benar malu. Buat Soekarno, sikap yang mereka perlihatkan itu sudah cukup dan sudah dianggap selesai. Sejam kemudian mereka berfoto bersama.Ga naar voetnoot53) Sebetulnya pada tahun 1999 Negeri Belanda masih membenci dan menganggap rendah Soekarno. Setelah tahun 1945, Soekarno ingin merangkul kembali Negeri Belanda, sebab dalam pikirannya ada ruang Afro-Asia yang akan mengakui, Negeri Belanda telah banyak melakukan hal yang besar di Belanda yang dulu itu.Ga naar voetnoot54) Mandela bisa dengan mudah berdamai dengan F.W de Klerk, karena dia -- seperti Soekarno -- sejak kecil telah mengalami pelaksanaan ‘musyawarah’ dan ‘mufakat’. Dulu di Dam berdiri sebuah kios yang mempertunjukkan sandiwara boneka Jan Klaasen dan | |
[pagina 65]
| |
Katrijn, atas permintaan kami, sekali-kali kami kunjungi bersama ayah. Apabila wayang versi Belanda dari sandiwara Indonesia ‘wayang’, kita bandingkan dengan cara klasik untuk memperkenalkan orang-orang Indonesia -- jelas dari generasinya Soekarno - dengan interpretasi realitas yang terjadi di dunia sekitar, tidak sukar untuk mengerti mengapa Bung Karno begitu mudah mengulurkan tangan persahabatan ke Negeri Belanda dan tidak menghasilkan reaksi yang sepadan dari Den Haag. Orang-orang Afro-Asia tidak hanya merupakan mayoritas dari penduduk di planet ini. Mereka juga mengetahui bagaimana mereka harus memahami, betapa halaman dalam sejarah tanpa rasa benci harus membalas dan tidak harus menggulangnya lagi. Mereka belajar bagaimana memaafkan. Karena kulit putih yang hanyalah segolongan kecil penduduk dunia tidak dapat bersikap demikian, kecuali kadang seolah-olah mereka bisa melakukannya. Dan dalam hal beberapa saya pun tidak mampu melakukannya seperti dalam penilaian saya terhadap Hartini Soekarno. Oktober tahun 1966, saya beberapa kali mengunjunginya di Istana Bogor, ketika dia bertindak sebagai nyonya rumah. Bila Bung Karno sedang mandi,Ga naar voetnoot55) kami berdua bercakap-cakap. Sebagian dari percakapan tersebut sudah banyak saya muat dalam berbagai buku saya. Pada tahun 1973, saya bertemu dengan Ny. Hartini selama tiga hari di Mandarin Hotel Singapura, karena -- setelah meninggalnya Presiden Soekarno pada tahun 1970 -- saya tidak mau menunggu terlalu lama untuk merekam sejumlah kenangan dari Ny. Hartini dan Bapak.Ga naar voetnoot56) | |
[pagina 66]
| |
Setelah tahun 1966, atas permintaan Den Haag, saya tidak lagi diperkenankan masuk Jakarta. Baru pada tahun 1994 saya diajak Perdana Menteri R.F.M. Lubbers dalam kunjungan resminya kepada Soeharto. Saya ikut dalam iring-iringan yang menuju ke istana Merdeka, tetapi begitu turun dari mobil saya menuju pagar, Saya tidak mau menjadi tamu dari orang yang membunuh sahabatku. Pada tahun 1966, atas permintaan Presiden Soekarno, saya mengadakan wawancara televisi dengan Soeharto. Sebagai jurnalis, saya memang ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Kepala Negara Indonesia ini, sebelum ajal mejemputnya. Berulang kali saya mengajukan permohonan, tetapi rupanya dia selalu berhalangan. Setelah tahun 1973, saya berkorespondensi dengan Ibu Hartini, ini saya lakukan bertahun-tahun. Dia menyampaikan berita-berita mengenai keluarganya dan sering mengirimkan foto-foto dirinya, perkawinan anak-anaknya dan lain-lain.Ga naar voetnoot57) Tetapi rasa memaafkan sebagai orang Jawa telah menguasainya. Terbukti pada tahun 1994 memperingatkan saya dengan halus. Katanya, saya harus bersikap lebih lunak terhadap Soeharto, ‘sebab, Wim, dia adalah orang yang manis’. Saya seperti disambar petir dan berkata, ‘tetapi Soeharto telah membunuh Bung Karno secara pelan-pelan!’ Setelah itu saya tidak pernah mau bertemu lagi dengan Ny. Hartini. Biarlah saya bereaksi sebagai orang belanda, yang tidak pernah mau memaafkan sekarang dan sampai kapan pun. Saya tidak ‘malu’, tetapi saya marah sekali. Selama bertahun-tahun saya tidak banyak memikirkan tentang perasaan khas Jawa, seperti kasihanGa naar voetnoot58) dan malu. | |
[pagina 67]
| |
Mungkin orang-orang Afro-Asia adalah pengamat psikologis yang lebih baik dari pendapat Metzsche ‘Mensliches, Allzumenschliches’Ga naar voetnoot59) tentang ‘meditating on things human, all too human is one of the means by which man can ease life's burden.’Ga naar voetnoot60) Bersamaan dengan itu, trayek yang dijalani kenangan dalam kepala (pikiran) orang, seperti berjalan diatas es yang penuh dengan lubang-lubang yang menjerumuskan. Psikiater Wina ini menandaskan, kenangan, terutama mengenai kejadian-kejadian yang menimbulkan trauma, ‘mungkin telah diganggu ketika berlalu dari bawah sadar, lewat awal-sadar ke kesadaran’.Ga naar voetnoot61) Apa yang dilakukan Soeharto dengan para jenderal terhadap Bung Karno, rupanya telah menghilang dari pikiran Ny. Hartini masuk lubang tenggelam ke dasar. Di sini tampak mencolok sekali perbedaan dalam mengenang, bagaimana Ratna Sari Dewi, janda Soekarno yang berkebangsaan Jepang, mengingat perlakuan-perlakuan Soeharto terhadap suaminya. Dia masih tetap menyebut -- juga pada suatu pertemuan-pers yang baru-baru ini diadakan di Jakarta -- orang ini sebagai pembunuh Soekarno. Jadi, walaupun Dewi seorang Je- | |
[pagina 68]
| |
pang, neneknya seorang Rusia, otak Asianya tidak mudah lupa, seperti tampak dalam kata-kata yang diucapkan Ibu Hartini, karena penghayatan dia mengenai apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 sama dengan saya. Tambahan pula Dewi adalah saksi mata dari coup CIA itu. Dari Surabaya saya ‘terbang’ dengan Sukmawati ke Bali, di mana Ketua PNI, Ny. Supeni sudah menunggu. Saya pertama bertemu dengannya pada tahun 1961 di lounge gedung perwakilan PBB di New York, ketika dia menjabat sebagai ambasador keliling dalam tugas khusus dari Bung Karno. Kekaguman saya kepada wanita yang gagah berani ini sungguh datang dari lubuk hati, dalam perjalanan kampanye pemilihannya ia harus diangkat dari kursi roda, keluar-masuk perut pesawat terbang. Antusiasme rakyat kepada kedua wanita ini, Supeni dan Sukmawati di kepulauan yang indah ini terasa dimana-mana dan datang dari lubuh hati mereka. Kami mengunjungi Istana Tampaksiring di mana Sukma mengingat kembali kenangan yang dialaminya waktu kecil. Ketika sore itu ia berbicara dalam rapat PNI, dan bercerita bahwa ia baru saja mengunjungi kembali rumah yang dirancang dan dibangun oleh ayahnya, ia tak kuasa menahan air matanya. Buku ini sengaja saya persembahkan kepadanya, karena tidak seorangpun dari anak-anak Bung Karno yang begitu jelas, terutama dalam dunia penghayatannya mengingatkan saya kepada ayahnya, seperti Sukma. Semua jurnalis asing mengikuti Mega, kecuali saya. Buat saya mengenang kembali dunia pemikiran Bung Karno tidak terletak pada Megawati dengan PDI-Perjuangan, tetapi pada PNI dengan Ibu Supeni dan Sukmawati, yang pada waktu saya tinggalkan pada bulan Juni berada pada urutan ke-12 ditinjau dari jumlah suara yang diperoleh. Popularitas yang diperoleh Megawati pada tahun 1999 | |
[pagina 69]
| |
ini adalah terutama berkat mitos ayahnya dan perlakuan jahat dari rezim Soeharto terhadap pengikutnya dalam stadiumawal perkembangan politik, yang membantu mempercepat kelengserannya. Mega adalah orang yang tepat untuk memimpin perlawanan terhadap para jenderal yang fasis, sebagai anak perempuan yang telah membebaskan negara dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme. Tetapi, menurut saya menikmati dan mengandalkan ketenaran dan mitos Bung Karno sebaiknya jangan dilanjutkan. Dan, 210 juta penduduk Indonesia saat ini hampir tidak ada lagi yang pernah melihat dan mendengarkan Soekarno, apalagi bertemu muka. Jadi, pada tahun 1999 ini sebenarnya merupakan gejala yang mengerikan, seruan untuk menempatkan seseorang yang akhirnya bisa mereka percaya di Istana Merdeka begitu besar, sehingga hikayat mengenai Soekarno secara massal diproyeksikan pada putrinya. Bahwa Megawati membiarkan ini terjadi, bagi saya merupakan suatu perkembangan yang akhirnya akan membawa Indonesia ke kekacauan. Harusnya Mega sudah dapat mengetahui akan hal itu. Mega adalah seorang wanita setengah baya yang menarik, seorang ibu rumah tangga dan seorang ibu biasa. Rezim militer menghalangi anak-anak Bung Karno untuk belajar di negeri sendiri, demikian pernah diceritakan Mega kepada saya dan uang untuk kuliah ke luar negeri tidak ada. Di New York saya berteman dengan dr. Arnold Hutschnecker, seorang psikiater yang pernah merawat Richard Nixon. Dalam artikelartikel di ‘New York Times’, selama bertahun-tahun ia mengajukan argumentasi, sudah waktunya sekarang untuk memeriksa secara psikis semua orang yang mencalonkan diri untuk Gedung Putih. Mengingat pendidikan yang diperoleh Megawati dan persiapan umum yang telah dilakukan untuk memimpin tidak hanya negara keempat terbesar tetapi juga | |
[pagina 70]
| |
negara Isalam terbesar di dunia, rasanya masih sangat jauhlah perjalanan ke Istana Merdeka. Saya merasakannya sebagai suatu ketidakjujuran dalam menganggap diri lebih, Megawati akhirnya mencoba juga untuk mengikuti jejak ayahnya yang unik itu, dengan namanya sebagai jaminan paling penting. Hal itu tidak saja menampakkan kekurangan akan pengalaman dirinya dan intelegensi tetapi menunjuk pada kekurangan fundamental pada rakyat Indonesia untuk menghendaki suatu fungsi yang di luar dugaan akan didudukinya, hanya akan membawa negara ini jauh lebih kacau. Pada saat tulisan ini dibuat, pencalonannya sebagai presiden menjadi lelucon yang memalukan. Ketika kampanya di bulan Mei - Juni 1999, saya melihat ratusan ribu orang turun ke jalan untuk mendengarnya, lebih sukar bagi saya melepaskan diri dari kesan-kesan pribadi. Pada tahun 1994, beberapa kali saya makan bersama dengan anak-anak Bung Karno yang lain, di rumah Mega. Saya juga berkenalan dengan Taufiq Kiemas, mantan mitra kerja dinas penerangan untuk aparat Soeharto, yang karena memiliki sejumlah besar pompa bensin, bisa mengumpulkan kekayaan yang cukup besar. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah Kiemas pada tahun 1999 ini tidak lagi mempunyai hubungan dengan misalnya sirkuit informal mantan teman-teman sejawatnya di jaringan mata-mata Soeharto, yang sekarang diambil alih Habibie. Saya mempunyai petunjuk Megawati di lingkungannya sendiri selalu merasa diawasi dan dimata-matai yang menyebabkan dia selalu waspada dan sering menyebabkan dia berdiam diri untuk waktu yang lama, sebab dia selalu sibuk untuk mencoba memahami jaringan intrik di sekitarnya. Gejala ini saya kenal betul dari lingkungan ayahnya, dan saya yakin putrinya sekalipun itikad baik dan sopan, tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi di sekitarnya. | |
[pagina 71]
| |
Pada suatu hari Sabtu pagi di tahun 1995, bersama Jenderal Suhario Padmodiwirjo, seorang teman ayahnya dan temanku, saya pergi ke rumahnya, kami bertiga berbincang-bincang selama beberapa jam tanpa kehadiran Taufiq Kiemas. Isi perbincangan kami akan selalu tersimpan dalam buku harian saya, yang akan saya kirim ke Kominklijke Bibliotheek karena tidak akan berguna untuk menyampaikan hal-hal yang selama ini dirahasiakan, pada saat yang sangat penting dalam hidupnya, sama halnya melempar minyak ke dalam api. Setelah perbincangan itu, pendirian saya sudah sangat pasti, bahwa dia tidak bisa menjadi dewi penyelamat, seperti yang diharapkan oleh berjuta-juta orang Indonesia. Jadi, apa yang saya lihat terjadi pada tahun 1999 ini, merupakan suatu drama yang menyedihkan. Setelah 32 tahun teror fasis oleh militer yang melakukan coup, didukung oleh korps pegawai nonmiliter yang amat besar, industriawan dan gangster yang tanpa malu mencuri habis-habisan dari rakyat Indonesia, massa yang memproyeksikan harapan dan ilusinya pada Megawati, yang jelas merupakan orang terakhir yang bisa mencegah negara ini makin terjerumus ke kekacauan total. Saya memutuskan untuk menyerukan suatu peringatan di The Jakarta Post, sebelum pemilihan umum. Saya membandingkan sejarah termuda Uni Sovyet dengan apa yang akan terjadi di Indonesia. Di akhir tahun delapan puluhan rakyat Rusia berteriak, ‘Gorby, Gorby’, dengan harapan agar Mikhael Gorbachev bisa menyelematkan USSR lewat perubahan-perubahan. Pada tahun 1999 di Indonesia orang berteriak, ‘Mega, Mega.’ Saya melanjutkan memberi peringatan yang lebih mendesak, yakni kegagalan Gorby menyebabkan bercerai-berainya Uni Sovyet. Kalaupun Mega tanpa diduga menjadi presiden Indonesia, maka bencana tidak dapat kita bayangkan. Bila Amerika sebagai super-cop dunia menyadari, manusia-manusia | |
[pagina 72]
| |
yang mereka pasang seperti Quisling (Soeharto, Nobutu, Lon Nol, Pinochet dan sebagainya) akhirnya tidak dapat lagi dipertahankan, akibat pemberontakan-pemberontakan bangsa maka negara-negara itu seolah dilepaskan, tetapi dalam kenyataan yang terjadi kemudian adalah, penguasaan desintegrasi secara rahasia. Setelah perginya Nobutu, Kongo yang kaya akan bahan-bahan dasar hancur berkeping-keping, tetapi percayalah Barat tetap melanjutkan transaksi perdagangan yang menguntungkan secara besar-besaran. Setelah lengsernya Soeharto, ‘jalan keluar’ yang paling bisa diterima oleh Wall Street, masyarakat perdagangan Barat dan Jepang adalah, untuk memecah-belah Indonesia, seperti yang misalnya telah mereka lakukan dengan Uni-Sovyet. Ketika Breshsnev memutuskan dinas di Kremlin dan perdana menteri Aleksei Kosygin mengajukan kepada Max van der Stoel di Moskow (1973) agar mulai mengadakan joint venture dengan Shell untuk mengadakan eksplorasi di Laut Barents, Laut Hitam dan Laut Kaspia menggali minyak dan gas, Max berdiam diri. Washington melarang dia memberi tanggapan, sebab orang Amerika sendiri itulah yang ingin mengeksplorasi kekayaan USSR, tentu setelah jatuhnya kekuasaan komunis. Baru setelah perginya Gorbachev dan datangnya pion dari orang-orang Amerika, Boris Yeltsin, serangan massal pada bahan-bahan dasar bisa dimulai, yang saat ini oleh Mafia Rusia dijual dengan harga sangat murah ke Barat. Pada saat manuskrip ini dicetak, pada tanggal 7 Agustus 1999 misalnya, Shell menandatangani kontrak minyak dan gas yang amat besar dengan Turkmenistan, salah satu bekas republik USSR. Baru terlaksana sekarang, sebab setelah komunisme hancur, orang-orang Rusia dan Turkmenistan boleh mencari dolar. Untuk dapat menganalisa apa yang sedang terjadi saat ini | |
[pagina 73]
| |
di Indonesia, sebaiknya kita mempelajari kelakuan Amerika di bagian-bagian lain dunia. Mengapa Washington tampak cenderung mendukung pencalonan Megawati? Profesor Jeffry Winters makan siang dengannya, keesokan harinya meyakinkan saya, bahwa Mega akan menjadi presiden Indonesia yang amat baik. Akankah ia sampaikan hal yang sama kepada Madeline Albright bila ia kembali ke Washinton nanti? Pada tanggal 2 Juni 1999 saya menulis di The Jakarta-Post, ‘Bila Mega masuk ke dalam perangkap yang telah dipasang untuknya, secara tidak sadar ia akan menghancurkan pekerjaan hidup (life-work) ayahnya yakni negara kesatuan, lingua franca (bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi sosial di antara orang-orang yang berlainan bahasa) untuk seluruh nusantara, Pancasila dan inisiatif gerakan non-alingment dalam urusan internasional yang didirikan di Bandung pada tahun 1955. Pendeknya dia akan mengikuti jejak Gorbachev, bukan Bung Karno’. Orang yang berpendapat bahwa orang-orang Amerika mendirikan organisasi-teror rahasia untuk negara-negara NAVO dan tidak untuk Indonesia atau saingan Afro-Asia lainnya yang berpotensi menjadi saingan Washington, belum juga memahami bagaimana ‘otak’ di Amerika Serikat itu berpikir dan bertindak. Mengapa mereka mendirikan organisasi-teror rahasia (‘Gladio’) untuk negara-negara NAVO, kalau-kalau Uni Sovyet menyerang Eropa dan tidak mempersiapkan diri untuk kejadian yang akan terjadi di Asia Tenggara? Berpuluh tahun kemudian secara pelan-pelan akan terungkap berbagai dokumen, seperti halnya dengan Chili dan Pinochet, tentang apa yang terjadi pada tahun 1973 di Santiago dalam kerjasama dengan CIA, yang mengungkap pelbagai kejahatan dan siksaan yang terjadi di sana. Barangkali masih banyak orang berpendapat, bahwa | |
[pagina 74]
| |
kerusuhan yang mendadak muncul, seperti bentrokan antar agama di Aceh, Maluku dan Irian Jaya, dan terakhir keributan yang berlangsung sekitar Timor Timur, terjadi karena adanya gerakan-gerakan destabilisasi yang spontan di Republik Indonesia ini. Saya menganalisa berita-berita yang meresahkan dari Jakarta ini dalam konteks di mana Amerika Serikat selama bertahun-tahun di Asia, Afrika, Amerika Latin atau di USSR yang sekarang terbukti melakukannya: destabilisasi yang terarah dan bila kepresidenan Megawati yang lemah dan tidak bergerak ini akan menjatuhkan Indonesia dengan lebih cepat, maka Washington akan mendukung Mega. Setelah mengikuti kampanye pemilihan PNI Ny. Supeni dan Sukmawati Soekarnoputri di Bali, kami terbang ke Surabaya untuk bermobil ke Blitar mengunjungi makam Bung Karno. Keluarga diizinkan masuk ke dalam pintu kaca agar bisa sampai ke makamnya. Mantan ambasador meninggalkan kursi-rodanya dan sambil berlutut menaburkan kuntum bunga yang dibawanya dalam keranjang, ke seluruh pusara mantan presiden. Saya berdiri agak jauh sambil menunggu. Tetapi Sukma memanggil, ‘Anda juga, Om Wim’. Pada tanggal 22 Oktober 1966 tengah malam, bersama dr. Emile Komijnenburg saya meninggalkan Istana Bogor dengan sebuah mercedes milik KLM. Presiden Soekarno dan Ny. Hartini melambaikan tangan sambil berdiri di bawah lampu di tangga bungalow tempat kita menghabiskan akhir pekan. Itu 33 tahun yang lalu. Bung Karno ketika meninggal usianya 69 tahun. Sekarang usia saya lima tahun lebih tua. Putrinya meminta saya untuk menabur bunga. Saat yang amat emosional. Malam itu juga tanggal 5 Juni 1999, kami kembali ke Jakarta. Dewi Soekarno, yang mencari saya, terbang ke Tokio saat kami mendarat. Tetapi putrinya Karina berada di ‘Man- | |
[pagina 75]
| |
darin Hotel’. Pada tanggal 15 Juni dia mengadakan makan malam perpisahan, sebab tanggal 16 saya berangkat ke Amsterdam dan tanggal 17 Juni dia ke Paris. Menyenangkan bagiku, anak Bung Karno yang paling besar, Guntur juga hadir bersama isterinya, begitu pula Rachmawati Soekarnoputri, satu-satunya anak Soekarno yang selalu ingin saya temui, tetapi tidak pernah terkabul. Hadir pula istri Taufan Soekarnoputra, yang sekarang menjanda. Jelas tampak anak-anak Bung Karno berada dalam suasana kemenangan, karena kakak Mega memenangkan pemilihan dan akhirnya akan ada lagi seorang Soekarno tinggal di istana. Saya tidak bersedia untuk secara membabi buta mengikuti penipuan diri mengenai Mega di lingkungan yang pro Mega. Guncangan yang hebat terjadi dalam percakapan malam itu -- yang telah diusahakan untuk dialihkan ke jalur lain oleh Karina -- ketika saya berkata saya amat yakin, bila Bung Karno masih hidup dan Mega mendatanginya untuk bertanya’ ‘Bolehkah saya mencalonkan diri untuk jadi Presiden?’, maka dengan tegas ayahnya akan menyarankan untuk berlibur panjang atau berkonstulasi dengan seorang ‘dukun’. Saya sangat terkejut, menyaksikan kemungkinan terpilihnya jabatan presiden bagi Mega, karena di kalangan orang Jawa peraturan untuk berbicara secara tidak langsung menurut prinsip seorang yang ‘paham’, tidak membutuhkan banyak kata-kata. Tetapi barang siapa yang bertahun-tahun tinggal dan bekerja di Amerika Serikat, belajar mengatakan yang sebenarnya, sama seperti saya demikian juga di Belanda. ‘Seseorang yang menyembuhkan dengan halus akan menyebabkan borok yang berbau’. Rachma, bersama suaminya duduk di depan saya saat makan malam itu, dengan jengkel mengatakan, saya sangat dipengaruhi oleh ayahnya. ‘Tidak’, jawabku,’ tetapi ketika kalian masih duduk di bangku | |
[pagina 76]
| |
sekolah, saya ikut ayahmu keliling Indonesia, saya mendengarkan dengan baik, saya tahu apa yang diinginkannya, apa yang dipikirkannya dan apa yang menjadi tujuan polihknya. Sejak tahun 1965 tidak seorangpun di negeri ini yang membelanya. Selama bertahun-tahun -- terutama oleh media Barat -- Soeharto mengumpatnya sebagai seseorang yang sama sekali tidak benar. Bagi orang-orang Indonesia dia merupakan legenda. Mega sekarang masuk dalam legenda itu. Dalam kenyataannya, dia mengingatkan saya pada sebuah film Amerika, di mana dia sebagai pramugari dengan petunjuk dari menara lalu-lintas harus mendaratkan pesawat raksasa setelah semua pilot pesawat jumbo itu mati. Itu adalah sebuah eksperimen yang tidak saya harapkan terjadi pada saya, Mega dan Indonesia’. Karina masih selalu berusaha untuk mengalihkan alur pembicaraan, tetapi saya ingin menyelesaikan jalan pikiran saya. ‘Di Bandung saya mendengarkan Mega berbicara di depan ratusan ribu orang. Dia sama sekali tidak menyebutkan nama ayahnya, sedangkan semua orang tahu dia berdiri di sana berkat Bung Karno. Pada Bung Karno orang-orang merasakan bahwa dia “peduli”. Megawati menceritakan suatu cerita dan mengumumkan ia harus pergi ke Sukabumi dan Bogor’. Dia tidak meyakinkan. ‘Karena putus asa, berjuta-juta orang Indonesia menyerahkan nasibnya ke tangannya berkat mitos Bung Karno. Ini merupakan pertanyaan yang dalam kata hati nurani, apakah dia sebagai anak perempuan tertua boleh menerima kepercayaan mutlak berjuta-juta orang untuk menjadi kepala negara. Siapa yang telah membujuknya, saya tidak tahu tetapi peralihan dari pramugari menjadi pilot pesawat jumbo, secara normal tidak bisa dilakukan, sekalipun dengan bantuan menara lalu-lintas penuh | |
[pagina 77]
| |
dengan penasihat yang mahir untuk mendaratkan pesawat itu dengan selamat’. Sementara itu Megawati Soekarnoputri tetap mengatakan, karena ia memenangkan pemilihan umum sebagai partai terbesar, dia berhak menduduki kursi kepresidenan. Sejarah akan membuktikan apakah ia benar akan menjadi presiden dan bagaimana ia akan menjalaninya.
Willem Oltmans 17 Agustus 1999 |
|